Rainwater Harvesting untuk Daerah Pesisir: Solusi Cerdas Atasi Krisis Air Minum

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 07.23

pixabay.com

Air bersih menjadi kebutuhan pokok bagi semua manusia, tetapi akses terhadap air minum yang layak masih menjadi tantangan besar di daerah pesisir. Kota Bandar Lampung—seperti banyak kota pesisir lainnya—menghadapi krisis air bersih akibat intrusi air laut, pencemaran industri, dan minimnya jaringan air perpipaan.

Menariknya, hujan yang turun nyaris sepanjang tahun di kota ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, air hujan adalah sumber air alami yang melimpah dan gratis. Penelitian oleh Rahmayanti & Soewondo (2015) mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah air hujan bisa dijadikan sumber air minum yang layak di kawasan pesisir?

Tujuan dan Fokus Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas air hujan yang dipanen dari atap rumah di dua kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung: Karang Maritim dan Tanjung Raya. Penelitian ini juga membandingkan tiga jenis bahan atap rumah (genting tanah liat, asbes, dan seng) serta pengaruh waktu panen terhadap kualitas air.

Metodologi yang digunakan mencakup:

  • Pengujian laboratorium kualitas air
  • Simulasi keandalan tangki air hujan
  • Survey sosial ekonomi masyarakat
  • Pembuatan purwarupa sistem panen air hujan (PAH)

Hasil Penelitian: Fakta Lapangan yang Mengejutkan

1. Kualitas Air Hujan Dipengaruhi Waktu Panen dan Jenis Atap

Penelitian menemukan bahwa kualitas air hujan sangat bergantung pada:

  • Waktu panen: Hujan pertama lebih bersih dibanding hujan kedua karena partikel polutan belum sempat tercuci dari atap.
  • Jenis atap: Genting tanah liat adalah bahan atap terbaik karena menghasilkan air paling sedikit yang melanggar standar kualitas air minum.

Sebagai contoh:

  • Konsentrasi kadmium (Cd): meningkat dari 0,0123 mg/L pada hujan pertama menjadi 0,0204 mg/L pada hujan kedua.
  • Konsentrasi seng (Zn): mencapai 4,7669 mg/L pada atap seng—jauh melampaui batas aman 3 mg/L menurut Permenkes No. 492/2010.

Artinya, atap seng dan asbes cenderung melepas kontaminan logam berat ke dalam air panen.

2. Lokasi Perumahan vs. Lokasi Industri: Siapa Lebih Bersih?

Fakta menarik: kualitas air hujan dari lokasi industri ternyata lebih baik dibanding dari kawasan perumahan.

Mengapa bisa begitu?

Lokasi industri berada lebih dekat dengan laut dan berperan sebagai sumber penguapan. Uap terkontaminasi dari laut kemudian terbawa angin ke daerah perumahan yang berada lebih tinggi. Hasilnya, air hujan yang jatuh di perumahan mengandung konsentrasi logam berat lebih tinggi.

Sebagai contoh:

  • Konsentrasi mangan (Mn) di perumahan: 10,6256 mg/L vs. 0,8976 mg/L di industri.
  • Konsentrasi seng (Zn): 3,7031 mg/L di perumahan vs. 4,7669 mg/L di industri.

3. Tingkat Keandalan Air Hujan sebagai Sumber Minum

Melalui simulasi tangki 1 m³ dan data curah hujan 3 tahun (2007–2009), penelitian menemukan bahwa air hujan cukup reliable untuk menjadi sumber air minum, dengan catatan jumlah konsumsi air dan anggota keluarga diperhitungkan.

Keandalan (reliability) sistem dihitung sebagai persentase hari di mana tangki tidak kosong, dengan hasil:

  • 91,97% jika konsumsi air 5,4 L/orang/hari (hasil kuisioner)
  • 79,84% jika konsumsi 10 L/orang/hari (standar nasional)
  • 45,80% jika digunakan untuk keperluan lebih luas (30 L/orang/hari)

Artinya, untuk kebutuhan dasar seperti air minum, sistem PAH memiliki tingkat keandalan yang sangat tinggi.

Studi Kasus: Suara Warga Karang Maritim dan Tanjung Raya

Penelitian juga menggali persepsi masyarakat terhadap penggunaan air hujan sebagai air minum melalui survey sosial ekonomi pada 99 responden.

Hasilnya cukup mengejutkan:

  • Karang Maritim: hanya 24,07% warga bersedia menggunakan air hujan untuk minum.
  • Tanjung Raya: hanya 22,22% yang bersedia.

Alasan penolakan:

  • Lebih praktis membeli air galon atau dari pedagang keliling.
  • Kurangnya informasi tentang keamanan air hujan.
  • Anggapan bahwa PAH tidak umum dilakukan, terutama di dekat kota.

➡️ Ini menunjukkan bahwa edukasi publik menjadi kunci dalam implementasi teknologi ramah lingkungan seperti PAH.

Opini dan Analisis Tambahan

1. Air Hujan = Solusi Masa Depan Daerah Pesisir

Dalam konteks urbanisasi dan perubahan iklim, pemanenan air hujan bukan lagi opsi alternatif, tapi kebutuhan. Banyak kota pesisir menghadapi:

  • Intrusi air laut yang mencemari sumur bor
  • PDAM yang belum menjangkau daerah pinggiran
  • Kenaikan harga air kemasan

Dengan keandalan >90% untuk kebutuhan minum dasar, PAH bisa mengurangi ketergantungan pada air berbayar dan mendukung ketahanan air lokal.

2. Perbandingan dengan Studi Internasional

Beberapa studi global yang relevan:

  • Mendez et al. (2011) di Texas menunjukkan kualitas air hujan sangat dipengaruhi oleh bahan atap—temuan yang identik dengan penelitian ini.
  • Kahinda et al. (2010) di Afrika Selatan merekomendasikan PAH sebagai solusi adaptif terhadap perubahan iklim di komunitas miskin.

Dengan demikian, temuan dari Bandar Lampung memperkuat konsensus global bahwa PAH adalah teknologi tepat guna untuk wilayah tropis dan pesisir.

3. Isu yang Harus Diatasi untuk Implementasi Lebih Luas

  • Standar nasional belum mengatur desain teknis PAH untuk air minum.
  • Edukasi masyarakat masih sangat rendah.
  • Kurangnya insentif atau subsidi untuk instalasi sistem PAH di rumah.

Tanpa kebijakan pendukung, potensi PAH akan tetap tertahan di tingkat eksperimen akademik.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan Praktisi

  1. Sosialisasi publik melalui sekolah, posyandu, dan media lokal mengenai manfaat dan cara aman menggunakan air hujan.
  2. Subsidi atap genting dan tangki air bagi warga pesisir sebagai bagian dari program air bersih.
  3. Sertifikasi PAH sebagai bagian dari proyek sanitasi berbasis masyarakat.
  4. Kolaborasi PDAM dengan komunitas PAH untuk distribusi air aman.

Kesimpulan: Waktunya Mengoptimalkan Air dari Langit

Penelitian Rahmayanti & Soewondo membuktikan bahwa air hujan adalah sumber air minum yang layak dan andal, bahkan di wilayah pesisir yang padat dan dekat dengan industri. Dengan pemilihan atap yang tepat (genting), waktu panen yang benar (hindari hujan kedua), serta pengelolaan sistem penyimpanan yang sesuai, air hujan dapat memenuhi 91,97% kebutuhan minum selama musim hujan.

Namun, potensi teknis ini tidak akan berarti jika masyarakat tetap skeptis dan pemerintah tidak mendukung. Saatnya mengubah paradigma—dari hanya mengandalkan air kemasan dan sumur bor menuju ketahanan air berbasis langit.

Sumber Asli Artikel:

Rahmayanti, A. E., & Soewondo, P. (2015). Penyediaan Air Minum di Daerah Pesisir Kota Bandar Lampung Melalui Rainwater Harvesting. Jurnal Teknik Lingkungan, Volume 21 Nomor 2, Oktober 2015, Halaman 115–126.