Denyut Nadi Kota Baubau yang Mulai Terengah-engah
Di jantung Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, terbentang sebuah urat nadi aspal sepanjang 10.6 kilometer bernama Jalan Anoa. Ini bukan sekadar jalan biasa; ia adalah arteri primer berstatus jalan nasional yang menopang denyut kehidupan ekonomi, sosial, dan mobilitas ribuan warganya setiap hari.1 Namun, seperti banyak kota lain di Indonesia yang tengah berakselerasi, arteri vital ini mulai menunjukkan gejala sesak napas.
Sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli teknik sipil dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin baru-baru ini menyorot sebuah realitas yang tak terhindarkan: pertumbuhan jumlah kendaraan di Baubau melesat pesat, sementara lebar Jalan Anoa tetap sama, tak sejengkal pun bertambah.1 Fenomena ini menciptakan sebuah bom waktu, di mana kenyamanan berkendara perlahan tergerus dan potensi kelumpuhan lalu lintas di masa depan menjadi ancaman nyata.
Menyadari urgensi ini, para peneliti turun ke lapangan untuk melakukan sebuah "pemeriksaan kesehatan" komprehensif terhadap Jalan Anoa. Mereka tidak hanya menghitung jumlah kendaraan yang lewat, tetapi juga menyelami dinamika kompleks di baliknya melalui analisis manajemen dan rekayasa lalu lintas. Tujuannya jelas: membedah kondisi jalan secara ilmiah dan menganalisis kapasitas maksimalnya sebelum masalah kecil hari ini menjadi krisis besar di kemudian hari.1 Apa yang mereka temukan bukan hanya sekumpulan data, melainkan sebuah cerita tentang bagaimana sebuah kota bertumbuh, dan bagaimana infrastrukturnya berjuang untuk mengimbanginya.
Di Balik Angka: Bagaimana Peneliti Mengukur 'Kesehatan' Sebuah Jalan?
Untuk memahami kondisi sebuah jalan, para peneliti tidak bisa hanya mengandalkan perasaan atau pengamatan kasat mata. Mereka memerlukan alat ukur yang presisi dan metodologi ilmiah yang teruji. Dalam studi ini, para ahli menggunakan serangkaian konsep dan alat analisis canggih untuk mendiagnosis "kesehatan" Jalan Anoa, mengubah lalu lintas yang tampak acak menjadi data yang bisa diinterpretasikan.1
Konsep utama yang menjadi pegangan adalah Level of Service (LOS) atau Tingkat Pelayanan Jalan. Bayangkan ini sebagai sebuah "Rapor Jalan" dengan nilai dari A hingga F.
- Nilai A ($V/C$ 0.00-0.19) adalah kondisi ideal, seperti melaju di jalan tol kosong pada dini hari, di mana pengemudi punya kebebasan penuh.1
- Nilai C ($V/C$ 0.45-0.69), yang menjadi temuan umum di Jalan Anoa, ibarat berjalan di koridor sekolah saat jam istirahat. Ramai, arusnya stabil, tetapi Anda harus sedikit bersabar dan waspada untuk bermanuver atau mengubah lajur.1 Ini adalah standar desain yang umum untuk jalan perkotaan.
- Nilai E ($V/C$ 0.80-1.00) dan F ($V/C > 1.00$) adalah zona merah. Ini adalah kondisi saat bel pulang sekolah berbunyi dan semua orang berdesakan di pintu keluar. Arus menjadi tidak stabil, kecepatan menurun drastis, sering terjadi henti-henti singkat, dan kemacetan parah mengintai.1
Untuk mendapatkan nilai rapor ini, peneliti membandingkan dua variabel kunci: Volume dan Kapasitas. Volume adalah jumlah kendaraan yang benar-benar melintas pada satu waktu. Sementara Kapasitas adalah jumlah maksimum kendaraan yang mampu ditampung oleh jalan tersebut sebelum akhirnya "tumpah" menjadi kemacetan. Ibarat pipa air, kapasitas adalah diameter pipa, sedangkan volume adalah banyaknya air yang mengalir. Masalah muncul ketika volume air mendekati kapasitas maksimal pipa.1
Untuk menghitung kapasitas sejati Jalan Anoa, para peneliti menggunakan model matematika eksponensial yang dikenal sebagai Metode Underwood. Metode ini secara ilmiah menghubungkan tiga elemen fundamental lalu lintas—kecepatan, kepadatan, dan volume—untuk menemukan titik kritis di mana arus lalu lintas akan pecah.1 Ini memastikan bahwa angka kapasitas yang dihasilkan bukanlah tebakan, melainkan hasil perhitungan rekayasa yang akurat.
Tentu saja, tidak semua kendaraan diciptakan sama. Sebuah truk besar jelas memberikan beban yang berbeda pada jalan dibandingkan sebuah sepeda motor. Untuk itu, perhitungan dilakukan menggunakan Satuan Mobil Penumpang (smp). Dalam standar yang digunakan, sebuah kendaraan berat (HV) seperti truk dihitung setara dengan 1.3 mobil, sementara sepeda motor (MC) hanya dihitung setara 0.4 mobil.1 Konversi ini memastikan analisis mencerminkan beban lalu lintas yang sesungguhnya di lapangan.
Temuan Mengejutkan di Tiga Titik Krusial Jalan Anoa
Dengan metodologi yang solid, para peneliti memfokuskan pengamatan mereka pada tiga titik strategis di sepanjang Jalan Anoa: Pos 1 di Kelurahan Kokalukuna, Pos 2 di Waruruma, dan Pos 3 di Waliabuku. Pengamatan yang dilakukan selama empat hari—mewakili hari kerja (Selasa, Senin) dan akhir pekan (Sabtu, Minggu)—mengungkapkan sebuah drama lalu lintas dengan dinamika yang sangat berbeda di setiap lokasi.1
Pos 1 (Kokalukuna) – Raksasa Lebar yang Terancam Tumbang
Pos 1, yang terletak di Kokalukuna, adalah bagian terluas dari Jalan Anoa dengan lebar mencapai 7.1 meter.1 Secara teori, ini seharusnya menjadi bagian yang paling lancar. Data kapasitasnya pun luar biasa. Pada hari Sabtu, titik ini mampu menampung beban lalu lintas hingga 1644 smp/jam, kapasitas tertinggi yang tercatat selama penelitian.1 Namun, di balik kekuatan ini tersembunyi sebuah kerentanan yang mengejutkan.
Temuan paling dramatis terjadi pada hari Minggu. Di saat banyak orang mengira jalanan akan lebih lengang, Pos 1 justru berada di ambang kolaps. Tingkat Pelayanan Jalan (LOS) anjlok ke level E, dengan rasio volume terhadap kapasitas mencapai 0.86.1 Ini adalah kondisi arus tidak stabil, di mana kecepatan sangat rendah dan kemacetan bisa terjadi kapan saja. Data per jam menunjukkan bahwa pada sore hari Minggu, antara pukul 17.00 hingga 18.00, volume kendaraan melonjak hingga 766.3 smp/jam, membuktikan bahwa akhir pekan bukanlah jaminan kelancaran.1 Temuan ini mematahkan mitos "akhir pekan yang sepi" dan menunjukkan pergeseran pola mobilitas warga Baubau, di mana aktivitas rekreasi dan sosial di akhir pekan kini memberikan tekanan pada infrastruktur yang setara, atau bahkan lebih parah, dari jam sibuk hari kerja.
Pos 3 (Waliabuku) – Titik Sempit, Peringatan Dini Sistemi
Berbanding terbalik 180 derajat dengan Pos 1, Pos 3 di Waliabuku adalah titik tersempit di sepanjang ruas jalan yang diteliti, dengan lebar hanya 4.7 meter—hampir 35% lebih sempit dari Pos 1.1 Titik ini adalah biang keladi sesungguhnya, sebuah sumbatan yang menentukan kinerja seluruh sistem jalan sepanjang 10.6 km.
Jika Jalan Anoa adalah sebuah selang air, maka Pos 3 adalah bagian yang terinjak. Tidak peduli seberapa besar tekanan air di pangkalnya (Pos 1), aliran yang keluar akan selalu kecil dan tersendat di titik ini. Data membuktikan analogi ini dengan gamblang. Kapasitas di Pos 3 secara konsisten menjadi yang terendah, bahkan pernah mencapai titik nadir hanya 489 smp/jam pada hari Selasa.1 Angka ini kurang dari sepertiga kapasitas puncak di Pos 1. Artinya, seluruh efisiensi jalan yang lebar di Kokalukuna menjadi sia-sia karena harus "mengantre" untuk melewati lubang jarum di Waliabuku. Titik ini adalah kelemahan Achilles dari Jalan Anoa, dan penelitian ini memberikan diagnosis yang sangat tajam dan terfokus pada masalah utamanya.
Pola Tersembunyi: Jam Sibuk yang Bergeser dan Kabar Baik yang Tak Terduga
Dengan menganalisis data per jam, para peneliti berhasil memetakan ritme kehidupan kota yang tercermin di jalan raya. Pada hari kerja seperti Selasa, puncak kesibukan di Pos 1 terjadi pada pagi hari antara pukul 09.00-10.00, jelas mencerminkan aktivitas berangkat kerja dan sekolah.1 Namun, pola ini berbalik di akhir pekan. Pada hari Sabtu, puncak volume bergeser ke siang hari (12.00-13.00), dan pada hari Minggu, puncaknya terjadi di sore hari (17.00-18.00), menandakan pergerakan warga untuk tujuan rekreasi, belanja, atau sosial.1
Namun, di tengah semua tantangan ini, ada satu temuan yang memberikan secercah harapan dan kejelasan. Para peneliti juga mengukur "Hambatan Samping"—faktor-faktor pengganggu seperti pejalan kaki, kendaraan yang parkir atau berhenti, serta kendaraan yang keluar-masuk dari properti di sisi jalan. Secara mengejutkan, di dua lokasi pengamatan hambatan samping, termasuk di dekat SMPN 9 Baubau dan perempatan Pesantren Liabuku, tingkat hambatannya tergolong "L (Rendah)".1
Ini adalah kabar baik yang sangat penting. Artinya, masalah utama di Jalan Anoa bukanlah perilaku pengguna jalan yang tidak tertib, parkir liar, atau aktivitas pedagang kaki lima yang sering menjadi kambing hitam kemacetan di banyak kota. Masalahnya jauh lebih fundamental dan "bersih": ini adalah murni masalah rekayasa geometrik dan volume kendaraan yang melebihi kapasitas desain jalan di titik-titik tertentu. Penemuan ini memberi tahu para perencana kota dengan tepat di mana mereka harus memfokuskan energi dan anggaran: pada perbaikan fisik jalan itu sendiri, bukan pada penegakan hukum yang kompleks dan seringkali tidak efektif untuk masalah perilaku.
Bukan Sekadar Angka: Dampak Nyata Bagi Kehidupan Warga Bauba
Data teknis seperti rasio V/C atau nilai LOS mungkin terdengar abstrak, tetapi dampaknya sangat nyata dan dirasakan langsung oleh setiap warga yang melintasi Jalan Anoa setiap hari. Penelitian ini membantu menerjemahkan angka-angka tersebut ke dalam pengalaman manusiawi.
- Peringatan Dini di Ambang Batas: Sebagian besar waktu, Jalan Anoa beroperasi pada LOS C. Ini adalah kondisi "cukup lancar tapi waspada". Anda masih bisa melaju dengan kecepatan yang memuaskan, namun untuk menyalip atau berpindah lajur, Anda harus lebih sabar menunggu celah. Namun, penelitian ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kondisi ini dengan kelumpuhan. Beberapa titik, terutama pada akhir pekan, sudah sering tergelincir ke LOS D (arus mendekati tidak stabil) dan bahkan LOS E (arus tidak stabil, stop-and-go). Ini adalah peringatan dini bahwa Jalan Anoa beroperasi di ujung tanduk; sedikit saja peningkatan volume kendaraan di masa depan dapat mendorongnya secara permanen ke zona kemacetan parah.
- Akhir Pekan Bukan Lagi Jaminan Kelancaran: Bagi warga Baubau, anggapan bahwa akhir pekan adalah waktu untuk berkendara santai mungkin perlu ditinjau ulang. Data menunjukkan bahwa jam-jam sibuk baru telah muncul pada hari Sabtu dan Minggu, bahkan dengan tingkat kepadatan yang lebih parah daripada jam sibuk hari kerja di beberapa lokasi. Perencanaan perjalanan kini harus memperhitungkan variabel baru ini.
- Biang Keladi Utama Teridentifikasi: Setiap antrean panjang atau pelambatan laju kendaraan yang Anda alami di sepanjang Jalan Anoa, kemungkinan besar akarnya berasal dari satu titik: penyempitan jalan di area Waliabuku (Pos 3). Ini adalah sumber frustrasi sistemik yang dampaknya merambat ke seluruh ruas jalan.
- Solusi yang Lebih Jelas: Kabar baiknya adalah masalah ini memiliki solusi yang lebih jelas dan terarah. Karena penyebab utamanya adalah geometrik jalan, bukan perilaku yang sulit diatur, maka intervensi rekayasa seperti pelebaran jalan di titik kritis menjadi solusi yang paling logis dan berpotensi paling efektif.
Sebuah Kritik Realistis dan Pandangan ke Depa
Meskipun memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk memandang hasil penelitian ini dalam konteksnya. Studi ini ibarat sebuah foto snapshot yang sangat detail dari kondisi lalu lintas, bukan sebuah film dokumenter panjang. Data dikumpulkan selama empat hari spesifik pada bulan September 2020.1 Walaupun hari-hari tersebut telah dipilih untuk mewakili hari kerja dan akhir pekan, pola lalu lintas bisa saja menunjukkan dinamika yang berbeda selama musim liburan panjang, saat ada acara besar di kota, atau pada tahun-tahun berikutnya seiring pertumbuhan kota. Ini bukanlah sebuah kelemahan, melainkan batasan yang wajar dari sebuah studi akademis, dan justru membuka pintu bagi penelitian lanjutan serta perlunya pemantauan lalu lintas secara berkelanjutan.
Selain itu, studi ini berfokus secara eksklusif pada Jalan Anoa. Tentu saja, "kesehatan" jalan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan-jalan arteri dan kolektor lain yang terhubung dengannya. Sebuah analisis yang mencakup seluruh jaringan jalan Kota Baubau di masa depan akan memberikan gambaran yang lebih holistik dan memungkinkan perencanaan yang lebih terintegrasi.
Kesimpulan: Peta Jalan Menuju Baubau yang Lebih Lancar
Pada akhirnya, penelitian mengenai manajemen dan rekayasa lalu lintas di Jalan Anoa ini lebih dari sekadar tumpukan kertas akademis; ia adalah sebuah peta jalan yang jelas dan berbasis bukti bagi pemerintah Kota Baubau. Dengan data ini di tangan, para perencana kota tidak lagi perlu meraba-raba dalam gelap untuk mengambil keputusan. Studi ini telah mengidentifikasi dengan tepat di mana letak "penyakit" utama, kapan "gejalanya" paling parah, dan apa "penyebab" dasarnya.
Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi dasar untuk intervensi kebijakan yang sangat efisien. Misalnya, dengan memprioritaskan pelebaran jalan di titik sempit sekitar Pos 3 di Waliabuku, pemerintah bisa membuka sumbatan utama dan secara signifikan meningkatkan kelancaran di seluruh ruas jalan sepanjang 10.6 km. Proyek yang terfokus seperti ini, yang didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, berpotensi mencegah kerugian ekonomi akibat kemacetan, mengurangi polusi udara, dan menghemat ribuan jam waktu komuter bagi warga setiap tahunnya dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Kisah Jalan Anoa adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak kota berkembang. Pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan, tetapi kemacetan adalah sebuah pilihan. Dengan menjadikan data dan analisis ilmiah sebagai kompas, Baubau memiliki kesempatan untuk memilih jalur pertumbuhan yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Dairi, R. H., & Khairani, I. (2021). Manajemen dan rekayasa lalu lintas pada ruas Jalan Anoa Kota Baubau. Jurnal Media Inovasi Teknik Sipil Unidayan, X(2), 67–77.