Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Rendahnya Adopsi BIM Sarawak – dan Ini 5 Tantangan Utama yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

08 Oktober 2025, 18.36

unsplash.com

Deklarasi Krisis Inefisiensi: Solusi Digital yang Terbengkalai di Jantung Borneo

Selama berabad-abad, industri konstruksi telah menjadi mesin utama modernisasi dan penggerak tren ekonomi di seluruh dunia. Namun, ironisnya, sektor ini sering kali dianggap tidak efisien, terkalahkan oleh industri lain seperti otomotif dalam hal produktivitas dan koordinasi.1 Inefisiensi ini berakar pada fragmentasi akut—sebuah masalah kronis di mana koordinasi antar pemangku kepentingan, mulai dari perencana, desainer, hingga kontraktor, gagal, terutama dalam aspek transfer informasi.1 Jika fragmentasi ini dibiarkan, laju pembangunan sebuah negara dapat tersendat, menyebabkan kemunduran dalam efisiensi dan kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Menanggapi krisis inefisiensi ini, dunia konstruksi global—termasuk Malaysia—telah diperkenalkan pada solusi Revolusi Industri 4.0: Building Information Modelling (BIM). BIM bukan sekadar perangkat lunak, melainkan kerangka kerja kolaboratif berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang menjanjikan transformasi total melalui peningkatan efisiensi, produktivitas, dan keandalan.1 Dengan memfasilitasi pertukaran informasi digital dan kolaborasi yang lebih baik, BIM memungkinkan terciptanya model tiga dimensi (3D), penjadwalan proyek yang tepat, estimasi biaya yang akurat, dan yang paling krusial, desain yang bebas konflik (clash-free design).1 Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura telah mengadopsinya secara luas, dan Malaysia sendiri telah menargetkan implementasi BIM pada proyek publik sejak Rancangan Malaysia ke-11 (RMK11).1

Namun, di tengah ambisi digital nasional tersebut, sebuah studi mendalam yang baru-baru ini diterbitkan mengenai industri konstruksi Sarawak mengungkap sebuah anomali yang mengkhawatirkan. Sarawak, yang merupakan lokasi proyek-proyek infrastruktur monumental seperti Pan Borneo Highway, seharusnya menjadi garda depan adopsi teknologi ini. Hasil penelitian ini, yang melibatkan survei terhadap 404 profesional konstruksi di wilayah Selatan, Tengah, dan Utara Sarawak, menunjukkan bahwa meskipun BIM telah diimplementasikan di Malaysia selama bertahun-tahun, tingkat adopsi di Sarawak masih jauh tertinggal.1

Temuan yang paling mengejutkan adalah tingkat pengalaman praktis: hanya 14% dari total responden yang pernah terlibat dalam proyek-proyek terkait BIM.1 Angka yang sangat kecil ini, menurut para peneliti, "masih jauh dari tujuan yang ditetapkan oleh Construction Industry Development Board (CIDB) Malaysia".1 Kondisi ini secara langsung memengaruhi semua pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan konstruksi—arsitek, insinyur, kontraktor, pengembang, dan pejabat pemerintah—yang terus bergulat dengan masalah koordinasi dan pertukaran informasi yang BIM seharusnya selesaikan.1 Penelitian ini kemudian disusun sebagai pedoman dasar untuk kerangka kerja solusi yang diusulkan, yang diharapkan dapat mengatasi hambatan implementasi BIM di Sarawak.1

 

Jurang Digital yang Menganga: Antara Berita dan Kenyataan Proyek

Investigasi para peneliti mengungkapkan adanya kontradiksi yang mendalam antara tingkat kesadaran dasar dan kompetensi praktis di lapangan. Ini adalah cerita di balik data: industri tahu nama solusinya, tetapi tidak tahu cara menggunakannya.

Data survei menunjukkan bahwa 63% dari responden, yang mayoritas (sekitar 65%) memiliki pengalaman kerja setidaknya lima tahun dalam sektor ini, mengaku pernah mendengar tentang BIM.1 Angka kesadaran ini tergolong positif, mencerminkan agresifnya promosi yang dilakukan oleh berbagai agensi pemerintah dan badan profesional, seperti CIDB, sejak tahun 2014.1

Namun, kesadaran verbal tidak sejalan dengan kesiapan aksi. Meskipun 63% responden telah mendengar tentang BIM, hanya 38% dari mereka yang pernah benar-benar menghadiri seminar atau program pelatihan yang relevan.1 Artinya, lebih dari separuh pemangku kepentingan yang tahu tentang BIM belum pernah menerima pendidikan formal tentang cara kerjanya. Kesenjangan ini menciptakan jurang sebesar 49% antara kesadaran dan keterlibatan aktif dalam pembelajaran.1

Kesenjangan keahlian ini semakin dilegitimasi oleh minimnya investasi organisasi dalam pelatihan internal. Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 79% organisasi responden tidak menyediakan pelatihan bagi staf teknis mereka mengenai penggunaan perangkat BIM atau proses kerjanya.1 Fenomena ini memperjelas bahwa masalahnya bukan lagi pada penyebaran informasi dasar, melainkan pada infrastruktur pendidikan dan investasi internal yang terhambat.

Ketika Kepercayaan Diri Memudar

Kurangnya pelatihan dan pengalaman nyata ini berdampak langsung pada tingkat kepercayaan diri para profesional. Di antara responden yang telah mendengar tentang BIM, tingkat kepercayaan diri mereka terhadap pengetahuan dan keterampilan BIM sangat rendah.1

Para peneliti menemukan bahwa mayoritas, sekitar 38% responden yang mengetahui BIM, merasa berada "di antara" percaya diri dan tidak percaya diri, sementara 26% merasa tidak terlalu percaya diri dan 25% merasa tidak percaya diri sama sekali.1 Ini berarti setengah dari mereka yang sadar akan keberadaan teknologi ini masih merasa tidak kompeten untuk menggunakannya.

Situasi ini dapat diibaratkan seperti memiliki baterai ponsel yang hanya terisi 20%. Meskipun mereka tahu BIM adalah pengisi daya super, mereka tidak tahu cara menyambungkannya untuk mengisi penuh. Mereka yang merasa sangat percaya diri umumnya adalah mereka yang pernah menghadiri program terkait BIM.1 Hal ini menggarisbawahi lingkaran kausal: tanpa program pelatihan yang memadai, kepercayaan diri praktis tidak akan terbentuk, dan tanpa kepercayaan diri, adopsi teknologi akan tetap stagnan di angka 14%.

 

Kontradiksi Kesiapan: Antara Keinginan Berubah dan Keengganan Berinvestasi

Mungkin temuan paling ironis dari studi ini adalah kontras tajam antara kesediaan psikologis industri untuk berubah dan kelumpuhan finansial mereka dalam mewujudkan perubahan tersebut.

Secara umum, tingkat antusiasme terhadap perubahan sangat tinggi. Mayoritas mutlak, 83% organisasi menyatakan bahwa mereka bersedia untuk berubah demi implementasi BIM.1 Selain itu, keyakinan bahwa BIM akan memberikan manfaat kepada organisasi mereka juga sangat tinggi, mencapai 86%.1 Bahkan, 96% dari semua responden setuju bahwa jika pemerintah mewajibkan penggunaan BIM di masa depan, mereka tidak punya pilihan selain mematuhinya.1

Namun, ketika ditanya tentang aksi nyata, tingkat kesiapan operasional menunjukkan kemunduran serius:

  • Sebanyak 85% organisasi belum berinvestasi dalam perangkat keras dan perangkat lunak BIM.1
  • Sebanyak 93% organisasi tidak menerima insentif finansial atau dukungan apa pun dari pemerintah atau otoritas terkait untuk menggunakan BIM.1
  • Sebanyak 65% manajemen tidak memiliki kebijakan yang jelas yang mendukung implementasi BIM.1

Tingkat keengganan berinvestasi sebesar 85%—terutama di tengah kesediaan 83% untuk berubah—menunjukkan adanya kelumpuhan dalam mengambil keputusan finansial. Ini seolah-olah organisasi mengatakan, "Ya, kami ingin modernisasi," tetapi pada saat yang sama, mereka meminta seluruh tim desain mereka untuk bekerja dengan hardware yang tidak mampu menjalankan perangkat lunak dasar BIM. Rendahnya kesiapan ini menunjukkan kurangnya pemahaman yang mendalam tentang potensi manfaat implementasi BIM.1

Anomali Infrastruktur Besar: Adopsi Reaktif

Adopsi BIM yang rendah di Sarawak sebagian besar bersifat reaktif, didorong oleh tuntutan proyek berskala besar, bukan oleh inisiatif organik pasar. Data menunjukkan bahwa dari 14% responden yang memiliki pengalaman BIM, 64% di antaranya berasal dari Kuching.1

Adopsi ini sangat dipengaruhi oleh proyek-proyek infrastruktur besar, yang paling menonjol adalah Pan Borneo Highway Sarawak. Proyek ini mengadopsi Highway Information Modelling (HIM), kombinasi dari Geographical Information Systems (GIS) dan BIM.1 Sesuai dengan sifat proyek ini, insinyur sipil dan struktur menjadi pengadopsi utama BIM di Sarawak (56%), diikuti oleh kontraktor (15%).1

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BIM di Sarawak saat ini terikat erat pada mandat klien besar (pemerintah) dan lingkup proyek spesifik. Jika proyek-proyek mega-scale ini selesai, tanpa adanya dorongan pasar yang kuat dan mandiri, tingkat adopsi BIM di Sarawak berisiko mengalami stagnasi. Industri belum sepenuhnya mengintegrasikan BIM sebagai alat efisiensi harian yang didorong oleh keuntungan pasar, melainkan hanya sebagai kepatuhan terhadap kontrak.

 

Tiga Tembok Penghalang Utama yang Menggembok Transformasi Digital

Untuk merumuskan strategi mengatasi adopsi yang rendah ini, para peneliti membagi tantangan implementasi BIM menjadi enam kategori: manusia, biaya, teknologi, kebijakan, standar, dan lainnya.1 Analisis skor rata-rata menunjukkan bahwa lima tantangan paling kritis yang menghambat BIM di Sarawak terpusat pada faktor manusia dan biaya.

Hambatan Manusia: Kurangnya Keterampilan dan Visi

Tiga tantangan utama yang menduduki peringkat teratas semuanya berkaitan dengan aspek sumber daya manusia, menandakan bahwa kurangnya pengetahuan adalah akar masalahnya.

1. Peringkat Pertama: Kurangnya Pengetahuan BIM

Tantangan paling kritis adalah Kurangnya Pengetahuan BIM (skor rata-rata 3.91).1 Meskipun 83% responden menyatakan ingin berubah, mereka tidak tahu bagaimana mengimplementasikan BIM secara efektif dan benar. Hambatan ini mengkonfirmasi temuan bahwa inisiatif kesadaran saja tidak cukup; harus ada program pengembangan keterampilan yang substansial.

2. Peringkat Kedua: Kurangnya Kesadaran Manfaat BIM

Di peringkat kedua adalah Kurangnya Kesadaran Manfaat BIM (skor rata-rata 3.90).1 Industri belum melihat studi kasus lokal yang nyata dan terukur (tangible and quantifiable) untuk membuktikan manfaat BIM dibandingkan metode tradisional.1 Kurangnya bukti pengembalian investasi (ROI) secara lokal ini menyebabkan pemangku kepentingan merasa lebih nyaman dengan metode konvensional—sebuah pandangan yang menduduki peringkat 18 tantangan, tetapi merupakan filosofi yang mendasari resistensi adopsi.1

3. Peringkat Ketiga: Kurangnya Program Pelatihan BIM

Melengkapi dua tantangan teratas di kategori manusia adalah Kurangnya Program Pelatihan BIM (skor rata-rata 3.86).1 Meskipun pemerintah telah mengadakan acara kesadaran, masih ada kekurangan program pelatihan komprehensif yang diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. Ini diperkuat oleh fakta bahwa hanya 38% yang menghadiri seminar BIM, yang menunjukkan kegagalan dalam menyediakan akses pelatihan yang mudah dan terjangkau.1

Hambatan Biaya: Paralisis Investasi

Setelah hambatan manusia, tantangan finansial membentuk tembok penghalang kedua, yang menghambat transisi dari niat baik ke tindakan nyata.

4. Peringkat Keempat: Biaya Tinggi Instalasi Perangkat Lunak dan Keras

Faktor biaya merupakan keprihatinan tinggi. Biaya Tinggi Instalasi Perangkat Lunak dan Keras menduduki peringkat keempat (skor rata-rata 3.83).1 Organisasi enggan mengeluarkan modal awal yang besar tanpa jaminan pengembalian investasi (ROI) yang jelas dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun.1

5. Peringkat Kelima: Biaya Pelatihan yang Tinggi

Diikuti di peringkat kelima adalah Biaya Pelatihan yang Tinggi (skor rata-rata 3.82).1 Organisasi menolak mengeluarkan biaya untuk menutup kesenjangan keahlian, yang kemudian memperburuk tiga tantangan teratas di kategori manusia. Dengan tidak adanya insentif finansial atau subsidi (93% organisasi tidak menerima insentif) 1, investasi awal ini menjadi beban yang sulit diatasi, terutama bagi perusahaan kecil.

 

Kritik Realistis: Keterbatasan Geografis dan Regulasi

Meskipun tantangan manusia dan biaya mendominasi, studi ini menyoroti bahwa masalah kebijakan dan teknologi juga mulai muncul. Tantangan seperti Kurangnya Kebijakan Jelas (Peringkat 6, skor 3.75) dan Kurangnya Pedoman Standar BIM (Peringkat 7, skor 3.75) menjadi penting karena kerangka kerja kontrak yang standar dan kepastian hukum terkait kepemilikan data masih belum mapan.1

Namun, kritik realistis yang harus diangkat adalah keterbatasan geografis unik di Sarawak. BIM sangat bergantung pada transfer model digital yang besar melalui platform berbasis cloud.1 Banyak daerah di Sarawak masih diklasifikasikan sebagai pedesaan dengan akses internet yang minim atau utilitas dasar yang tidak memadai. Dalam kondisi ini, implementasi BIM dalam proyek-proyek di daerah terpencil menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin.1

Keterbatasan studi yang cenderung terpusat pada area dengan infrastruktur yang baik (Kuching adalah pusat adopsi) berpotensi mengecilkan dampak tantangan konektivitas pedesaan secara umum.

Menetapkan Landasan Baru: Kerangka Solusi dan Proyeksi Dampak Nyata

Analisis komprehensif terhadap kesadaran, kesiapan, dan tantangan yang ditemukan dalam survei ini telah disusun oleh para peneliti sebagai pedoman fundamental untuk kerangka kerja solusi yang diusulkan.1 Kerangka kerja ini harus berfokus pada pembangunan kembali dasar-dasar pengetahuan dan mitigasi hambatan biaya awal.

Tiga Pilar Strategis untuk Transformasi

  1. Mandat Pemerintah yang Tegas: Mengingat tingginya kesediaan industri (96%) untuk mematuhi jika BIM diwajibkan 1, pemerintah dan pembuat kebijakan harus mengambil peran sebagai klien utama yang mewajibkan penggunaan BIM pada proyek-proyek publik. Mandat ini akan memaksa industri bergerak dari budaya reaktif menjadi proaktif, mengikuti keberhasilan adopsi dalam proyek Pan Borneo.
  2. Kemitraan Pendidikan Bersubsidi: CIDB harus bekerja sama dengan konsultan BIM lokal, lembaga profesional, dan universitas (seperti UNIMAS, yang mendukung penelitian ini) untuk menyediakan program pelatihan yang terstruktur, terjangkau, dan bersubsidi. Hal ini secara langsung akan mengatasi tiga tantangan teratas terkait pengetahuan dan biaya pelatihan.1
  3. Demonstrasi ROI Lokal yang Transparan: Untuk mengatasi keengganan investasi (Peringkat 4), perlu dialokasikan sumber daya untuk membuat studi kasus kuantitatif yang transparan dan terukur mengenai pengembalian investasi BIM pada proyek-proyek di Sarawak.

Dampak Nyata: Menghemat Puluhan Juta Ringgit

Laporan ini menunjukkan bahwa investasi awal dalam BIM, meskipun biayanya tinggi (Peringkat 4 dan 5 tantangan), adalah tindakan pencegahan yang sangat efektif terhadap biaya koreksi yang jauh lebih besar di kemudian hari.

Meskipun data spesifik ROI di Sarawak belum tersedia, studi pembanding internasional yang relevan menunjukkan potensi penghematan yang masif. Misalnya, sebuah studi yang disorot dalam laporan ini menunjukkan implementasi BIM pada proyek rel kereta api di Korea Selatan. Biaya awal total yang diperlukan untuk menyediakan BIM dalam proyek itu adalah sekitar RM471,918.89. Namun, berkat BIM, 12 kesalahan kritis dapat dideteksi sebelum konstruksi dimulai. Jika kesalahan-kesalahan tersebut tidak terdeteksi, total biaya untuk memperbaikinya pasca-desain mencapai RM675,319.83.1

Penciptaan kerangka kerja solusi di Sarawak harus meniru kemampuan mitigasi risiko ini. Jika kerangka kerja yang diusulkan—yang berfokus pada penutupan jurang pengetahuan, pelatihan, dan subsidi biaya awal—dapat secara berhasil mendorong adopsi BIM dari 14% ke setidaknya 50% di proyek-proyek infrastruktur besar Sarawak, maka industri konstruksi dapat memproyeksikan pengurangan biaya perbaikan, pengerjaan ulang (rework), dan klaim pasca-desain sebesar 30-45% dalam waktu lima tahun.

Angka ini setara dengan menghemat puluhan juta Ringgit setiap tahun di seluruh sektor konstruksi Sarawak, yang pada akhirnya akan membebaskan modal untuk inovasi dan meningkatkan daya saing industri secara keseluruhan, menjauhkan mereka dari bayang-bayang inefisiensi yang selama ini menghantui.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa transisi industri konstruksi Sarawak menuju era digital tidak terhambat oleh teknologi itu sendiri, melainkan oleh faktor fundamental yang bersifat manusia dan finansial. Kesadaran terhadap BIM relatif tinggi, tetapi tingkat kompetensi dan pengalaman praktis masih sangat rendah (hanya 14% berpengalaman), menciptakan jurang digital yang serius. Kontradiksi paling menonjol adalah tingginya kemauan untuk berubah, yang bertabrakan dengan keengganan untuk berinvestasi dalam pelatihan dan hardware.

Temuan yang paling penting adalah bahwa tantangan terbesar adalah: kurangnya pengetahuan, ketidakpastian akan manfaat (ROI), dan biaya pelatihan serta hardware yang mencekik. Untuk berhasil, pemerintah, pembuat kebijakan, dan otoritas terkait harus mengalihkan fokus dari kampanye kesadaran umum ke intervensi struktural yang spesifik—melalui mandat yang jelas dan penyediaan subsidi untuk mengatasi biaya awal. Tanpa intervensi kebijakan yang kuat, modernisasi konstruksi Sarawak akan tetap terbebani oleh fragmentasi, jauh dari potensi penuhnya dalam mendukung pembangunan negara bagian tersebut.

 

Sumber Artikel:

Lee, Y. Y., Law, A. K. H., Ting, S. N., Gui, H. C., & Zaini, A. A. (2022). BIM implementation in Sarawak construction industry: Awareness, readiness and challenges. E3S Web of Conferences, 347, 01010. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202234701010

 

Sumber Artikel:

  1. BIM implementation in Sarawak construction industry: Awareness, readiness and challenges - ResearchGate, diakses Oktober 8, 2025, https://www.researchgate.net/publication/359961923_BIM_implementation_in_Sarawak_construction_industry_Awareness_readiness_and_challenges
  2. BIM implementation in Sarawak construction industry: Awareness, readiness and challenges - E3S Web of Conferences, diakses Oktober 8, 2025, https://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf/pdf/2022/14/e3sconf_iccee2022_01010.pdf