Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Produktivitas SDM – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

19 September 2025, 06.53

unsplash.com

Di tengah gempuran disrupsi teknologi dan persaingan bisnis yang semakin sengit, perusahaan-perusahaan modern menghadapi tantangan fundamental: bagaimana mempertahankan talenta terbaik, meningkatkan produktivitas, dan memastikan inovasi tidak pernah berhenti? Sebuah pertanyaan yang selama ini sering dijawab dengan investasi besar pada teknologi, namun seringkali mengabaikan aset terbesar dan paling dinamis: Sumber Daya Manusia (SDM).

Buku "Model-Model Pelatihan dan Pengembangan SDM" karya Syafrida Hafni Sahir dan tim 1 hadir sebagai kompas yang menggeser paradigma lama. Alih-alih memandang pelatihan sebagai biaya atau kewajiban, buku ini menjabarkannya sebagai sebuah investasi strategis yang menentukan hidup mati perusahaan. Hasil dari pendekatan ini sangatlah mengejutkan. Data dari seorang peneliti, John McGilllicuddy, mengungkapkan bahwa perusahaan yang menerapkan program onboarding formal mampu mencapai tingkat retensi karyawan tahun pertama hingga 91%.1 Angka ini bagaikan sebuah jembatan yang menghubungkan perusahaan dengan masa depan, jauh melampaui tingkat retensi yang hanya 30% pada perusahaan yang tidak memiliki program serupa.1 Sebuah lompatan yang bukan hanya sekadar data, melainkan penyelamat dari kerugian biaya rekrutmen dan hilangnya memori institusi akibat perputaran karyawan yang tinggi.

 

Membongkar Arsitektur Pelatihan: Sebuah Peta Jalan

Menuju Kompetensi

Kesuksesan program pelatihan tidak pernah terjadi secara kebetulan. Buku ini menunjukkan bahwa di balik setiap sesi yang berhasil, terdapat arsitektur desain yang terencana dan sistematis. Model-model pelatihan yang diuraikan bukan sekadar daftar teori, melainkan pilar-pilar yang saling terhubung membentuk sebuah ekosistem pembelajaran yang lengkap dan berkelanjutan.

ADDIE: Sang Perancang Agung di Balik Layar

ADDIE, singkatan dari Analyze, Design, Develop, Implement, dan Evaluate, adalah fondasi atau "cetak biru" dari setiap program pelatihan yang efektif. Model ini adalah siklus lima langkah yang memastikan proses pembelajaran dirancang dengan teliti, dari awal hingga akhir.1 Fase Analyze berfungsi untuk membedah kebutuhan, menganalisis audiens, dan memahami tujuan akhir. Setelah itu, fase Design adalah pengerjaan cetak biru program, menentukan strategi dan kurikulum. Tahap Develop adalah saat materi pelatihan mulai dibuat, baik dalam bentuk modul, video, atau simulasi. Fase Implement adalah eksekusi nyata dari program tersebut, dan terakhir, fase Evaluate adalah tahap krusial untuk mengukur efektivitas dan dampak pelatihan, memastikan investasi yang dikeluarkan tidak sia-sia.1

Gagne & Merrill: Memastikan Peserta Tidak Sekadar Hadir, Tapi Benar-Benar Belajar

Seorang pelatih sehebat apa pun tidak akan berhasil tanpa metodologi yang tepat untuk menyampaikan materi. Buku ini menyajikan dua model yang berfokus pada proses pembelajaran itu sendiri, yaitu Gagne's Nine Events of Instructions dan Merrill's Principles of Instruction.

Model Gagne's, yang dijuluki sebagai "Sembilan Peristiwa Pembelajaran," menjabarkan serangkaian langkah yang membantu mengaktifkan proses kognitif peserta.1 Semuanya dimulai dengan "Mendapatkan Perhatian," seperti pembuka berita yang kuat, dilanjutkan dengan "Memberitahu Tujuan" agar peserta tahu apa yang akan mereka pelajari. Langkah-langkah ini terus berlanjut hingga "Menilai Kinerja" dan "Meningkatkan Retensi dan Transfer," memastikan pengetahuan yang baru diperoleh tidak hanya dihafal, tetapi juga benar-benar dapat diterapkan di dunia nyata.1

Di sisi lain, model Merrill's berfungsi sebagai "pelengkap" yang fokus pada relevansi praktis. Lima prinsip utamanya memastikan pembelajaran berpusat pada masalah nyata. Prinsip Tugas/Masalah Berpusat menekankan bahwa pembelajaran difasilitasi ketika peserta pelatihan mengaplikasikan ilmu baru pada masalah yang ada di dunia nyata. Selanjutnya, prinsip Penerapan menuntut peserta untuk benar-benar menggunakan informasi baru dengan cara yang bermakna dan praktis. Kombinasi kedua model ini secara implisit mencakup dimensi pembelajaran yang holistik: kognitif (otak), afektif (hati), dan psikomotorik (tangan). Sebuah program yang dirancang dengan pemahaman ini tidak hanya mengubah pengetahuan, tetapi juga perilaku dan hasil bisnis yang nyata.

Kirkpatrick: Sang Juri Paling Jujur, Mengukur Dampak hingga ke Laba Bersih

Bagi perusahaan, pertanyaan terpenting setelah pelatihan bukanlah "Apakah mereka suka?", melainkan "Apakah ini menghasilkan keuntungan?". Di sinilah model evaluasi Kirkpatrick menunjukkan perannya sebagai "juri" yang paling jujur. Model empat tingkat ini menyediakan kerangka kerja untuk mengukur dampak secara mendalam:

  1. Level 1: Reaksi - Menilai respons emosional dan kepuasan peserta. Ini hanya permukaan, seperti menanyakan "Apakah acaranya menyenangkan?".1
  2. Level 2: Pembelajaran - Mengukur seberapa banyak pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh peserta. Ini adalah pergeseran dari "suka" ke "bisa".1
  3. Level 3: Perilaku - Menilai apakah peserta benar-benar menerapkan keterampilan baru mereka di tempat kerja. Ini adalah jembatan dari kelas ke praktik.1
  4. Level 4: Hasil - Menentukan apakah pelatihan pada akhirnya memberikan dampak yang terukur pada kinerja organisasi, seperti peningkatan produktivitas, pengurangan biaya, atau peningkatan laba.1

Dengan menggunakan model ini, perusahaan dapat melihat bahwa pelatihan bukanlah biaya terpisah, melainkan bagian dari rantai nilai yang panjang yang dimulai dari perubahan individu dan berakhir pada keuntungan kolektif.

 

Pergeseran Paradigma: Mengapa 'Kecerdasan Hati' Mengalahkan 'Kecerdasan Otak' di Era Modern

Selama bertahun-tahun, dunia kerja didominasi oleh kepercayaan bahwa keahlian teknis atau hard skill adalah segalanya. Seseorang dianggap berharga karena kemampuannya dalam analisis data, pemrograman, atau penguasaan perangkat lunak canggih. Buku ini mengkonfirmasi keberadaan dan pentingnya keterampilan ini.1

Namun, buku ini juga menyajikan sebuah fakta yang mengubah permainan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa 85% dari kesuksesan di bidang profesional ditentukan oleh soft skill, sementara hard skill hanya menyumbang 15%.1 Angka ini bagaikan sebuah pencerahan yang menegaskan bahwa seorang insinyur paling brilian di dunia, jika tidak bisa berkomunikasi, berkolaborasi, dan mengatasi konflik dalam tim, hanya menggunakan 15% dari potensi kesuksesannya. Ini menjelaskan mengapa perusahaan terkemuka seperti Google menemukan bahwa unit-unit paling efektif dipimpin oleh tim yang memiliki soft skill terlatih.1 Soft skill yang diuraikan dalam buku ini adalah keterampilan yang sulit diukur, tetapi memiliki dampak luar biasa. Keterampilan komunikasi melampaui sekadar berbicara, melainkan kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan secara efektif dan jelas.1

Keterampilan kepemimpinan tidak berfokus pada jabatan, tetapi pada kemampuan memotivasi dan menginspirasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Keterampilan mengatasi konflik adalah seni mengubah gesekan menjadi solusi yang konstruktif. Sementara itu, keterampilan beradaptasi adalah fleksibilitas dan ketahanan untuk beroperasi di tengah disrupsi yang konstan.1

Keterampilan teknis dapat dengan mudah diajarkan, diukur, dan disalin oleh pesaing. Namun, soft skill bersifat personal, lebih sulit diperoleh melalui kursus, dan menjadi pembeda sejati yang tidak dapat ditiru. Ini adalah argumen strategis yang kuat yang dapat diambil dari buku ini: investasi pada pengembangan interpersonal karyawan adalah fondasi untuk keunggulan kompetitif jangka panjang.

 

Ketika Investasi Gagal: Mengapa Pelatihan Tak Selalu Berhasil dan Jalan Keluar yang Realistis

Buku ini menyajikan kritik realistis yang sering diabaikan: banyak program pelatihan yang gagal, padahal perusahaan telah mengeluarkan begitu banyak biaya dan waktu. Hal ini sering kali disebabkan oleh pola pikir "bengkel" yang keliru, di mana pelatihan dianggap sebagai obat instan untuk semua masalah.1 Padahal, akar masalah bisa jadi bukan hanya pada SDM, tetapi pada sistem, prosedur, lingkungan kerja, atau bahkan kebijakan perusahaan.

Salah satu kegagalan krusial yang diidentifikasi adalah tidak dilakukannya Training Needs Assessment (TNA) secara baik dan benar. Tanpa TNA, program pelatihan menjadi tidak tepat sasaran dan tidak menyelesaikan akar masalah, yang pada akhirnya membuat investasi menjadi sia-sia.1

Namun, buku ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan jalan keluar yang realistis. Salah satunya adalah dengan mengubah desain pelatihan secara fundamental. Prinsip "10:70:20" yang diusulkan menekankan bahwa pembelajaran hanya 10% terjadi di kelas, 70% melalui praktik lapangan, dan 20% melalui coaching dan mentoring.1 Kegagalan sering terjadi karena perusahaan hanya fokus pada 10% di kelas.

Solusi dari masalah ini adalah dengan mengadopsi model pelatihan yang memadukan teori dengan praktik intensif. Buku ini secara khusus menguraikan model Pelatihan Lapangan (Magang), sebuah pendekatan yang telah terbukti efektif. Model ini menyatukan pelatihan di lembaga dengan pengalaman bekerja secara langsung di bawah bimbingan instruktur berpengalaman.1 Kelebihan dari model ini mencakup biaya yang rendah, manajemen yang sederhana, dan, yang terpenting, pembangunan loyalitas karyawan yang tinggi karena mereka merasa dilibatkan dan dihargai.1

Model magang ini, yang pada dasarnya merupakan model partisipatif, adalah jawaban nyata atas kebutuhan pasar kerja saat ini. Ini menjelaskan mengapa program pemerintah seperti Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang menawarkan skema magang menjadi begitu relevan. Program ini adalah contoh sempurna bagaimana model yang diuraikan dalam buku ini dapat menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri, menciptakan SDM yang siap kerja dan mampu beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan di era modern.1

 

Mengukur Perbedaan: Perbandingan Kunci dan Dampak Akhir

Untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh, penting untuk membedakan antara pelatihan dan pengembangan. Perbedaan ini bukanlah sekadar masalah istilah, melainkan perbedaan fundamental dalam tujuan dan implementasi.

Berdasarkan paparan dalam buku, pelatihan adalah proses jangka pendek yang fokus pada pekerjaan saat ini dan individu. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kemampuan yang sudah ada agar karyawan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Sementara itu, pengembangan adalah proses jangka panjang yang berorientasi pada tujuan eksekutif dan kemajuan karir. Ruang lingkupnya mencakup seluruh kelompok kerja atau organisasi, dan tujuannya adalah untuk mempersiapkan karyawan menghadapi tantangan dan jabatan di masa depan.1 Pelatihan cenderung bersifat reaktif, mengisi kesenjangan keterampilan yang ada, sementara pengembangan bersifat proaktif, merencanakan suksesi dan pertumbuhan jangka panjang.1

Jika diterapkan dengan pendekatan holistik yang diuraikan dalam buku ini, dampak nyata dari investasi pada SDM dapat diukur secara dramatis. Program yang terstruktur akan menghasilkan peningkatan produktivitas yang signifikan. Lonjakan efisiensi ini, seperti digambarkan, seolah-olah "menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam satu kali isi ulang".1 Selain itu, peningkatan pengetahuan dan keterampilan akan mengurangi biaya dan kesalahan karena karyawan yang terlatih tahu cara menggunakan bahan secara efisien dan merawat peralatan dengan benar.1

Pada akhirnya, investasi strategis pada SDM akan mempromosikan budaya belajar yang tak hanya memotivasi karyawan, tetapi juga memperkuat rasa kepuasan kerja, rasa memiliki, dan komitmen. Dengan demikian, perputaran karyawan akan menurun drastis, meningkatkan retensi dan menciptakan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak.1

 

Kesimpulan: Jembatan Pengetahuan Menuju Keunggulan Bersaing

Buku "Model-Model Pelatihan dan Pengembangan SDM" bukanlah sekadar teks akademik; ia adalah sebuah cetak biru strategis untuk keunggulan bersaing. Laporan ini menunjukkan bahwa di era modern, pelatihan harus dipandang sebagai investasi fundamental, bukan sekadar biaya. Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman bahwa hard skill hanyalah setengah dari cerita, sementara penguasaan soft skill adalah pembeda sejati yang tidak dapat ditiru.

Kegagalan dalam program pelatihan dapat dihindari dengan diagnosis yang tepat—melalui analisis kebutuhan yang teliti—dan implementasi model yang relevan. Ketika perusahaan mengadopsi pendekatan holistik yang memadukan teori dengan praktik nyata, mereka tidak hanya meningkatkan kinerja individu, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan berkelanjutan dan inovasi. Ini adalah jembatan pengetahuan yang akan mengantarkan organisasi menuju masa depan yang lebih produktif, efisien, dan tangguh.

Sumber Artikel:

Model-Model Pelatihan dan Pengembangan SDM - Repository Universitas Advent Indonesia, https://repository.unai.edu/286/1/2022-2023%20Ganjil%20FullBook%20Model-Model%20Pelatihan%20dan%20Pengembangan%20SDM.pdf