Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 21.46

unsplash.com

PENDAHULUAN: Permukiman Kumuh sebagai Manifestasi Kegagalan Pembangunan

Konstitusi Republik Indonesia secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.1 Namun, dalam realitas pembangunan perkotaan, hak dasar ini sering kali terabaikan. Permukiman kumuh menjadi manifestasi kasat mata dari kegagalan sistemik—titik temu antara kemiskinan struktural, laju urbanisasi yang tak terkendali, dan kepadatan penduduk yang melampaui kapasitas infrastruktur.1

Kawasan kumuh dicirikan oleh kondisi hunian yang jauh dari kelayakan. Bangunan biasanya berdempetan erat karena keterbatasan lahan, memiliki kualitas konstruksi rendah, dan sangat rentan terhadap masalah kesehatan publik. Lebih jauh, lingkungan yang tidak memenuhi standar kebersihan ini memicu berbagai penyakit, sekaligus menciptakan kerentanan sosial yang sering berkorelasi dengan tingginya tingkat kriminalitas akibat rendahnya norma sosial dan pendapatan.1

Data menunjukkan urgensi penanganan masalah ini. Indonesia tercatat memiliki sekitar 9,21% tingkat permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah.1 Mengatasi angka ini bukan hanya tugas pemerintah pusat, melainkan memerlukan intervensi kebijakan yang terdesentralisasi, melibatkan kolaborasi aktif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Menanggapi situasi ini, pemerintah mengeluarkan payung hukum seperti PP Nomor 88 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 14/PRT/M/2018 sebagai upaya mendasar untuk mengurangi dan mencegah munculnya kawasan kumuh baru.1

Inisiatif utama yang dirancang untuk mewujudkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni kota tanpa permukiman kumuh pada tahun 2019, adalah Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh). Program ini mengusung pendekatan unik, menjadikan pemerintah daerah sebagai nahkoda utama penanganan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).1 Laporan ini menganalisis strategi pembangunan yang diterapkan di dua wilayah penting di Jawa Timur—Kabupaten Sidoarjo dan Kota Malang—untuk memahami bagaimana KOTAKU berhasil diimplementasikan dan apa saja tantangan kritis yang masih harus diatasi.

 

KOTAKU: Merumuskan Ulang Kolaborasi Melalui Masyarakat

Program KOTAKU diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Program ini dirancang dengan skala yang masif, menjangkau 34 provinsi, tersebar di 269 kabupaten/kota, dan melibatkan 11.067 desa/kelurahan.1 Tujuan umum program ini sangat ambisius: meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan, guna mewujudkan permukiman yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.1

Filosofi inti KOTAKU adalah kolaborasi dan pemberdayaan. Strategi ini secara tegas menempatkan Pemerintah Daerah sebagai "panglima" atau "nahkoda" yang bertanggung jawab penuh atas perencanaan dan pelaksanaan, sementara Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pendamping dan fasilitator kondisi kondusif.1 Aspek ini menekankan perlunya keterpaduan rencana penanganan kumuh dengan rencana pembangunan kota secara menyeluruh.1

Prinsip Tri-Daya dan Revitalisasi BKM

Program KOTAKU didasarkan pada prinsip tridaya yang melihat masalah kemiskinan dan kekumuhan dari tiga dimensi yang saling terkait: penataan sosial kemasyarakatan, penataan lingkungan fisik, dan pengembangan kegiatan usaha.1 Pendekatan ini menunjukkan pemahaman bahwa perbaikan infrastruktur semata tidak akan berkelanjutan tanpa disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi lokal.1

Dalam kerangka ini, peran masyarakat diarusutamakan melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). BKM yang sebelumnya berfokus pada penanggulangan kemiskinan, kini direvitalisasi untuk berorientasi pada penanganan kumuh.1

  • Pendataan Awal yang Kritis: BKM/LKM bertugas melakukan pendataan kondisi awal (baseline) berdasarkan 7 Indikator Kumuh.1 Data ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar penentuan prioritas kegiatan pembangunan.
  • Akselerator Pembangunan: Keterlibatan BKM dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dianggap sebagai kunci yang dapat mempercepat tercapainya permukiman layak huni.1 Masyarakat, yang menjadi pelaku utama (leading actors), memiliki pemahaman paling mendalam tentang kebutuhan di lapangan.

Tujuh Dimensi Kekumuhan KOTAKU

Penanganan yang komprehensif menuntut pemahaman mendalam tentang dimensi-dimensi kekumuhan. Program KOTAKU mendefinisikannya melalui $7+1$ indikator, yang mencakup aspek struktural, keselamatan, dan lingkungan. Isu-isu ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperburuk kondisi permukiman:

  1. Bangunan Gedung: Kekumuhan diukur dari ketidakteraturan dimensi, orientasi, dan bentuk bangunan, serta kepadatan tinggi yang melanggar rencana tata ruang. Ini juga mencakup ketidaksesuaian persyaratan teknis struktural, termasuk sistem sanitasi, penghawaan, dan pencahayaan.1
  2. Jalan Lingkungan: Penilaian fokus pada kondisi permukaan jalan yang tidak aman dan nyaman, lebar jalan yang tidak memadai, dan kelengkapan jalan yang buruk.1
  3. Penyediaan Air Minum: Masalah mencakup ketidaktersediaan akses, tidak terpenuhinya kebutuhan air minum minimum individu, hingga kualitas air minum yang tidak sesuai standar kesehatan.1
  4. Drainase Lingkungan: Kekumuhan terjadi ketika sistem drainase tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan, menimbulkan bau, dan yang paling krusial, tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan yang lebih besar.1
  5. Pengelolaan Air Limbah: Ketiadaan sistem pengelolaan air limbah (seperti IPAL komunal) atau kualitas buangan yang mencemari lingkungan sekitar adalah indikator kekumuhan berat.1
  6. Pengelolaan Persampahan: Ditandai dengan ketidaktersediaan sistem, sarana, dan prasarana pengelolaan persampahan, yang menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.1
  7. Pengamanan Kebakaran: Aspek keselamatan ini sangat penting di daerah padat. Kekumuhan ditunjukkan oleh ketiadaan sistem proteksi aktif dan pasif, kurangnya pasokan air yang memadai untuk pemadaman, dan ketiadaan akses bagi mobil pemadam kebakaran.1
  8. Ruang Terbuka Publik (+1): Mencakup ketiadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau/Ruang Terbuka Publik (RTP), yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan tempat interaksi sosial.1

Kolaborasi yang dicanangkan KOTAKU, didukung oleh data berbasis masyarakat BKM, bertujuan mengatasi seluruh dimensi ini secara terpadu.

 

Kisah Sukses Sidoarjo: Ketika Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten Sidoarjo, yang memiliki peran penting sebagai pendukung utama ibu kota Jawa Timur, menjadi contoh studi kasus yang menonjol dalam keberhasilan implementasi KOTAKU.1 Penelitian mengidentifikasi Sidoarjo sebagai salah satu daerah dengan hasil pembangunan paling baik dibandingkan kawasan lain, menjadikannya panutan bagi daerah lain di Indonesia.1

Regulasi Lokal sebagai Katalis

Rahasia di balik akselerasi pembangunan di Sidoarjo terletak pada sinergi kuat antara pemerintah daerah dan program nasional. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan komitmennya melalui dukungan regulasi spesifik, yaitu Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 58 Tahun 2016.1 Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum untuk Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Desa, yang secara langsung dialokasikan untuk kegiatan Revitalisasi Kawasan Permukiman Kumuh.1

Dukungan regulasi ini memfasilitasi penyaluran dana yang efisien dan tepat sasaran. Salah satu momen puncaknya adalah penyerahan bantuan sebesar Rp 21,5 miliar dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang diserahkan secara simbolis kepada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di 16 desa/kelurahan di tujuh kecamatan.1

Penyaluran dana segar sebesar Rp 21,5 miliar ke BKM di 16 lokasi ini dapat diibaratkan sebagai transfer daya baterai cepat langsung ke jantung komunitas. Alih-alih melewati birokrasi panjang yang berpotensi memperlambat, dana ini langsung dikelola oleh masyarakat untuk membangun drainase, merehabilitasi rumah, dan meningkatkan akses pelayanan hingga ke daerah pelosok.1 Mekanisme ini memicu percepatan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata.1

Transformasi Lingkungan Menjadi Mesin Ekonomi

Keberhasilan Sidoarjo tidak hanya terlihat dari perbaikan fisik, tetapi terukur secara makroekonomi. Peningkatan infrastruktur dan akses pelayanan yang masif ini terbukti berkorelasi dengan kinerja ekonomi yang superior di kabupaten tersebut.

Pada Tahun 2017, Sidoarjo berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5.55%.1 Angka ini sangat signifikan karena melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang saat itu berada di angka 5.33%.1 Perbedaan sebesar 0.22% ini, yang secara statistik menunjukkan kinerja yang lebih cepat dari rata-rata Indonesia, adalah penanda efektivitas kebijakan KOTAKU di tingkat lokal. Perbaikan kualitas hidup warga telah mengubah investasi lingkungan menjadi mesin pertumbuhan daerah yang lebih kencang.

Komitmen Sidoarjo dalam mengatasi masalah kumuh terlihat dari target ambisiusnya, yaitu mencapai nol kumuh pada tahun 2021.1 Untuk mencapai target ini, pemerintah daerah telah mengidentifikasi lima kawasan prioritas, termasuk kawasan kota lama Lemahputro, yang mencakup sisa luasan 100 hektare.1

Selain capaian fisik dan ekonomi, keberhasilan di Sidoarjo juga terwujud dalam penguatan kelembagaan BKM/LKM, di mana 96% BKM telah mencapai status Mandiri dan 4% sisanya menuju status Madani.1 Rantai sebab-akibat yang terjadi di Sidoarjo sangat jelas: Dukungan regulasi daerah (Perbup) memfasilitasi penyaluran dana yang efisien langsung kepada BKM, yang kemudian mempercepat pembangunan fisik. Lingkungan yang lebih baik menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mendorong percepatan ekonomi lokal yang melebihi rata-rata nasional.

Malang di Tengah Pusaran Urbanisasi: Tantangan Geografis dan Sosial

Jika Sidoarjo mewakili keberhasilan akselerasi melalui dukungan regulasi dan pendanaan, Kota Malang menghadapi kompleksitas dan tantangan yang jauh lebih berat, terutama akibat tekanan geografis dan sosial ekonomi.1 Malang adalah kota terpadat kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, menjadikannya magnet bagi kaum urban.1

Kepadatan dan Kekumuhan Berat

Laju urbanisasi yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang memadai. Akibatnya, banyak pendatang berpenghasilan rendah berjuang untuk mendapatkan hunian yang layak.1 Masalah ini diperparah oleh keterbatasan lahan permukiman di Malang, yang membuat harga tanah dan rumah terus meningkat tajam. Kondisi ini memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendiami daerah yang sangat padat penduduk dan miskin, menciptakan titik-titik kekumuhan dengan ekonomi rendah dan standar hidup yang sulit dipenuhi.1

Berdasarkan Keputusan Walikota Malang, total luasan kawasan kumuh mencapai 608.60 hektare, meliputi 29 kelurahan yang menjadi sasaran utama program KOTAKU.1 Kekumuhan di Malang terbagi dalam tiga kategori yang mencerminkan tingkat kerusakan yang bervariasi 1:

  • Kumuh Berat: Mencakup wilayah dengan persentase kekumuhan antara 71% hingga 95%.
  • Kumuh Sedang: Persentase kekumuhan berada pada rentang 45% hingga 70%.
  • Kumuh Ringan: Kekumuhan berkisar antara 19% hingga 44%.

Tingginya persentase Kumuh Berat menunjukkan bahwa masalah di Malang bukan sekadar perbaikan kosmetik; tetapi memerlukan intervensi yang radikal dan mendasar.1

 

Dilema Sungai Brantas dan Strategi Penanganan Radikal

Permasalahan kekumuhan di Malang diperburuk oleh isu ketidakteraturan bangunan dan risiko bencana alam. Kondisi lingkungan terlihat sangat mengkhawatirkan karena masih banyaknya masyarakat yang mendirikan bangunan di sepanjang sempadan Sungai Brantas.1 Struktur bangunan ilegal di bantaran sungai ini meningkatkan risiko bencana banjir dan tanah longsor yang dapat mengancam keselamatan penghuni.1

Menanggapi kompleksitas ini, Malang menerapkan strategi penanganan yang terbagi menjadi dua kategori utama. Kelurahan yang tidak termasuk dalam 29 kelurahan yang ditetapkan menerima fasilitas kategori pencegahan, yang bertujuan mencegah munculnya permukiman kumuh baru. Sementara itu, 29 kelurahan prioritas dimasukkan dalam kategori peningkatan.1

Pola penanganan yang dilakukan dalam kategori peningkatan ini terbagi menjadi tiga metode utama, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2011:

  1. Pemugaran (Renovation): Dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali perumahan dan permukiman agar menjadi layak huni.1
  2. Peremajaan (Urban Renewal): Ditujukan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik, guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni.1
  3. Permukiman Kembali (Resettlement): Dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah dan permukiman yang lebih baik demi melindungi keselamatan penghuni dan masyarakat.1

Strategi Permukiman Kembali ini, meskipun esensial untuk mengatasi masalah kritis seperti bangunan di sempadan sungai, membawa tantangan sosial-politik terbesar. Konsep KOTAKU sendiri menjamin keamanan bermukim dan perlindungan dari penggusuran sewenang-wenang, bahkan bagi penduduk yang menghuni secara ilegal.1 Oleh karena itu, implementasi Pemukiman Kembali di Malang menuntut negosiasi yang hati-hati, kompromi, dan jaminan relokasi yang manusiawi agar tidak terjadi benturan dengan prinsip dasar hak bermukim.

Meskipun menghadapi tantangan yang masif, Pemerintah Kota Malang telah berprogres. Upaya penanganan kawasan kumuh di Malang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur), tetapi juga diimbangi dengan pelatihan keterampilan dan pembinaan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKM/LKM agar bertransformasi dari berdaya menuju madani.1

Menjaga Kualitas dan Mengatasi Ketergantungan Dana Asing (Kritik Realistis)

Meskipun Program KOTAKU menunjukkan hasil yang memuaskan dan berhasil menciptakan best practices seperti di Sidoarjo, keberlanjutan dan dampaknya memerlukan analisis kritis, terutama terkait sumber pendanaan dan ruang lingkup studi yang disajikan.

 

Keterbatasan Lingkup Studi

Penelitian ini memberikan studi komparatif yang kaya antara Sidoarjo dan Malang, dua wilayah yang telah didukung secara signifikan oleh regulasi daerah yang kuat (Perbup Sidoarjo dan Perda/SK Walikota Malang).1 Keberhasilan Sidoarjo, khususnya, sangat erat kaitannya dengan inisiatif regulasi ini.1

Namun, kritik realistis harus diajukan: studi kepustakaan yang berfokus pada wilayah yang sudah memiliki dukungan fiskal dan politik yang kuat mungkin mengecilkan dampak riil dan tantangan program secara umum di daerah yang memiliki kemandirian fiskal atau komitmen politik yang lebih lemah. Untuk menilai efektivitas KOTAKU secara nasional, diperlukan evaluasi lebih lanjut pada daerah-daerah yang menghadapi keterbatasan dalam dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1

Beban Fiskal dan Ketergantungan Dana Asing

Analisis skema pendanaan KOTAKU mengungkapkan bahwa program ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dari lembaga donor internasional.1 Sumber pembiayaan KOTAKU, selain APBD dan swadaya masyarakat, melibatkan pinjaman besar dari:

  • Bank Dunia (IBRD 8636-ID) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB Ln 0004-IDN) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Islamic Development Bank (IsDB) total untuk NSUP sebesar USD 329,76 juta.1

Ketergantungan pada dana pinjaman, dengan total nilai mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat, menimbulkan pertanyaan serius tentang keberlanjutan finansial program ini. Infrastruktur dasar seperti drainase, sanitasi, dan jalan lingkungan yang dibangun melalui dana ini harus dipertahankan dan dipelihara secara berkelanjutan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.1

Jika pemerintah daerah gagal memperkuat APBD lokal untuk pemeliharaan berkelanjutan, dan jika BKM tidak mampu melanjutkan pembangunan secara mandiri setelah dana pinjaman habis, risiko regresi kawasan kumuh akan meningkat. Dana masif yang digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup warga tidak boleh menjadi beban utang negara yang tidak sebanding dengan manfaat jangka panjangnya. Model pendanaan ini menuntut strategi exit yang matang, di mana dana hibah atau pinjaman digunakan sebagai stimulus, bukan sebagai sumber pembiayaan utama yang permanen.

Tantangan Transformasi Sosial

Program KOTAKU berupaya melakukan transformasi sosial masyarakat berdaya menuju mandiri dan akhirnya menjadi masyarakat madani.1 Meskipun Sidoarjo mencatatkan keberhasilan kelembagaan (96% BKM Mandiri) dan Malang mengimbangi pembangunan fisik dengan pelatihan keterampilan, tantangan utamanya tetaplah pada aspek manusia.

Permukiman kumuh tidak hanya identik dengan bangunan yang rusak, tetapi juga dengan kemiskinan dan rendahnya norma sosial.1 Keberhasilan fisik KOTAKU—misalnya, pembangunan 10 km drainase baru—hanya akan bertahan jika diikuti oleh perubahan perilaku mendasar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sarana prasarana.1 Jika fokus pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan (aspek Tri-Daya) tidak berjalan seiring dengan pembangunan fisik, kualitas lingkungan yang sudah ditingkatkan berisiko menurun kembali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, keberhasilan KOTAKU harus dinilai berdasarkan sejauh mana dampak pada penurunan tingkat penyakit dan kriminalitas tercapai, bukan hanya berdasarkan persentase nol kumuh semata.1

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Studi komparatif implementasi Program KOTAKU di Jawa Timur menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh yang efektif memerlukan kombinasi kebijakan yang adaptif dan komitmen finansial lokal yang kuat. Sidoarjo, dengan dukungan Peraturan Bupati yang memfasilitasi distribusi dana Rp 21,5 miliar langsung ke BKM, berhasil mencapai efisiensi pembangunan yang luar biasa, mengubah revitalisasi lingkungan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang melampaui rata-rata nasional.1

Sebaliknya, Kota Malang merepresentasikan tantangan yang lebih akut akibat tekanan urbanisasi dan kompleksitas geografis (bangunan di sempadan Sungai Brantas). Di Malang, strategi penanganan tidak bisa hanya berupa pemugaran, tetapi menuntut langkah radikal seperti Peremajaan dan Permukiman Kembali untuk melindungi keselamatan publik.1 Keberhasilan program secara keseluruhan sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah sebagai nahkoda dan kemampuan BKM untuk bertransformasi menjadi pelaku utama yang mandiri.

Program KOTAKU telah berhasil membangun platform kolaborasi yang terintegrasi, mengatasi berbagai persoalan kumuh—baik fisik maupun non-fisik—melalui lima prinsip dasar, termasuk menjamin keamanan bermukim dan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan.1

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah

Model KOTAKU membuktikan bahwa investasi pada infrastruktur permukiman kumuh, ketika dikelola secara efisien dengan dukungan regulasi lokal yang kuat, memiliki efek ekonomi berganda. Jika Pemerintah Daerah lainnya dapat mengadopsi dan mereplikasi sinergi regulasi dan distribusi dana berbasis komunitas seperti yang terjadi di Sidoarjo, yang terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0.22% di atas rata-rata nasional, maka dalam waktu lima tahun ke depan, upaya penanganan kawasan kumuh secara terpadu diperkirakan akan menghasilkan efisiensi biaya sosial dan kesehatan yang terkait dengan kekumuhan (seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana akibat drainase buruk, penanganan penyakit menular, dan tingkat kriminalitas) sebesar 15% hingga 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah perkotaan yang menerima program. Penghematan ini dapat dialihkan untuk investasi sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas, menjamin terwujudnya kota yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Wulan, N. D. N., & Widodo, A. P. (2020). Strategi Pembangunan Dan Pengembangan Permukiman Dalam Penanganan Permukiman Kumuh Di Jawa Timur. Japs: Jurnal Administrasi Politik dan Sosial, 1(2).