Bagian pertama dari teka-teki yang dibongkar oleh penelitian ini adalah kegagalan model emisi skala kota.1 Ketika sebuah kota ingin tahu di mana titik-titik polusi terpanasnya, mereka biasanya menggunakan apa yang disebut kerangka kerja Static Traffic Assignment (STA) atau pemodelan lalu lintas statis.1
Model STA memiliki kelemahan yang fatal: model ini mengasumsikan lalu lintas bersifat "instan" dan tidak memahami fisika dasar dari antrean kemacetan.
Bayangkan sebuah jembatan yang menjadi biang kemacetan. Model statis melihat bahwa kapasitas jembatan terlampaui dan, akibatnya, menempatkan semua polusi tambahan akibat kemacetan itu tepat di lokasi jembatan. Peta emisi kota kemudian menunjukkan jembatan tersebut sebagai zona merah pekat.
Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kemacetan tidak hanya terjadi di jembatan. Kemacetan menciptakan "perambatan antrean" (queue propagation)—antrean panjang kendaraan yang mengular ke belakang, mungkin bermil-mil jauhnya, hingga ke jalan-jalan arteri dan lingkungan perumahan.1 Kendaraan-kendaraan dalam antrean itu bergerak stop-and-go, mengerem, diam, lalu berakselerasi—sebuah siklus yang menghasilkan emisi jauh lebih tinggi daripada lalu lintas yang lancar.
Penelitian dalam Paper I dan II dari disertasi ini mengusulkan solusi: sebuah "model kuasi-dinamis".1 Model ini adalah jalan tengah yang cerdas—tidak serumit simulasi dinamis penuh, tetapi cukup canggih untuk memahami dan memetakan antrean kemacetan.
Untuk mengujinya, pendekatan baru ini diterapkan dalam dua studi kasus dunia nyata: pertama di bentangan jalan raya sepanjang 19 km di Stockholm, dan kedua di seluruh jaringan perkotaan Norrköping, Swedia.1
Hasilnya sangat mengejutkan. Model kuasi-dinamis terbukti secara signifikan "meningkatkan distribusi spatiotemporal" dari emisi.1 Di Norrköping, model ini menghasilkan "tata letak spasial emisi yang realistis," yang menunjukkan bahwa model statis lama telah salah menempatkan polusi selama ini.1 Polusi yang sebenarnya jauh lebih tinggi terdeteksi di pusat kota dan jalan lingkar—tepat di mana antrean panjang terbentuk, bukan hanya di sumber kemacetan itu sendiri.1
Implikasinya sangat besar. Jika perencana kota mengandalkan peta emisi yang salah dari model statis, mereka akan menghabiskan jutaan dolar untuk membangun penghalang kebisingan, memasang filter udara, atau melarang kendaraan di lokasi yang salah. Pendekatan kuasi-dinamis ini akhirnya memberi mereka peta yang benar.
Membaca Pikiran Jaringan: Bagaimana Data GPS Mengungkap Pola Perjalanan
Setelah memperbaiki peta polusi, tantangan berikutnya jauh lebih dalam: memahami penyebab kemacetan itu sendiri. Untuk melakukan ini, perencana perlu mengetahui permintaan lalu lintas—dari mana orang memulai perjalanan mereka (Origin) dan ke mana mereka pergi (Destination). Ini dikenal sebagai Matriks Origin-Destination (OD).
Secara historis, mendapatkan Matriks OD adalah mimpi buruk. Model lalu lintas konvensional terjebak dalam masalah "ayam-dan-telur" yang klasik, sebuah masalah ketergantungan (interdependency) yang kompleks.1
- Untuk memprediksi kemacetan (waktu tempuh pada rute), Anda perlu tahu permintaan (berapa banyak orang yang ingin menggunakan rute itu).
- Tetapi, untuk memprediksi permintaan (pilihan rute orang), Anda perlu tahu kemacetan (waktu tempuh pada rute yang bersaing).
Ini memaksa perencana masuk ke dalam "proses iteratif yang mahal secara komputasi".1 Mereka harus menebak permintaan, menjalankan simulasi untuk melihat kemacetan yang dihasilkan, membandingkan hasilnya dengan data di lapangan, menyesuaikan tebakan mereka, dan mengulangi proses itu lagi dan lagi. Proses ini tidak hanya lambat tetapi juga seringkali tidak akurat, terutama karena data lapangan (CSD) yang mereka gunakan sangat terbatas.
Di sinilah letak terobosan kedua dari disertasi ini, yang dijelaskan dalam Paper III dan Paper IV.1 Penelitian ini mengajukan pertanyaan radikal: Mengapa kita harus menebak kemacetan jika kita bisa mengamatinya secara langsung?
Paper III memperkenalkan konsep Data-Driven Network Loading (DDNL).1 Alih-alih menghitung kemacetan secara internal (endogen), DDNL menggunakan "observasi waktu tempuh" (travel-time observations) dari FCD/GPS sebagai data eksogen (data dari luar).1 Pada dasarnya, model ini melewati (bypass) seluruh proses tebak-menebak kemacetan.1 Fisika perambatan aliran (flow propagation) dalam model kini dipaksa untuk sesuai dengan realitas waktu tempuh yang diamati di jalan.1
Setelah DDNL berhasil memodelkan fisika jaringan secara akurat (berkat data GPS), Paper IV menggunakan alat canggih ini untuk memecahkan masalah yang lebih besar: estimasi Matriks OD.1
Persamaannya kini dibalik. Model tidak lagi bertanya, "Jika permintaan X, kemacetannya apa?" Sebaliknya, model bertanya, "Mengingat kita tahu kemacetan (waktu tempuh) dari data GPS adalah Y, berapakah permintaan X yang paling mungkin menyebabkan skenario ini?"
Ini adalah rekayasa-balik (reverse engineering) pola perjalanan. Hasil eksperimen berbasis simulasi menunjukkan bahwa pendekatan baru ini dapat "menghasilkan estimasi yang lebih akurat" dibandingkan dengan metode berbasis data lainnya.1
Dampaknya adalah pergeseran dari perencanaan berbasis survei ke pemantauan berbasis data. Kota tidak lagi harus bergantung pada survei rumah tangga yang mahal dan usang (seringkali 5-10 tahun) untuk menebak ke mana warganya bepergian. Dengan pendekatan DDNL/OD ini, mereka berpotensi memperbarui pemahaman mereka tentang pola mobilitas kota hampir secara real-time, hanya dengan menganalisis data GPS anonim yang sudah tersedia.
Zoom-In ke Knalpot: Rahasia di Balik 'Trajektori Kendaraan Virtual'
Metodologi sejauh ini telah memperbaiki estimasi di level kota (Makro) dan level jaringan (Meso). Namun, ada satu lapisan detail terakhir yang hilang: level Mikro, yaitu perilaku kendaraan individu.
Model emisi yang paling canggih, seperti model mikroskopis (misalnya PHEM), "sensitif terhadap dinamika kendaraan".1 Model-model ini tidak peduli dengan kecepatan rata-rata kendaraan di sebuah ruas jalan. Mereka perlu tahu kinematika spesifiknya: Kapan tepatnya kendaraan itu berakselerasi? Kapan ia mengerem? Berapa lama ia diam (idle)?.1
Di sinilah kita dapat menggunakan analogi yang jelas. Menggunakan kecepatan rata-rata untuk memprediksi emisi adalah seperti mencoba menebak tagihan listrik Anda dengan memberi tahu perusahaan listrik bahwa Anda "menggunakan listrik rata-rata 8 jam sehari". Informasi itu hampir tidak berguna.
Menggunakan kinematika adalah seperti memiliki data smart meter detik demi detik. Data itu tahu persis kapan Anda menyalakan lima pendingin udara dan oven secara bersamaan (akselerasi penuh setelah lampu hijau) dan kapan Anda hanya menyalakan satu lampu (melaju konstan di jalan tol). Lonjakan konsumsi energi (dan emisi polutan) dalam skenario akselerasi penuh jauh lebih besar.
Masalahnya, tidak ada sumber data tunggal yang memberi kita data kinematika beresolusi tinggi ini. Data FCD (GPS) terlalu "jarang"—mungkin hanya melaporkan lokasi setiap 30 detik, melewatkan semua akselerasi dan pengereman kecil di antaranya. Data CSD hanya memberi tahu kecepatan di satu titik.
Solusi yang diajukan dalam Paper V adalah yang paling inovatif: menciptakan data yang hilang tersebut.1
Paper V mengusulkan metode baru untuk "menghasilkan Virtual Vehicle Trajectories (VVT)" dengan "menggabungkan data dari berbagai sumber" (fusing data from different sources).1 VVT pada dasarnya adalah "kembaran digital" (digital twin) dari kendaraan nyata. Ini adalah produk data sintetis yang dibuat dengan cerdas.
Metode ini mengambil data FCD yang jarang (untuk mengetahui titik awal dan akhir perjalanan) dan data CSD (untuk mengetahui kondisi aliran rata-rata di antaranya), dan menggunakan teori aliran lalu lintas serta interpolasi canggih untuk mengisi kekosongan. Ia menghasilkan lintasan detik demi detik yang realistis secara fisik untuk kendaraan "virtual", lengkap dengan semua data akselerasi, pengereman, dan idling yang dibutuhkan oleh model emisi mikroskopis.1
Eksperimen membuktikan bahwa "pemodelan kinematika kendaraan yang canggih ini dapat meningkatkan akurasi emisi yang diestimasi".1 Ini adalah bagian terakhir dari toolkit ini. Ini adalah jembatan vital yang menghubungkan data besar skala jaringan (Makro/Meso) langsung ke fisika mesin individu (Mikro).
Apakah Ini Solusi Ajaib? Kritik Realistis dan Dampak Nyata
Pendekatan data-driven yang diuraikan dalam disertasi ini 1 sangat kuat, tetapi ini bukanlah solusi ajaib. Seperti yang diakui oleh penelitian itu sendiri di bagian "Delimitasi" (Keterbatasan), ada pertukaran yang signifikan.1
Pertama, seluruh kerangka kerja ini menciptakan ketergantungan baru: ia membutuhkan bahan bakar data berkualitas tinggi. Pendekatan ini ibarat mesin presisi yang membutuhkan bahan bakar jet. Jika data FCD (GPS/seluler) yang dimasukkan berkualitas buruk, tidak lengkap, atau bias (misalnya, jika data hanya melacak armada taksi dan truk pengiriman, bukan populasi umum), maka prinsip "Garbage In, Garbage Out" berlaku. Estimasi Matriks OD dan peta emisi yang dihasilkan juga akan bias.1
Kedua, validasi penelitian ini, meskipun kuat, terbatas secara geografis pada jaringan jalan di Swedia (Stockholm dan Norrköping).1 Apakah metodologi ini akan bekerja sama baiknya di kota-kota dengan perilaku mengemudi yang sangat berbeda, infrastruktur jalan yang unik, atau ketersediaan data yang berbeda, masih menjadi pertanyaan terbuka.
Meskipun demikian, dampak nyata dari toolkit metodologis ini tidak dapat diremehkan. Penelitian ini menggeser paradigma dari manajemen lalu lintas yang reaktif menjadi manajemen mobilitas yang proaktif.
Selama ini, pembuat kebijakan terjebak dalam siklus reaktif: melihat kemacetan, mengukur polusi rata-rata (seringkali dengan peta yang salah), lalu membangun infrastruktur baru (yang seringkali hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain).
Disertasi ini 1 menyediakan pipeline data yang proaktif:
- Paper IV memungkinkan perencana untuk mengidentifikasi pola permintaan (OD) yang menyebabkan masalah sebelum kemacetan parah terjadi.
- Paper I & II memungkinkan mereka memetakan secara akurat di mana polusi dari antrean tersebut akan menyebar (distribusi spatiotemporal).
- Paper V memungkinkan mereka memperkirakan secara presisi jenis polutan apa (misalnya, $NO_x$ dari akselerasi diesel vs. CO dari idling) yang akan dihasilkan oleh perilaku stop-and-go (kinematika) spesifik dalam antrean tersebut.
Jika diterapkan, temuan ini memberi pembuat kebijakan kemampuan untuk melakukan "operasi bedah" pada kemacetan.
Dalam lima tahun, alih-alih hanya membangun ventilasi yang mahal di terowongan atau pelebaran jalan yang reaktif, kota dapat menggunakan data ini untuk menerapkan "Zona Emisi Rendah yang Dinamis" yang menyala secara otomatis hanya ketika VVT (Paper V) mendeteksi pola mengemudi berakselerasi tinggi yang berbahaya. Mereka dapat menawarkan insentif real-time kepada pengemudi untuk mengubah rute permintaan OD (Paper IV) sebelum antrean polusi yang diprediksi (Paper I/II) terbentuk.
Ini adalah langkah fundamental dari sekadar mengelola infrastruktur beton ke mengelola mobilitas itu sendiri.
Kesimpulan: Mengubah Data Mentah Menjadi Udara Bersih
Disertasi oleh Nikolaos Tsanakas 1 bukan hanya satu studi akademis; ini adalah peta jalan metodologis yang lengkap. Ini memberi para perencana kota, ilmuwan lingkungan, dan pembuat kebijakan perangkat yang mereka butuhkan—dari level makro, meso, hingga mikro—untuk akhirnya memanfaatkan banjir data GPS dan seluler yang telah lama kita miliki.1
Penelitian ini menunjukkan cara mengubah titik-titik mentah di peta menjadi pemahaman mendalam tentang perilaku manusia, dan pada akhirnya, menjadi kebijakan udara bersih yang dapat ditindaklanjuti dan menyelamatkan nyawa.1
Sumber Artikel:
Data-Driven Approaches for Traffic State and Emission Estimation - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/352488909_Data-Driven_Approaches_for_Traffic_State_and_Emission_Estimation