Pergeseran Struktur Industri Indonesia: Tantangan Revitalisasi Manufaktur dan Transformasi Tenaga Kerja

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

16 Oktober 2025, 22.37

Perekonomian Indonesia sedang berada dalam masa transisi besar. Selama dua dekade terakhir, struktur industrinya mengalami pergeseran dari sektor berbasis produksi ke sektor berbasis layanan dan teknologi informasi. Pergeseran ini mencerminkan perubahan karakter pertumbuhan ekonomi nasional dari ekonomi yang bergantung pada tenaga kerja padat karya dan ekspor bahan mentah menuju ekonomi yang digerakkan oleh jasa, digitalisasi, dan aktivitas bernilai tambah non-fisik.

Dalam laporan Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029, Bappenas menyoroti bahwa informasi dan komunikasi, serta sektor keuangan dan asuransi, kini berperan signifikan dalam mendorong pertumbuhan nasional. Selain itu, sektor kesehatan dan pekerjaan sosial menunjukkan laju ekspansi tercepat, terutama setelah pandemi COVID-19 yang memperkuat kesadaran terhadap pentingnya infrastruktur kesehatan dan pelayanan publik.

Namun, di sisi lain, sektor-sektor tradisional seperti pertanian dan manufaktur yang selama ini menjadi fondasi ekonomi dan penyerap tenaga kerja terbesar yang mengalami perlambatan. Pertumbuhan lapangan kerja di kedua sektor tersebut stagnan, terutama dalam periode 2018–2022. Pola ini menggambarkan adanya migrasi besar-besaran tenaga kerja dari sektor produksi ke sektor jasa, sebuah tanda dari transformasi struktural yang semakin mendalam.

Perubahan ini membawa dua konsekuensi besar. Pertama, munculnya peluang baru di sektor-sektor jasa modern, seperti ekonomi digital, transportasi logistik, dan layanan sosial, yang membuka ruang pertumbuhan baru bagi produktivitas nasional. Kedua, adanya risiko ketidakseimbangan struktural, karena penurunan tenaga kerja di manufaktur dapat memperlemah kapasitas industri nasional untuk menghasilkan nilai tambah tinggi dan memperluas ekspor.

Kondisi ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan kinerja ekspor manufaktur yang melemah. Selama dua dekade terakhir, ekspor Indonesia didominasi oleh produk primer dan barang antara dengan nilai tambah rendah. Sementara ekspor produk berteknologi menengah dan tinggi masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi industri belum sepenuhnya diikuti oleh peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi domestik.

Selain itu, disparitas antarwilayah dalam perkembangan industri tetap mencolok. Pulau Jawa dan Sumatra masih menjadi pusat utama aktivitas ekonomi dan industri, sementara wilayah lain seperti Sulawesi dan Maluku baru mulai tumbuh melalui industri berbasis sumber daya alam. Ketimpangan ini menandakan bahwa transformasi struktural belum merata dan masih terkonsentrasi di pusat-pusat ekonomi tertentu.

Pergeseran ekonomi ini menuntut pendekatan pembangunan yang lebih adaptif dan berbasis kompetensi. Pemerintah perlu tidak hanya mendorong pertumbuhan sektor jasa, tetapi juga merevitalisasi sektor manufaktur dan memperkuat kapasitas tenaga kerja nasional agar mampu berpartisipasi dalam ekonomi yang semakin berbasis teknologi.

Dengan demikian, arah kebijakan produktivitas nasional ke depan harus memadukan tiga hal utama:

  1. Revitalisasi industri manufaktur agar mampu menciptakan nilai tambah tinggi;
  2. Diversifikasi ekspor dan peningkatan kapasitas inovasi industri; dan
  3. Peningkatan kualitas SDM dan pendidikan vokasi agar sejalan dengan kebutuhan sektor-sektor baru yang tumbuh cepat.

Artikel ini akan membahas lebih dalam bagaimana ketiga dinamika tersebut mulai dari pergeseran tenaga kerja, penurunan ekspor manufaktur bernilai tambah, dan ketimpangan wilayah industri menjadi tantangan sekaligus peluang bagi transformasi ekonomi Indonesia dalam dekade menuju Visi Indonesia Emas 2045.

 

Pergeseran Tenaga Kerja: Dari Manufaktur ke Jasa

Transformasi struktur ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir tidak hanya terlihat pada kontribusi sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga pada perubahan pola penyerapan tenaga kerja. Sektor jasa kini menjadi magnet utama bagi pertumbuhan lapangan kerja nasional, menggantikan dominasi pertanian dan manufaktur yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.

Data dari Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 menunjukkan bahwa pertanian masih menampung sebagian besar tenaga kerja Indonesia, terutama di pedesaan dan daerah luar Jawa. Namun, pertumbuhan lapangan kerja di sektor ini relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena serupa terjadi pada sektor manufaktur, di mana penciptaan lapangan kerja baru menunjukkan perlambatan yang konsisten pada periode 2018–2022.

Sebaliknya, sektor jasa seperti informasi dan komunikasi, transportasi dan pergudangan, kegiatan bisnis, serta kesehatan dan pekerjaan sosial justru mengalami pertumbuhan lapangan kerja yang pesat. Perkembangan teknologi digital, urbanisasi, dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap layanan sosial menjadi faktor utama di balik lonjakan ini.

Tren ini mengindikasikan terjadinya migrasi struktural tenaga kerja, di mana pekerja dari sektor produksi tradisional berpindah ke sektor jasa modern. Fenomena ini sering kali dianggap sebagai indikator kemajuan ekonomi, karena menunjukkan pergeseran menuju kegiatan ekonomi yang lebih berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Namun, dalam konteks Indonesia, pergeseran ini juga menimbulkan sejumlah tantangan serius.

a. Pergeseran yang Tidak Selalu Produktif

Peningkatan tenaga kerja di sektor jasa belum sepenuhnya diikuti oleh peningkatan produktivitas. Sebagian besar tenaga kerja jasa masih terserap di subsektor berproduktivitas rendah, seperti perdagangan eceran, transportasi informal, dan jasa personal. Artinya, meskipun terjadi pergeseran kuantitatif dari sektor pertanian ke jasa, peningkatan produktivitas nasional belum signifikan.

Pergeseran semacam ini sering disebut sebagai “transformasi struktural yang tidak produktif”, karena tenaga kerja berpindah dari satu sektor berproduktivitas rendah ke sektor lain yang tidak jauh lebih efisien. Kondisi ini dapat memperlambat pertumbuhan pendapatan dan memperluas kesenjangan upah antar sektor.

b. Kebutuhan Kompetensi Baru

Sektor jasa modern, seperti keuangan, teknologi informasi, logistik, dan kesehatan, menuntut keterampilan yang lebih spesifik dan kompleks. Perubahan ini menciptakan kebutuhan baru akan tenaga kerja dengan kompetensi digital, analitis, dan interpersonal yang tinggi. Namun, banyak tenaga kerja Indonesia masih belum memiliki kemampuan yang relevan dengan tuntutan sektor tersebut.

Keterbatasan dalam pendidikan vokasi dan pelatihan berbasis industri menjadi hambatan utama dalam proses adaptasi tenaga kerja. Lulusan pendidikan menengah dan tinggi sering kali tidak memiliki keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja modern, sementara pekerja di sektor tradisional tidak memiliki akses ke pelatihan ulang (reskilling) yang memadai.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan kebijakan pengembangan SDM yang responsif terhadap dinamika pasar tenaga kerja. Pemerintah perlu memperkuat sinergi antara lembaga pelatihan, dunia industri, dan lembaga pendidikan tinggi melalui pendekatan triple helix yang mendorong pembaruan kurikulum, pelatihan berbasis kompetensi, serta sertifikasi profesi yang diakui industri.

c. Implikasi terhadap Produktivitas Nasional

Migrasi tenaga kerja ke sektor jasa memiliki potensi ganda. Di satu sisi, sektor jasa mampu menciptakan lapangan kerja baru dengan cepat dan fleksibel. Namun di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan peningkatan keterampilan, pergeseran ini dapat menurunkan produktivitas agregat nasional.

Oleh karena itu, penguatan link and match antara pendidikan dan kebutuhan industri jasa menjadi prioritas utama. Lembaga diklat dan pendidikan vokasi dapat memainkan peran strategis dalam memastikan bahwa tenaga kerja yang masuk ke sektor jasa bukan hanya banyak secara jumlah, tetapi juga berkualitas dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

Dalam konteks kebijakan produktivitas nasional, keberhasilan Indonesia dalam mengelola transisi tenaga kerja ini akan menentukan arah ekonomi dalam dekade mendatang. Jika tenaga kerja dapat beradaptasi dengan sektor jasa modern, transformasi ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan ekonomi berbasis inovasi. Sebaliknya, jika tidak diikuti peningkatan kompetensi, pergeseran ini hanya akan memperlebar kesenjangan dan memperlambat pertumbuhan produktif nasional.

 

Tantangan Ekspor Manufaktur: Nilai Tambah Rendah dan Ketertinggalan Teknologi

Sektor manufaktur telah lama menjadi penopang utama ekspor Indonesia. Namun, dalam dua dekade terakhir, kinerja ekspor manufaktur menunjukkan kecenderungan menurun, baik dari sisi volume maupun kompleksitas produk. Kondisi ini memperlihatkan bahwa struktur industri ekspor Indonesia masih bergantung pada produk primer dan barang setengah jadi, yang bernilai tambah rendah dan sangat rentan terhadap fluktuasi harga global.

Laporan Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 mengungkap bahwa ekspor produk berteknologi menengah dan tinggi Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Sementara negara seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam berhasil memperkuat posisi mereka dalam rantai nilai global melalui industri elektronik, otomotif, dan peralatan presisi, Indonesia masih mengandalkan ekspor berbasis sumber daya alam seperti minyak sawit, batu bara, dan logam mentah.

 

a. Struktur Ekspor yang Rentan

Kecenderungan ekspor yang didominasi oleh produk primer membuat perekonomian Indonesia mudah terpengaruh oleh gejolak pasar global. Ketika harga komoditas turun, pendapatan ekspor menurun drastis dan mengganggu stabilitas fiskal serta neraca perdagangan. Selain itu, karena sebagian besar produk ekspor Indonesia memiliki nilai tambah rendah, kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja produktif dan peningkatan keterampilan tenaga kerja juga terbatas.

Lebih jauh lagi, tingkat diversifikasi industri ekspor masih rendah. Banyak perusahaan manufaktur beroperasi dalam skala kecil-menengah tanpa dukungan riset dan inovasi yang memadai. Akibatnya, kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan permintaan pasar global dan perubahan teknologi sangat terbatas.

b. Keterbatasan Teknologi dan Inovasi

Salah satu faktor utama di balik lemahnya ekspor manufaktur adalah keterbatasan kemampuan teknologi industri nasional. Data Bank Dunia dan Bappenas menunjukkan bahwa investasi Indonesia dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development / R&D) masih di bawah 1% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD yang mencapai 2–3%.

Keterbatasan ini berdampak pada rendahnya kemampuan inovasi produk, efisiensi proses produksi, dan penguasaan teknologi manufaktur canggih. Akibatnya, perusahaan-perusahaan Indonesia sulit meningkatkan posisi dalam rantai nilai global (global value chain), karena hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah atau komponen dasar.

Selain itu, kesenjangan keterampilan tenaga kerja di bidang teknologi dan rekayasa industri semakin memperdalam tantangan tersebut. Industri manufaktur modern seperti elektronik, farmasi, dan mesin presisi membutuhkan tenaga kerja dengan kompetensi tinggi dalam desain produk, otomasi, dan pengendalian mutu. Namun, banyak tenaga kerja Indonesia belum memiliki kemampuan tersebut karena terbatasnya akses terhadap pelatihan teknis dan pendidikan vokasi berbasis industri.

c. Kebutuhan Diversifikasi dan Transformasi Ekspor

Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu melakukan diversifikasi struktur ekspor menuju produk bernilai tambah tinggi. Pendekatan ini bukan hanya soal menambah jenis produk ekspor, tetapi juga tentang menaikkan posisi Indonesia dalam rantai nilai global.

Kebijakan industri yang diarahkan pada penguatan ekosistem inovasi dapat menjadi solusi kunci. Pemerintah perlu mendorong kolaborasi antara sektor swasta, lembaga riset, dan universitas melalui model Triple Helix untuk mempercepat transfer teknologi dan riset terapan di sektor prioritas seperti:

  • Manufaktur berbasis teknologi menengah-tinggi (otomotif, elektronik, kimia, dan farmasi);
  • Industri berbasis sumber daya dengan nilai tambah tinggi, seperti logam olahan, energi terbarukan, dan bahan kimia hijau;
  • Produk digital dan layanan teknologi, yang berpotensi menjadi penggerak ekspor jasa di masa depan.

Selain itu, program penguatan SDM industri perlu diarahkan pada penguasaan keterampilan teknis dan digital yang relevan dengan industri ekspor masa depan. Misalnya, pelatihan dalam bidang rekayasa produk, computer-aided manufacturing, logistik ekspor, dan sertifikasi internasional bagi tenaga kerja manufaktur.

d. Implikasi terhadap Produktivitas Nasional

Lemahnya basis teknologi dan diversifikasi ekspor berimplikasi langsung terhadap produktivitas nasional. Dalam konteks ekonomi modern, nilai tambah industri bukan hanya ditentukan oleh volume produksi, tetapi oleh kapasitas inovasi dan efisiensi proses. Oleh karena itu, tanpa modernisasi teknologi dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, ekspor Indonesia akan sulit bersaing di pasar global yang semakin kompetitif.

Strategi peningkatan produktivitas industri yang berorientasi ekspor harus diiringi dengan pembangunan kapasitas manusia melalui pendidikan vokasi, pelatihan industri, dan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan SDM. Dengan langkah tersebut, ekspor manufaktur Indonesia dapat bertransformasi dari berbasis komoditas menjadi berbasis pengetahuan dan inovasi.

 

Ketimpangan Wilayah dan Struktur Industri Nasional

Struktur industri Indonesia menunjukkan disparitas yang tajam antarwilayah, baik dari segi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, maupun tingkat produktivitas. Meskipun perekonomian nasional telah tumbuh stabil selama dua dekade terakhir, distribusi aktivitas industrinya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatra, yang menyumbang lebih dari dua pertiga total output industri nasional.

Menurut Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029, Pulau Jawa tetap menjadi pusat gravitasi industri nasional. Di wilayah ini, sektor manufaktur berperan sebagai tulang punggung ekonomi, ditunjang oleh infrastruktur yang relatif lengkap, tenaga kerja terampil, serta jaringan logistik dan pasokan yang efisien. Sementara itu, Sumatra menempati posisi kedua dengan kekuatan utama pada industri berbasis sumber daya alam, seperti pengolahan kelapa sawit, karet, dan pertambangan.

Namun, di luar dua pulau utama tersebut, ketimpangan produktivitas dan industrialisasi masih signifikan. Wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masih sangat bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan pertambangan primer. Meskipun sektor-sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, kontribusi nilai tambahnya terhadap PDB relatif kecil karena minimnya aktivitas hilirisasi dan diversifikasi industri.

a. Pola Ketimpangan Spasial

Ketimpangan wilayah industri tidak hanya disebabkan oleh faktor geografis, tetapi juga oleh ketidakseimbangan akses terhadap infrastruktur, investasi, dan tenaga kerja terampil. Jawa memiliki jaringan transportasi dan logistik yang terintegrasi, kawasan industri yang mapan, serta pusat riset dan pendidikan tinggi yang mendukung pengembangan teknologi industri. Sebaliknya, daerah-daerah di luar Jawa menghadapi hambatan dalam akses energi, pelabuhan, dan bahan baku penunjang industri.

Kesenjangan ini menciptakan fenomena dual economy, di mana sebagian wilayah mengalami industrialisasi maju dan padat modal, sementara wilayah lain masih bergantung pada sektor primer dengan produktivitas rendah. Dalam jangka panjang, kondisi ini berisiko memperlebar kesenjangan kesejahteraan antarwilayah dan memperlambat pemerataan pertumbuhan nasional.

b. Pertumbuhan Baru di Wilayah Timur

Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul tanda-tanda pertumbuhan industri baru di wilayah timur Indonesia, terutama di Sulawesi dan Maluku. Kedua wilayah ini menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, didorong oleh ekspansi industri pengolahan mineral dan logam dasar, seperti nikel dan tembaga.

Pertumbuhan ini menandakan potensi besar bagi reindustrialisasi di luar Jawa, terutama jika diikuti dengan kebijakan hilirisasi yang konsisten. Namun, untuk menjadikan pertumbuhan tersebut berkelanjutan, dibutuhkan dukungan kuat pada pembangunan SDM lokal, infrastruktur logistik, dan ekosistem pelatihan industri. Tanpa penguatan kapasitas manusia, industri di daerah berpotensi hanya menjadi aktivitas ekstraktif, bukan penggerak produktivitas jangka panjang.

Kebijakan desentralisasi produktivitas yang diusung dalam Master Plan 2025–2029 menekankan perlunya pengembangan pusat-pusat produktivitas baru di luar Jawa. Melalui penguatan lembaga pelatihan vokasi daerah, kolaborasi antara industri lokal dan pendidikan tinggi, serta insentif investasi sektor hilir, daerah dapat menjadi motor pertumbuhan yang berkontribusi pada keseimbangan ekonomi nasional.

c. Keterkaitan SDM dan Daya Saing Wilayah

Salah satu faktor kunci dalam mengatasi ketimpangan wilayah adalah pemerataan kualitas sumber daya manusia. Daerah dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah cenderung terjebak dalam sektor ekonomi berproduktivitas rendah. Sebaliknya, wilayah yang memiliki tenaga kerja terampil lebih cepat menarik investasi industri bernilai tambah tinggi.

Pembangunan industri yang inklusif harus disertai dengan strategi pengembangan SDM berbasis wilayah, yang mencakup:

  • Penguatan lembaga diklat dan balai latihan kerja di daerah industri potensial,
  • Program upskilling dan reskilling tenaga kerja lokal,
  • Insentif bagi industri untuk bermitra dengan lembaga pendidikan vokasi, dan
  • Peningkatan mobilitas tenaga kerja antarwilayah melalui sistem sertifikasi kompetensi nasional.

Pendekatan ini tidak hanya akan memperluas pemerataan kesempatan kerja, tetapi juga memperkuat daya saing regional. Dalam konteks globalisasi dan ekonomi digital, daerah tidak cukup hanya mengandalkan sumber daya alam; mereka harus membangun kapasitas manusia dan teknologi agar dapat menjadi bagian dari rantai nilai industri nasional dan internasional.

d. Implikasi terhadap Kebijakan Produktivitas Nasional

Mengurangi ketimpangan wilayah berarti memperluas basis produktivitas nasional. Ketika pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak lagi terpusat di Jawa dan Sumatra, Indonesia dapat memperkuat ketahanan ekonominya terhadap guncangan global. Dengan demikian, pembangunan produktivitas di tingkat wilayah bukan hanya soal pemerataan, tetapi juga strategi untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih tangguh, efisien, dan kompetitif.

Kebijakan Master Plan Produktivitas Nasional 2025–2029 mengarahkan agar setiap daerah mengembangkan klaster industri unggulan berbasis keunggulan local misalnya agroindustri di Sumatra, logam di Sulawesi, energi terbarukan di Kalimantan, dan industri kreatif di Bali–Nusa Tenggara. Melalui kolaborasi lintas sektor dan penguatan SDM daerah, Indonesia dapat membangun fondasi produktivitas yang lebih merata dan berkelanjutan menuju Visi Indonesia Emas 2045.

 

Revitalisasi Manufaktur dan Tantangan Industri Kecil

Di tengah pesatnya pertumbuhan sektor jasa dan digitalisasi ekonomi, revitalisasi sektor manufaktur tetap menjadi agenda strategis utama dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional. Manufaktur memiliki posisi unik: ia tidak hanya berperan sebagai penggerak ekspor dan inovasi teknologi, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja formal yang stabil serta penyalur keterampilan industri bagi tenaga kerja Indonesia.

Namun, realitas struktur industri nasional menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM). Meskipun jumlahnya sangat besar mencapai lebih dari 90% dari total unit industri pengolahan, kontribusi mereka terhadap nilai tambah nasional masih relatif kecil. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara kapasitas produksi dan kontribusi ekonomi.

a. Struktur Industri yang Belum Efisien

Kesenjangan antara industri besar dan kecil menciptakan struktur ekonomi yang kurang efisien dan berlapis tajam. Industri besar, terutama yang berorientasi ekspor, memiliki produktivitas tinggi dan kemampuan inovasi yang kuat, sementara sebagian besar industri kecil masih bergantung pada metode produksi tradisional dan tenaga kerja berbiaya rendah.

Hambatan utama yang dihadapi industri kecil meliputi:

  • Keterbatasan akses pembiayaan untuk investasi teknologi baru,
  • Kesenjangan kemampuan manajerial dan digitalisasi,
  • Keterbatasan akses pasar dan rantai pasok industri besar, dan
  • Kualitas SDM yang belum sesuai dengan kebutuhan industri modern.

Tanpa dukungan sistemik, banyak industri kecil berisiko tertinggal dalam proses transformasi industri menuju era digital dan otomatisasi.

b. Peningkatan Kapasitas melalui Kolaborasi dan Integrasi

Revitalisasi manufaktur tidak dapat dilakukan hanya melalui ekspansi industri besar, melainkan harus melalui integrasi vertikal antara industri besar dan industri kecil-menengah. Dalam konteks ini, Master Plan Produktivitas Nasional 2025–2029 mendorong pengembangan model kolaboratif seperti industrial partnership dan supplier development program.

Melalui mekanisme ini, industri besar berperan sebagai mentor produktivitas bagi industri kecil di rantai pasoknya. Transfer teknologi, pelatihan tenaga kerja, dan standarisasi proses produksi dapat membantu meningkatkan efisiensi dan kualitas produk IKM. Selain itu, pendekatan industrial clustering yang mengelompokkan pelaku industri dalam ekosistem terintegrasi—dapat mempercepat aliran pengetahuan dan inovasi antar pelaku usaha.

c. SDM Industri: Kunci Revitalisasi yang Berkelanjutan

Salah satu kunci keberhasilan revitalisasi manufaktur adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia industri. Peningkatan produktivitas tidak mungkin dicapai tanpa tenaga kerja yang kompeten, adaptif, dan memiliki keterampilan teknologi mutakhir.

Dalam konteks ini, pendidikan vokasi dan pelatihan berbasis industri perlu diperkuat secara sistematis. Kolaborasi antara dunia pendidikan, lembaga pelatihan kerja, dan dunia usaha harus diarahkan untuk:

  • Mengembangkan kurikulum berbasis kebutuhan industri (demand-driven),
  • Menyediakan pelatihan terapan dan magang industri,
  • Menyusun sertifikasi kompetensi nasional yang diakui lintas sektor, dan
  • Meningkatkan pelatihan ulang (reskilling) bagi tenaga kerja yang terdampak otomatisasi atau pergeseran sektor kerja.

Dengan strategi tersebut, tenaga kerja industri tidak hanya menjadi pelaku produksi, tetapi juga agen produktivitas dan inovasi dalam ekosistem manufaktur yang berdaya saing global.

d. Arah Revitalisasi Manufaktur di Era Digital

Revitalisasi manufaktur di Indonesia tidak lagi cukup dilakukan dengan memperluas kapasitas produksi konvensional. Tantangan baru berupa digitalisasi, otomatisasi, dan ekonomi hijau menuntut perubahan paradigma menuju industri manufaktur cerdas (smart manufacturing).

Implementasi teknologi seperti Internet of Things (IoT), data analytics, dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi pemborosan, dan mempercepat inovasi produk. Namun, adopsi teknologi ini hanya dapat berhasil jika disertai dengan pembangunan kapasitas manusia dan ekosistem inovasi yang kuat.

Pemerintah dapat berperan dengan menyediakan insentif fiskal untuk investasi teknologi, dukungan riset terapan, dan kebijakan pelatihan digital industri. Sementara itu, lembaga pelatihan kerja (diklat) dan politeknik dapat menjadi pusat unggulan dalam pengembangan keterampilan teknologi industri masa depan.

e. Implikasi terhadap Produktivitas Nasional

Dengan memperkuat sinergi antara industri besar dan kecil, serta antara teknologi dan tenaga kerja, revitalisasi manufaktur dapat menjadi mesin utama peningkatan produktivitas nasional. Peningkatan efisiensi produksi, kualitas SDM, dan kapasitas inovasi akan menciptakan basis pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berdaya saing.

Transformasi ini juga akan berperan penting dalam pencapaian Visi Indonesia Emas 2045, di mana Indonesia diharapkan menjadi negara maju dengan struktur ekonomi berbasis industri modern dan produktivitas tinggi. Revitalisasi sektor manufaktur bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan agenda nasional untuk membangun kemandirian industri dan memperkuat daya saing bangsa.

 

Pergeseran struktur industri Indonesia mencerminkan dinamika ekonomi yang kompleks. Pertumbuhan pesat sektor jasa dan digitalisasi membuka peluang baru, namun juga menuntut transformasi menyeluruh pada sektor manufaktur dan tenaga kerja.

Untuk menjaga keseimbangan, kebijakan pembangunan industri ke depan harus mengintegrasikan tiga hal: revitalisasi manufaktur, diversifikasi ekspor bernilai tambah tinggi, dan penguatan kompetensi SDM. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan potensi demografisnya untuk menciptakan ekonomi yang produktif, inklusif, dan berdaya saing tinggi  selaras dengan visi besar menuju Indonesia Emas 2045.

 

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2024). Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029. Jakarta: Bappenas.