Penelitian Ini Ungkap Kesiapan Tak Terduga Mahasiswa Teknik Qatar Hadapi Pembelajaran Jarak Jauh Darurat

Dipublikasikan oleh Hansel

23 September 2025, 16.33

unsplash.com

Saat Pandemi Mengubah Peta Pendidikan Global

Pada awal tahun 2020, dunia menyaksikan pergeseran masif yang belum pernah terjadi sebelumnya di sektor pendidikan. Ketika pandemi COVID-19 memaksa institusi pendidikan di seluruh dunia untuk menutup gerbangnya, jutaan mahasiswa dan pengajar secara tiba-tiba dipaksa beradaptasi dengan model pembelajaran jarak jauh yang sepenuhnya digital. Transisi mendadak ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah mahasiswa, terutama di bidang yang membutuhkan praktikum dan interaksi intensif seperti teknik, benar-benar siap untuk perubahan yang begitu drastis?

Sebagian besar literatur yang ada tentang pembelajaran daring berfokus pada program yang direncanakan dengan baik, di mana mahasiswa memilih untuk berpartisipasi. Namun, ada sedikit pemahaman mengenai kesiapan mahasiswa untuk beralih ke pembelajaran daring skala penuh yang mendesak dan reaktif seperti yang terjadi selama pandemi. Untuk mengisi kekosongan pengetahuan ini, sebuah penelitian penting dilakukan di Qatar. Studi ini, yang diterbitkan dalam EURASIA Journal of Mathematics, Science and Technology Education, mengambil kasus College of Engineering di Qatar University, di mana semua perkuliahan tatap muka beralih menjadi daring pada 15 Maret 2020. Menggunakan pendekatan metode campuran, penelitian ini mengumpulkan data dari 140 mahasiswa melalui survei daring, 68 dari refleksi tertulis, dan 8 dari wawancara semi-terstruktur, menawarkan wawasan mendalam mengenai apa yang benar-benar memengaruhi kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan mendadak ini.1

 

Empat Pilar Kesiapan: Dari Keyakinan Diri hingga Dukungan Lingkungan

Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini mengidentifikasi empat pilar utama yang membentuk kesiapan mahasiswa teknik untuk transisi ke pembelajaran daring. Pilar-pilar ini, yang didukung oleh temuan kualitatif, memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang memengaruhi pengalaman awal mahasiswa.

Kesiapan Awal dan Motivasi Positif

Salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan transisi adalah kesiapan awal dan motivasi yang dibangun oleh mahasiswa. Penelitian ini menemukan bahwa faktor ini secara keseluruhan memiliki skor rata-rata yang tinggi yaitu 3,90 dari skala 5, menunjukkan tingkat penerimaan yang kuat dari para partisipan.1

Lebih dari 80% partisipan memberikan umpan balik positif tentang kejelasan instruksi dan persiapan yang diberikan oleh universitas dan program studi mereka. Komunikasi yang transparan ini, yang mencakup pelatihan darurat bagi pengajar dan sesi daring untuk mahasiswa, berperan penting dalam mengurangi rasa tidak aman di awal transisi. Banyak mahasiswa mengapresiasi keputusan universitas untuk tidak menunda semester, yang mereka anggap sebagai langkah tepat untuk memastikan kelangsungan studi. Seperti yang diungkapkan oleh seorang mahasiswa dalam refleksinya, “Saya menghargai opsi studi daring ini sehingga kami dapat mencapai tujuan kurikulum semester ini tanpa membuang beberapa bulan waktu.” Ini menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa tentang appropriateness (kelayakan) perubahan adalah kunci utama yang mendorong motivasi dan sikap positif, yang pada gilirannya secara langsung memengaruhi kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan situasi baru.1

Keyakinan Diri (Self-Efficacy) dalam Mengelola Teknologi

Secara mengejutkan, pilar yang mendapat skor rata-rata tertinggi dalam survei ini adalah keyakinan diri atau self-efficacy mahasiswa terhadap pembelajaran daring, dengan skor rata-rata 4,03.1 Skor ini adalah yang paling tinggi di antara keempat faktor yang diukur. Temuan kualitatif menjelaskan mengapa skor ini begitu tinggi. Mahasiswa teknik, yang memang terbiasa bekerja dan belajar menggunakan teknologi, merasa sangat percaya diri dalam kemampuan mereka untuk menggunakan berbagai platform daring, mencari informasi, dan berkomunikasi secara efektif untuk tujuan akademik. Mereka melihat transisi ini sebagai kesempatan untuk menguasai alat-alat baru. Kepercayaan diri ini menjadi sumber motivasi tersendiri. Namun, di balik keyakinan diri yang tinggi ini tersimpan sebuah ironi yang menarik. Fakta bahwa mahasiswa merasa begitu mahir dengan alatnya (teknologi) namun menghadapi tantangan signifikan dalam mengelola prosesnya (kemandirian belajar) menyiratkan adanya kesenjangan. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa literasi digital yang kuat saja tidak cukup untuk memastikan kesuksesan dalam pembelajaran jarak jauh.1

Tantangan Terbesar: Kemandirian Belajar (Self-Directed Learning)

Meski memiliki keyakinan diri tinggi terhadap teknologi, para partisipan menunjukkan tingkat kesiapan yang paling rendah pada faktor kemandirian belajar, dengan skor rata-rata 3,54—secara signifikan lebih rendah dari ketiga faktor lainnya.1 Faktor ini mencakup kemampuan mahasiswa untuk mengambil inisiatif, mengatur waktu, menetapkan tujuan, dan mengevaluasi kemajuan belajar mereka sendiri.

Dalam narasi kualitatif, mahasiswa mengungkapkan perjuangan yang nyata di balik angka ini. Mereka mengeluhkan gangguan dari lingkungan rumah, seperti adik-adik yang ribut atau kecepatan internet yang tidak memadai, serta godaan dari media daring lainnya. Manajemen waktu, meskipun dianggap sebagai salah satu manfaat (menghemat waktu perjalanan), juga menjadi tantangan besar. Salah satu mahasiswa secara jujur mengakui, "Saya adalah musuh bagi diri saya sendiri; saya harus selalu menemukan cara untuk memotivasi diri saya dan menyuruh diri saya untuk berkonsentrasi." Perjuangan ini menyingkap fakta penting: kendala terbesar dalam pembelajaran daring darurat bukanlah masalah teknis, melainkan kurangnya keterampilan non-teknis seperti disiplin diri, fokus, dan ketahanan mental. Menilai rendahnya skor ini, studi menyimpulkan bahwa area inilah yang paling membutuhkan perhatian dan intervensi dari institusi pendidikan di masa depan.1

Dukungan Sebagai Jaring Pengaman

Faktor dukungan memiliki skor rata-rata yang tinggi, yaitu 3,97, yang mencerminkan pentingnya dukungan eksternal dalam memfasilitasi transisi yang sukses.1 Mahasiswa puas dengan dukungan umum yang mereka terima, termasuk ketersediaan materi yang cukup dan kesiapan pengajar. Namun, analisis kualitatif mengungkap nuansa yang lebih dalam tentang jenis dukungan yang mereka butuhkan.

Mahasiswa menyuarakan keinginan untuk mendapatkan lebih banyak interaksi dan kegiatan berbasis praktik. Mereka merasa pembelajaran daring cenderung berfokus pada konten teoretis dan kurang pada aspek praktis, menciptakan "kesenjangan pendidikan" yang signifikan. Mereka juga menyatakan kekhawatiran tentang format ujian dan kurangnya opsi untuk praktikum di laboratorium secara virtual. Hal ini menyoroti bahwa dukungan tidak hanya sekadar menyediakan platform, tetapi juga melibatkan adaptasi pedagogi untuk memastikan lingkungan belajar tetap aktif, partisipatif, dan berpusat pada mahasiswa, sejalan dengan saran dari penelitian lain tentang lingkungan pembelajaran daring yang efektif.1

 

Rahasia Terbesar: Mengapa Siswa Berbasis Proyek Selangkah Lebih Maju?

Di antara semua temuan, satu data yang paling mengejutkan adalah perbedaan signifikan antara mahasiswa dari kursus Problem-Based Learning (PBL) dan mereka yang berasal dari kursus non-PBL. Secara statistik, mahasiswa PBL melaporkan tingkat kesiapan yang secara signifikan lebih tinggi dalam menghadapi transisi ini dibandingkan dengan rekan-rekan mereka.1

Ini ibarat sebuah lompatan kesiapan yang signifikan, di mana mahasiswa dari kursus PBL sudah memiliki "baterai penuh" untuk menghadapi transisi, sementara yang lain memulai dari nol. Perbedaan ini terutama menonjol pada faktor kesiapan awal dan keyakinan diri. Data kualitatif memberikan penjelasan yang kuat di balik fenomena ini: mahasiswa PBL sudah terbiasa dengan metode pembelajaran yang menuntut interaksi dan kerja tim. Mereka secara rutin menggunakan alat daring seperti grup WhatsApp untuk kolaborasi bahkan sebelum pandemi. Karenanya, transisi ke platform daring tidak terasa asing bagi mereka. Kerja tim ini juga berfungsi sebagai jaring pengaman, di mana mereka dapat saling mendukung dan mengurangi perasaan kesepian yang banyak dialami oleh mahasiswa non-PBL.1

Temuan ini menunjukkan bahwa metode pengajaran berbasis proyek secara tidak langsung telah mempersiapkan mahasiswa untuk krisis dengan membangun tiga fondasi utama: kemampuan beradaptasi, jaring pengaman sosial, dan penggunaan teknologi kolaboratif. Ini menegaskan bahwa mengintegrasikan metode PBL tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga secara fundamental membangun ketahanan mahasiswa untuk menghadapi tantangan di masa depan.1

 

Kritik Realistis dan Pelajaran Berharga untuk Masa Depan Pendidikan

Sama seperti studi lainnya, penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diakui. Jumlah partisipan dalam survei (140 orang) dan wawancara (8 orang) yang relatif terbatas membatasi generalisasi hasil ke seluruh populasi mahasiswa teknik. Selain itu, sampel partisipan tidak seimbang antara laki-laki (98 orang) dan perempuan (42 orang), yang membuat interpretasi perbandingan gender menjadi terbatas. Namun, fakta bahwa laki-laki melaporkan keyakinan diri yang secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan menunjukkan adanya tantangan unik yang mungkin dihadapi oleh mahasiswa perempuan, seperti harus mengelola tanggung jawab rumah tangga atau mengurus anak di tengah pembelajaran daring.1

Studi ini juga merupakan "potret sesaat" yang diambil pada tahap awal transisi. Ini berarti hasilnya mencerminkan pengalaman awal, bukan perkembangan jangka panjang. Namun, hal ini bukanlah kelemahan, melainkan peluang. Laporan ini dapat berfungsi sebagai dasar yang sangat berharga untuk studi longitudinal di masa depan, yang dapat melacak bagaimana kesiapan mahasiswa, dan intervensi dari institusi, berkembang seiring waktu. Dengan demikian, laporan ini berfungsi sebagai landasan kuat untuk penelitian lanjutan yang lebih mendalam.1

 

Dampak Nyata: Cetak Biru untuk Menempa Insinyur Masa Depan

Keseluruhan penelitian ini memberikan sebuah "cetak biru" yang dapat diterapkan untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi ketidakpastian di masa depan. Temuan ini menegaskan bahwa kesiapan untuk perubahan tidak hanya bergantung pada kemampuan individu, tetapi juga pada dukungan sistemik dari institusi dan adopsi metode pengajaran yang tepat.

Pertama, komunikasi yang proaktif dan transparan dari pimpinan universitas sangat krusial dalam membangun motivasi mahasiswa. Kedua, model pedagogi yang interaktif dan kolaboratif, seperti PBL, terbukti secara signifikan meningkatkan kesiapan mahasiswa, mengurangi rasa isolasi, dan membangun ketahanan mental. Ketiga, institusi harus memberikan dukungan yang lebih komprehensif, tidak hanya dari segi teknis, tetapi juga dengan mengadaptasi metode pengajaran agar lebih berpusat pada partisipasi dan praktikum. Terakhir, penelitian ini menyoroti perlunya dukungan emosional bagi mahasiswa yang merasa terisolasi, menggarisbawahi pentingnya pengembangan keterampilan non-teknis seperti manajemen waktu dan disiplin diri.

Jika diterapkan, temuan ini bisa memungkinkan institusi pendidikan di seluruh dunia untuk tidak hanya sekadar bertahan di masa krisis, tetapi juga menempa generasi insinyur yang lebih tangguh dan adaptif, siap untuk menghadapi kompleksitas dan perubahan di dunia nyata.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.29333/ejmste/8474