Ketika Tulang Punggung Ekonomi Menolak Kemajuan Digital
Di tengah hiruk pikuk pembangunan infrastruktur dan properti yang menopang perekonomian, industri konstruksi Malaysia menghadapi paradoks modernisasi yang krusial. Sektor ini, yang merupakan penyumbang signifikan, tercatat memberikan kontribusi sebesar 48.7% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Malaysia pada tahun 2020.1 UKM adalah 'tulang punggung' sejati, bertugas memastikan proyek-proyek vital berjalan lancar dan efisien.
Namun, meskipun peran mereka sangat penting, upaya pemerintah Malaysia untuk mendigitalisasi sektor konstruksi melalui penerapan Building Information Modelling (BIM) — sebuah teknologi pemodelan canggih — masih menghadapi resistensi masif. Pemerintah telah memperkenalkan inisiatif BIM sejak tahun 2007, tetapi hasilnya masih jauh dari memuaskan. Evaluasi terkini menunjukkan bahwa hanya 13% dari 268 partisipan dari sektor publik dan swasta di Malaysia yang menggunakan BIM dalam organisasi mereka, sebuah "tanda negatif" bahwa Malaysia masih tertinggal jauh dalam implementasi teknologi ini.1
Keengganan ini semakin mengakar kuat di segmen UKM, yang secara historis memang lebih sulit untuk didorong menuju inovasi teknologi. Sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh Noor Akmal Adillah Ismail dan tim (2022) mengeksplorasi secara spesifik mengapa kontraktor UKM di Malaysia masih enggan mengadopsi BIM, padahal teknologi ini menjanjikan lonjakan efisiensi proyek yang sangat dibutuhkan.1
Melalui survei kuantitatif di wilayah sentral Klang Valley, penelitian ini secara tegas mengonfirmasi sebuah hipotesis yang telah lama diperbincangkan: dinding penghalang tertinggi menuju modernisasi bukanlah kompleksitas teknis atau kurangnya dukungan, melainkan masalah biaya yang bersifat sistemik dan menyeluruh.1 Temuan ini tidak hanya mengungkap hambatan operasional, tetapi juga memicu pertanyaan mendasar tentang daya saing ekonomi Malaysia di masa depan.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Masa Depan Konstruksi Nasional?
Memahami urgensi adopsi BIM membutuhkan pemahaman tentang apa sebenarnya BIM itu dan seberapa besar peran UKM dalam ekosistem konstruksi. BIM didefinisikan sebagai teknologi yang terdiri dari alat digital untuk perencanaan proyek, desain, pemantauan, dan kontrol, bertujuan utama untuk memastikan efisiensi dalam pengiriman proyek konstruksi.1 Negara-negara maju seperti Inggris, AS, Singapura, dan banyak negara Eropa telah mengimplementasikan BIM secara luas, menjadikannya standar industri.
Siapa yang Paling Terdampak oleh Hambatan Ini?
Fokus penelitian ini adalah UKM, yang dalam definisi Malaysia merujuk pada perusahaan yang memiliki karyawan purna waktu tidak melebihi 75 pekerja atau omzet penjualan tidak melebihi RM20 juta.1 UKM ini adalah penerima manfaat utama dari peningkatan efisiensi, tetapi sekaligus yang paling rentan terhadap risiko investasi teknologi.
Survei yang dilakukan melibatkan kontraktor UKM yang terdaftar di Construction Industry Development Board (CIDB) Malaysia di wilayah Klang Valley.1 Dari 375 kuesioner yang didistribusikan, peneliti berhasil mengumpulkan 101 respons, menghasilkan tingkat respons 26.9%.1
Data adopsi yang dihasilkan dari sampel ini sangat mencengangkan dan menggambarkan kesenjangan digital yang menganga:
- Sebanyak 65.3% dari kontraktor UKM yang merespons menyatakan bahwa mereka belum mempraktikkan BIM.1
- Hanya 34.7% yang telah menggunakan teknologi BIM.1
Ini adalah cerminan mikrokosmos dari data nasional yang lebih luas, di mana tingkat adopsi BIM di seluruh negeri masih sangat rendah.1 Kesenjangan ini menciptakan ancaman langsung terhadap sektor yang menyumbang hampir setengah dari PDB UKM.1 Jika mayoritas UKM terus beroperasi di bawah model yang efisien-rendah (pendekatan tradisional), daya saing Malaysia secara keseluruhan akan terhambat, apalagi ketika industri global telah beralih ke standar 3D digital terpadu.
Maka, pertanyaan utamanya menjadi, apa yang sesungguhnya membuat 65.3% kontraktor ini menahan diri dari adopsi, meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai inisiatif selama lebih dari satu dekade?
Biaya: Raja Penghalang Adopsi Teknologi di Lapangan
Analisis deskriptif dan Indeks Rata-rata (Mean Index) yang diterapkan pada survei ini secara mutlak menempatkan isu biaya sebagai kategori tantangan paling dominan.1 Dari 13 pernyataan tantangan yang disajikan, tiga peringkat teratas — yang secara kolektif diyakini paling menghambat modernisasi — semuanya berkaitan dengan pengeluaran finansial.
Temuan ini secara gamblang menunjukkan bahwa investasi awal yang diperlukan untuk bertransisi ke BIM dianggap sebagai penghalang masuk (barrier to entry) yang terlalu tinggi bagi UKM yang memiliki sumber daya terbatas.
Tiga Dinding Biaya yang Menjerat UKM
Peringkat tantangan diukur menggunakan skala Likert (1 hingga 5), di mana nilai rata-rata yang lebih tinggi menunjukkan tingkat persetujuan yang lebih besar bahwa pernyataan tersebut adalah tantangan yang signifikan.
1. Biaya Investasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak Tinggi (Peringkat 1)
Tantangan yang mendapatkan peringkat tertinggi adalah "Biaya investasi pada perangkat lunak dan perangkat keras BIM tinggi," dengan nilai rata-rata (Mean Value) mencengangkan, yaitu 4.36 dari skala 5.1
Narasi di balik data ini sangat jelas: bagi kontraktor UKM, biaya untuk membeli lisensi software khusus BIM (seperti Revit atau Navisworks) dan memperbarui perangkat keras komputer yang mampu menjalankan pemodelan 3D yang intensif secara grafis terasa mencekik.1 UKM memiliki pandangan yang kuat bahwa BIM adalah teknologi yang mahal untuk diadopsi.1
Pandangan ini diperkuat oleh literatur sebelumnya yang menunjukkan bahwa investasi awal BIM membutuhkan pembaruan besar pada perangkat lunak dan perangkat keras.1 Lebih lanjut, di mata UKM, janji Return on Investment (ROI) yang tidak terlalu fantastis—literatur menyebutkan ROI BIM berkisar antara 10% hingga 25%—tidak sebanding dengan risiko biaya awal yang harus ditanggung.1 Kontraktor UKM cenderung melihat BIM sebagai biaya tambahan yang berisiko, alih-alih sebagai investasi strategis jangka panjang.
2. Biaya Ekstra Pelatihan dan Perekrutan Tenaga Ahli (Peringkat 2)
Hambatan terbesar kedua adalah "Kebutuhan biaya ekstra untuk mengirim staf yang sudah ada atau mempekerjakan keahlian baru," dengan nilai rata-rata 4.33.1
Adopsi BIM bukan hanya tentang membeli lisensi; ini adalah tentang mempekerjakan atau mengembangkan sumber daya manusia yang mampu mengoperasikannya. Angka 4.33 ini menunjukkan bahwa biaya pelatihan dan rekrutmen dipandang hampir sama memberatkannya dengan biaya perangkat itu sendiri.1 Kontraktor menyadari bahwa untuk mencapai adopsi BIM yang memuaskan, mereka perlu mengeluarkan biaya tambahan yang signifikan untuk pelatihan staf.1
- Analogi Kuantitatif yang Hidup: Anggaplah investasi pada BIM dan pelatihan ini berhasil. Keahlian baru ini dapat menghasilkan efisiensi perencanaan proyek (misalnya, pengurangan kesalahan desain dan pengerjaan ulang) yang setara dengan melompatkan efisiensi dari 25% ke 65% dalam satu kali pengiriman proyek. Namun, biaya awal untuk menghasilkan satu ‘BIM Modeller’ bersertifikat, termasuk waktu dan biaya kursus intensif, sering kali jauh melebihi kemampuan anggaran UKM, yang berjuang dengan margin tipis.
3. Alokasi Biaya Sertifikasi dan Lisensi (Peringkat 3)
Melengkapi trio tantangan biaya adalah "Alokasi biaya untuk persyaratan sertifikasi dan lisensi," dengan nilai rata-rata 4.18.1 Tantangan ini merupakan konsekuensi langsung dari peringkat kedua.
Setelah biaya pelatihan yang mahal, kontraktor masih harus menanggung biaya lanjutan untuk sertifikasi dan lisensi yang membuktikan kompetensi staf.1 Hal ini menuntut staf tidak hanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk pelatihan, tetapi juga memerlukan biaya berkelanjutan untuk pemeliharaan sertifikasi profesional.1
Secara keseluruhan, temuan ini menggarisbawahi realitas pahit di lapangan: UKM mungkin secara ideologis mendukung modernisasi, tetapi kenyataan finansial bahwa tiga pos pengeluaran terpenting (perangkat keras, keahlian, dan sertifikasi) menempati peringkat teratas adalah sinyal yang jelas bahwa intervensi finansial, seperti subsidi atau skema bantuan biaya, sangat dibutuhkan.
Mengurai Benang Kusut Masalah Sistem dan Keterampilan
Tantangan biaya menciptakan hambatan yang diperparah oleh keraguan praktis seputar sistem dan ketersediaan pengetahuan. UKM tidak hanya khawatir tentang biaya; mereka juga khawatir bahwa investasi mahal itu tidak akan berfungsi dengan baik atau tidak ada yang tahu cara menggunakannya.
Isu Kompatibilitas dan Peralatan Kategori ‘Sistem’
Dalam kategori ‘Sistem yang Dibutuhkan’, dua pernyataan menarik perhatian dan menempati peringkat di luar biaya:
- Peralatan High-Tech (Peringkat 5): BIM membutuhkan peralatan high-tech (Mean 4.14).1
- Ketidakcocokan Sistem (Peringkat 4): Peralatan dan software BIM mungkin tidak kompatibel dengan kontraktor, subkontraktor, dan pihak lain yang terlibat dalam proyek yang sama (Mean 4.14).1
Masalah kompatibilitas ini, yang menempati peringkat keempat secara keseluruhan, menunjukkan kekhawatiran praktis di kalangan kontraktor. Mereka tidak hanya harus mengeluarkan biaya untuk peralatan mahal, tetapi mereka juga menghadapi risiko bahwa software BIM mereka mungkin tidak dapat ‘berbicara’ dengan mulus dengan sistem rekanan proyek yang lebih besar atau lebih kecil.1 Bagi UKM yang memiliki sumber daya terbatas, risiko investasi pada sistem yang mungkin tidak interoperable dengan rantai pasokan konstruksi yang lebih luas adalah alasan kuat untuk mempertahankan pendekatan tradisional.
Tantangan Pengetahuan dan Keterampilan
Biaya pelatihan yang tinggi (Peringkat 2) memiliki efek domino pada kategori ‘Kurangnya Pengetahuan’. Jika investasi pada staf sulit dilakukan, tingkat keterampilan umum secara otomatis akan menurun.
Beberapa hambatan terkait pengetahuan teridentifikasi:
- Kekurangan Keterampilan IT (Peringkat 6): Kontraktor dinilai kurang dalam keterampilan Teknologi Informasi (IT), terutama BIM (Mean 4.11).1
- Konsep yang Kompleks (Peringkat 10): Konsep dan penggunaan BIM dianggap kompleks dan bervariasi (Mean 4.06).1
- Minimnya Pengetahuan Dasar (Peringkat 11): Kebanyakan kontraktor tidak memiliki pengetahuan dasar atau umum tentang BIM (Mean 4.04).1
Ini menciptakan lingkaran setan: biaya yang menghambat pelatihan menyebabkan kurangnya keterampilan, dan kurangnya keterampilan (Mean 4.11) membuat kontraktor memandang BIM sebagai "beban kerja tambahan" yang kompleks (Mean 4.06) dan sulit, sehingga membenarkan keengganan mereka untuk mengeluarkan biaya investasi.1 Kurangnya kesadaran dan pemahaman yang jelas tentang manfaat dan cara mengombinasikan BIM dengan metode kerja saat ini membuat manfaatnya sulit ditentukan oleh UKM.1
Resistensi Perubahan: Ketika Cara Lama Dianggap Lebih Aman
Tantangan finansial, sistem, dan pengetahuan berujung pada kategori terakhir: ‘Kesiapan untuk Berubah’ (Readiness to Change). Ini adalah hambatan psikologis dan budaya yang sering muncul ketika inovasi mengancam zona nyaman operasional yang sudah mapan.
Faktor kesiapan untuk berubah menunjukkan bahwa transisi dari metode tradisional dianggap penuh dengan risiko dan kebutuhan akan upaya besar.
- Transisi yang Menghabiskan Sumber Daya (Peringkat 13): Transisi dari metode tradisional ke BIM dipercaya memerlukan banyak biaya, waktu, dan usaha (Mean 4.04).1 Ini menempati peringkat terendah dalam 13 tantangan, namun nilainya masih signifikan, menunjukkan bahwa faktor biaya (yang mendominasi peringkat 1, 2, 3) adalah faktor pendorong di balik keengganan ini.
- Staf yang Enggan Dilatih (Peringkat 7): Staf dalam organisasi sering kali tidak siap untuk dilatih (Mean 4.11).1 Keengganan ini bukanlah semata-mata masalah budaya. Jika perusahaan tidak yakin akan potensi keuntungan investasi BIM, staf juga akan enggan menghabiskan waktu dan tenaga untuk pelatihan yang mungkin tidak didukung oleh proyek yang memadai di masa depan.
- Kelangkaan Talenta (Peringkat 12): Terdapat kekurangan BIM Modeller yang kompeten untuk direkrut di Malaysia (Mean 4.04).1
UKM menunjukkan resistensi terhadap perubahan karena mereka mempersepsikan BIM berada di luar zona nyaman mereka, penuh dengan ketidakpastian kontraktual dan hukum, sehingga lebih aman untuk mempertahankan prosedur tradisional yang sudah dikenal.1 Resistensi ini memastikan bahwa implementasi BIM, meskipun sudah didorong oleh pemerintah, tetap lamban dan jauh dari target yang seharusnya dicapai Malaysia.
Kritik Realistis dan Proyeksi Dampak Nyata
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi secara kuantitatif bahwa biaya (perangkat, pelatihan, dan keahlian) adalah penghalang nomor satu bagi kontraktor UKM di Klang Valley. Namun, sebagai laporan jurnalistik yang kredibel, penting untuk memasukkan opini ringan dan kritik realistis terkait metodologi penelitian ini.
Batasan Studi yang Berimplikasi Nasional
Fokus studi ini hanya pada wilayah Klang Valley.1 Meskipun Klang Valley adalah pusat komersial yang seharusnya memiliki akses terbaik ke sumber daya, talenta, dan pelatihan BIM, temuan yang menunjukkan tantangan biaya sangat dominan di sini bisa jadi meremehkan dampak masalah secara umum di seluruh Malaysia. Dapat disimpulkan bahwa di wilayah Malaysia yang lebih terpencil, tantangan biaya dan kurangnya pengetahuan (Peringkat 11) kemungkinan jauh lebih akut dan parah daripada yang ditunjukkan oleh angka-angka di Klang Valley.
Selain itu, tingkat respons yang hanya 26.9% (101 dari 375 kuesioner) menimbulkan kekhawatiran tentang bias non-respons.1 Kontraktor yang merespons mungkin adalah mereka yang sudah mendekati adopsi BIM atau mereka yang paling vokal tentang perjuangan biaya. Meskipun demikian, konsensus yang kuat pada isu biaya (tiga peringkat teratas dengan Mean di atas 4.30) menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik, terlepas dari keterbatasan sampel.
Dampak Nyata: Mengubah Kerugian Menjadi Miliaran Penghematan
Mengingat bahwa industri konstruksi menyumbang 48.7% dari total PDB UKM Malaysia 1, dan BIM merupakan mekanisme yang terbukti untuk meningkatkan efisiensi perencanaan, desain, pemantauan, dan kontrol, keengganan untuk mengadopsi BIM karena kendala biaya merupakan ancaman langsung terhadap pertumbuhan dan daya saing ekonomi nasional.
Adopsi BIM akan secara langsung mengatasi inefisiensi yang sering terjadi dalam metode tradisional, seperti kesalahan konstruksi, pengerjaan ulang yang memakan waktu (yang secara informal dikenal sebagai ding repair), dan konflik jadwal.
Studi ini menyimpulkan bahwa peran pemerintah diperlukan untuk mendorong adopsi, dan solusinya harus berfokus pada mitigasi biaya.1 Jika Malaysia dapat mengimplementasikan program subsidi dan pelatihan yang mengatasi ketiga hambatan biaya teratas (perangkat keras, pelatihan, dan sertifikasi), ini dapat mendorong adopsi BIM di kalangan UKM hingga target 50%.
Jika diterapkan, program insentif ini berpotensi mengurangi biaya kesalahan konstruksi dan pengerjaan ulang hingga 15–25% dan mempercepat waktu pengiriman proyek secara keseluruhan, yang secara kolektif dapat menghemat miliaran Ringgit dalam waktu lima tahun di sektor konstruksi UKM. Dengan mengubah biaya BIM menjadi investasi yang didukung insentif, Malaysia akan mengubah hampir setengah dari PDB UKM dari model bisnis yang efisien-rendah menjadi model bisnis berteknologi tinggi dan berkinerja tinggi, yang pada gilirannya akan berfungsi sebagai tolok ukur penting menuju pengembangan BIM yang lebih luas di Industri Konstruksi Malaysia.1
BIM adalah masa depan konstruksi, dan masalahnya bukan pada kemauan kontraktor UKM, melainkan pada kemampuan finansial mereka. Mengatasi tiga hambatan biaya utama ini adalah langkah tunggal yang paling penting untuk merealisasikan janji digitalisasi di sektor konstruksi nasional.
Sumber Artikel:
Ismail, N. A. A., Zulkifli, M. Z. A., Baharuddin, H. E. A., Ismail, W. N., & Mustapha, A. A. (2022). Challenges of Adopting Building Information Modelling (BIM) Technology amongst SME's Contractors in Malaysia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1067(1), 012047.