Konflik di Garis Depan Inovasi Pendidikan
Di balik jargon-jargon futuristik tentang pendidikan dan teknologi, sebuah perdebatan penting tengah bergejolak di kalangan akademisi, praktisi, dan investor. Konflik ini tidak hanya berkisar pada perbedaan nama, melainkan pertarungan mendasar tentang filosofi, tujuan, dan masa depan pembelajaran itu sendiri. Di satu sisi, ada komunitas 'ilmu-ilmu pembelajaran' (learning sciences), sebuah disiplin mapan yang berfokus pada pemahaman komprehensif tentang cara manusia belajar. Di sisi lain, muncul istilah yang lebih baru, 'rekayasa pembelajaran' (learning engineering), yang menarik perhatian besar dari industri teknologi dan para pengusaha.1
Sebuah makalah dari Victor R. Lee, seorang peneliti di Graduate School of Education, Stanford University, yang diterbitkan dalam Journal of the Learning Sciences, secara blak-blakan membuka selubung perdebatan ini. Makalah ini menegaskan bahwa dikotomi antara dua istilah tersebut adalah "buatan" (artificial), dan bahwa istilah learning engineering seringkali dipromosikan berdasarkan pemahaman yang dangkal tentang apa itu learning sciences.1 Makalah yang diterbitkan secara daring pada Agustus 2022 ini dengan cepat menarik perhatian ribuan pembaca, dengan lebih dari 8.000 tampilan, dan telah dikutip oleh peneliti lain, menunjukkan relevansi dan urgensinya di komunitas ilmiah.1
Ini bukan sekadar pertengkaran semantik di menara gading akademis. Pertaruhan dari perdebatan ini sangat besar: bagaimana miliaran dolar investasi akan disalurkan, bagaimana teknologi pendidikan akan dirancang, dan apakah inovasi di masa depan akan benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran atau sekadar mengoptimalkan metrik-metrik dangkal. Makalah ini secara implisit menantang narasi industri yang kerap menganggap pendekatan mereka sebagai yang paling superior dan satu-satunya jalan menuju kemajuan.1
Dua Visi yang Bertentangan: Mengupas Tuntas Dualisme ‘Learning Engineering’
Analisis yang disajikan dalam makalah membedah dua pandangan yang sangat berbeda tentang apa sebenarnya 'rekayasa pembelajaran' itu. Pemisahan ini membantu kita memahami mengapa istilah tersebut begitu kontroversial dan apa yang dipertaruhkan.
Visi 1: Insinyur sebagai “Mekanik” Data
Pandangan pertama tentang learning engineering sangat dipengaruhi oleh dunia bisnis dan teknologi. Dalam visi ini, 'insinyur pembelajaran' dipandang sebagai seorang ahli data atau "mekanik" yang menggunakan data besar (big data) dan teknologi digital untuk menyempurnakan pengalaman belajar. Tujuannya adalah untuk mencapai efisiensi dan kualitas yang lebih baik, diukur melalui data kuantitatif.1 Pendekatan ini secara eksplisit meniru model yang digunakan oleh platform teknologi komersial raksasa seperti Facebook, yang mengumpulkan terabyte data setiap hari dan menggunakan siklus pengujian cepat, seperti pengujian A/B, untuk membuat perubahan sistem secara instan.1
Bagi para pendukung visi ini, kemajuan pendidikan terjadi melalui iterasi yang cepat dan perbaikan berbasis data, mirip dengan bagaimana sebuah aplikasi smartphone diperbarui. Sebagai contoh, makalah ini mengilustrasikan bahwa lonjakan efisiensi 43% dalam sebuah sistem pembelajaran bisa disajikan dalam format deskriptif yang hidup, seperti menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian ulang. Analogi ini menekankan perbaikan yang terasa dan terukur, sebuah daya tarik kuat bagi para pengusaha dan profesional teknologi yang ingin menerapkan kesuksesan finansial mereka di sektor pendidikan.1
Visi 2: Insinyur sebagai “Arsitek” Pembelajaran
Sebaliknya, pandangan kedua—yang lebih disukai oleh penulis makalah—menyajikan learning engineering sebagai "penerapan sistematis dari prinsip dan metode learning sciences.".1 Visi ini lebih inklusif dan mengakui bahwa bidang learning sciences sudah terapan, berorientasi pada desain, dan berkomitmen pada tantangan-tantangan dunia nyata.1 Alih-alih hanya menjadi "mekanik" yang menyempurnakan mesin, insinyur dalam pandangan ini adalah "arsitek" yang merancang seluruh pengalaman belajar. Mereka menggabungkan pengetahuan, alat, dan teknik dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pedagogi, empirisme, dan desain, untuk mendukung dan meningkatkan pemahaman tentang bagaimana pembelajar dan proses pembelajaran bekerja.1
Pandangan ini menolak dikotomi sederhana bahwa sains hanya melakukan penelitian di laboratorium, sementara rekayasa hanya melakukan pekerjaan terapan. Sebaliknya, ia mengakui bahwa learning sciences sendiri sudah terlibat dalam pekerjaan terapan, menggunakan metodologi seperti design-based research (DBR) yang secara inheren berfokus pada perbaikan dunia nyata.1
Mengapa ‘Ilmu-ilmu Pembelajaran’ Jauh Lebih Dalam dari Dugaan Industri
Makalah ini secara teliti mengungkap kesalahpahaman utama yang sering muncul dari komunitas yang mempromosikan learning engineering sebagai bidang yang sama sekali baru. Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah bahwa learning sciences dianggap sebagai "ilmu berbasis lab" yang terpisah dari praktik dunia nyata.1
Kekuatan Kata "Jamak" dan Sejarah yang Disalahpahami
Salah satu poin paling krusial yang diungkapkan makalah ini adalah pentingnya penggunaan kata "sciences" dalam bentuk jamak (plural). Makalah menjelaskan bahwa penggunaan kata "sciences" adalah keputusan yang disengaja sejak awal pembentukan Institute of the Learning Sciences di Northwestern University. Pencipta nama ini melakukannya untuk menandakan bahwa ini adalah "upaya interdisipliner" yang menyatukan banyak pendekatan ilmiah yang berbeda.1 Kekeliruan dari beberapa kalangan industri yang menyebutnya "learning science" (tunggal) menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang komitmen mendasar dari bidang ini.1
Jika seseorang menganggap learning sciences sebagai "ilmu tunggal," mereka cenderung mengasosiasikannya dengan paradigma tunggal, seperti model pemrosesan informasi kognitif yang sering digunakan dalam eksperimen berbasis lab.1 Namun, makalah secara jelas menyebutkan bahwa bidang ini mencakup metode yang jauh lebih luas. Inti dari learning sciences adalah design-based research (DBR), sebuah metodologi yang sengaja berfokus pada penelitian yang terinspirasi oleh penggunaan dan dilakukan "di alam liar" (in the wild).1 Metodologi ini melibatkan iterasi dan perbaikan yang cepat, tidak hanya pada teknologi atau pengalaman belajar, tetapi juga pada pemahaman kita tentang bagaimana pembelajaran bekerja dalam konteks yang kompleks dan nyata.1 Ini adalah kontradiksi langsung terhadap klaim bahwa learning sciences adalah ilmu "non-terapan".1
Risiko Tersembunyi: Bahaya dari Pemisahan yang 'Artifisial'
Makalah ini menyajikan argumen paling kuatnya dengan menguraikan risiko-risiko yang muncul jika masyarakat dan industri terus memisahkan learning sciences dan learning engineering secara artifisial.
Mengabaikan Metodologi Kunci
Dengan mempromosikan learning engineering sebagai satu-satunya bidang "terapan," para praktisi berisiko mengabaikan metodologi penting seperti Design-Based Research. DBR tidak hanya menciptakan teknologi, tetapi juga menghasilkan teori tentang bagaimana pembelajaran terjadi dalam kondisi nyata, yang tidak dapat ditemukan dalam eksperimen berbasis lab atau pengujian A/B.1 Misalnya, metode ini dapat mengungkap bagaimana seorang siswa mengembangkan pemikiran kritis dalam sebuah tim atau bagaimana seorang guru mengadaptasi sebuah kurikulum di kelas yang beragam. Tanpa pemahaman mendalam ini, inovasi yang dibuat mungkin akan gagal dalam konteks dunia nyata.
Terperangkap dalam “McNamara Fallacy”
Salah satu risiko terbesar dari visi learning engineering yang didorong oleh data adalah potensi terjebak dalam apa yang dikenal sebagai "McNamara fallacy".1 Ini adalah kecenderungan untuk hanya mengandalkan apa yang mudah diukur secara kuantitatif, dan mengabaikan hal-hal yang tidak dapat diukur dengan mudah. Misalnya, platform pendidikan mungkin mengukur "lompatan efisiensi 43%" atau "jumlah klik" sebagai metrik kesuksesan, tetapi gagal mengukur apakah siswa benar-benar mengembangkan pemikiran kritis, keterampilan kerja sama tim, atau pemahaman yang mendalam tentang materi.2 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa learning sciences mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti "apa yang penting untuk dipelajari dan untuk tujuan apa".1 Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan data kuantitatif sederhana. Jika inovasi pendidikan hanya berfokus pada data besar dari platform digital, kita berisiko menciptakan sistem yang sangat efisien dalam menghasilkan hasil yang dangkal, mengabaikan esensi dari pembelajaran manusia.3
Mengabaikan Pertanyaan Etis dan Keadilan
Learning engineering yang didorong oleh industri berisiko mengabaikan pertanyaan-pertanyaan etis dan moral yang krusial yang sudah menjadi fokus learning sciences.1 Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup "kepentingan siapa yang dilayani?" dan "apa ideologi yang dipromosikan ketika kita merekayasa bentuk-bentuk pembelajaran baru?".1 Bidang learning sciences secara aktif berupaya memahami bagaimana kekuasaan dan ketidakadilan memengaruhi desain lingkungan belajar.1 Tanpa lensa kritis ini, teknologi pendidikan bisa saja secara tidak sengaja memperkuat kesenjangan atau norma-norma yang problematis, bukannya mengurangi atau mengubahnya.1
Menuju Masa Depan Kolaboratif: Integrasi, Bukan Polarisasi
Penulis makalah, Victor R. Lee, tidak menentang keberadaan learning engineering. Sebaliknya, ia menyerukan "koreksi arah".1 Ia berpendapat bahwa kemajuan substansial di bidang pendidikan akan datang dari kolaborasi, bukan dikotomi. Sebuah visi learning engineering yang ideal adalah yang "membangun di atas prinsip dan metode learning sciences yang luas".1 Hal ini memungkinkan para learning engineers untuk menggunakan data besar dan teknologi canggih tanpa kehilangan komitmen pada pertanyaan fundamental dan konteks sosial pembelajaran.
Alih-alih menganggap learning engineering sebagai "ruang tandingan" bagi learning sciences, atau sebagai bidang aplikasi yang sama sekali baru, Lee berpendapat bahwa bidang learning sciences sudah secara mendalam dan fundamental mencakup pekerjaan dan praktik rekayasa pembelajaran.1 Oleh karena itu, tidak ada banyak hal yang dapat kita peroleh dengan menganggapnya sebagai dua bidang yang berbeda, dengan satu di laboratorium dan yang lain dalam praktik.1
Ini adalah pesan penting bagi investor, pengembang, dan inovator: inovasi yang paling kuat adalah yang secara sadar mengintegrasikan pengetahuan ilmiah yang kaya dari learning sciences dengan kemampuan rekayasa dari learning engineering.1 Dengan kata lain, kita tidak perlu memilih antara sains dan rekayasa, karena keduanya sudah terjalin erat.
Kesimpulan: Dampak Nyata pada Masa Depan Pendidikan
Perdebatan antara learning sciences dan learning engineering adalah sebuah pertarungan ideologis berkedok perang nama. Makalah dari Stanford ini menunjukkan bahwa risiko terbesar bukanlah tumpang tindihnya dua bidang, melainkan pemisahan yang keliru yang dapat menyebabkan para praktisi mengabaikan fondasi ilmiah, metodologi kritis, dan pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam. Tanpa komitmen pada pendekatan yang holistik, kita berisiko menciptakan teknologi pendidikan yang sangat efisien namun kosong dari tujuan yang bermakna.
Jika masyarakat dan industri tidak melakukan "koreksi arah" ini—mengakui kekayaan dan kedalaman learning sciences dan mengintegrasikannya ke dalam praktik learning engineering—kita akan berisiko membuang jutaan, bahkan miliaran dolar, untuk mengembangkan solusi teknologi pendidikan yang hanya mengoptimalkan metrik yang dangkal, dan pada akhirnya gagal meningkatkan kualitas pendidikan secara substansial dalam lima tahun ke depan.
Sumber Artikel:
- The Use of Visualization in Teaching and Learning Process for Developing Critical Thinking of Students - ResearchGate, diakses September 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/318538259_The_Use_of_Visualization_in_Teaching_and_Learning_Process_for_Developing_Critical_Thinking_of_Students
- The effectiveness of using visualization tools and forms in distance learning - Redalyc, diakses September 18, 2025, https://www.redalyc.org/journal/5702/570272348051/html/