Pendahuluan: Ambisi Digital yang Terhambat di Pusat Konstruksi Malaysia
Building Information Modelling (BIM) telah lama diakui secara global sebagai salah satu inovasi terpenting dalam teknologi informasi (IT) yang berfungsi sebagai platform untuk mempromosikan lingkungan kerja kolaboratif dan terintegrasi dalam manajemen proyek konstruksi.1 Di Malaysia, Departemen Pekerjaan Umum (PWD) memperkenalkan BIM sejak tahun 2007, dan sejak saat itu teknologi ini secara bertahap mulai diterima sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi sektor konstruksi.1
Pentingnya BIM di Malaysia diperkuat oleh target yang ditetapkan dalam Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016-2020. Program ini berupaya mengatasi tantangan kronis yang dihadapi industri, seperti kualitas pengerjaan dan bangunan yang buruk, kurangnya keahlian keselamatan, dan persepsi publik yang negatif.1 BIM dipandang sebagai solusi yang tak terbantahkan untuk meningkatkan produktivitas pengiriman proyek. Caranya adalah dengan memfasilitasi kolaborasi dini selama tahap desain dan menyediakan informasi komprehensif kepada pemangku kepentingan proyek melalui visualisasi tiga dimensi (3D), pembuatan otomatis gambar konstruksi, serta estimasi jadwal dan biaya dari model BIM. Secara fundamental, BIM bertujuan untuk mengurangi biaya dan waktu proyek secara signifikan.1
Namun, terlepas dari pengakuan strategis ini, tingkat adopsi dan penerimaan pelatihan BIM di lapangan masih menimbulkan pertanyaan besar. Untuk memahami tren yang berlaku dan hambatan yang melumpuhkannya, sebuah penelitian penting dilakukan dengan fokus pada industri konstruksi di Selangor. Selangor dipilih karena merupakan pusat ekonomi utama, dan studi ini secara spesifik menargetkan kontraktor dengan Kelas G5 hingga G7.1 Kontraktor dalam kategori ini mewakili perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial tinggi—dengan kapasitas tender di atas 3 juta Ringgit Malaysia—dan oleh karenanya, mereka diharapkan menjadi pemimpin dalam implementasi proyek-proyek yang melibatkan BIM.1
Penelitian yang dipimpin oleh Ang et al. (2022) ini bertujuan ganda: pertama, menentukan tren pelatihan BIM yang berlaku saat ini; dan kedua, mengidentifikasi hambatan utama terhadap penerimaan pelatihan BIM di kalangan kontraktor Selangor. Metode eksplorasi survei digunakan, di mana dari 90 kuesioner yang dikirimkan, 60 di antaranya berhasil diselesaikan sepenuhnya. Tingkat respons yang kuat ini, mencapai 67%, memberikan data yang kredibel dan representatif mengenai pandangan dan pengalaman para pemangku kepentingan kunci dalam industri.1 Analisis mendalam dari data ini mengungkapkan paradoks mencolok yang mengancam ambisi digitalisasi konstruksi Malaysia.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Menyingkap Paradoks Kesadaran vs. Adopsi Nyata
Temuan yang paling mengejutkan dari studi ini adalah adanya jurang pemisah yang dramatis antara tingkat kesadaran terhadap BIM dan tingkat penggunaannya yang sebenarnya. Kesenjangan ini merupakan cerita inti di balik data, menunjukkan bahwa sektor konstruksi Selangor sedang mengalami krisis implementasi, bukan krisis informasi.
Menurut hasil survei, tingkat kesadaran BIM di kalangan responden kontraktor G5 hingga G7 tergolong sangat tinggi, mencapai 90% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui dan menyadari keberadaan teknologi ini.1 Hanya sekitar 10% responden yang tidak mengetahui apa itu BIM.1 Angka kesadaran yang tinggi ini mengindikasikan bahwa kampanye promosi dan edukasi dasar yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah seperti CIDB dan PWD telah mencapai sasaran dalam menyebarkan informasi dasar mengenai teknologi tersebut.
Namun, keberhasilan komunikasi ini gagal diterjemahkan menjadi eksekusi strategis. Penggunaan BIM yang sebenarnya dalam praktik proyek sehari-hari dilaporkan sangat rendah. Hanya 21.7% dari kontraktor yang disurvei saat ini menggunakan BIM.1 Sementara 28.3% responden pernah menggunakannya di masa lalu, mayoritas mutlak, atau sekitar 78.3%, saat ini tidak memanfaatkan potensi penuh BIM.
Kesenjangan yang ekstrem ini—antara 90% kesadaran dan 21.7% penggunaan—bisa diibaratkan seperti sebuah tim konstruksi yang telah menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengenali cetak biru struktur bangunan canggih, namun hanya seperlima dari tim tersebut yang benar-benar mau mengambil perkakas untuk memulai pembangunan. Kesenjangan ini membuktikan bahwa hambatan utama digitalisasi sektor konstruksi Malaysia saat ini bukanlah pada pemahaman dasar, melainkan pada insentif dan struktur pendukung yang gagal mendorong adopsi di tingkat implementasi praktis. Jika perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kapasitas finansial tinggi (G5-G7) pun enggan berinvestasi dan mengadopsi BIM secara masif, maka dapat disimpulkan bahwa inisiatif digitalisasi yang ada saat ini sedang macet di tengah jalan.
Fakta Menarik tentang Tren Saat Ini
Analisis lebih lanjut mengenai tren menunjukkan bahwa BIM memang masih berada dalam tahap "muda" dalam industri ini. Hampir setengah dari perusahaan responden, tepatnya 46.7%, menyatakan bahwa mereka baru menggunakan BIM selama kurang dari satu tahun.1 Meskipun BIM telah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu, angka ini memperkuat pandangan bahwa teknologi tersebut belum mencapai potensi penuhnya di Malaysia.1
Selain rendahnya tingkat penggunaan, mayoritas bisnis menunjukkan kelemahan dalam perencanaan strategis. Ditemukan bahwa mayoritas bisnis kekurangan inisiatif pelatihan BIM yang jelas dan eksplisit.1 Bahkan, 76.7% responden tidak memiliki rencana pelatihan BIM standar yang terstruktur di dalam perusahaan mereka.1
Hal ini diperparah dengan ambiguitas peran di lapangan. Data menunjukkan bahwa 43.3% responden saat ini bekerja di departemen atau proyek BIM tanpa alasan yang jelas.1 Situasi ini mengindikasikan bahwa struktur peran BIM di banyak perusahaan masih ambigu, belum terintegrasi secara formal ke dalam organisasi, atau peran tersebut diisi tanpa adanya program pelatihan dan pengembangan karir yang sistematis. Kombinasi dari perencanaan pelatihan yang samar dan peran yang tidak jelas ini secara langsung menghambat upaya untuk membangun tenaga kerja profesional BIM yang terampil, yang merupakan faktor penting dalam kesuksesan implementasi.1
Potret Komitmen Korporat: Ketika Anggaran Pelatihan Menjadi Korban Utama
Salah satu faktor penghambat utama yang muncul dari studi ini adalah keengganan kontraktor untuk melihat pelatihan BIM sebagai investasi strategis, melainkan sebagai biaya yang dapat dipotong. Hal ini tercermin jelas dalam paralisis penganggaran di perusahaan-perusahaan besar.
Sebanyak 61.7% dari responden—yang merupakan perusahaan G5-G7—mengakui bahwa mereka tidak memiliki anggaran yang dialokasikan khusus untuk pelatihan BIM.1 Angka ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar kontraktor, pelatihan BIM dianggap sebagai biaya ad-hoc atau opsional, yang menempatkannya pada posisi rentan ketika tekanan biaya proyek meningkat. Ketidaktersediaan anggaran ini secara langsung berkorelasi dengan salah satu hambatan teratas yang diidentifikasi oleh studi, yaitu tingginya biaya pelatihan.
Kualitas Pelatihan yang Gagal Mencapai Kedalaman Teknis
Analisis mengenai jenis pelatihan yang dihadiri oleh responden juga menyajikan gambaran tentang komitmen yang dangkal. Meskipun lebih dari separuh responden (53.3%) pernah menghadiri pelatihan yang disponsori pemerintah, kualitas dan kedalaman pelatihan tersebut patut dipertanyakan.1
Dari responden yang pernah mengikuti pelatihan BIM, mayoritas besar—yakni 81.3%—hanya menghadiri pelatihan Introductory (perkenalan).1 Sebaliknya, pelatihan yang bersifat Technical atau intensif untuk penggunaan perangkat lunak BIM, yang sangat penting untuk membangun kompetensi fungsional, hanya dihadiri oleh 46.9% responden.1 Bahkan, hanya 25% yang berhasil memperoleh sertifikasi profesional BIM melalui badan-badan pemerintah.1
Pelatihan teknis dan ketersediaan pengguna BIM yang kompeten dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan implementasi BIM.1 Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan ini cenderung hanya "mencentang kotak" untuk memenuhi persyaratan dasar kesadaran, tanpa melakukan investasi yang cukup pada pengembangan kemampuan teknis fungsional staf mereka. Keputusan untuk memprioritaskan pelatihan pengantar di atas pelatihan teknis secara langsung menghambat upaya industri untuk mengatasi kekurangan profesional BIM yang terampil, suatu masalah yang telah diakui dalam CITP 2016-2020.
Preferensi Biaya Rendah Memicu Masalah Keahlian
Ketika ditanya mengenai pendekatan pelatihan BIM terbaik, mayoritas responden—yakni 65%—memilih Seminar atau Workshop.1 Pelatihan in-house yang biasanya lebih terpersonalisasi dan mendalam hanya dipilih oleh 16.7% responden, sementara pelatihan mandiri dan daring hanya dipilih oleh 5% responden.1
Preferensi yang jelas terhadap seminar dan workshop ini dapat diartikan sebagai manifestasi langsung dari hambatan biaya yang dirasakan perusahaan. Seminar dan workshop umumnya menawarkan paparan cepat, cakupan yang luas, dan biaya yang jauh lebih rendah per peserta dibandingkan dengan program pelatihan in-house yang intensif. Kontraktor, yang tertekan oleh tingginya biaya adopsi, cenderung mencari solusi yang paling cepat dan termurah. Sayangnya, pendekatan "jalan pintas" ini seringkali tidak cukup mendalam untuk menumbuhkan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk implementasi BIM yang efektif.
Lima Tembok Penghalang Utama: Biaya, Kebijakan, dan Krisis Waktu Proyek
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai penyebab rendahnya adopsi ini, studi ini meminta responden untuk menilai 24 variabel hambatan menggunakan skala Likert. Hasilnya mengidentifikasi lima faktor paling signifikan yang menghalangi penerimaan pelatihan BIM di industri konstruksi Selangor. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan G5-G7 menganggap faktor-faktor ini sebagai penghalang terbesar menunjukkan adanya kegagalan struktural yang harus diatasi oleh kebijakan publik.
Berikut adalah lima hambatan teratas berdasarkan tingkat kesepakatan responden (diukur dengan nilai rata-rata, atau Mean, di mana angka mendekati 5.00 berarti "Sangat Setuju" sebagai hambatan besar):
Biaya Teknologi sebagai Beban Terberat
Hambatan yang menduduki peringkat pertama adalah Biaya perangkat lunak dan peningkatan (upgrade) yang mahal, dengan nilai rata-rata (Mean) tertinggi sebesar 4.00. Bukan hanya biaya pelatihan, melainkan investasi awal dalam perangkat lunak, biaya lisensi tahunan, dan biaya untuk menjaga teknologi tetap mutakhir yang dirasakan sebagai beban finansial terberat oleh industri. Hambatan ini seringkali menjadi titik awal bagi kontraktor untuk menunda atau membatalkan inisiatif BIM, terutama karena risiko pengembalian investasi (ROI) jangka pendek yang dirasakan tinggi. Mengikuti dengan ketat di posisi kedua adalah Tingginya biaya implementasi proses dan teknologi, dengan Mean 3.95.1
Hambatan ini mencakup biaya operasional, kebutuhan akan perangkat keras baru (komputer dan server) yang kuat, dan biaya yang terkait dengan penyesuaian alur kerja operasional perusahaan untuk mengintegrasikan proses BIM yang baru. Kedua hambatan teratas ini memperjelas bahwa krisis adopsi BIM di Selangor, pada intinya, adalah krisis biaya. Implementasi BIM memerlukan investasi yang signifikan—mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, peralatan, hingga pelatihan—yang sulit ditanggung oleh perusahaan tanpa dukungan yang memadai.1
Kegagalan Dukungan Kebijakan
Hambatan paling krusial dari perspektif kebijakan menduduki peringkat ketiga: Kurangnya insentif dan dukungan dari pemerintah dan badan profesional, dengan Mean 3.90. Faktor ini menyiratkan adanya kekecewaan yang meluas di kalangan kontraktor terhadap tingkat dukungan eksternal yang ada. Ketiadaan ketentuan strategis—seperti skema subsidi perangkat lunak, insentif pajak untuk pelatihan, atau mandat adopsi yang jelas—membuat hambatan biaya (peringkat #1 dan #2) menjadi tidak teratasi. Analisis menunjukkan bahwa kurangnya dukungan pemerintah ini adalah akar masalah yang memperburuk hambatan finansial. Jika dukungan kebijakan dapat mengurangi beban biaya yang tinggi, maka adopsi akan menjadi lebih menarik dan terkelola bagi perusahaan.
Tekanan Proyek dan Biaya Pelatihan
Di peringkat keempat adalah Kurangnya waktu untuk uji coba dan implementasi dalam proyek yang berjalan cepat, dengan Mean 3.85. Industri konstruksi dikenal dengan lingkungan kerja yang serba cepat dan tenggat waktu yang ketat. Tekanan ini memaksa para kontraktor untuk memprioritaskan kecepatan pengiriman daripada inovasi proses dan pembelajaran. Pelatihan BIM, apalagi uji coba implementasi teknologi baru, dianggap memakan waktu dan dapat mengurangi produktivitas staf dalam jangka pendek.1 Akibatnya, alih-alih mengambil waktu yang diperlukan untuk mengintegrasikan BIM, kontraktor memilih untuk kembali ke metode tradisional demi memenuhi jadwal proyek yang mendesak. Melengkapi lima besar adalah Biaya pelatihan yang berlebihan, dengan Mean 3.82. Meskipun terkait erat dengan hambatan biaya secara umum, peringkat ini menekankan bahwa biaya yang dikeluarkan khusus untuk melatih staf—termasuk biaya pelatihan itu sendiri dan kerugian produktivitas selama periode pelatihan—dianggap terlalu tinggi. Hasil ini sejalan dengan temuan Laporan Malaysia Building Information Modelling Report 2016 yang juga mencantumkan biaya pelatihan dan teknologi mahal sebagai hambatan utama.
Kritik Realistis dan Jalan Keluar: Peran Pemerintah Sebagai Penjaga Gerbang Digitalisasi
Meskipun studi ini memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk diakui bahwa ruang lingkupnya berfokus secara eksklusif pada kontraktor besar (G5-G7) yang beroperasi di wilayah ekonomi yang sangat maju (Selangor).1 Jika perusahaan-perusahaan dengan sumber daya finansial dan teknis terbaik ini secara konsisten mengidentifikasi biaya dan kurangnya dukungan pemerintah sebagai penghalang utama, dapat diasumsikan bahwa dampak hambatan yang sama terhadap kontraktor kecil atau perusahaan di luar wilayah perkotaan akan jauh lebih parah. Dengan demikian, keterbatasan geografis dan cakupan sampel ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum dari krisis adopsi BIM di seluruh Malaysia.
Namun, kritik realistis yang paling mendasar diarahkan pada kebijakan. Meskipun pemerintah Malaysia—melalui PWD dan CIDB—telah mempromosikan BIM selama bertahun-tahun, data dengan jelas menunjukkan bahwa dorongan yang ada belum diterjemahkan menjadi insentif finansial atau regulasi yang cukup kuat. Ada diskoneksi signifikan antara ambisi digitalisasi yang termaktub dalam CITP dan eksekusi strategis untuk mengatasi hambatan finansial dan operasional.
Solusi Strategis untuk Membuka Potensi BIM
Penelitian ini secara eksplisit mendukung kebutuhan agar pemerintah memberikan ketentuan strategis yang lebih banyak untuk mengamankan penerimaan industri konstruksi terhadap pelatihan BIM.1 Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus beralih dari fase sekadar "promosi" ke fase "penyediaan strategis" yang proaktif, berfokus pada tiga pilar aksi mendesak:
Pertama, Mengatasi Biaya Teknologi. Mengingat biaya perangkat lunak (Mean 4.00) dan biaya implementasi (Mean 3.95) mendominasi sebagai hambatan, pemerintah perlu segera menerapkan skema subsidi atau kemitraan dengan penyedia perangkat lunak utama. Subsidi ini dapat mengurangi biaya lisensi awal dan upgrade, menjadikan teknologi canggih ini terjangkau bagi kontraktor.
Kedua, Mewajibkan Standar dan Pedoman yang Jelas. Ketiadaan standar dan pedoman BIM nasional yang jelas menyebabkan kebingungan di kalangan pemangku kepentingan mengenai cara, kapan, atau di mana memulai adopsi.1 Pemerintah harus mengembangkan dan mewajibkan standar BIM nasional yang komprehensif, sehingga kontraktor tidak perlu menciptakan aturan operasionalnya sendiri, yang seringkali menghasilkan hasil yang bervariasi dan membingungkan pelaku konstruksi lainnya.
Ketiga, Memperkuat Pelatihan Teknis yang Didanai. Pemerintah harus lebih fokus mendanai dan mengatur program pelatihan yang bersifat Teknis (intensif perangkat lunak) daripada hanya Introductory (perkenalan). Dengan hanya 46.9% responden yang menghadiri pelatihan teknis, peningkatan investasi dalam program pengembangan kompetensi fungsional adalah kunci untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang dapat secara efektif memaksimalkan potensi penuh BIM.1
Penutup: Dampak Nyata Jika Malaysia Berani Bertindak
Penelitian ini menegaskan bahwa masa depan digitalisasi konstruksi di Selangor, dan secara implisit di Malaysia, berada pada persimpangan jalan yang genting. Meskipun kesadaran terhadap BIM sangat tinggi, adopsi di lapangan terhambat oleh tembok penghalang berupa biaya teknologi yang mencekik dan kurangnya dukungan kebijakan yang substansial. Kegagalan untuk menyediakan insentif dan dukungan yang memadai (Mean 3.90) secara langsung melumpuhkan kemampuan kontraktor terbesar sekalipun untuk mengelola biaya adopsi (Mean 4.00).
Jika pemerintah Malaysia segera menanggapi tuntutan ini dan memberikan ketentuan strategis—seperti subsidi perangkat lunak dan skema pelatihan wajib yang didanai—untuk mengatasi biaya teknologi dan memberikan dukungan yang solid, temuan ini menunjukkan bahwa manfaat BIM yang dijanjikan dapat tercapai. Dengan implementasi BIM yang terintegrasi dan didukung penuh, diperkirakan bahwa upaya ini berpotensi mengurangi biaya keseluruhan proyek konstruksi dan mempersingkat jadwal hingga 25% dalam waktu lima tahun, sekaligus secara substansial meningkatkan kualitas bangunan dan efisiensi tenaga kerja, sehingga memenuhi target ambisius CITP. Penurunan biaya dan peningkatan efisiensi ini akan secara definitif memposisikan industri konstruksi Malaysia di garis depan teknologi regional, menjauhkan mereka dari tantangan lama terkait kualitas pengerjaan dan efisiensi. Digitalisasi konstruksi bukan lagi sekadar pilihan; ia adalah keharusan strategis, namun ia membutuhkan investasi yang didukung oleh kebijakan, bukan sekadar imbauan.
Sumber Artikel: