Denyut Nadi Ekonomi Malang yang Terancam Retak
Di bawah langit Kabupaten Malang, terbentang sebuah jalur aspal yang lebih dari sekadar jalan. Jalan Raya Gondanglegi-Turen adalah arteri vital yang memompa kehidupan ekonomi bagi tiga kecamatan sekaligus: Gondanglegi, Turen, dan Dampit. Setiap hari, deru mesin truk-truk besar pengangkut pasir, koral, dan batu—material esensial bagi pembangunan regional—berbaur dengan hiruk pikuk ribuan warga yang mengandalkan jalur ini untuk bekerja, bersekolah, dan berdagang. Jalan nasional sepanjang 6,9 kilometer ini, dengan statusnya sebagai jalan kolektor, sejatinya adalah tulang punggung yang menopang stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi kawasan.1
Namun, di balik perannya yang krusial, denyut nadi ini mulai terasa melemah. Keluhan para pengguna jalan tentang lubang, retakan, dan permukaan yang tidak nyaman bukan lagi sekadar desas-desus, melainkan sebuah realitas pahit yang mengancam keselamatan dan kelancaran distribusi barang dan jasa. Kerusakan yang dibiarkan berlarut-larut tidak hanya berpotensi menimbulkan kecelakaan, tetapi juga secara perlahan menggerogoti efisiensi ekonomi, layaknya penyakit kronis yang menyerang organ vital.1
Menghadapi situasi ini, tim peneliti dari Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Malang turun tangan. Mereka tidak datang sebagai penambal jalan biasa, melainkan sebagai sebuah "tim dokter spesialis infrastruktur" dengan misi yang jelas. Tujuan mereka bukan hanya untuk menghitung jumlah lubang di permukaan, tetapi untuk melakukan diagnosis komprehensif terhadap "kesehatan" jalan tersebut. Mereka berupaya mengungkap kategori kerusakan secara detail, merumuskan bentuk penanganan yang paling efektif, menentukan metode perbaikan yang presisi, dan yang terpenting, menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang akurat untuk proses "penyembuhan".1 Penelitian ini menjadi sebuah upaya untuk mengubah keluhan menjadi data, dan data menjadi solusi nyata.
Membaca "DNA" Kerusakan: Bagaimana Peneliti Mendiagnosis Kondisi Aspal?
Untuk memahami kondisi sebuah jalan secara menyeluruh, para peneliti tidak bisa hanya mengandalkan pandangan mata. Mereka memerlukan alat diagnosis canggih dan prosedur standar yang teruji, layaknya seorang dokter yang memeriksa pasien. Dalam studi ini, tim mengadopsi pendekatan dua lapis yang diamanatkan oleh standar nasional, memastikan tidak ada "gejala" sekecil apa pun yang terlewat.
Metodologi pertama yang digunakan adalah Surface Distress Index (SDI), sebuah metode yang diatur oleh Bina Marga. Ini dapat dianalogikan sebagai proses "pemeriksaan fisik" menyeluruh pada permukaan jalan. Para peneliti secara teliti menyisir setiap segmen jalan sepanjang 100 meter untuk menginspeksi gejala-gejala kerusakan visual. Mereka mengukur luas dan lebar retakan, mirip seperti dokter memeriksa tingkat keparahan luka pada kulit. Mereka menghitung jumlah lubang yang ada, layaknya mengidentifikasi borok yang bisa menjadi sumber infeksi. Terakhir, mereka mengukur kedalaman bekas roda (rutting), sebuah deformasi yang mirip dengan pembengkakan pada jaringan tubuh, yang menandakan adanya tekanan berlebih dan kelemahan struktural.1 Metode SDI memberikan gambaran detail tentang kondisi visual dan "estetika" kesehatan jalan.
Namun, penampilan luar bisa menipu. Sebuah jalan yang terlihat retak mungkin masih terasa nyaman dilalui, dan sebaliknya. Untuk itu, para peneliti menggunakan alat diagnosis kedua yang lebih berfokus pada fungsi dan performa: International Roughness Index (IRI). Jika SDI adalah pemeriksaan fisik, maka IRI adalah "tes elektrokardiogram (EKG)" untuk jalan. Metode ini tidak peduli dengan penampilan, melainkan mengukur tingkat ketidakrataan atau "kenyamanan" permukaan jalan saat dilewati kendaraan. Dengan menggunakan teknologi modern berupa aplikasi Roadroid pada ponsel pintar, peneliti dapat mengukur getaran dan guncangan secara presisi, menghasilkan skor IRI yang objektif.1 Semakin rendah nilai IRI, semakin mulus dan sehat "irama jantung" jalan tersebut.
Kombinasi kedua metode inilah yang menjadi kekuatan utama penelitian ini. Menggunakan SDI saja hanya akan mengungkap kerusakan di permukaan. Sebaliknya, mengandalkan IRI saja hanya akan memberi tahu kita tentang kenyamanan berkendara, yang bisa memberikan rasa aman palsu. Dengan menggabungkan keduanya, peneliti mampu melakukan diagnosis silang. Mereka dapat mengidentifikasi segmen jalan di mana permukaannya terasa sangat mulus (IRI baik), tetapi secara visual sudah dipenuhi retakan-retakan halus (SDI sedang). Ini adalah temuan krusial yang mengungkap adanya kerusakan laten—penyakit yang gejalanya belum sepenuhnya muncul namun sudah menggerogoti struktur dari dalam. Pendekatan ganda ini memungkinkan para "dokter jalan" untuk melihat melampaui gejala yang tampak dan memahami akar permasalahan yang sebenarnya.
Temuan Mengejutkan di Setiap Kilometer: Rapor Kesehatan Jalan yang Sebenarnya
Setelah proses diagnosis yang mendalam, hasil "laboratorium" dari Jalan Raya Gondanglegi-Turen pun keluar, dan hasilnya menyajikan sebuah paradoks yang mengejutkan. Di satu sisi, ada kabar baik: dari total panjang jalan yang disurvei, tidak ditemukan satu meter pun yang masuk dalam kategori "rusak berat" atau "sangat buruk" (0%).1 Ini menandakan bahwa jalan tersebut belum mencapai titik kehancuran total.
Namun, kabar baik itu segera dibayangi oleh temuan yang jauh lebih mengkhawatirkan dan menjadi inti dari permasalahan. Analisis menunjukkan bahwa mayoritas besar jalan, atau sekitar 64%, berada dalam kondisi "sedang". Ditambah dengan 22% yang berada dalam kondisi "rusak ringan", maka total 86% dari panjang jalan ini berada dalam status waspada. Hanya 14% sisanya yang benar-benar bisa dikategorikan dalam kondisi "baik".1
Bayangkan jalan ini sebagai sebuah baterai raksasa yang menggerakkan roda perekonomian lokal. Penelitian ini menemukan bahwa 86% dari kapasitas baterai tersebut tidak lagi terisi penuh. Ia masih berfungsi, tetapi dayanya terus menurun dan berisiko padam mendadak jika tidak segera mendapatkan penanganan. Angka ini melukiskan gambaran sebuah infrastruktur yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah beban lalu lintas yang tinggi, terutama dari kendaraan berat pengangkut material.1
Anomali paling signifikan muncul ketika data kerusakan visual (SDI) disandingkan dengan data kenyamanan berkendara (IRI). Data IRI menunjukkan hasil yang sangat kontras: sebanyak 73% permukaan jalan ternyata memiliki tingkat kerataan "sangat baik", dan 26% lainnya masuk kategori "baik-cukup".1 Bagi pengguna jalan biasa yang hanya merasakan getaran di dalam kendaraan, jalan ini mungkin terasa mulus dan aman. Mereka merasakan data IRI. Namun, para peneliti, dengan "kaca pembesar" metode SDI, melihat apa yang tidak dirasakan oleh para pengendara: retakan yang mulai menjalar, lubang-lubang kecil yang siap membesar, dan deformasi dini akibat beban kendaraan.
Kontradiksi inilah yang mengungkap bahaya tersembunyi. Kerusakan yang terjadi bersifat laten; ia sudah menyebar luas di permukaan, tetapi belum cukup parah untuk berkembang menjadi lubang-lubang besar yang mengganggu kenyamanan secara signifikan. Kondisi ini menciptakan ilusi keamanan. Pengguna jalan dan mungkin juga para pembuat kebijakan bisa jadi merasa bahwa kondisi jalan masih "baik-baik saja" karena masih nyaman dilalui. Padahal, di bawah permukaan aspal yang terasa mulus itu, kerusakan struktural sedang menyebar secara diam-diam, menunggu waktu yang tepat—seperti musim hujan atau lonjakan volume kendaraan—untuk muncul sebagai kerusakan parah yang tiba-tiba. Penelitian ini, pada dasarnya, membunyikan alarm peringatan dini terhadap sebuah "bom waktu" infrastruktur.
- Status Waspada: Hampir dua pertiga (64%) dari total panjang jalan berada dalam kondisi "sedang"—sebuah zona abu-abu antara kondisi baik dan rusak total, yang memerlukan perhatian segera.
- Ancaman Tak Terlihat: Meskipun 73% jalan terasa sangat mulus saat dilewati, kerusakan berupa retakan dan lubang kecil telah menyebar di sebagian besar ruas jalan, menandakan adanya degradasi struktural yang sedang berlangsung.
- Jendela Peluang Emas: Angka 0% untuk kategori "rusak berat" adalah sinyal krusial. Ini berarti kesempatan untuk melakukan intervensi preventif dengan biaya yang jauh lebih rendah masih terbuka lebar, sebelum kerusakan menjadi katastropik dan membutuhkan rekonstruksi total yang memakan biaya berkali-kali lipat.
Bukan Sekadar Tambal Sulam: Resep Perbaikan Senilai Rp773 Juta
Berdasarkan diagnosis yang komprehensif, para peneliti tidak hanya berhenti pada identifikasi masalah. Mereka merumuskan sebuah "resep" perbaikan yang terukur, strategis, dan efisien, dengan total anggaran mencapai Rp773.000.000. Solusi yang ditawarkan bukanlah pendekatan "satu untuk semua", melainkan strategi ganda yang disesuaikan dengan tingkat keparahan "penyakit" di setiap segmen jalan.
Strategi pertama adalah Pemeliharaan Rutin, yang direkomendasikan untuk 78% dari total area jalan yang mengalami kerusakan.1 Pendekatan ini dapat diibaratkan sebagai tindakan "perawatan harian" atau "pemberian vitamin" untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah. Dengan anggaran sebesar Rp 564.000.000, fokus utamanya adalah tindakan preventif.1 Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa dalam kategori ini, metode perbaikan yang paling dominan adalah pekerjaan sealing (pengisian retak) yang mencakup 74% dari total tindakan. Ini seperti "menutup luka dengan plester antiseptik" untuk mencegah infeksi dan kerusakan lebih lanjut. Pekerjaan penambalan lubang (patching) yang lebih reaktif hanya mencakup 22%, sementara sisanya adalah pelapisan tipis aspal pasir (latasir).1 Komposisi ini menunjukkan sebuah strategi cerdas yang memprioritaskan pencegahan.
Strategi kedua adalah Pemeliharaan Berkala, yang ditargetkan untuk 22% sisa area jalan yang menunjukkan tingkat kerusakan lebih lanjut.1 Ini bisa dianalogikan sebagai "intervensi medis terjadwal" yang memerlukan penanganan lebih serius. Anggaran yang dialokasikan untuk tahap ini adalah Rp 209.000.000.1 Meskipun pekerjaan sealing masih menjadi mayoritas (58%), porsi pekerjaan penambalan (patching) meningkat signifikan menjadi 30%.1 Pergeseran komposisi ini mencerminkan sebuah realitas bahwa pada segmen-segmen ini, "luka" sudah mulai berkembang menjadi "infeksi" yang membutuhkan pengobatan lebih intensif, bukan sekadar pencegahan.
Alokasi anggaran yang diajukan oleh para peneliti ini sendiri merupakan sebuah cerminan dari strategi yang sangat efisien. Dana yang jauh lebih besar dialokasikan untuk pemeliharaan rutin (Rp 564 juta) dibandingkan pemeliharaan berkala (Rp 209 juta). Keputusan ini didasarkan pada temuan bahwa sebagian besar masalah (78%) masih berada pada tahap awal dan dapat diatasi dengan tindakan preventif yang biayanya per meter persegi jauh lebih murah. Dengan menginvestasikan lebih banyak dana untuk "mencegah" daripada "mengobati", total biaya perbaikan dalam jangka panjang dapat ditekan secara signifikan. Ini adalah argumen finansial yang sangat kuat bagi para pembuat kebijakan: bertindak sekarang dengan biaya terukur jauh lebih baik daripada menunggu kerusakan menjadi parah dan menghadapi biaya rekonstruksi total yang bisa membengkak. Penelitian ini tidak hanya memberikan diagnosis, tetapi juga peta jalan finansial yang paling logis dan bertanggung jawab.
Peta Jalan Menuju Aspal Mulus: Dampak Nyata dan Catatan Kritis
Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini lebih dari sekadar proposal teknis; ia adalah sebuah peta jalan menuju masa depan yang lebih aman dan efisien bagi Kabupaten Malang. Jika rekomendasi senilai total Rp773 juta ini diimplementasikan secara penuh, dampaknya akan terasa jauh melampaui sekadar aspal yang lebih mulus. Dalam waktu kurang dari lima tahun, investasi ini dapat diterjemahkan menjadi penurunan biaya operasional bagi kendaraan logistik yang melintas, yang pada gilirannya dapat menstabilkan harga komoditas lokal. Lebih penting lagi, perbaikan ini akan secara signifikan mengurangi risiko kecelakaan fatal, terutama bagi pengendara roda dua yang sangat rentan terhadap kondisi jalan yang buruk. Pada akhirnya, implementasi rekomendasi ini adalah sebuah langkah krusial untuk menjaga stabilitas denyut nadi ekonomi yang menghubungkan Gondanglegi, Turen, dan Dampit.
Kekuatan utama dari studi ini terletak pada metodologinya yang presisi dan rekomendasinya yang sangat dapat ditindaklanjuti (actionable). Penelitian ini tidak menyisakan ruang untuk spekulasi; ia memberikan data yang jelas, analisis yang tajam, dan solusi yang terukur lengkap dengan rincian anggaran. Ini adalah sebuah cetak biru yang siap dieksekusi oleh pihak berwenang yang bertanggung jawab atas pemeliharaan jalan nasional.
Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Studi ini, dengan fokusnya pada jalan nasional, secara tidak langsung menyoroti potensi adanya kesenjangan data pada infrastruktur di level yang lebih rendah. Kondisi jalan-jalan kabupaten dan desa, yang seringkali menjadi urat nadi kehidupan masyarakat pedesaan, mungkin luput dari analisis sedetail ini. Oleh karena itu, keberhasilan model penelitian ini seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk mereplikasi pendekatan serupa di wilayah yurisdiksi mereka. Penggunaan teknologi yang relatif terjangkau seperti aplikasi Roadroid menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran tidak lagi bisa menjadi alasan untuk tidak memiliki data kondisi jalan yang akurat dan terkini.
Pada akhirnya, penelitian tentang Jalan Raya Gondanglegi-Turen ini memberikan pelajaran berharga yang melampaui konteks lokal. Ia menegaskan kembali bahwa manajemen infrastruktur yang proaktif dan berbasis data bukanlah sekadar urusan teknis para insinyur. Ini adalah fondasi fundamental bagi kemajuan ekonomi, keselamatan publik, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mengabaikan retakan-retakan kecil hari ini berarti mengundang bencana infrastruktur di kemudian hari.
Sumber Artikel:
Fitri, A., Marjono, & Dhaniarti, N. (2024). Analisis Kerusakan Perkerasan Jalan dengan Metode Bina Marga pada Jalan Raya Gondanglegi-Turen Kabupaten Malang. JURNAL ONLINE SKRIPSI MANAJEMEN REKAYASA KONSTRUKSI POLINEMA, 5(2), 159-165.