Setiap kali saya terjebak macet di dekat proyek pembangunan jalan layang atau jalur MRT baru, ada dua hal yang terlintas di benak saya. Pertama, tentu saja, keluhan klasik, "Kapan macet ini berakhir?" Tapi setelah rasa frustrasi itu mereda, muncul kekaguman. Saya melihat derek-derek raksasa menjulang ke langit, ratusan pekerja bergerak seperti semut terkoordinasi, dan kerangka beton serta baja perlahan membentuk wujud yang akan mengubah wajah kota.
Lalu, pertanyaan yang lebih dalam muncul. Bagaimana mereka mengatur semua ini? Di tengah debu, bising, dan kompleksitas yang luar biasa, bagaimana cara mereka memastikan ribuan pekerja itu bisa pulang dengan selamat ke keluarga mereka setiap hari? Apa saja risiko tersembunyi di balik kemegahan yang sedang dibangun itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini berputar di kepala saya sampai suatu hari saya menemukan sebuah jurnal ilmiah. Judulnya, “Navigating occupational safety and health challenges in sustainable infrastructure projects” oleh Ahmad Baghdadi. Awalnya saya ragu, membayangkan bahasa akademis yang kaku dan grafik yang membosankan. Tapi rasa penasaran menang. Saya putuskan untuk membacanya, dan ternyata, paper ini bukan sekadar dokumen kering. Ia adalah sebuah peta harta karun yang mengungkap tantangan-tantangan tak terlihat dalam dunia Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3 atau OSH) di proyek-proyek raksasa.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda menelusuri peta ini bersama-sama. Kita akan membedah temuan-temuan paling mengejutkan dari paper ini, menerjemahkannya ke dalam bahasa yang kita pahami, dan yang terpenting, mencari pelajaran yang bisa kita terapkan dalam kehidupan profesional kita, entah Anda seorang manajer proyek, insinyur, atau sekadar orang yang penasaran dengan dunia di balik helm kuning dan rompi oranye.
Mengapa Membangun Jembatan Tak Sama dengan Merakit Lemari IKEA
Sebelum kita menyelam lebih dalam, ada satu hal mendasar yang perlu kita pahami, yang ditekankan berulang kali dalam paper ini: proyek infrastruktur itu berbeda. Ini bukan sekadar proyek konstruksi biasa dalam skala yang lebih besar. Bayangkan merakit lemari dari IKEA. Anda punya buku manual yang jelas, semua komponen sudah disiapkan, dan Anda bekerja di ruang tamu yang terkendali. Sekarang, bandingkan itu dengan membangun jembatan antar pulau.
Paper ini menjelaskan bahwa proyek infrastruktur—seperti jalan raya, bandara, bendungan, dan terowongan—memiliki karakteristik unik yang mengubah total lanskap risikonya.
Pertama, skala dan kompleksitasnya berada di level yang berbeda. Ini bukan hanya soal ukuran fisik, tapi juga soal kerumitan teknis dan koordinasi. Studi kasus yang dibahas dalam paper, seperti Proyek Terowongan Big Dig di Boston atau Channel Tunnel yang menghubungkan Inggris dan Prancis, adalah contoh ekstrem. Proyek-proyek ini melibatkan pekerjaan bawah tanah yang rumit, menghadapi risiko keruntuhan terowongan, tekanan air, dan membutuhkan teknik serta peralatan super khusus yang tidak akan Anda temukan di proyek pembangunan ruko.
Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah interaksi dengan publik. Proyek infrastruktur dibangun di tengah-tengah kehidupan kita. Pembangunannya mengganggu lalu lintas, memotong jalur utilitas seperti pipa gas dan air, dan secara langsung bersinggungan dengan ruang publik. Ini berarti keselamatan bukan lagi hanya soal melindungi pekerja di dalam pagar proyek, tapi juga melindungi masyarakat umum yang lalu-lalang di sekitarnya. Aspek seperti manajemen lalu lintas dan komunikasi publik menjadi elemen K3 yang vital.
Ketiga, lingkungan kerja yang ekstrem. Pekerja di proyek infrastruktur sering kali harus berhadapan dengan kondisi yang tidak bisa diprediksi: medan terjal, cuaca ekstrem, kelangkaan air, suhu tinggi, bahkan paparan elemen beracun atau radiasi. Ini bukan lagi sekadar risiko jatuh dari ketinggian, tapi pertarungan melawan alam itu sendiri.
Jadi, jika kita berpikir bahwa manajemen keselamatan di proyek infrastruktur hanyalah versi "diperbesar" dari proyek konstruksi biasa, kita salah besar. Risikonya bukan hanya berlipat ganda secara kuantitas, tapi juga berubah secara kualitas. Ini menuntut pendekatan strategis yang sama sekali baru, yang memperhitungkan kompleksitas sistemik dan interaksi dengan dunia luar.
Enam 'Dosa' Tersembunyi yang Mengintai di Setiap Proyek Raksasa
Setelah menetapkan bahwa proyek infrastruktur adalah "hewan" yang berbeda, paper ini melakukan penyelidikan mendalam untuk mengidentifikasi apa saja tantangan K3 yang paling sering muncul. Melalui tinjauan literatur yang ekstensif, penulis mengelompokkan tantangan-tantangan ini ke dalam enam kategori utama. Saya suka menyebutnya sebagai "Enam Sabotase Tersembunyi" yang mengintai di setiap proyek raksasa.
Berikut adalah keenam kategori tersebut, yang diadaptasi dari temuan penelitian :
-
🚀 Masalah dari Atas (Faktor Organisasi): Ini adalah akar dari banyak masalah lainnya. Ini bukan soal kelalaian pekerja di lapangan, melainkan soal komitmen dari para petinggi. Apakah K3 hanya jadi slogan di poster, atau benar-benar didukung dengan anggaran, sumber daya, dan—yang terpenting—perhatian serius dari manajemen puncak? Kurangnya komitmen, jadwal proyek yang terlalu ketat, dan sumber daya yang terbatas adalah biang keladinya.
-
⚖️ Aturan di Atas Kertas (Faktor Legislatif & Regulasi): Setiap negara punya peraturan K3. Pertanyaannya: apakah peraturan itu cukup kuat? Apakah ada penegakan yang tegas, atau hanya jadi macan kertas yang bisa diabaikan saat berhadapan dengan tekanan biaya dan jadwal? Peraturan yang tidak memadai dan lemahnya penegakan hukum menjadi celah besar bagi terjadinya insiden.
-
🏗️ Peralatan dan Tenaga Kerja (Faktor Sumber Daya & Infrastruktur): Apa gunanya prosedur keselamatan canggih jika mesin yang digunakan sudah tua dan sering rusak? Atau jika para pekerjanya adalah tenaga tidak terampil yang belum pernah mendapatkan pelatihan yang layak? Kelangkaan tenaga kerja kompeten dan peralatan yang tidak memadai adalah bom waktu.
-
🧠 Faktor Manusia (Human Factors): Kesalahan manusia memang bisa terjadi. Tapi paper ini menunjukkan bahwa "kesalahan" itu sering kali merupakan gejala dari masalah yang lebih besar: kurangnya pelatihan, komunikasi yang buruk antara manajer dan tim, tingkat pendidikan yang rendah, bahkan budaya di mana pekerja merasa tidak berdaya untuk menolak perintah yang tidak aman.
-
🌦️ Alam dan Lingkungan (Faktor Lingkungan & Eksternal): Terkadang, masalah datang dari luar kendali tim proyek. Cuaca buruk yang datang tiba-tiba, kondisi geografis yang sulit, atau tekanan eksternal untuk mengejar target produksi demi insentif bisa memaksa tim mengambil jalan pintas yang berbahaya.
-
📋 Prosedur yang Dilupakan (Faktor Praktik & Prosedur Keselamatan): Ini adalah garis pertahanan terakhir di lapangan. Apakah penilaian risiko dilakukan dengan sungguh-sungguh atau hanya formalitas? Apakah Alat Pelindung Diri (APD) dipakai dengan benar? Apakah ada fasilitas P3K yang memadai jika terjadi kecelakaan? Sering kali, prosedur ini ada, tapi tidak diimplementasikan dengan baik.
Melihat daftar ini, kita mulai sadar bahwa keselamatan kerja adalah sebuah ekosistem yang kompleks. Satu kegagalan kecil di satu area bisa memicu efek domino yang berujung pada bencana.
Bukan Soal Helm atau Sepatu Bot—Inilah Biang Kerok Sebenarnya
Di sinilah letak temuan paling kuat dan paling mengejutkan dari paper ini. Setelah memetakan keenam "sabotase" tadi, penulis menyimpulkan bahwa ada dua kategori yang dampaknya paling signifikan dan paling mendasar: Faktor Organisasi dan Faktor Legislatif.
Ini benar-benar mengubah cara pandang. Naluri kita mungkin akan langsung menunjuk pada "Faktor Manusia" (pekerja yang lalai) atau "Praktik Keselamatan" (tidak pakai APD) sebagai penyebab utama kecelakaan. Tapi penelitian ini berkata lain. Masalah sebenarnya tidak dimulai di lokasi proyek, melainkan di ruang rapat dewan direksi dan di gedung parlemen.
Dinding Tak Terlihat Bernama 'Budaya Perusahaan'
Faktor Organisasi adalah biang keladi nomor satu. Paper ini menjelaskan bahwa "budaya keselamatan yang lemah" bukanlah sekadar istilah kosong. Ia adalah manifestasi dari serangkaian kegagalan nyata di tingkat manajemen :
-
Manajemen puncak yang tidak sadar atau tidak peduli dengan isu keselamatan di lapangan.
-
Anggaran untuk K3 yang selalu menjadi korban pertama saat ada pemotongan biaya.
-
Jadwal proyek yang tidak realistis, yang secara implisit mendorong semua orang untuk mengambil jalan pintas.
-
Anggapan bahwa K3 adalah urusan "departemen K3" saja, bukan tanggung jawab setiap individu, dari direktur hingga pekerja harian.
Ini menciptakan sebuah rantai kausalitas kegagalan. Bayangkan skenario ini: manajemen puncak memprioritaskan kecepatan dan biaya di atas segalanya. Akibatnya, anggaran untuk pelatihan K3, perawatan alat berat, dan jumlah pengawas dipangkas. Pengawas di lapangan, karena ditekan target, mendorong pekerja untuk bekerja lebih cepat, kadang dengan mengabaikan beberapa prosedur. Akhirnya, seorang pekerja yang kurang terlatih, menggunakan alat yang kurang terawat, dan diawasi secara longgar, mengalami kecelakaan.
Siapa yang salah? Mudah sekali menunjuk jari pada pekerja tersebut. Tapi jika kita menelusuri akarnya, kecelakaan itu bukanlah sebuah "kesalahan" acak. Ia adalah hasil yang bisa diprediksi dari sebuah sistem yang dirancang—secara sadar atau tidak—oleh keputusan-keputusan di tingkat organisasi. Jadi, untuk memperbaiki keselamatan, kita harus memperbaiki manajemennya terlebih dahulu.
Peraturan yang Ada Tapi Tak Bergigi
Faktor kedua yang paling berpengaruh adalah Legislatif dan Regulasi. Masalahnya bukan hanya ketiadaan hukum, tetapi juga hukum yang ada tidak efektif. Paper ini menyoroti masalah seperti peraturan yang tidak memadai untuk risiko-risiko spesifik di proyek infrastruktur, penegakan yang lemah, dan rendahnya kesadaran di kalangan praktisi mengenai regulasi yang berlaku.
Studi kasus tragis seperti runtuhnya gedung Rana Plaza di Bangladesh atau kebakaran Grenfell Tower di London, yang disinggung dalam paper, adalah contoh nyata dari apa yang terjadi ketika regulasi bangunan dan standar keselamatan gagal secara sistemik. Peraturan mungkin ada di atas kertas, tapi tanpa penegakan yang kuat dan komitmen untuk mematuhinya, ia tidak lebih dari sekadar hiasan.
Hal yang Membuat Saya Mengernyitkan Dahi (Dan Sedikit Kritis)
Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Sambil mengapresiasi kedalaman analisis dalam paper ini, ada beberapa hal yang membuat saya berpikir lebih jauh.
Pertama, meskipun temuannya sangat kuat, paper ini pada dasarnya adalah sebuah review, yang artinya ia merangkum dan mensintesis penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, bagian rekomendasinya terasa sedikit umum dan normatif, seperti "meningkatkan komitmen manajemen" atau "memperkuat regulasi." Ini benar, tapi saya berharap ada pembahasan yang lebih dalam tentang bagaimana cara melakukannya di dunia nyata yang penuh dengan kendala.
Kedua, ada satu aspek yang menurut saya kurang dieksplorasi: faktor psikososial. Paper ini sangat fokus pada risiko-risiko fisik. Padahal, stres, kelelahan (burnout), dan tekanan mental akibat jadwal yang ketat dan lingkungan kerja yang keras juga merupakan isu keselamatan yang sangat serius. Kelelahan mental dapat menurunkan kewaspadaan dan menjadi pemicu utama kecelakaan fisik.
Terakhir, meskipun paper ini secara implisit menyentuh tantangan di negara berkembang, akan lebih bermanfaat jika ada rekomendasi yang lebih spesifik dan dapat diskalakan untuk kontraktor skala kecil dan menengah (UKM). Perusahaan-perusahaan ini sering kali tidak memiliki sumber daya seperti korporasi raksasa untuk membangun sistem K3 yang komprehensif. Bagaimana mereka bisa menerapkan prinsip-prinsip ini dengan keterbatasan yang ada?
Tiga Langkah Praktis yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini
Setelah menganalisis masalah, saatnya beralih ke solusi. Berdasarkan rekomendasi dalam paper dan interpretasi saya, ada tiga langkah praktis yang bisa kita mulai terapkan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari organisasi.
1. Investasi pada Otak, Bukan Hanya Otot (Fokus pada Kompetensi Manajemen) Temuan utama paper ini jelas: keselamatan yang baik dimulai dari manajemen yang baik. Ini berarti para pemimpin proyek harus memiliki kompetensi yang kuat, bukan hanya dalam teknis konstruksi, tapi juga dalam perencanaan, penilaian risiko, dan alokasi sumber daya. Keterampilan ini tidak bisa dipelajari sambil lalu; butuh pengetahuan yang terstruktur. Platform seperti Diklatkerja menawarkan kursus yang sangat relevan, seperti Overview of Construction Management yang mencakup perencanaan, manajemen risiko, dan pengendalian biaya, atau rangkaian kursus Manajemen Proyek mereka yang lebih luas untuk pemahaman yang komprehensif.
2. Jadikan K3 DNA Perusahaan, Bukan Sekadar Departemen Membangun budaya keselamatan sejati berarti K3 harus menjadi tanggung jawab semua orang. Ini membutuhkan pelatihan berkelanjutan dan komunikasi yang terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta di platform pelatihan, wawasan yang didapat dari praktisi lapangan sering kali jauh lebih berharga daripada teori di bangku kuliah. Dengan membekali setiap anggota tim—dari manajer hingga staf lapangan—dengan pengetahuan K3 yang relevan, kita mengubah K3 dari sekadar kewajiban menjadi nilai bersama.
3. Berkolaborasi dan Jangan Berhenti Belajar Paper ini merekomendasikan adanya kerja sama yang lebih erat antara semua pemangku kepentingan: pemerintah, kontraktor, insinyur, dan pakar keselamatan. Di tingkat individu, ini berarti kita harus mengadopsi pola pikir pembelajar seumur hidup. Dunia konstruksi dan risikonya terus berkembang, begitu pula pengetahuan kita. Aktif mencari pengetahuan baru, berbagi pengalaman, dan belajar dari kesalahan (baik kesalahan sendiri maupun orang lain) adalah kunci untuk terus meningkatkan standar keselamatan.
Kesimpulan: Mengintip di Balik Megahnya Beton dan Baja
Kembali ke pemandangan proyek konstruksi di tengah kemacetan. Setelah membedah paper ini, pandangan saya telah berubah. Saya tidak lagi hanya melihat derek dan beton. Saya melihat sebuah jaring tak terlihat yang terdiri dari budaya organisasi, keputusan anggaran, efektivitas regulasi, dan ribuan keputusan kecil manusia yang saling terkait.
Pelajaran terbesarnya adalah: risiko terbesar dalam proyek-proyek termegah kita bukanlah benda yang jatuh dari ketinggian, melainkan standar yang jatuh; bukan peralatan yang rusak, melainkan kepemimpinan yang rapuh. Keselamatan sejati tidak dibangun dengan helm dan sepatu bot saja, tetapi dengan komitmen, kompetensi, dan budaya yang ditanamkan dari puncak pimpinan hingga ke garis depan.
Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah topik yang sangat dalam. Jika Anda tertarik untuk menyelam lebih jauh dan memahami seluk-beluknya secara langsung, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.