Bayangkan ini: Anda harus menavigasi jalanan Jakarta yang padat dan terus berubah, dari Sudirman ke PIK, di jam sibuk. Tapi, satu-satunya alat bantu Anda adalah peta cetak dari tahun 2011. Tidak ada Waze, tidak ada Google Maps. Tidak ada info soal jalan layang baru, jalur MRT, atau area ganjil-genap. Anda mungkin akan sampai tujuan, tapi berapa banyak waktu, bensin, dan kesabaran yang terbuang? Kemungkinan besar, Anda akan terjebak macet, tersesat, dan kalah cepat dari siapa pun yang menggunakan teknologi terkini.
Sekarang, bayangkan skenario yang sama terjadi dalam karier Anda.
Tanpa kita sadari, banyak dari kita di dunia profesional—terutama di industri konstruksi Indonesia yang sedang melesat—sedang menavigasi masa depan dengan "peta" yang sudah usang. Dan bagi salah satu profesi paling krusial di industri ini, yaitu Quantity Surveyor (QS), peta karier mereka secara resmi tidak pernah diperbarui sejak tahun 2011.
Peta ini bernama Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Quantity Surveyor. Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor KEP.06/MEN/I/2011, dokumen inilah yang menjadi acuan resmi untuk mendefinisikan apa artinya menjadi seorang QS yang kompeten di Indonesia. Sejak saat itu, lebih dari satu dekade telah berlalu, gedung-gedung pencakar langit baru telah berdiri, teknologi konstruksi telah berevolusi, namun standar kompetensinya tetap sama.
Masalahnya, keusangan seperti ini sering kali tidak terlihat. Berbeda dengan jembatan yang retak atau bangunan yang miring, standar kompetensi yang usang tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisik. Namun, ia bisa menyebabkan kerapuhan struktural yang sama berbahayanya bagi sebuah profesi dan industri. Ia menciptakan kelemahan yang tersembunyi, erosi daya saing yang perlahan tapi pasti, sampai akhirnya kita sadar bahwa kita sudah jauh tertinggal. Sebuah paper penelitian baru-baru ini, bagaimanapun, baru saja menyalakan lampu sorot terang benderang ke arah kerapuhan ini, membuat yang tak terlihat menjadi sangat jelas.
Hantu di Dalam Mesin: Mengapa Aturan Satu Dekade Lalu Menghambat Seluruh Profesi
Untuk memahami betapa gentingnya situasi ini, kita perlu melihat konteksnya. Industri konstruksi Indonesia bukan lagi pemain kecil. Pertumbuhannya fenomenal. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan konstruksi melonjak dari 155.833 pada tahun 2018 menjadi 203.403 pada tahun 2021. Ini adalah industri yang dinamis, modern, dan bergerak cepat.
Di jantung setiap proyek konstruksi, ada seorang Quantity Surveyor. Jika arsitek adalah perancang visi dan insinyur adalah perancang struktur, maka QS adalah arsitek finansial atau penjaga biaya proyek. Peran mereka, seperti yang dijelaskan dalam penelitian oleh Hansen, Rostiyanti, dan Fajra, adalah mengevaluasi aspek ekonomi, menegosiasikan kontrak, dan memastikan semua sumber daya digunakan seefisien mungkin dari awal hingga akhir proyek. Mereka adalah urat nadi finansial yang menjaga proyek tetap sehat.
SKKNI, dalam konteks ini, berfungsi seperti sistem operasi (operating system) bagi profesi QS. Ia mendefinisikan apa saja "program" yang harus bisa dijalankan oleh seorang QS, menjadi dasar untuk program pelatihan, dan menjadi tolok ukur untuk sertifikasi. Ketika sistem operasinya usang, aplikasi-aplikasi baru tidak akan bisa berjalan.
Paper tersebut mengidentifikasi tiga dampak negatif yang nyata dari SKKNI yang tidak pernah diperbarui :
-
Tertinggal dalam perkembangan teknologi: Dunia sudah bicara soal Building Information Modelling (BIM) 5D, big data, dan drone survey, sementara standar kita mungkin masih berakar pada era kalkulator dan kertas gambar.
-
Tidak relevannya kompetensi yang dikuasai: Para QS mungkin menjadi ahli dalam bidang-bidang yang permintaannya terus menurun, sementara mereka tidak siap untuk tantangan baru seperti konstruksi berkelanjutan (sustainability) atau manajemen risiko yang kompleks.
-
Ketidakmampuan untuk bersaing secara global: Saat proyek-proyek besar semakin banyak melibatkan pemain internasional, QS Indonesia berisiko hanya menjadi penonton karena standar kompetensi mereka tidak diakui setara dengan standar global.
Kesenjangan selama lebih dari satu dekade ini telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai "utang kompetensi". Seperti utang teknis dalam pengembangan perangkat lunak, ini adalah jalan pintas yang diambil di masa lalu (dengan tidak memperbarui standar) yang kini bunganya terus menumpuk. Setiap tahun standar ini tidak diperbarui, "utang" itu semakin besar, membuat para profesional dan perusahaan QS Indonesia semakin sulit mengejar ketertinggalan dari rekan-rekan mereka di Singapura, Malaysia, atau Inggris—negara-negara yang standar kompetensinya dijadikan pembanding dalam studi ini. Ini bukan lagi sekadar "perlu diperbarui", ini adalah sebuah liabilitas strategis yang secara aktif merugikan daya saing nasional.
Pengungkapan Besar: Apa yang Ditemukan Peneliti Saat Membandingkan dengan Standar Global
Para peneliti tidak sekadar beropini. Mereka bertindak layaknya detektif forensik, melakukan investigasi mendalam untuk memetakan lanskap kompetensi QS modern. Metode yang mereka gunakan disebut desktop study dan meta-analysis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka mengumpulkan, menyaring, dan menyintesis bukti dari 13 publikasi tingkat tinggi yang paling relevan dari seluruh dunia.
Prosesnya sangat ketat. Mereka memulai dengan 544 publikasi, lalu menyaringnya berdasarkan relevansi dan aksesibilitas hingga tersisa 13 dokumen paling kredibel untuk dianalisis secara mendalam. Sumber-sumber ini bukan sembarangan; mereka adalah panduan kompetensi dari badan-badan profesi paling bergengsi di dunia, seperti:
-
Royal Institution of Chartered Surveyors (RICS) di Inggris.
-
Singapore Institute of Surveyors and Valuers (SISV) di Singapura.
-
Royal Institution of Surveyors Malaysia (RISM) di Malaysia.
-
Serta studi-studi relevan dari Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan negara lainnya.
Dengan membandingkan standar dari para pemimpin industri global ini dengan SKKNI 2011 kita, mereka menemukan sebuah kesenjangan yang mengejutkan.
Kesenjangan Kompetensi yang Mengejutkan
Inilah temuan utamanya. SKKNI QS yang berlaku saat ini mencakup 18 unit kompetensi. Namun, setelah menganalisis standar-standar global, para peneliti mengidentifikasi total 33 unit kompetensi yang dianggap esensial untuk seorang QS modern. Ini berarti ada 13 unit kompetensi krusial yang sama sekali tidak ada dalam radar standar resmi Indonesia.
-
🚀 Penemuannya: Peneliti mengidentifikasi 13 unit kompetensi tambahan yang sangat penting namun sama sekali absen dari SKKNI QS Indonesia saat ini.
-
🧠 Metodenya: Ini bukan tebakan. Mereka melakukan meta-analisis terhadap 13 laporan standar dari para pemimpin global seperti RICS (Inggris), SISV (Singapura), dan RISM (Malaysia) untuk membangun peta kompetensi QS modern.
-
💡 Pelajaran Utamanya: Bertahan dengan standar lama bukan hanya soal ketinggalan zaman; ini berarti kita secara fundamental tidak siap menghadapi masa depan industri konstruksi.
Keahlian yang Akan Mendefinisikan Dekade Berikutnya
Ke-13 kompetensi yang hilang ini bukan sekadar tambahan minor. Mereka merepresentasikan pergeseran fundamental dalam peran seorang QS—dari seorang juru hitung menjadi seorang penasihat strategis. Jika kita kelompokkan, keahlian-keahlian baru ini jatuh ke dalam beberapa tema besar:
-
Revolusi Digital: Kompetensi seperti Building Information Modelling (BIM) dan Manajemen Data kini menjadi inti. QS modern tidak lagi hanya menghitung volume dari gambar 2D; mereka mengelola model 3D yang terintegrasi dengan data biaya (4D) dan waktu (5D).
-
Imperatif Hijau: Kompetensi dalam Berkelanjutan (Sustainability) menjadi wajib. Proyek-proyek masa depan akan dinilai tidak hanya dari biaya pembangunannya, tetapi juga dari biaya siklus hidupnya (life-cycle cost) dan dampak lingkungannya. Seorang QS harus mampu memberikan nasihat tentang ekonomi bangunan hijau.
-
Penasihat Strategis: Keahlian seperti Manajemen Risiko, Penyelesaian Sengketa, dan Analisis Kelayakan Proyek menunjukkan peran QS yang semakin meluas. Mereka diharapkan bisa mengidentifikasi risiko finansial sebelum terjadi, menavigasi klaim dan sengketa kontrak yang rumit, serta memberikan analisis kelayakan investasi yang solid sejak awal.
Pergeseran dari sekadar penghitung menjadi penasihat strategis ini sangatlah signifikan. Sementara kita menunggu standar resmi untuk mengejar ketertinggalan, para profesional yang proaktif sudah mulai membangun kapabilitas ini. Fondasi dari peran penasihat ini adalah pemahaman mendalam tentang siklus hidup proyek, risiko, dan pengendalian biaya—semua elemen inti dari Manajemen Konstruksi, sebuah disiplin yang secara langsung menjawab banyak kesenjangan strategis yang diungkap oleh paper ini.
Dan di sinilah letak koneksi yang paling kuat: siapa yang lebih baik untuk belajar darinya selain para ahli yang pertama kali mengidentifikasi masalahnya? Penulis utama dari paper ini, Seng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D., bersama dengan salah satu penulisnya, Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, M.Sc., ternyata adalah instruktur untuk beberapa kursus penting terkait manajemen konstruksi di platform Diklatkerja. Ini bukan kebetulan. Ini menunjukkan sebuah ekosistem yang lengkap: para peneliti yang sama yang mendiagnosis "penyakit" dalam standar profesi kita juga merupakan praktisi yang secara aktif membangun "obatnya" melalui edukasi. Hal ini memberikan kredibilitas luar biasa, baik pada temuan penelitian maupun pada solusi pelatihan yang tersedia. Mereka tidak hanya mengkritik dari menara gading akademis; mereka turun tangan untuk membangun jembatan menuju masa depan.
Opini Saya: Diagnosis yang Cemerlang, Namun Kurang Satu Hal
Setelah membaca paper ini secara mendalam, saya harus angkat topi untuk para penelitinya. Ini adalah sebuah diagnosis yang tajam, didukung oleh data yang solid, dan disajikan sebagai panggilan mendesak bagi industri konstruksi Indonesia. Rigoritas dalam metode meta-analisis mereka patut diacungi jempol, dan kontribusi mereka dalam menyediakan bukti nyata untuk sesuatu yang selama ini hanya dirasakan sebagai firasat adalah sebuah layanan publik yang krusial bagi profesi QS.
Namun, jika ada satu kritik halus yang ingin saya sampaikan, itu adalah dari sudut pandang seorang praktisi individu yang membaca hasil penelitian ini. Paper ini dengan sangat baik menyusun rekomendasi untuk level institusional. Kesimpulannya menyerukan agar pemerintah melalui Kemenaker dan asosiasi profesi seperti Ikatan Quantity Surveyor Indonesia (IQSI) segera bertindak, misalnya dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk memetakan unit-unit kompetensi baru. Ini adalah pendekatan top-down yang benar dan perlu.
Akan tetapi, paper ini berhenti di situ. Ia tidak memberikan peta jalan yang praktis dan terprioritaskan bagi seorang QS individu yang membaca temuan ini dan bertanya, "Baik, masalahnya besar. Apa yang harus saya lakukan besok pagi?" Ke-13 kompetensi baru disajikan sebagai satu kelompok. Seorang profesional di lapangan akan bertanya-tanya: "Dari mana saya harus mulai? Mana satu atau dua keahlian yang paling krusial untuk dipelajari sekarang agar karier saya aman?" Sebuah daftar sederhana seperti "5 Keahlian Teratas untuk Dipelajari Saat Ini" akan menjadi jembatan yang sangat berharga dari temuan akademis ke tindakan profesional yang segera.
Kesenjangan antara rekomendasi institusional dan kebutuhan aksi individual ini sering terjadi dalam riset akademis. Paper ini memberitahu institusi apa yang harus mereka lakukan, tetapi apa yang harus dilakukan oleh seorang individu sementara menunggu institusi-institusi tersebut bergerak—sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun? Di sinilah kita sebagai profesional harus mengambil inisiatif.
Langkah Anda Berikutnya: Jangan Menunggu Peta Digambar Ulang
Pesan terpenting dari penelitian ini bukanlah keputusasaan, melainkan kesempatan. Ya, peta resmi kita sudah usang. Ya, perubahan institusional berjalan lambat. Tapi, pertumbuhan karier pribadi bisa berjalan secepat yang kita inginkan.
Para profesional cerdas tidak akan melihat kesenjangan kompetensi ini sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah "contekan" untuk masa depan. Ke-13 kompetensi yang hilang itu adalah daftar belanja keahlian yang akan paling dicari dan dihargai dalam beberapa tahun ke depan. Anda memiliki dua pilihan:
-
Menunggu peta resmi digambar ulang, berharap perusahaan dan pemerintah akan memberitahu Anda apa yang harus dipelajari, dan berisiko menjadi usang dalam prosesnya.
-
Mulai menjelajahi wilayah baru ini sekarang, membangun keahlian dalam BIM, keberlanjutan, dan manajemen risiko, dan memposisikan diri Anda sebagai pemimpin di generasi QS berikutnya.
Jangan gunakan temuan paper ini sebagai alasan untuk mengeluh, tapi gunakanlah sebagai senjata untuk mempercepat karier Anda. Dengan mempelajari keahlian-keahlian ini sekarang, sebelum menjadi standar wajib, Anda akan mendiferensiasikan diri, memiliki daya tawar yang lebih tinggi, dan memenuhi syarat untuk peran-peran yang lebih strategis dan bergaji lebih tinggi.
Artikel ini hanyalah awal dari percakapan. Jika ini memicu rasa ingin tahu Anda dan Anda ingin menyelami datanya sendiri, saya sangat mendorong Anda untuk menjelajahi karya para peneliti secara lebih detail.