Bayangkan sejenak: lebih dari 50.000 kapal dagang berlayar di lautan dunia setiap hari, membawa 10,6 miliar ton kargo setiap tahunnya. Dari minyak mentah yang menggerakkan industri, gandum yang mengisi meja makan, hingga chip elektronik yang membuat ponsel kita menyala — semuanya bergantung pada kapal-kapal ini. Di baliknya, ada lebih dari satu juta pelaut dari berbagai bangsa yang memastikan rantai logistik global tetap berjalan, siang dan malam, dalam cuaca tenang maupun badai. Pelayaran adalah nadi tak terlihat dari ekonomi dunia, atau seperti yang kerap disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa: “the backbone of global trade.”
Namun, di balik gambaran kokoh itu, industri pelayaran sedang menghadapi gejolak yang jauh lebih sunyi, tetapi tidak kalah serius: transformasi kompetensi. Dunia maritim tidak lagi sekadar tentang mengendalikan kapal, membaca peta laut, atau mengawasi mesin. Kini, era digital memaksa pelaut menguasai radar canggih, sistem navigasi elektronik, integrasi data, bahkan kecerdasan buatan. Singkatnya, peran pelaut berevolusi seiring kapal yang makin pintar.
Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah sistem pendidikan maritim kita siap melahirkan “pelaut masa depan”?
Sejarah membuktikan bahwa kompetensi pelaut selalu ditentukan oleh teknologi. Pada masa kapal layar, pelaut belajar membaca angin, bintang, dan arus laut. Ketika mesin uap mengambil alih, keahlian mekanis menjadi syarat utama. Kini, dengan hadirnya Electronic Chart Display and Information Systems (ECDIS), GPS, hingga rencana Maritime Autonomous Surface Ships (MASS), seorang pelaut tak bisa lagi hanya mengandalkan intuisi. Ia harus fasih menavigasi dunia yang terhubung jaringan, data, dan algoritma.
Namun, perubahan besar ini bukan tanpa risiko. Ada ironi pahit yang mencuat: meski dilengkapi radar, ECDIS, dan perangkat digital, beberapa insiden kapal justru terjadi karena salah penggunaan alat tersebut. Alih-alih lebih aman, teknologi malah bisa jadi jebakan bila kompetensi awak kapal tidak berkembang seiring kemajuan alat. Ini menggugah pertanyaan lebih dalam: apakah kurikulum pelatihan yang diatur oleh Standards of Training, Certification and Watchkeeping (STCW) masih relevan untuk era otomatisasi?
Pendidikan Maritim dan Pelatihan (Maritime Education and Training, MET) telah lama dianggap sebagai salah satu pilar utama keselamatan pelayaran global. Sekretaris Jenderal International Maritime Organization (IMO) bahkan menegaskan MET sebagai “enam pilar industri maritim.” Lewat MET, lahirlah generasi pelaut yang memahami standar internasional, disiplin navigasi, hingga prosedur darurat.
Namun, MET kini berada di titik krusial. Di satu sisi, ia harus mempertahankan tradisi pembelajaran yang menekankan praktik nyata di laut, simulasi, dan disiplin teknis klasik. Di sisi lain, ia didorong untuk mengintegrasikan teknologi terbaru — mulai dari computer-based training, e-learning, hingga simulasi berbasis virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).
Masalahnya, adopsi teknologi ini tidak selalu mulus. Banyak institusi maritim yang masih gagap digital. Instruktur sering kali hanya sebatas menggunakan PowerPoint dan email, tanpa mengeksplorasi media sosial, blog, atau platform kolaboratif daring. Mahasiswa pun, meski akrab dengan gawai, sering kali kurang cakap mengolah informasi atau menghasilkan konten digital yang kompleks. Ada jurang besar antara potensi teknologi dan kesiapan SDM di MET.
Tantangan ini tidak bisa ditunda. Pertama, karena tekanan kompetitif industri. Perusahaan pelayaran global berlomba meningkatkan efisiensi, menurunkan emisi, dan mengurangi biaya dengan memanfaatkan otomatisasi. Pelaut yang tidak menguasai teknologi baru berisiko tersisih.
Kedua, karena keselamatan. Laporan-laporan investigasi kecelakaan sering menyoroti faktor manusia sebagai penyebab utama. Dalam konteks era digital, “faktor manusia” bukan hanya soal disiplin, tetapi juga soal keterampilan menggunakan sistem canggih dengan benar. Kesalahan kecil dalam membaca radar atau gagal mengoperasikan perangkat komunikasi digital bisa berakibat fatal.
Ketiga, karena kebutuhan akan keterampilan non-teknis. Dunia kerja modern menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaborasi lintas budaya, dan kepemimpinan. Di kapal otonom sekalipun, manusia tetap memegang peran vital sebagai pengawas, pengambil keputusan darurat, dan penjaga etika.
Dengan kata lain, masa depan pelaut adalah masa depan hibrida: menguasai mesin, data, dan manusia sekaligus.
Fakta Menarik dari Penelitian Ini
- Peserta Survei Beragam: Studi ini melibatkan 109 profesional pelayaran, 62 instruktur, dan 234 mahasiswa teknik pelayaran.
- 11 Kompetensi Baru: Analisis data menunjukkan munculnya 11 tema kompetensi kunci untuk operasi kapal otonom masa depan, mulai dari firefighting (penanggulangan kebakaran) hingga penggunaan RADAR dan ARPA dalam navigasi.
- Kepedulian Tinggi pada “Situasi” dan Kepemimpinan: Meski lebih banyak alat canggih hadir, kemampuan “situational awareness” (pemantauan situasi) dan kepemimpinan tetap dianggap sangat relevan oleh para ahli.
- Kesenjangan Teknologi Instruktur: Sebagian besar instruktur maritim masih mengaku hanya menggunakan teknologi di kelas pada tingkat “rutin” atau “mekanis”, dan jarang memanfaatkan alat Web 2.0 seperti media sosial dan wiki.
- Chatbot AI Berhasil Uji Coba: Prototipe chatbot AI bernama FLOKI untuk melatih aturan pelayaran (COLREGs) meraih skor 73,72 pada System Usability Scale – artinya pengguna menilainya “di atas rata-rata” (lebih baik dari skor median 70,5).
- Keterampilan Digital Mahasiswa Masih Kurang: Tes keterampilan digital (youth DSI) pada 234 mahasiswa pelayaran mengungkap area lemah di keterampilan information navigation dan content creation dibanding dimensi lain. Rendahnya kemampuan ini berpotensi membatasi pemanfaatan mode belajar jarak jauh dan digitalisasi pembelajaran.
- Rekomendasi Strategis: Hasil penelitian menyarankan agar standar pelatihan (STCW) ditinjau ulang dengan memasukkan kompetensi baru, serta menekankan pentingnya soft skill dan solusi pembelajaran terdistribusi. Para peneliti menekankan peran integrasi teknologi yang lebih intens dan pendekatan sosial-konstruktivis untuk meningkatkan efektivitas belajar.
Kompetensi Baru untuk Pelaut Otonom
Bayangkan sebuah kapal otonom yang berlayar tanpa awak di dek utama. Apa yang masih dibutuhkan dari pelautnya? Studi menemukan bahwa meski banyak tugas otomatis, masih ada banyak keterampilan klasik yang tetap krusial. Hasil pemodelan kompetensi menunjukkan 11 tema utama yang harus dikuasai oleh pelaut di era otonom. Di antaranya adalah kemampuan menjaga posisi kapal dan menjaga jalur, memeriksa dan melaporkan kerusakan muatan, mengendalikan kebakaran, hingga menggunakan sistem radar dan ECDIS untuk navigasi aman. Anehnya, teknik yang terdengar “low-tech” seperti memadamkan api atau berkomunikasi dalam situasi darurat (distress communication) tetap dicantumkan.
Temuan ini menggarisbawahi bahwa kecerdasan mesin tidak boleh membuat pelaut lengah. Para responden menilai skill situational awareness (kesiagaan terhadap situasi sekitar) dan kepemimpinan sebagai kompetensi yang sangat penting untuk masa depan. Dengan kata lain, kemampuan non-teknis seperti kepemimpinan dan pemikiran kritis(listed sebagai non-routine problem solving, self-regulation, critical thinking dll.) mendapat perhatian besar. Peneliti bahkan mengibaratkan kebutuhan 11 tema kompetensi baru ini sebagai “daftar belanja” keahlian lengkap—mulai dari IT dan keamanan siber hingga pengetahuan operasi ruang mesin dan integrasi sistem elektronik. Intinya: pelaut masa depan perlu gabungan kemampuan lama dan baru, seolah harus mahir manual dan digital sekaligus.
Tantangan Instruktur Maritim di Era Digital
Jika para pelaut perlu upgrade skill, bagaimana dengan para pendidik? Ternyata banyak kejutan. Studi kedua menilai kesiapan teknologi instruktur maritim (n=62) menggunakan skala baku TPSA-C21. Hasilnya, sebagian besar instruktur masih meremehkan alat Web 2.0: penggunaan media sosial, blog, atau wiki jauh di bawah penggunaan alat umum lain. Dengan kata lain, banyak guru maritim terkesan “bermain aman” dengan teknologi lama (seperti email atau browser web), tapi enggan memanfaatkan media sosial yang sudah jamak dipakai.
Secara gamblang, mayoritas instruktur mengaku tingkat pemanfaatan teknologi di kelas masih rutin atau mekanis. Artinya, integrasi gadget atau aplikasi baru tidak lebih dari sekadar menyalin konten presentasi ke PowerPoint—belum masuk level kolaboratif interaktif. Temuan ini mengejutkan mengingat revolusi edukasi digital yang terjadi global. Para peneliti mengibaratkan situasi ini seperti institusi pelayaran “masih menulis di papan tulis” di era kelas daring: media interaktif belum sepenuhnya diadopsi. Reluktansi memanfaatkan Web 2.0 oleh instruktur ini membuka peluang peningkatan besar. Misalnya, media sosial kelas dapat menaikkan keterlibatan mahasiswa, namun riset menunjukkan instruktur belum mengeksplorasi itu. Singkatnya, pelajaran pentingnya pelatihan guru: jika pendidik sendiri “perang dengan pengiriman email,” sulit berharap cara belajar menjadi inovatif.
Chatbot AI FLOKI: Demo Inovatif di Kelas Navigasi
Salah satu inovasi praktis dari penelitian ini adalah pengenalan chatbot berbasis AI, FLOKI, untuk pelatihan aturan pelayaran (COLREGs). Peneliti mengembangkan proof of concept ini dan mengujinya pada mahasiswa kelas dua Jurusan Nautika (n=18). Hasilnya, FLOKI mendapat skor SUS 73,72, artinya pengguna (mahasiswa) menilainya “di atas rata-rata” kemudahan penggunaan. Meski sampel kecil, skor ini menunjukkan potensi aplikasi AI dalam kelas: chatbot berhasil mengimbangi ekspektasi pengguna, bahkan bagi yang tak punya pengalaman sebelumnya.
Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan dalam penilaian antara mahasiswa yang pernah berinteraksi dengan chatbot sebelumnya dan yang tidak. Ini menandakan FLOKI mudah digunakan siapa saja, tanpa kurva belajar panjang. Poin penting lainnya: penggunaan chatbot memungkinkan pembelajaran terdistribusi dengan pendekatan konstruktivis. Artinya, siswa belajar mengkontruksi pengetahuan sendiri dengan bimbingan AI, bukan hanya menerima ceramah. Peneliti menyebut tujuan utamanya adalah mendorong diskusi tentang penggunaan praktis AI di pendidikan maritim. Secara alami, pengenalan AI ini bisa menjadi “rekan kerja” baru instruktur—mengurangi tugas monoton seperti mengulang latihan teori berulang kali, sehingga guru bisa fokus pada hal-hal kompleks. Jika dibayangkan, efeknya bisa serupa dengan menambahkan co-pilot virtual di ruang kendali kapal, yang membantu navigasi dasar sehingga kapten lebih leluasa memantau situasi besar.
Kesiapan Digital Mahasiswa Maritim: Kesenjangan yang Perlu Ditambal
Terakhir, penelitian keempat menyelidiki keterampilan digital mahasiswa maritim (n=234) menggunakan instrumen Youth Digital Skills Indicator (yDSI). Hasilnya mengejutkan: mahasiswa rata-rata cukup mahir di aspek teknis dan komunikasi, namun lemot pada penelusuran informasi dan pembuatan konten digital. Artinya, meski dapat menggunakan gadget, mereka kurang terampil “mengolah” informasi atau membuat media sendiri. Peneliti mengibaratkan kondisi ini seperti seorang wakil kapten yang tahu cara membaca radar, tapi kesulitan membuat laporan kompleks dari data yang ada.
Kesenjangan ini penting karena di era belajar online, kemampuan menemukan dan menyajikan informasi adalah kunci. Mahasiswa yang lemah pada dua dimensi ini mungkin kurang memanfaatkan mode pembelajaran terdistribusi. Jika kelas harus pindah daring penuh, mereka bisa saja kesulitan belajar mandiri. Penemuan ini menunjukkan perlunya kurikulum yang lebih menanamkan literasi digital: misalnya, tugas membuat video presentasi atau riset online intensif. Dengan menguatkan dimensi tersebut, pendidikan maritim bisa jadi lebih siap menghadapi pembelajaran hybrid (campuran tatap muka dan daring) di masa depan.
Kritik dan Keterbatasan Studi
Walau hasilnya menggugah, ada beberapa catatan penting. Studi ini sebagian besar dilakukan dalam konteks satu institusi di Norwegia (misalnya chatbot diuji dengan 18 mahasiswa pada satu universitas)researchgate.net. Penulisnya sendiri mengingatkan, ukuran sampel yang kecil dan konteks lokal membuat temuan ini perlu kehati-hatian dalam digeneralisasi ke negara atau wilayah lainresearchgate.net. Misalnya, budaya pendidikan atau infrastruktur teknologi di Asia bisa berbeda. Selain itu, fokus studi ini adalah pada pelaut navigasi; kompetensi awak teknik atau peran lain mungkin punya keunikan tersendiri. Para peneliti menyarankan agar penelitian lanjutan melibatkan pelaut dan instruktur dari berbagai wilayah dan latar belakang, serta menggunakan metode berbeda. Dengan memperluas cakupan, kita dapat menguji sejauh mana pola yang ditemukan benar-benar universal.
Dampak Nyata dan Masa Depan
Meskipun begitu, implikasi penelitian ini sangat nyata bagi industri maritim. Integrasi teknologi pembelajaran yang lebih baik dan penyesuaian kurikulum bisa membawa perubahan besar. Sebagai contoh, jika temuan mengenai AI dan platform digital diimplementasikan luas, biaya pendidikan dan sertifikasi navigasi dapat ditekan. Dengan menggantikan beberapa pengajar konvensional menjadi tutor digital atau menyediakan modul online interaktif, waktu dan biaya pelatihan dapat berkurang drastis. Penelitian ini bahkan menunjukkan potensi efisiensi: AI disebut berpotensi memangkas tugas repetitif instruktur dan meningkatkan produktivitas pembelajaran. Jika misalnya adaptasi teknologi ini diterapkan, bukan mustahil biaya pelatihan bisa turun hingga sekitar 30% dalam lima tahun ke depan, karena proses pembelajaran menjadi lebih mandiri dan terotomasi.
Secara keseluruhan, hasil riset Amit Sharma memberikan gambaran optimis sekaligus realistis: untuk mewujudkan pelaut masa depan yang siap tantangan, kurikulum perlu direvisi, pelatihan guru diperkuat, dan teknologi baru diuji di lapangan. Jika semua pemangku kepentingan bekerja sinergis – dari perusahaan pelayaran hingga regulator – temuan ini bisa mengubah wajah pendidikan maritim global.
Sumber Artikel:
Sharma, A. (2023). Potential of technology supported competence development for Maritime Education and Training.