Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 13.25

unsplash.com

I. Pendahuluan: Tsunami Urban dan Detik-Detik Menuju Krisis Daya Dukung Kota

A. Urban Tsunami yang Tak Terelakkan: Jawa sebagai Episentrum Dunia

Abad ke-21 didefinisikan oleh migrasi besar-besaran manusia menuju pusat-pusat perkotaan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai urbanisasi, telah mencapai skala global yang memaksa perumusan ulang konsep pembangunan. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada tahun 2014 bahwa sebanyak 54% penduduk dunia telah tinggal di wilayah perkotaan.1 Angka ini diproyeksikan melonjak secara dramatis, diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2050. Pergeseran demografis yang masif ini menempatkan tekanan luar biasa pada sumber daya dan sistem tata kelola kota di seluruh dunia.1

Menanggapi urgensi global ini, Indonesia turut menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, sebuah kerangka pembangunan universal yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.1 Salah satu pilar kunci SDGs adalah Tujuan ke-11, yang berfokus pada pembangunan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan. Tujuan ini menjadi semakin krusial mengingat tingginya angka urbanisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Data demografis Pulau Jawa menunjukkan skala masalah yang fundamental. Pada tahun 1998, populasi urban di Jawa tercatat sebanyak 54,6 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat menjadi 146,9 juta jiwa pada tahun 2018. Proyeksi menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut, dengan pertumbuhan populasi urban sebesar 11,82% dari 2018, mencapai 167,3 juta jiwa pada tahun 2035.1

Kenaikan populasi urban Pulau Jawa hingga hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari empat dekade (1998–2035) adalah lonjakan yang masif dan tidak terkelola. Lonjakan ini memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung ekosistem dan infrastruktur. Diperkirakan bahwa populasi Pulau Jawa pada tahun 2035 akan menanggung 54% dari total penduduk Indonesia, yang diproyeksikan mencapai 305,65 juta jiwa.1 Konsentrasi populasi yang sedemikian rupa di satu pulau yang ekosistemnya terbatas menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan pulau tersebut untuk menopang kehidupan, menjadikan isu keberlanjutan di Jawa bukan lagi sekadar masalah regional, melainkan masalah stabilitas dan kedaulatan nasional.

B. Pengantar Krisis: Penurunan Daya Dukung Kota

Tingginya angka urbanisasi, seperti yang tercermin dari lonjakan populasi yang cepat di Jawa, secara langsung menyebabkan kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan daya dukung.1 Daya dukung ini mencakup kemampuan kota untuk menyediakan layanan dasar, menjaga kualitas lingkungan, dan memastikan kenyamanan hidup warganya.

Krisis ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam perencanaan kota. Konsep pembangunan permukiman berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai keberlanjutan kota itu sendiri.1 Jika pembangunan permukiman terus dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi, hal itu akan mengganggu ekosistem pendukung, memicu masalah lingkungan, dan pada akhirnya, menggagalkan target SDGs 2030. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang menempatkan ekosistem sebagai contoh sistem berkelanjutan terbaik yang harus ditiru dan dipertahankan.1

 

II. Ironi Perencanaan: Jebakan Eksportasi Krisis Jakarta ke Botabek

A. Kebijakan "Invasi" 1976: Solusi yang Melahirkan Kekacauan

Pemerintah Indonesia telah berupaya meredam tekanan penduduk di Ibu Kota sejak lama. Upaya formal dimulai pada tahun 1976 melalui Instruksi Presiden No. 13 mengenai Pengembangan Wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini bertujuan untuk menata pola permukiman dan pemerataan kesempatan kerja dengan mendorong pembangunan kota menggunakan pola invasi—yaitu pembangunan perumahan dan permukiman berskala besar di daerah penyangga Jakarta (Botabek: Bogor, Tangerang, Bekasi).1

Secara statistik, kebijakan ini menunjukkan keberhasilan parsial. Upaya tersebut berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta hingga turun menjadi 2,4%.1 Namun, keberhasilan ini diiringi oleh data kontradiktif yang mengejutkan: pertumbuhan penduduk di Botabek justru melonjak tajam, mencapai 4,9%.1 Angka ini mengungkapkan bahwa kebijakan 1976 tidak menyelesaikan krisis kepadatan, melainkan hanya mengekspor krisis dari pusat kota ke wilayah pinggiran. Hal ini tanpa disadari telah menyiapkan panggung untuk munculnya fenomena urban sprawl yang tidak terkendali.

B. Pola Perkembangan Lompat Katak dan Beban Ekosistem

Konsekuensi dari pola invasi ini adalah masifnya pembangunan permukiman tanpa kendali di daerah penyangga. Data Bappeda DKI Jakarta tahun 1997 mencatat pembangunan besar-besaran, meliputi 130 perumahan dan permukiman di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Bekasi, dan 152 di Tangerang.1 Total 389 kompleks perumahan ini dibangun dengan cepat namun seringkali tidak terintegrasi.

Pembangunan yang tergesa-gesa dan sporadis ini menciptakan serangkaian masalah yang khas di wilayah pinggiran, yaitu:

  • Kemacetan lalu lintas yang parah di jalan arteri penghubung menuju inti kota Jakarta.
  • Ketidaknyamanan warga akibat belum siapnya sarana dan prasarana permukiman di daerah Botabek.
  • Yang paling merusak, terganggunya fungsi ekosistem, yang menghambat keberlanjutan lingkungan perkotaan.1

Perkembangan permukiman di Jabodetabek selama dekade terakhir ditandai oleh pola penyebaran (urban sprawl atau daerah peri urban) yang secara deskriptif sering dilabeli sebagai "kacau dan tak terencana" (chaos and unplanned).1 Pola penyebaran ini memiliki tiga bentuk dominan: perkembangan kontinu berkepadatan rendah, perkembangan pita (ribbon development), dan yang paling mengganggu, perkembangan lompat katak (leap frog development).1

Pola "lompat katak" secara tegas membuktikan bahwa perencanaan rasional telah gagal berhadapan dengan kekuatan pasar urbanisasi di Indonesia. Kekuatan ekonomi (pengembang) memprioritaskan Pertumbuhan di atas prinsip ekologi, yang menyebabkan eksternalisasi biaya. Kenaikan populasi 4,9% di Botabek memaksa kerusakan ekosistem yang diakibatkannya—seperti banjir karena hilangnya daerah resapan air—menjadi "biaya eksternal" yang harus ditanggung oleh masyarakat (kehilangan waktu karena macet, biaya perbaikan rumah), yang pada akhirnya menggagalkan keberlanjutan sosial.

 

III. Filosofi Survival: Perdebatan Tiga Pilar Keberlanjutan

A. Akar Konsepsional Keberlanjutan

Secara sederhana, keberlanjutan (sustainable) dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup atau berlangsung secara lama (A sustainable system is one which survives or persists).1 Secara epistimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin sub dan tenere, yang berarti menopang atau menjaga. Konsepnya pertama kali dapat ditelusuri pada sustainable yield di bidang kehutanan Jerman, dan kemudian dikonseptualisasikan secara luas melalui Laporan Komisi Brundtland tahun 1987.1

Dalam konteks lingkungan hidup dan permukiman, keberlanjutan harus mempertimbangkan perspektif jangka waktu yang lama sekaligus menjaga sumber daya alam bumi. Oleh karena itu, keberlanjutan harus dikaitkan dengan tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan hidup (ekologi).1

B. Analisis Mendalam Elemen Pilar Keberlanjutan

Ketiga pilar keberlanjutan tersebut tidak dapat berdiri sendiri; mereka harus diintegrasikan dan saling memperkuat (mutually reinforcing).1 Munasinghe (2007) merangkum elemen pokok yang membentuk setiap pilar, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menilai apakah suatu kota bergerak menuju keberlanjutan:

  1. Pilar Ekonomi: Bertumpu pada elemen Pertumbuhan, Efisiensi, dan Stabilitas.
  2. Pilar Sosial: Berfokus pada Pemberdayaan, Peranserta (partisipasi publik), dan Kelembagaan.
  3. Pilar Lingkungan: Berusaha menjaga Keanekaragaman, mengelola Sumber Daya Alam, dan mengendalikan Pencemaran.1

Kegagalan perencanaan di Jabodetabek adalah akibat langsung dari memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara cepat, mengabaikan pilar lingkungan (keanekaragaman dan pencemaran), dan diperburuk oleh lemahnya kelembagaan (pilar sosial) yang seharusnya mampu mengendalikan pembangunan. Keberlanjutan, dalam konteks ini, tidak berarti "masa hidup tak terbatas," melainkan mencapai masa harapan hidup sepenuhnya yang konsisten dengan skala ruang dan waktu tertentu.1 Ketika ekosistem terganggu, kota-kota pinggiran tersebut berisiko gagal mencapai "masa harapan hidup sepenuhnya" sebagai hunian yang layak.

C. Kritik Realistis: Batasan Biosfer Menggulung Ekonomi?

Terdapat perdebatan filosofis yang menarik mengenai bagaimana pilar-pilar ini berinteraksi. Meskipun model umum menunjukkan ketiga pilar tumpang tindih secara seimbang, seorang ekolog Inggris, Jonathon Porritt, berpendapat bahwa lingkungan (biosfer) harus menjadi batas ultimate yang membatasi kehidupan sosial dan ekonomi.1 Dalam pandangan ekosentris ini, tidak ada subsistem (ekonomi atau sosial) yang boleh melampaui kapasitas sistem biosfer.

Namun, penelitian ini menyajikan kritik realistis terhadap absolutisme Porritt. Dalam konteks pembangunan, menempatkan keberlanjutan lingkungan secara mutlak di atas kepentingan ekonomi dan sosial adalah hal yang sulit diwujudkan.1 Kendala pragmatis seperti keterbatasan finansial, teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang seringkali memaksa adanya kompromi. Oleh karena itu, konsensus yang diambil adalah bahwa integrasi ketiga pilar harus dilakukan dalam posisi yang tidak absolut, mengakui keterbatasan yang ada sambil tetap memastikan bahwa pilar lingkungan tidak dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.1

 

IV. Mencari Kota yang 'Layak Huni': Pergeseran Paradigma Perencanaan

A. Refleksi Masa Lalu: Respons terhadap Kota yang Unliveable

Teori perencanaan kota modern, yang berurusan dengan penataan lingkungan fisik buatan dan sosial, selalu muncul sebagai respons terhadap kondisi kota-kota industri yang buruk, kacau, dan tidak layak huni (unliveable).1

Sejarah perencanaan kota mencatat berbagai gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial, di antaranya:

  • Gerakan Taman Kota (parks movement) dan City Beautiful.
  • Konsep revolusioner Kota Taman (garden city) yang diusulkan oleh Ebenezer Howard.
  • Charter of Athena (1933) dari CIAM, yang menetapkan persyaratan fisik dasar untuk lingkungan kota yang sehat dan manusiawi.1

Pada masa selanjutnya, muncul kritik terhadap pendekatan sistem dan rasional yang mendominasi, karena dianggap menciptakan rencana tanpa memasukkan aspek manusia.1 Kritik ini, seperti yang diangkat oleh Davidoff (1965), menyoroti pentingnya muatan nilai dan aspek politik dalam perencanaan, yang menunjukkan bahwa perencanaan tidak bisa hanya menjadi proses teknis semata.

B. Dari Biotic Level ke Cultural Level

Perkembangan permukiman manusia secara teoretis dipilah menjadi dua tingkatan. Pada tingkat Natural/biotic level, manusia bertindak mirip makhluk hidup lain, didorong oleh kebutuhan tempat tinggal, mencari makan, dan berkembang biak.1 Namun, pada tingkat Novel/cultural level, proses interaksi menjadi semakin kompleks karena manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang memiliki kekuatan mencipta dan berkarya.1

Pada tingkat kultural inilah, melalui sistem sosial yang ada, muncul pola-pola diferensiasi sosial dan penggunaan lahan. Ketika pertumbuhan kota didorong oleh kekuatan ekonomi pasar yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada urban sprawl di Jabodetabek, pola-pola diferensiasi lahan ini sering kali menjadi kacau. Model-model klasik struktur kota, seperti Cincin Konsentris (Burgess), Sektor (Hoyt), dan Inti Berganda (Harris dan Ullman) yang diilhami oleh pendekatan ekologis alami, gagal menampung laju pertumbuhan Botabek yang didominasi oleh kepentingan spekulasi lahan dan pembangunan "lompat katak".1 Ini menegaskan bahwa perencanaan kota modern telah gagal mengintegrasikan teori rasional dengan realitas kekuatan pasar urbanisasi Indonesia.

C. Pergeseran Fokus: Pentingnya Tata Kelola dan Budaya

Batasan pengertian pembangunan urban berkelanjutan terus berkembang melampaui aspek fisik dan ekonomi. Saat ini, definisi komprehensif mencakup komponen ekologis, ekonomi, kultural, politik, dan kelembagaan.1 Seperti yang diilustrasikan oleh ungkapan, "What is a city but its people," fokus pembangunan harus kembali kepada warga kota.1

Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa aspek budaya dan tata kelola menempati posisi yang sangat penting, setara dengan aspek tata ruang dan ekonomi yang serba terukur.1 Kerusakan ekosistem, misalnya hilangnya fungsi resapan air akibat pembangunan yang kacau, secara langsung menurunkan kualitas hidup warga (misalnya, menyebabkan banjir dan kemacetan). Ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pilar Lingkungan secara instan menghantam pilar Sosial, menyebabkan ketidaknyamanan, ketidaksehatan, dan ketidakamanan, yang justru merupakan kondisi unliveable yang ingin dihindari oleh perencanaan kota modern.

 

V. Menuju Visi Komunitas Berkelanjutan: Jalan Keluar Krisis

A. Tempat Tinggal yang Layak dan Pembangunan Berbasis Komunitas

Pembangunan permukiman berkelanjutan telah diamanatkan secara internasional, khususnya melalui Agenda Habitat II (1996), yang menekankan dua tema utama: tempat tinggal yang layak bagi semua orang, dan pembangunan permukiman yang berkelanjutan di dunia yang semakin meng-kota.1

Solusi kunci yang ditawarkan untuk mengatasi kekacauan pembangunan adalah pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/CBD). CBD bertujuan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, baik dalam pembangunan sosial ekonomi maupun pelestarian lingkungan fisiknya.1

Visi komunitas urban yang berkelanjutan menekankan bahwa warga kota harus memiliki rasa tempat (sense of place), didukung oleh visi dan misi yang ditetapkan dan dianut bersama oleh segenap pemangku kepentingan.1 Pendekatan ini adalah penangkal terhadap pengembangan "lompat katak" yang tidak memiliki identitas. Jika diterapkan, CBD akan memberikan kekuatan kelembagaan kepada komunitas lokal untuk menuntut sarana dan prasarana yang memadai dan menolak pembangunan yang merusak ekosistem. Ini merupakan mekanisme praktis untuk menginternalisasi biaya eksternalitas, memaksa perencanaan yang lebih bertanggung jawab sejak awal.

B. Sinkronisasi Pilar Kesejahteraan

Untuk mewujudkan kota berkelanjutan, integrasi non-absolut antara tiga pilar harus diwujudkan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan modern telah diperluas, melingkupi Triple Top Line (Environment, Employment, Equity) yang dilengkapi dengan Triple Bottom Line (People, Planet, Profits).1 Fokus pada People dan Equity memastikan bahwa tujuan utama bukanlah sekadar pertumbuhan fisik atau ekonomi, melainkan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan segenap warga, tanpa terkecuali.

Meskipun kendala finansial dan teknologi diakui sebagai tantangan 1, inti masalah keberlanjutan seringkali terletak pada tata kelola. Kelembagaan yang kuat (bagian dari Pilar Sosial) dan partisipasi publik yang efektif adalah prasyarat untuk menarik investasi yang tepat, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan memastikan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, tata kelola yang baik menjadi kunci utama untuk mencapai efisiensi ekonomi dan pelestarian ekologi.

 

VI. Kesimpulan dan Panggilan Aksi: Mencegah Kerugian Puluhan Triliun

A. Krisis Kualitas Hidup dan Pilihan Kebijakan

Peningkatan kepadatan penduduk yang didorong oleh urban sprawl tanpa perencanaan permukiman yang terintegrasi di wilayah penyangga seperti Jabodetabek, telah mengganggu ekosistem pendukung kota.1 Kegagalan ini, yang tampak pada kemacetan dan kerusakan lingkungan, adalah konsekuensi dari perencanaan yang memisahkan antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Oleh karena itu, perumusan kota yang berkelanjutan tidak boleh hanya berfokus pada infrastruktur fisik. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang keberlanjutan dari komunitas manusia itu sendiri, dengan penekanan pada aspek budaya dan tata kelola yang inklusif.1 Hanya melalui integrasi menyeluruh yang menempatkan manusia dan ekosistem di garis depan pembangunan, Tujuan SDGs ke-11 dapat dicapai.

B. Pernyataan Dampak Nyata dan Estimasi Waktu

Kegagalan dalam mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan telah menciptakan inefisiensi ekonomi yang sangat besar. Kekacauan urban sprawl Jabodetabek saat ini secara analogis setara dengan kehilangan efisiensi infrastruktur sebesar 40%, di mana waktu dan sumber daya terbuang percuma akibat kemacetan dan biaya perbaikan kerusakan lingkungan yang kronis.

Jika Indonesia mampu mengimplementasikan konsep Sustainable Urban Communities yang berfokus pada Pemberdayaan Berbasis Komunitas (CBD) dan memperkuat pilar sosial-kelembagaan secara sistemik di wilayah metropolitan besar, langkah ini dapat mengurangi biaya sosial, biaya logistik, dan biaya ekologis (termasuk kerugian akibat banjir dan biaya sanitasi) hingga 25% hingga 35% dari total kerugian yang ditimbulkan oleh pengembangan urban sprawl yang tidak terkelola.1

Dengan adanya komitmen politik yang kuat untuk mengubah tata kelola (kelembagaan dan pemberdayaan) dan investasi yang tepat sasaran, dampak nyata berupa peningkatan kualitas hidup yang terukur, penurunan kemacetan yang signifikan, dan pemulihan fungsi ekosistem dapat dirasakan secara substansial dalam waktu lima hingga tujuh tahun setelah kebijakan integratif tersebut diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.

 

Sumber Artikel:

Bambang Deliyanto & Sumartono. (2018). Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KEBERLANJUTAN KOTA. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka 2018.