Proyek Konstruksi Anda Sering Gagal? Riset Ini Membuktikan Masalahnya Bukan Teknis, Tapi 'Hati'

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

17 Oktober 2025, 13.52

Proyek Konstruksi Anda Sering Gagal? Riset Ini Membuktikan Masalahnya Bukan Teknis, Tapi 'Hati'.

Pertanyaan Triliunan Rupiah yang Selama Ini Salah Kita Tanyakan

Pernahkah Anda berada dalam sebuah tugas kelompok yang hasilnya berantakan? Saya pernah. Di bangku kuliah, kami ditugaskan membuat sebuah proyek akhir yang kompleks. Secara teori, semua anggota tim saya pintar. Ada si jago riset, si ahli presentasi, dan saya yang suka menulis. Materinya kami kuasai. Tapi, hasilnya? Gagal total. Presentasi tidak nyambung, laporan acak-acakan, dan nilai kami anjlok.

Apa yang salah? Bukan materinya. Masalahnya ada pada "kami". Komunikasi buruk, tidak ada rasa saling percaya, dan setiap orang merasa paling benar. Kami tidak bekerja sebagai tim; kami adalah sekumpulan individu yang kebetulan mengerjakan tugas yang sama di ruangan yang sama.

Sekarang, bayangkan skenario tugas kelompok yang gagal itu, tapi kalikan skalanya dengan satu triliun rupiah. Selamat datang di dunia industri konstruksi Indonesia.

Sebuah paper penelitian yang baru-baru ini saya baca, "Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects," melukiskan gambaran yang sangat familier, namun dalam skala yang mengerikan. Industri ini, menurut para peneliti, dilanda masalah kronis: "produktivitas rendah," "pemborosan tinggi," "kualitas yang tidak memuaskan," dan "kurangnya koordinasi antar peserta". Proyek-proyek mangkrak, biaya membengkak, dan jadwal molor bukan lagi kejutan, melainkan sebuah keniscayaan yang menyedihkan.   

Selama bertahun-tahun, kita bertanya pada pertanyaan yang salah. Kita berpikir masalahnya teknis. Mungkin metode kita kurang canggih? Materialnya kurang bagus? Atau peralatannya kurang modern? Kita sibuk mencari solusi pada beton, baja, dan software manajemen.

Namun, penelitian ini, mengutip studi-studi sebelumnya, membongkar bahwa akar masalahnya justru jauh lebih manusiawi. Penyebab utama pemborosan dan inefisiensi adalah hal-hal seperti "perubahan desain mendadak," "pengambilan keputusan yang lambat," dan "koordinasi yang buruk antar manajemen profesional". Ini semua bukan masalah teknis; ini adalah masalah interaksi manusia. Ini adalah masalah tugas kelompok yang gagal dalam skala raksasa.   

Di sinilah paper ini mengajukan sebuah pertanyaan radikal yang mengubah segalanya: Bagaimana jika masalah terbesar dalam membangun gedung pencakar langit bukanlah soal kekuatan fondasi, melainkan soal kekuatan hubungan? Dan bagaimana jika... kita bisa mengukur kekuatan hubungan itu secara ilmiah?

Ini Bukan Sekadar 'Kerja Tim'—Ini Adalah Pernikahan yang Bisa Diukur

Ketika para peneliti menyebut solusi untuk masalah ini adalah "partnering" atau kemitraan, mungkin reaksi pertama Anda adalah, "Ah, itu kan cuma istilah keren untuk kerja tim." Tapi di situlah kita keliru. "Partnering," menurut paper ini, bukanlah sekadar slogan motivasi. Ini adalah sebuah filosofi kolaborasi yang terstruktur, sebuah pendekatan sistematis yang dirancang untuk "meningkatkan nilai dan kinerja proyek" secara terukur.   

Namun, kejeniusan sesungguhnya dari penelitian ini bukanlah pada promosi konsep "partnering", melainkan pada inovasi untuk mengukurnya. Mereka memperkenalkan sebuah konsep bernama "Maturity Partnering" atau Kematangan Kemitraan. Idenya sederhana namun revolusioner: hubungan kolaboratif dalam sebuah proyek, layaknya hubungan manusia, memiliki tingkat kedalaman dan kematangan yang berbeda-beda. Dan tingkat ini bisa dipetakan.

Untuk memahaminya, bayangkan kemitraan dalam proyek sebagai sebuah hubungan romantis. Berdasarkan kerangka kerja yang mereka kembangkan, ada lima level kematangan :   

  • Level 0 (No Program / Orang Asing): Ini adalah kondisi di mana pemilik proyek dan kontraktor adalah dua entitas yang tidak saling kenal dan tidak punya tujuan bersama. Interaksi mereka murni transaksional dan penuh kecurigaan. Tidak ada kemitraan sama sekali.

  • Level 1 (Basic / Kencan Pertama): Ada interaksi, tapi sifatnya informal, tidak terstruktur, dan seringkali didasari kepentingan jangka pendek. Komunikasi terjadi seperlunya (ad hoc). Ada risiko besar salah satu pihak akan "menghilang" atau tidak kooperatif saat masalah muncul. Hubungannya rapuh dan reaktif.

  • Level 2 (Defined / Pacaran): Hubungan mulai serius. Ada "rencana tertulis" untuk kebijakan kemitraan. Ada kick-off meeting untuk membahas tujuan bersama secara mendalam. Metrik kinerja mulai dikembangkan untuk mengukur "kesehatan" hubungan ini. Sudah ada komitmen yang jelas.

  • Level 3 (Managed / Tunangan): Kemitraan sudah menjadi standar yang diterapkan di banyak proyek dalam organisasi. Prosesnya terkelola dengan baik, dari inisiasi hingga selesai. Ada dokumentasi yang komprehensif dari setiap pertemuan dan koordinasi. Kinerja organisasi secara nyata terlihat membaik.

  • Level 4 (Institutionalized / Pernikahan Solid): Ini adalah level tertinggi. Kemitraan bukan lagi sekadar strategi, tapi sudah menjadi bagian dari budaya dan nilai institusi. Hubungannya terintegrasi, terstruktur, dan ada sistem untuk perbaikan berkelanjutan. Kepercayaan sangat tinggi, risiko dibagi bersama, dan inovasi untuk meningkatkan nilai proyek terus dicari. Mereka tidak lagi melihat satu sama lain sebagai "pihak lain", melainkan sebagai satu kesatuan.

Terobosan terbesar di sini adalah mengubah sesuatu yang selama ini dianggap "lunak" dan abstrak—seperti kepercayaan, komunikasi, dan kolaborasi—menjadi sebuah metrik "keras" yang bisa dikelola. Ini seperti memberikan dasbor pada sebuah hubungan. Manajer proyek tidak lagi hanya bisa berharap timnya kompak; mereka bisa secara aktif mendiagnosis, "Saat ini, hubungan kita dengan desainer ada di Level 1. Apa yang perlu kita lakukan untuk membawanya ke Level 2 sebelum fase desain selesai?"

Ini adalah pergeseran paradigma. Model ini menyiratkan bahwa kemitraan yang hebat tidak terjadi begitu saja; ia harus dibangun secara sengaja, langkah demi langkah, dari satu level ke level berikutnya.

Bagaimana Sembilan Ahli Memecahkan Kode untuk Mengukur Kepercayaan

Jadi, bagaimana cara mengukur sesuatu yang seabstrak "kematangan kemitraan"? Di sinilah para peneliti melakukan sesuatu yang brilian. Mereka tidak mencoba merumuskannya sendiri di menara gading akademis. Sebaliknya, mereka mengumpulkan "tim Avengers" dari industri konstruksi Indonesia.

Mereka menggunakan sebuah metode riset yang disebut Metode Delphi. Bayangkan ini seperti sebuah lokakarya intelektual di mana sembilan ahli paling berpengalaman di bidangnya dikumpulkan untuk memecahkan satu masalah besar. Tim ini bukan main-main. Di dalamnya ada para CEO, Direktur Operasional, Manajer Proyek senior dengan pengalaman menangani proyek di atas 100 Miliar Rupiah, dan Profesor Manajemen Konstruksi terkemuka. Mereka adalah orang-orang yang setiap hari bergulat dengan kegagalan dan kesuksesan proyek bernilai triliunan. Kebijaksanaan mereka lahir dari pengalaman pahit di lapangan.   

Prosesnya berjalan dalam tiga babak yang ketat untuk menyaring kebijaksanaan kolektif ini menjadi alat ukur yang solid :   

  1. Babak 1 (Brainstorming): Para ahli diminta untuk mengidentifikasi semua faktor yang menurut mereka memengaruhi kedalaman kemitraan dalam sebuah proyek. Dari sini, terkumpullah 26 faktor awal.

  2. Babak 2 (Pemeringkatan): Ke-26 faktor itu kemudian dikembalikan kepada para ahli. Kali ini, mereka diminta untuk memberi peringkat pada setiap faktor: "Sangat Penting," "Penting," atau "Tidak Penting." Ini adalah proses untuk menyaring sinyal dari kebisingan.

  3. Babak 3 (Validasi Final): Faktor-faktor yang lolos dari babak kedua diuji sekali lagi. Para ahli menilai "kegunaan" praktis dari setiap faktor dalam skala 1 sampai 5. Faktor dengan skor di bawah rata-rata (2.5) dieliminasi. Hasilnya? 24 Indikator Kinerja Kunci (KPI) final yang telah teruji dan divalidasi oleh para veteran industri.

Beberapa hasil dari proses ini benar-benar membuka mata saya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor dengan skor utilitas tertinggi (5 dari 5) adalah "Tujuan dan manfaat kemitraan" dan "Menghindari konflik kepentingan". Ini membuktikan bahwa fondasi kemitraan yang paling krusial bukanlah detail kontrak atau teknis, melainkan keselarasan tujuan dan niat baik sejak awal.   

  • 🧠 Inovasinya: Faktor-faktor "lunak" seperti "Keterbukaan" (Openness) dan "Tanggung Jawab" (Responsibility) dinilai sangat berguna dengan skor 4 dari 5. Ini adalah bukti dari para praktisi bahwa perilaku dan nilai-nilai dalam tim memiliki dampak yang sama besarnya dengan jadwal dan anggaran.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak pola pikir lama. Para ahli di lapangan, melalui proses ini, secara kolektif menyatakan bahwa elemen-elemen relasional dan manusiawi adalah kunci keberhasilan proyek. Mereka tahu dari pengalaman bahwa proyek tidak gagal karena salah hitung semen, tapi karena konflik kepentingan dan komunikasi yang buntu.

Kisah Dua Proyek: Bukti Nyata yang Membuat Saya Tercengang

Teori yang bagus dan metodologi yang solid adalah satu hal. Tapi apakah semua ini benar-benar berfungsi di dunia nyata? Inilah bagian yang paling membuat saya tercengang. Para peneliti tidak berhenti pada pembuatan model; mereka mengujinya di medan pertempuran sesungguhnya.

Mereka menganalisis data dari enam proyek Design-Build (DB) yang sedang berjalan di berbagai lokasi di Indonesia, dengan nilai proyek berkisar antara 9 hingga 18,3 juta USD. Mereka kemudian memetakan tingkat kematangan kemitraan di masing-masing proyek dan membandingkannya dengan kinerja aktual proyek tersebut. Hasilnya adalah sebuah kontras yang dramatis dan tak terbantahkan.   

Mari kita lihat kisah dua kutub ekstrem dari temuan mereka.   

Kisah Proyek DB "A" & "B": Pernikahan yang Rusak

Dua proyek ini, saat dianalisis, berada pada level kemitraan "Basic" (Level 1). Deskripsi dari lapangan melukiskan gambaran yang suram: kemitraan "tidak terlihat dalam strategi yang disiapkan," "tidak ada tim yang ditunjuk sebagai PIC untuk komunikasi," dan strategi yang digunakan bersifat "ad hoc" atau serabutan. Yang paling parah, posisi antara pemilik proyek dan kontraktor utama masih "kompetitif"—mereka saling mengawasi dan saling curiga, bukan saling mendukung.

Bayangkan suasana rapat di proyek ini. Penuh ketegangan, setiap pihak berusaha melindungi kepentingannya sendiri, dan saat masalah muncul, energi dihabiskan untuk mencari siapa yang salah, bukan bagaimana cara menyelesaikannya. Komunikasi terjadi lewat email-email pasif-agresif dan memo formal. Hasil akhirnya? Tepat seperti yang bisa diduga: "kinerja proyek terlambat dari jadwal yang direncanakan dan overhead proyek juga meningkat". Kegagalan hubungan secara langsung menyebabkan kegagalan finansial dan operasional.   

Kisah Proyek DB "C" & "E": Pernikahan yang Terintegrasi

Di sisi lain spektrum, ada proyek DB "C" dan "E". Kedua proyek ini berada pada level kemitraan tertinggi, "Institutionalized" (Level 4). Di sini, suasananya sangat berbeda. "Strategi dan pemetaan kemitraan sudah ada sejak awal proyek." Bahkan subkontraktor pun dilibatkan sejak dini dan diminta untuk menerapkan strategi value-for-money terbaik dalam penawaran mereka.

Di proyek ini, rapat adalah sesi kolaborasi. Ada PIC komunikasi yang jelas, sehingga informasi mengalir lancar. Ketika masalah tak terduga muncul—dan dalam konstruksi, masalah selalu muncul—tim berkumpul dengan satu pertanyaan: "Bagaimana kita bisa menyelesaikan ini bersama?" Hasilnya? Data statistik menunjukkan kinerja proyek yang jauh lebih stabil dan sesuai harapan. Mereka berhasil karena mereka telah berinvestasi dalam membangun fondasi kepercayaan sejak hari pertama.   

Bukti ini sangat kuat. Kinerja proyek yang buruk bukanlah serangkaian insiden acak. Ia adalah gejala dari sebuah penyakit mendasar: tingkat kematangan kemitraan yang rendah. Model ini bukan hanya alat untuk mendeskripsikan sebuah kondisi, tapi juga sebuah alat prediksi. Dengan mengukur level kemitraan di awal, kita bisa meramalkan potensi keberhasilan sebuah proyek dan melakukan intervensi sebelum semuanya terlambat.

Opini Saya: Sebuah Ide Revolusioner dengan Satu Hambatan Praktis

Setelah membaca paper ini berkali-kali, saya yakin bahwa ini adalah sebuah karya yang berpotensi mengubah cara industri konstruksi—dan mungkin banyak industri lain—beroperasi. Kehebatannya terletak pada keberaniannya untuk mengambil konsep yang selama ini dianggap "mengawang-awang" dan sulit diukur, seperti kepercayaan dan kolaborasi, lalu mengubahnya menjadi sebuah kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan dapat ditingkatkan. Ini adalah jembatan yang sangat dibutuhkan antara ilmu manajemen dan realitas brutal di lapangan.

Namun, jika ada satu kritik halus yang ingin saya sampaikan, itu adalah ini: meski temuannya hebat, kerangka penilaian dengan 24 KPI-nya mungkin terasa agak terlalu akademis dan rumit untuk diimplementasikan secara langsung oleh seorang manajer proyek yang sibuk berjibaku dengan tenggat waktu dan masalah di lapangan.

Paper ini telah memberikan kita alat diagnosis yang luar biasa, sebuah "MRI" untuk kesehatan hubungan proyek. Tapi, ia belum memberikan "resep" atau "toolkit" praktis yang sederhana bagi seorang manajer untuk secara aktif memindahkan timnya dari Level 1 ke Level 2. Ada sebuah "celah implementasi" antara kerangka kerja yang brilian ini dan penerapannya dalam rapat mingguan atau komunikasi sehari-hari. Langkah selanjutnya yang ideal adalah mengembangkan panduan praktis, modul lokakarya, atau bahkan sebuah aplikasi sederhana berdasarkan KPI ini untuk membantu tim melakukan penilaian mandiri dan merencanakan langkah-langkah perbaikan kemitraan mereka.

Tiga Hal yang Bisa Anda Lakukan Besok untuk Membangun 'Pernikahan Proyek' yang Solid

Teori ini luar biasa, tapi bagaimana cara menerapkannya besok pagi di kantor Anda? Berdasarkan semangat dari temuan penelitian ini, berikut adalah tiga langkah praktis yang bisa Anda mulai, terlepas dari apa pun industri Anda:

  1. Adakan "Rapat Tujuan", Bukan Hanya "Rapat Proyek". Terinspirasi dari KPI teratas "Tujuan dan manfaat kemitraan" , dedikasikan satu sesi penuh di awal proyek hanya untuk membahas mengapa proyek ini penting bagi setiap pihak (pemilik, klien, tim internal) dan bagaimana cara ideal mereka ingin bekerja sama. Tuliskan hasilnya dalam satu halaman sebagai "Konstitusi Tim" atau "Piagam Kemitraan".   

  2. Tunjuk "PIC Komunikasi" di Setiap Tim. Berdasarkan deskripsi Level 2 yang menyebutkan pentingnya "menunjuk PIC untuk memimpin program kemitraan" , pastikan setiap kelompok pemangku kepentingan memiliki satu orang yang secara eksplisit bertanggung jawab untuk menjaga alur komunikasi tetap sehat dan terbuka. Ini mencegah miskomunikasi mahal yang sering terjadi karena asumsi "saya kira dia sudah tahu".   

  3. Jadwalkan "Pemeriksaan Kesehatan Hubungan" Bulanan. Jangan tunggu sampai ada masalah besar. Adakan pertemuan 30 menit setiap bulan yang tujuannya bukan membahas progres teknis, melainkan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: "Dalam skala 1-10, seberapa baik kolaborasi kita bulan ini?", "Apa satu hal yang berjalan sangat baik?", dan "Apa satu hal yang bisa kita perbaiki dalam cara kita bekerja sama bulan depan?". Ini adalah cara sederhana untuk menerapkan prinsip pengukuran berkelanjutan dari paper ini.

Membangun keterampilan untuk memfasilitasi rapat-rapat seperti ini membutuhkan keahlian khusus. Jika Anda ingin mendalami cara memimpin tim yang sangat kolaboratif, ada banyak sumber daya yang tersedia, seperti kursus online tentang kepemimpinan kolaboratif di Diklatkerja.

Pada akhirnya, kerangka kerja dalam penelitian ini bukan hanya tentang membangun gedung yang lebih baik; ini tentang menemukan cara kerja yang lebih manusiawi, lebih efektif, dan lebih memuaskan bagi semua pihak yang terlibat. Ini adalah pengingat bahwa proyek terbesar yang kita bangun bukanlah struktur fisik, melainkan struktur kepercayaan di antara manusia.

Jika Anda tertarik untuk menyelami data dan metodologi di baliknya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.3390/buildings14061494)