Latar Belakang Teoretis
Penelitian mengenai Bemina Park berlandaskan pemahaman bahwa ruang hijau perkotaan bukan sekadar fasilitas rekreasi, tetapi komponen penting dalam kesehatan ekologi, identitas sosial, dan ketahanan urban. Di bawah inisiatif Clean Srinagar Green Srinagar, Smart City Mission mengusung gagasan bahwa kota yang berkelanjutan harus memperluas cakupan ruang terbuka dan menghubungkannya melalui koridor hijau yang bersifat kontinuitas fisik maupun ekologis.
Secara teoretis, proyek ini berangkat dari dua premis besar:
1. Green Corridor sebagai Infrastruktur Perkotaan
Ruang terbuka yang terhubung sepanjang jaringan arteri kota bertindak sebagai:
-
penyerap polusi udara dan kebisingan,
-
penyedia habitat hayati,
-
penopang non-motorized mobility,
-
dan ruang interaksi sosial lintas-demografi.
Konsep ini menempatkan taman bukan sebagai entitas terisolasi, tetapi sebagai unit dalam jaringan ekologis yang lebih besar.
2. Ruang Publik sebagai Penyeimbang Ketimpangan Akses
Daerah Bemina selama beberapa dekade tumbuh sebagai kawasan relokasi warga dari pusat kota. Akibatnya, banyak permukiman di sekitarnya tidak memiliki ruang hijau privat atau fasilitas rekreasi. Penelitian ini mengasumsikan bahwa ruang publik yang dirancang baik mampu:
-
mengurangi ketimpangan akses rekreasi,
-
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui aktivitas fisik,
-
serta memperkuat kohesi sosial dalam komunitas urban.
Dengan demikian, dasar teoritis proyek Bemina Park melampaui estetika dan mencakup fungsi ekologis, kesehatan masyarakat, dan perbaikan struktur sosial kota.
Metodologi dan Kebaruan
Metodologi studi ini bersifat kualitatif-deskriptif dengan penekanan pada observasi lapangan, dokumentasi visual, wawancara infomal dengan warga sekitar, serta peninjauan peta dan kronologi perkembangan kawasan.
Kebaruan Studi
Beberapa elemen pembeda penelitian ini antara lain:
-
Pendekatan makro–mikro secara simultan
Tim peneliti tidak hanya mengkaji taman sebagai proyek mandiri, tetapi sebagai bagian awal dari green belt sepanjang ±8 km di koridor National Highway. Pendekatan multi-skala ini jarang digunakan dalam studi ruang publik di wilayah perkotaan Kashmir. -
Analisis transformasi ekologis lahan gambut yang terdegradasi
Sebelum intervensi, lahan Bemina merupakan area marshland sisa dari proses urbanisasi cepat dan penjualan tanah pada 1990-an. Studi ini memetakan transisi ekologis dari rawa, menjadi area parkir liar dan tempat pembuangan sampah, lalu menjadi taman publik terpadu. -
Penekanan pada penerimaan sosial dan rasa kepemilikan warga
Survei informal menunjukkan bahwa warga di sekitar taman mengembangkan rasa memiliki yang kuat, bahkan melakukan penjagaan sukarela untuk mengurangi vandalisme. Aspek ini menjadi temuan sosial yang penting dan jarang dibahas dalam studi serupa. -
Evaluasi risiko tata kelola dan keberlanjutan pasca pembangunan
Tidak banyak proyek Smart City yang secara eksplisit menganalisis risiko kegagalan perawatan seperti yang dilakukan studi ini—terutama potensi eskalasi masalah menjadi isu keamanan di area strategis seperti National Highway.
Dengan demikian, kebaruan penelitian ini terletak pada integrasi analisis ekologi, sosial, dan tata kelola dalam konteks ruang publik perkotaan yang sedang mengalami regenerasi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
1. Transformasi Lahan dan Signifikansi Ekologis
Analisis dokumen dan observasi lapangan menunjukkan bahwa Bemina Park muncul dari kebutuhan untuk memulihkan lahan gambut yang semakin menyusut akibat pembangunan tidak terencana. Maraknya pembuangan sampah, parkir liar, dan limpasan air membuat area ini kehilangan fungsi ekologisnya.
Intervensi Smart City mengubah kondisi ini secara drastis melalui:
-
pembentukan lawn hijau luas,
-
jalur pedestrian internal,
-
zona rekreasi aktif (seperti open gym),
-
instalasi permainan anak,
-
dan elemen peneduh.
Secara ekologis, taman ini berfungsi sebagai buffer yang memisahkan permukiman dari polusi visual, kebisingan, dan beban kendaraan berkecepatan tinggi di National Highway.
2. Fungsi Sosial dan Respons Komunitas
Penelitian menunjukkan bahwa taman ini kini menjadi:
-
titik istirahat bagi pengunjung dari luar kota,
-
ruang bermain anak-anak,
-
area olahraga bagi perempuan, yang jumlah penggunanya dilaporkan meningkat signifikan,
-
ruang berkumpul informal bagi berbagai kelompok usia.
Salah satu temuan menarik adalah munculnya sense of ownership di kalangan warga. Mereka menganggap ruang ini sebagai aset bersama yang harus dijaga karena dibangun dengan uang publik. Kesadaran ini terbukti ketika warga secara sukarela mencegah tindakan pengrusakan fasilitas taman.
3. Tantangan Pengelolaan dan Perawatan
Meski pembangunan fasilitas berjalan baik, masalah terbesar justru terletak pada pasca konstruksi, terutama:
-
Tidak adanya respons cepat dari kontraktor pemeliharaan.
-
Risiko cepatnya degradasi fasilitas akibat cuaca, penggunaan intensif, dan lokasi yang sangat terbuka.
-
Kekhawatiran warga sekitar untuk memanfaatkan taman pada jam tertentu karena potensi kerumunan yang tidak terkendali.
-
Risiko meningkatnya persoalan keamanan di koridor strategis apabila taman tidak dirawat.
Temuan ini menjadi catatan penting: keberhasilan fisik tidak menjamin keberlanjutan sosial dan operasional.
4. Integrasi dengan Green Belt Kota
Studi menegaskan bahwa Bemina Park bukan tujuan akhir, tetapi awal dari serangkaian ruang hijau sepanjang ±8 km di National Highway. Integrasi ini—jika terealisasi—akan menciptakan jaringan ruang publik yang:
-
menambah ruang terbuka kota yang saat ini terbatas,
-
meningkatkan kualitas udara daerah padat,
-
dan memungkinkan pergerakan pejalan kaki secara lebih aman dan berkelanjutan.
Konsep ini memiliki potensi untuk menjadi model regenerasi koridor jalan nasional di kota-kota India lainnya.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun studi ini cukup komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan metodologis dan asumtif yang perlu dikritisi:
1. Tidak Dilakukannya Survei Kuantitatif Terukur
Temuan mengenai preferensi pengguna, frekuensi kunjungan, dan persepsi keamanan bersifat naratif. Tanpa data kuantitatif, sulit memastikan signifikansi statistik atau pola penggunaan yang lebih presisi.
2. Ketergantungan pada Narasi Pemerintah
Sebagian besar data berasal dari dokumen Smart City Mission. Tanpa triangulasi independen, potensi bias institusional tetap terbuka—misalnya terkait pencapaian ekologis atau estimasi keberlanjutan jangka panjang.
3. Minimnya Pembahasan tentang Dampak Ekologi Makro
Studi menyebutkan bahwa taman berfungsi sebagai penyangga ekologis, namun tidak memaparkan:
-
perubahan tingkat infiltrasi tanah,
-
peningkatan biodiversitas,
-
atau pengaruh nyata pada microclimate.
Padahal, klaim ekologis membutuhkan pembuktian empiris.
4. Tidak Ada Analisis Keuangan Jangka Panjang
Biaya pembangunan disebutkan (3.6 crore), namun tidak ada perhitungan mengenai:
-
biaya pemeliharaan tahunan,
-
model pendanaan keberlanjutan,
-
atau skenario kegagalan pemeliharaan.
Aspek ini krusial untuk ruang publik di wilayah dengan cuaca ekstrem dan kepadatan tinggi.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Studi ini menghadirkan sejumlah implikasi bagi penelitian dan perencanaan kota:
1. Ruang Publik sebagai Mekanisme Regenerasi Koridor Transportasi
Model Bemina menunjukkan bahwa ruang hijau dapat menjadi instrumen strategis dalam memperbaiki citra koridor jalan nasional yang sebelumnya didominasi fungsi transportasi semata. Studi lanjutan dapat mengembangkan model efektivitas—baik sosial, ekologis, maupun ekonomi—dari strategi ini.
2. Perlunya Model Tata Kelola Kolaboratif
Kesuksesan fisik proyek terbentur persoalan pemeliharaan. Pendekatan baru kemungkinan mencakup:
-
community stewardship,
-
kemitraan publik–privat,
-
atau co-management agreements antara pemerintah dan warga.
3. Basis Data Ekologi dan Sosial Pasca Intervensi
Penelitian masa depan perlu menggunakan:
-
pengukuran kualitas udara,
-
studi temperatur permukaan,
-
survei statistik pengguna,
untuk menguji efektivitas taman dalam konteks perubahan iklim dan urbanisasi cepat.
4. Replicability dan Adaptasi
Temuan bahwa taman dapat berfungsi sebagai penyangga polusi dan ruang sosial membuatnya relevan untuk kota-kota India lainnya yang menghadapi tekanan serupa. Namun, adaptasi harus mempertimbangkan karakteristik lahan, pola mobilitas, dan struktur sosial yang berbeda.
Refleksi Penutup
Studi Bemina Park menawarkan gambaran meyakinkan tentang bagaimana intervensi ruang publik yang dirancang dengan kesadaran ekologis dan sosial dapat memperbaiki kualitas hidup kota yang menghadapi tekanan urbanisasi. Namun, penelitian ini juga menegaskan bahwa pembangunan fisik hanyalah langkah pertama: keberhasilan jangka panjang baru dapat dicapai melalui tata kelola perawatan yang efektif, partisipasi komunitas, dan integrasi dalam visi jangka panjang kota.
Dalam konteks perkembangan terbaru urbanisme berkelanjutan—di mana kota berusaha menyeimbangkan kebutuhan mobilitas, ruang hijau, dan ketahanan iklim—Bemina Park dapat menjadi model penting, sekaligus peringatan bahwa keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh desain, tetapi oleh kemampuan sistem kota memelihara keindahan dan fungsi ruang publik yang telah diciptakan.
Sumber
Studi Kasus C19: Public Space at Bemina Park, Srinagar. (2023). Dalam SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 118–119). National Institute of Urban Affairs (NIUA).