Pengukuran dan Pengendalian Aktivitas Kerja Berbasis Ergonomi: Pendekatan Sistematis untuk Pencegahan Gangguan Otot Rangka

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko

22 Desember 2025, 11.39

Sumber: pexels.com

Pendahuluan

Gangguan kesehatan akibat kerja tidak selalu disebabkan oleh paparan bahan berbahaya atau kondisi lingkungan ekstrem. Dalam banyak kasus, sumber utama masalah justru berasal dari cara kerja yang tidak ergonomis, seperti postur janggal, pengangkatan beban yang tidak tepat, serta desain tempat kerja yang tidak sesuai dengan karakteristik tubuh manusia.

Materi yang menjadi dasar artikel ini disampaikan dalam sebuah webinar oleh dosen dan praktisi ergonomi yang menyoroti pentingnya pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berdasarkan faktor ergonomi, khususnya dalam konteks regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Ergonomi tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan telah menjadi bagian dari sistem K3 yang diatur secara formal melalui peraturan dan standar nasional.

Artikel ini menyajikan resensi analitis dari materi tersebut dengan merangkum konsep utama, metode pengukuran, serta implikasi praktis ergonomi bagi industri dan perkantoran.

Landasan Regulasi Ergonomi di Indonesia

Ergonomi dalam Perspektif K3 Nasional

Dasar hukum pengukuran dan pengendalian faktor ergonomi di Indonesia merujuk pada:

  • Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja

  • SNI 901 Tahun 2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Risiko Ergonomi

Dalam regulasi tersebut, faktor penyebab penyakit akibat kerja dikelompokkan menjadi:

  • faktor fisika,

  • faktor kimia,

  • faktor biologis,

  • faktor ergonomi, dan

  • faktor psikososial.

Menariknya, meskipun ergonomi sering dipersepsikan sebagai solusi pencegahan, regulasi menyebutnya sebagai faktor yang perlu diukur dan dikendalikan karena berpotensi menimbulkan penyakit akibat kerja jika tidak dikelola dengan baik.

Ruang Lingkup Faktor Ergonomi

Tiga Fokus Utama Ergonomi dalam Regulasi

Permenaker dan SNI menekankan tiga aspek utama ergonomi, yaitu:

  1. Postur dan posisi kerja

  2. Desain tempat dan alat kerja

  3. Cara pengangkatan dan pemindahan beban

Ketiga aspek ini menjadi sumber utama gangguan muskuloskeletal atau Musculoskeletal Disorders (MSDs) apabila tidak dirancang dan dioperasikan secara ergonomis.

Postur Kerja dan Risiko Gangguan Otot Rangka

Postur Netral vs Postur Janggal

Postur kerja yang ideal adalah postur netral, yaitu kondisi di mana:

  • tulang belakang relatif lurus,

  • sendi tidak berada pada sudut ekstrem,

  • otot bekerja pada tingkat beban minimum.

Sebaliknya, postur janggal—seperti membungkuk lebih dari 20°, jongkok dalam waktu lama, atau mengangkat tangan di atas bahu—secara signifikan meningkatkan risiko MSDs, khususnya low back pain.

Kasus di bengkel dan workshop menunjukkan bahwa kebiasaan bekerja jongkok atau membungkuk masih umum terjadi, bahkan di industri besar, akibat lemahnya kesadaran ergonomi dan desain stasiun kerja yang tidak sesuai.

Metode Penilaian Postur Kerja: RULA

Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Salah satu metode yang dibahas secara rinci adalah RULA, yang digunakan untuk menilai risiko ergonomi berdasarkan postur kerja.

Kelompok Penilaian Tubuh

  • Kelompok A: lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan

  • Kelompok B: leher, punggung, dan kaki

Penilaian mempertimbangkan:

  • sudut postur,

  • beban kerja,

  • keterlibatan otot (statis atau repetitif).

Interpretasi Skor RULA

  • Skor 1–2: risiko rendah

  • Skor 3–4: risiko rendah–menengah

  • Skor 5–6: risiko menengah

  • Skor ≥7: risiko tinggi dan perlu tindakan segera

RULA menegaskan bahwa penilaian postur bukan asumsi visual, tetapi berbasis skor dan kriteria biomekanika.

Pengangkatan Beban dan Lifting Index

Konsep Recommended Weight Limit (RWL)

Untuk aktivitas manual handling, digunakan pendekatan NIOSH Lifting Equation, yang menghasilkan nilai Recommended Weight Limit (RWL) dan Lifting Index (LI).

Lifting Index dihitung dari:

LI = Beban aktual / Beban yang direkomendasikan

Interpretasi umum:

  • LI ≤ 1: aman

  • LI 1–3: perlu perhatian

  • LI > 3: risiko tinggi MSDs

Konteks Antropometri Indonesia

Materi menekankan bahwa rumus asli NIOSH dikembangkan berdasarkan data populasi Barat. Untuk Indonesia, nilai konstanta disesuaikan berdasarkan tinggi siku berdiri rata-rata (±69 cm), sehingga perhitungan menjadi lebih relevan secara antropometris.

SNI 901: Pendekatan Praktis Evaluasi Ergonomi

Daftar Periksa Risiko Ergonomi

Untuk memudahkan implementasi di industri, SNI 901:2021 menyediakan instrumen daftar periksa yang lebih praktis dibanding metode analitis kompleks seperti RULA atau NIOSH.

Penilaian mencakup:

  • keluhan pekerja (berbasis Nordic Body Map),

  • frekuensi dan tingkat keparahan nyeri,

  • identifikasi bagian tubuh dominan yang terdampak.

Hasil penilaian diklasifikasikan menjadi:

  • risiko rendah (hijau),

  • risiko sedang (kuning),

  • risiko tinggi (merah).

Desain Tempat Kerja Berbasis Antropometri

Mengapa Antropometri Penting

Desain ergonomi menekankan prinsip:

Mesin dan tempat kerja menyesuaikan manusia, bukan sebaliknya.

Antropometri digunakan untuk menentukan:

  • tinggi meja kerja,

  • tinggi kursi,

  • jarak jangkauan tangan,

  • posisi monitor dan alat kerja.

Prinsip Persentil dalam Desain

Alih-alih menggunakan nilai rata-rata, desain ergonomi umumnya menggunakan:

  • persentil 5% (untuk dimensi minimum),

  • persentil 95% (untuk dimensi maksimum).

Pendekatan ini memastikan bahwa ±90–95% populasi pengguna dapat bekerja dengan nyaman dan aman.

Ergonomi di Kantor: Risiko yang Sering Diabaikan

Materi menegaskan bahwa ergonomi tidak hanya relevan untuk pekerja lapangan. Pekerja kantoran juga berisiko mengalami:

  • nyeri pinggang,

  • carpal tunnel syndrome,

  • kelelahan mata,

  • saraf terjepit.

Penggunaan kursi tanpa sandaran lumbar, posisi keyboard terlalu tinggi, dan durasi kerja statis yang panjang menjadi pemicu utama gangguan tersebut.

Implementasi Ergonomi sebagai Sistem

Tiga Prinsip Kunci Implementasi

  1. Dukungan manajemen

  2. Pendekatan bertahap dan sistematis

  3. Integrasi dengan SMK3 dan kebijakan perusahaan

Ergonomi tidak efektif jika hanya dibebankan kepada operator tanpa perubahan desain, kebijakan, dan fasilitas.

Kesimpulan

Pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berbasis ergonomi merupakan instrumen penting dalam pencegahan gangguan otot rangka dan peningkatan produktivitas. Melalui pendekatan regulatif, metode penilaian terstandar, serta desain tempat kerja berbasis antropometri, ergonomi dapat diterapkan secara praktis dan berkelanjutan.

Artikel ini menegaskan bahwa ergonomi bukan sekadar kenyamanan, melainkan investasi kesehatan, keselamatan, dan kinerja jangka panjang bagi organisasi.

📚 Sumber Utama

  • Webinar Pengukuran dan Pengendalian Aktivitas Kerja Berdasarkan Faktor Ergonomi

  • Permenaker No. 5 Tahun 2018

  • SNI 901:2021 – Ergonomi

📖 Referensi Pendukung

  • ILO. Ergonomic Checkpoints

  • NIOSH. Revised Lifting Equation

  • Bridger, R. Introduction to Ergonomics

  • Kroemer & Grandjean. Fitting the Task to the Human