Revolusi Aspal di Jantung Jawa: Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Nasional yang Makin Mulus – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Oktober 2025, 10.44

unsplash.com

Jalan Rusak, Anggaran Terkuras: Sebuah Dilema Nasional yang Akrab

Bagi jutaan masyarakat Indonesia, kondisi jalan nasional adalah cerminan langsung dari denyut nadi negara. Ia adalah jalur kehidupan ekonomi, urat nadi mobilitas, dan panggung bagi rutinitas sehari-hari. Namun, ia juga sering kali menjadi sumber frustrasi kolektif. Pemandangan jalan yang baru saja mulus diaspal, namun kembali berlubang hanya dalam hitungan bulan, adalah sebuah ironi yang terlalu akrab. Proyek perbaikan yang terkesan seperti siklus "tambal sulam" tanpa akhir memunculkan pertanyaan yang sama di benak publik: ke mana larinya miliaran rupiah anggaran infrastruktur?

Keluhan ini bukan tanpa dasar. Di tengah masifnya pembangunan, tantangan terbesar justru terletak pada preservasi atau pemeliharaan aset yang sudah ada. Selama ini, banyak yang menduga masalahnya terletak pada kualitas material, pengawasan yang lemah, atau beban kendaraan yang berlebih. Namun, sebuah penelitian mendalam dari Universitas Sebelas Maret menyingkap sebuah jawaban yang lebih fundamental. Tesis yang mengkaji preservasi jalan nasional di Surakarta dan Sragen ini menunjukkan bahwa akar masalahnya mungkin bukan pada aspalnya, melainkan pada sistem di baliknya: metode kontrak yang digunakan untuk merawat jalan itu sendiri.1

Penelitian ini menggali lebih dalam, membandingkan dua filosofi yang sangat berbeda dalam memandang pemeliharaan jalan. Hasilnya bukan hanya sekumpulan data akademis, melainkan sebuah peta jalan menuju solusi yang lebih efektif dan efisien, sebuah terobosan yang berpotensi mengubah cara Indonesia merawat infrastruktur vitalnya untuk selamanya.

 

Dua Filosofi Perawatan Jalan: Membedah Kontrak 'Tambal Sulam' vs. 'Manajer Ruas'

Untuk memahami mengapa sebuah sistem bisa lebih unggul dari yang lain, kita perlu membedah dua pendekatan yang menjadi inti dari penelitian ini: metode kontrak konvensional yang telah lama digunakan, dan metode kontrak longsegment yang menjadi angin segar perubahan.1 Keduanya bukan sekadar prosedur administrasi, melainkan cerminan dari dua cara pandang yang berbeda secara fundamental.

Metode Konvensional – Pendekatan Reaktif

Bayangkan Anda memiliki mobil dan hanya membawanya ke bengkel setiap kali ada komponen yang rusak parah. Pendekatan inilah yang mencerminkan filosofi di balik kontrak konvensional. Dalam sistem ini, pemerintah membuka tender untuk pekerjaan spesifik di lokasi tertentu, misalnya, pengaspalan ulang jalan sepanjang lima kilometer atau perbaikan drainase di satu titik.2 Kontraktor dibayar setelah menyelesaikan volume pekerjaan yang disepakati dalam jangka waktu tertentu.

Secara inheren, filosofi ini bersifat reaktif. Penanganan baru dilakukan setelah kerusakan cukup signifikan untuk masuk dalam program perbaikan. Ini menciptakan sebuah lingkaran setan. Kontraktor tidak memiliki insentif untuk memastikan kualitas jangka panjang di luar masa garansi proyek yang relatif singkat. Fokus mereka adalah menyelesaikan output (volume pekerjaan), bukan menjaga outcome (kualitas layanan jalan secara keseluruhan).2 Akibatnya, pemerintah terjebak dalam mode "pemadam kebakaran"—selalu mengejar ketertinggalan untuk menambal kerusakan yang terus muncul di berbagai titik.

Metode Kontrak Longsegment – Sebuah Paradigma Baru

Sekarang, bayangkan skenario kedua. Alih-alih pergi ke bengkel yang berbeda untuk setiap masalah, Anda menyewa satu manajer mekanik pribadi yang bertanggung jawab penuh atas kesehatan mobil Anda secara keseluruhan, mulai dari penggantian oli rutin hingga perbaikan besar. Inilah analogi yang paling tepat untuk menggambarkan metode kontrak longsegment.

Longsegment adalah penanganan preservasi jalan secara terpadu dan menerus dalam satu segmen yang panjang, biasanya berkisar antara 50 hingga 150 kilometer.3 Ini bukan lagi sekadar perubahan teknis, melainkan sebuah revolusi filosofis dalam pengadaan publik. Model ini secara fundamental mengubah peran kontraktor. Mereka tidak lagi dipandang sebagai "pelaksana konstruksi", melainkan sebagai "manajer ruas jalan".5

Pembayaran tidak lagi murni berdasarkan volume aspal yang digelar, tetapi berdasarkan kinerja. Kontraktor diwajibkan untuk memenuhi serangkaian Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ketat, mencakup segala aspek dari tingkat kerataan permukaan jalan (diukur dengan International Roughness Index atau IRI), kondisi bahu jalan, fungsionalitas sistem drainase, hingga kelengkapan rambu lalu lintas.7 Jika mereka gagal memenuhi standar layanan ini dalam waktu tanggap yang ditentukan, mereka akan dikenai sanksi finansial berupa pemotongan pembayaran.8

Mekanisme ini menciptakan insentif ekonomi yang sangat kuat. Kontraktor didorong untuk berpikir proaktif dan melakukan pemeliharaan preventif. Bagi mereka, menambal satu lubang kecil hari ini jauh lebih menguntungkan daripada harus melakukan perbaikan besar-besaran enam bulan kemudian akibat kerusakan yang meluas. Pemerintah, di sisi lain, berhasil mengalihkan risiko pemeliharaan harian kepada pihak yang paling mampu mengelolanya, seraya memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan menghasilkan layanan jalan yang andal dan berkelanjutan. Ini adalah lompatan dari sekadar membeli barang dan jasa menjadi membeli hasil.

 

Laboratorium Nyata di Surakarta-Sragen: Data Membuktikan Terobosan

Teori dan konsep adalah satu hal, tetapi bukti di lapangan adalah segalanya. Koridor jalan nasional di Surakarta dan Sragen menjadi laboratorium nyata yang sempurna untuk menguji kedua filosofi ini. Penelitian ini membedah data selama enam tahun, terbagi menjadi dua era yang kontras: periode 2014-2016 saat metode konvensional masih diterapkan, dan periode 2017-2019 setelah transisi ke kontrak longsegment. Data yang tersaji bukan sekadar angka, melainkan sebuah narasi dramatis tentang sebuah terobosan.

Era Konvensional (2014-2016) – Kinerja yang Stagnan dengan Biaya Membengkak

Selama tiga tahun di bawah sistem lama, kualitas jalan nasional di wilayah studi menunjukkan perbaikan, namun terasa lamban dan seolah mencapai batas atas kemampuannya. Data menunjukkan persentase "Kondisi Jalan Mantap" bergerak dari 86,22% pada 2014, naik sedikit ke 88,33% pada 2015, dan hampir tidak bergerak di angka 88,41% pada 2016.1

Yang lebih mengejutkan adalah dinamika anggarannya. Untuk mencapai peningkatan kualitas yang hanya sekitar dua poin persentase selama tiga tahun tersebut, biaya yang digelontorkan melonjak drastis. Dimulai dari Rp 18 miliar pada 2014, anggaran membengkak menjadi Rp 28 miliar pada 2015, dan mencapai lebih dari Rp 31,3 miliar pada 2016.1 Ini adalah gambaran klasik dari efisiensi yang menurun: semakin banyak uang yang diinvestasikan, semakin kecil hasil tambahan yang didapat. Kinerja yang dihasilkan baik, tetapi tidak sepadan dengan lonjakan biayanya.

Era Longsegment (2017-2019) – Lompatan Kualitas yang Signifikan

Titik balik terjadi pada tahun 2017, saat kontrak longsegment mulai diterapkan. Perubahan yang terjadi seketika dan sangat signifikan. Pada tahun pertama penerapan model baru, tingkat kemantapan jalan melonjak drastis dari 88,41% ke angka 92,56%.1 Ini bukan lagi peningkatan inkremental, melainkan sebuah lompatan kuantum dalam kualitas layanan publik.

Tren positif ini terus berlanjut dengan meyakinkan. Tingkat kemantapan jalan naik menjadi 93,22% pada 2018 dan mencapai puncaknya di 95,12% pada 2019.1 Dalam tiga tahun, model longsegment berhasil mendongkrak kualitas jalan hampir tujuh poin persentase, sebuah pencapaian yang jauh melampaui apa yang bisa diraih model konvensional.

Namun, cerita yang paling mengejutkan terungkap ketika kita membandingkan pencapaian ini dengan biayanya. Sekilas, anggaran di era longsegment terlihat terus naik, dari sekitar Rp 31,7 miliar pada 2017 menjadi Rp 33,7 miliar pada 2019.1 Akan tetapi, data mengungkap sebuah efisiensi tersembunyi yang luar biasa. Lompatan kualitas terbesar dalam sejarah enam tahun studi ini—dari 88,41% ke 92,56%, atau peningkatan sebesar 4,15 poin persentase—terjadi pada tahun 2017 dengan kenaikan anggaran yang sangat minimal, hanya sekitar 1,5% dari biaya tahun sebelumnya.

Ini adalah bukti nyata dari konsep value for money. Model longsegment tidak hanya terbukti mampu menghasilkan jalan yang jauh lebih baik, tetapi juga mampu memaksimalkan setiap rupiah yang dibelanjakan. Dengan sedikit tambahan investasi, hasil yang didapat oleh publik ternyata bisa berlipat ganda.

 

Di Balik Angka: Mengapa Model Longsegment Begitu Unggul?

Keberhasilan dramatis di Surakarta dan Sragen tentu memunculkan pertanyaan penting: mengapa model longsegment bisa begitu efektif? Analisis mendalam terhadap mekanisme kontrak ini mengungkapkan beberapa pilar fundamental yang menjadi kunci keunggulannya.

  • Fokus pada Hasil, Bukan Proses: Pilar utama keberhasilan longsegment adalah pergeseran fokus dari penyelesaian daftar pekerjaan menjadi pemenuhan tingkat layanan secara berkelanjutan. Kontraktor tidak lagi dinilai dari berapa kilometer jalan yang mereka aspal, tetapi dari seberapa baik mereka menjaga kondisi jalan tersebut sepanjang tahun. Tesis ini menemukan hubungan statistik yang sangat kuat antara biaya pelaksanaan dan nilai kemantapan jalan (), yang mengindikasikan bahwa investasi yang dikelola dengan baik di bawah skema berbasis kinerja ini akan langsung berbuah hasil yang terukur dan dapat diandalkan.1
  • Penanganan Terpadu dan Holistik: Dengan mengelola segmen jalan yang panjang dan tanpa putus, kontraktor dapat merencanakan pekerjaan secara lebih strategis dan efisien. Tidak ada lagi "area abu-abu" di antara proyek-proyek kecil yang terfragmentasi, di mana kerusakan sering kali terabaikan. Pendekatan holistik ini memastikan kondisi jalan yang seragam dan mantap di sepanjang koridor, sesuai dengan tujuan utama dari skema longsegment.3
  • Mendorong Budaya Pemeliharaan Preventif: Ini adalah perubahan budaya yang paling transformatif. Karena kontraktor akan merugi jika harus melakukan perbaikan besar akibat kerusakan yang meluas, mereka termotivasi secara finansial untuk mengatasi masalah kecil sebelum menjadi besar. Lubang kecil segera ditambal, saluran drainase yang tersumbat segera dibersihkan, dan bahu jalan yang terkikis segera diperbaiki. Ini adalah pergeseran krusial dari budaya "memperbaiki" yang reaktif menjadi budaya "merawat" yang proaktif.5
  • Akuntabilitas yang Jelas dan Terpusat: Di bawah model konvensional yang terfragmentasi, sering kali sulit untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan di titik tertentu. Dengan skema longsegment, hanya ada satu entitas—satu "manajer ruas"—yang bertanggung jawab penuh atas kondisi keseluruhan segmen jalan tersebut. Ini menyederhanakan proses pengawasan bagi pemerintah dan menghilangkan kemungkinan saling lempar tanggung jawab yang kerap menghambat penanganan masalah.

 

Catatan Kritis: Apakah Ini Peluru Perak untuk Infrastruktur Indonesia?

Meskipun hasil dari studi kasus Surakarta-Sragen sangat menjanjikan, penting untuk melihatnya dengan kacamata yang kritis dan realistis. Kontrak longsegment bukanlah sebuah peluru perak yang secara otomatis akan menyelesaikan semua masalah infrastruktur jalan di Indonesia.

Pertama, penelitian ini sendiri mengakui beberapa keterbatasan penting. Studi ini hanya berlokasi di Surakarta dan Sragen, dua wilayah di Pulau Jawa dengan akses logistik yang relatif mudah dan kondisi lalu lintas yang dapat diprediksi.1 Ini memunculkan pertanyaan valid: apakah keberhasilan serupa dapat direplikasi dengan mudah di wilayah dengan tantangan geografis yang lebih ekstrem, seperti di daerah pegunungan Papua atau kepulauan di Maluku?

Kedua, ada sebuah blind spot yang signifikan dalam analisis ini. Data mengenai pemeliharaan jembatan, yang merupakan komponen kritis dalam setiap koridor jalan, tidak dapat diikutsertakan karena sifat kerahasiaan dokumennya.1 Kinerja pemeliharaan jalan yang sangat baik bisa menjadi kurang optimal jika tidak diimbangi dengan keandalan jembatan di sepanjang ruas yang sama.

Lebih jauh lagi, keberhasilan implementasi longsegment sangat bergantung pada faktor manusia. Sebuah studi kasus lain di lokasi berbeda justru menemukan bahwa kontrak tradisional berkinerja lebih baik, dengan hipotesis penyebabnya adalah "kurangnya pemahaman para pihak yang terlibat dalam kontrak longsegment terhadap prinsip-prinsip pemenuhan kinerja layanan jalan".2 Ini adalah pengingat penting bahwa secanggih apa pun sebuah model kontrak, ia hanyalah alat. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh kesiapan, kapasitas, dan pemahaman mendalam dari semua pihak yang terlibat—mulai dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di pemerintahan hingga tim kontraktor di lapangan. Tanpa adanya perubahan budaya kerja dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, formula yang sukses di satu tempat bisa saja gagal di tempat lain.

 

Dampak Nyata: Jalan Mulus untuk Ekonomi yang Mulus

Terlepas dari tantangan implementasinya, penelitian di Surakarta dan Sragen telah memberikan bukti yang sangat kuat dan meyakinkan: jika diterapkan dengan benar, kontrak longsegment secara signifikan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan serta mempertahankan kualitas jalan nasional. Temuan ini memiliki implikasi yang sangat luas, jauh melampaui sekadar permukaan aspal yang lebih rata.

Bagi pengguna jalan sehari-hari, jalan yang lebih mulus dan andal berarti biaya perawatan kendaraan—terutama untuk ban dan suspensi—yang lebih rendah. Waktu tempuh menjadi lebih singkat dan dapat diprediksi, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan mengurangi stres. Yang terpenting, ini berarti peningkatan kenyamanan dan keselamatan bagi jutaan pengendara.

Bagi perekonomian nasional, dampaknya bahkan lebih besar. Kelancaran logistik adalah tulang punggung dari ekonomi yang sehat. Jalan yang andal dan bebas hambatan akan mengurangi biaya transportasi barang secara signifikan. Efisiensi ini akan merambat ke seluruh rantai pasok, yang pada akhirnya berpotensi menekan harga-harga kebutuhan pokok dan meningkatkan daya saing produk-produk lokal di pasar yang lebih luas.

Jika model yang terbukti berhasil di jantung Jawa ini dapat diadopsi dan diimplementasikan dengan benar di seluruh penjuru negeri, Indonesia berpotensi memasuki era baru dalam preservasi aset nasional. Fokusnya bukan lagi sekadar membangun jalan baru, tetapi tentang memastikan setiap kilometer jalan yang ada memberikan layanan maksimal bagi publik secara berkelanjutan. Jika diterapkan secara masif, dalam lima tahun ke depan model ini bisa secara signifikan mengurangi biaya logistik nasional dan menghemat miliaran rupiah dari kantong masyarakat melalui pengurangan biaya operasional kendaraan.

 

Sumber Artikel:

Widyanitya, A. (2022). Efektifitas sistem pemeliharaan jalan dalam metode kontrak longsegment (Studi kasus: Preservasi jalan nasional di Surakarta dan Sragen). UNS Institutional Repository.