Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan Triliunan Anggaran Jalan Nasional – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 Oktober 2025, 01.52

unsplash.com

Dilema Anggaran Infrastruktur di Bangka Belitung

Jalan merupakan tulang punggung ekonomi, berfungsi sebagai infrastruktur transportasi vital yang menopang pertumbuhan regional.1 Namun, di tengah semangat pembangunan, seringkali muncul dilema klasik mengenai alokasi sumber daya: haruskah anggaran diprioritaskan untuk membangun infrastruktur baru atau memelihara aset yang sudah ada?

Dilema ini tergambar jelas dalam kebijakan pembangunan sektor jalan di Provinsi Bangka Belitung. Kebijakan pemerintah daerah secara eksplisit menekankan pada pembangunan yang merata, termasuk pembukaan area baru yang ditujukan untuk kawasan industri dan pengembangan potensi wisata bahari serta pesisir. Tujuan pembangunan ini, meskipun mulia, secara langsung berdampak pada prioritas fiskal.1

Sebagai konsekuensinya, sebagian besar anggaran diarahkan untuk proyek pembangunan jalan baru, yang pada gilirannya menyebabkan anggaran yang minimal tersedia untuk pemeliharaan jalan eksisting. Kondisi anggaran yang minimal ini, yang bersifat sebagai risiko teknis jangka panjang, mengancam jaringan jalan nasional yang vital.1 Jalan-jalan yang sudah beroperasi terancam mengalami penurunan kondisi secara signifikan karena penundaan intervensi.

Konteks inilah yang melatarbelakangi sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh akademisi untuk mengevaluasi kondisi perkerasan jalan, baik secara fungsional maupun struktural, mengukur pertumbuhan kepadatan lalu lintas, dan menganalisis ketersediaan serta pengaruh biaya pemeliharaan jalan yang ada. Tujuan utamanya adalah untuk membandingkan strategi manajemen pemeliharaan jalan yang direkomendasikan secara teknis dengan hasil pemeliharaan aktual yang telah dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Bangka Belitung pada segmen jalan nasional tertentu.1

Studi ini berfokus pada segmen Jalan Nasional dari Batas Kota Pangkal Pinang hingga Puding Besar, sepanjang 22,682 kilometer, yang berfungsi sebagai kolektor primer kelas II. Temuan dari studi ini tidak hanya relevan bagi Bangka Belitung, tetapi juga menawarkan cetak biru penting mengenai bagaimana kebijakan fiskal yang memprioritaskan ‘tampilan’ infrastruktur baru daripada ‘preservasi’ aset yang sudah ada dapat menciptakan biaya yang jauh lebih besar di masa depan. Ini adalah pertanyaan mengenai konflik antara visi politik jangka pendek dan kebutuhan teknis jangka panjang.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Anggaran Jalan?

Penelitian ini menggunakan dua indikator utama untuk menilai kesehatan jalan: International Roughness Index (IRI) untuk kondisi fungsional (kenyamanan) dan Benkelman Beam (BB) untuk kondisi struktural (kekuatan).1 Perbandingan antara kedua data ini dengan pola pengeluaran anggaran DPU mengungkapkan adanya ketidaksesuaian strategi yang harus segera diatasi.

Ilusi Kosmetik: Kondisi Fungsional (IRI)

Kondisi fungsional jalan diukur menggunakan International Roughness Index (IRI). IRI adalah parameter yang menentukan tingkat kerataan permukaan jalan, yang sangat memengaruhi kenyamanan dan kualitas berkendara (riding quality).1 Jalan yang baik seharusnya kuat, rata, kedap air, tahan lama, dan ekonomis sepanjang umur rencana.1

Data yang dikumpulkan dari 2011 hingga 2015 menunjukkan fluktuasi nilai IRI di segmen studi. Pada tahun 2011, nilai IRI tercatat sebesar 4.571. Nilai ini kemudian meningkat menjadi 5.000 pada tahun 2012, dan mencapai puncaknya di 5.805 pada tahun 2013.1 Meskipun terjadi fluktuasi, secara umum kondisi jalan pada tahun 2012 hingga 2015 dikategorikan sebagai 'baik' atau 'sedang'. Setelah tahun 2013, nilai IRI kembali turun menjadi 5.120 pada 2014, dan sedikit naik lagi ke 5.601 pada 2015.1

Data fungsional ini, di mata publik, seringkali menciptakan sebuah ilusi kosmetik bahwa jalan "masih baik-baik saja" karena masih memberikan tingkat kenyamanan berkendara yang dapat diterima. Angka IRI yang relatif stabil di kisaran 5.0 hingga 5.8 meter/kilometer mungkin membuat pengambil keputusan merasa aman untuk menunda perbaikan besar, sehingga anggaran pemeliharaan dapat dialihkan untuk pembangunan baru. Sayangnya, ilusi kenyamanan ini menutupi ancaman kerusakan struktural yang lebih serius.

Ancaman Senyap di Bawah Aspal: Kondisi Struktural (Defleksi)

Penilaian struktural, yang dilakukan menggunakan alat Benkelman Beam (BB), memberikan gambaran mengenai kekuatan perkerasan yang sebenarnya. Alat ini mengukur defleksi, atau lenturan vertikal perkerasan akibat beban gandar standar. Defleksi yang tinggi mengindikasikan bahwa struktur jalan mengalami tekanan berlebihan dan mendekati titik kegagalan.1

Hasil pengujian BB diterjemahkan menjadi kebutuhan ketebalan lapis tambah (overlay) yang diperlukan untuk memperkuat struktur perkerasan jalan. Hasilnya menunjukkan tren peningkatan dramatis kebutuhan struktural. Pada tahun 2011, ketebalan lapis tambah yang dibutuhkan adalah 3.00 centimeter.1 Namun, kondisi ini melonjak tajam pada tahun 2012, di mana kebutuhan overlay mencapai 4.60 centimeter.1

Lonjakan kebutuhan struktural sebesar 1.60 centimeter ini merepresentasikan kenaikan kerusakan struktural hingga 53% dalam waktu satu tahun. Perbedaan antara 3.00 cm dan 4.60 cm ini adalah sinyal bahaya struktural yang parah.

Untuk memberikan gambaran yang hidup: peningkatan kebutuhan overlay sebesar 53% ini adalah lompatan defisiensi struktural yang setara dengan menaikkan baterai smartphone (merepresentasikan daya tahan perkerasan) dari 20% ke 70% dalam satu kali pengisian ulang. Intervensi yang diukur melalui defleksi menunjukkan bahwa perkerasan jalan mengalami 'keretakan tulang' meskipun penampilannya (IRI) masih tergolong 'baik' secara permukaan.

Meskipun nilai IRI menunjukkan jalan masih dalam kondisi 'baik', data defleksi (kekuatan) menunjukkan tekanan yang konsisten dan tinggi, dengan kebutuhan overlay tetap di atas 4.00 centimeter dari 2012 hingga 2015 (4.60 cm, 4.30 cm, 4.00 cm, dan 4.50 cm).1 Jika manajemen jalan hanya mengandalkan indikator fungsional yang mudah diukur (IRI), maka mereka akan secara fatal mengabaikan degradasi struktural ini, yang pada akhirnya membutuhkan biaya perbaikan yang jauh lebih mahal.

Faktor lain yang turut memengaruhi kondisi struktural adalah pertumbuhan lalu lintas. Meskipun pertumbuhan volume lalu lintas di segmen ini sempat melambat pada tahun-tahun tertentu, yang disebabkan oleh penurunan fungsi pelabuhan terdekat di Kota Pangkalpinang, kondisi jalan yang rusak tetap menjadi hambatan langsung bagi kegiatan ekonomi regional.1 Setelah perbaikan jalan nasional dilakukan, lalu lintas kembali meningkat secara signifikan, menunjukkan bahwa vitalitas ekonomi regional sangat bergantung pada infrastruktur jalan yang layak.1

 

Analisis Keuangan: Jebakan Biaya Rekonstruksi

Analisis terhadap pola pengeluaran yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Bangka Belitung dari tahun 2011 hingga 2015 memberikan bukti kuat mengenai mahalnya strategi reaktif. Pola pengeluaran DPU menunjukkan kecenderungan untuk melakukan program Rutin (pemeliharaan kecil harian) tetapi sangat menunda intervensi skala besar yang krusial.

Pada tahun 2011, anggaran yang dikeluarkan hanya untuk program Rutin sebesar Rp 508,56 juta. Anggaran ini naik menjadi Rp 793,87 juta pada 2012, yang juga disertai dengan program Periodik sebesar Rp 972,56 juta.1 Namun, setelah 2012, intervensi Periodik ini hilang. Pada tahun 2013, anggaran hanya untuk Rutin (Rp 771,16 juta) dan demikian pula pada 2014 (Rp 839,23 juta).1

Pola Pengeluaran DPU: Menunggu Kegagalan

Periode 2013 dan 2014 adalah periode penundaan intervensi struktural yang krusial. Ketika data defleksi Benkelman Beam menunjukkan kebutuhan lapis tambah yang tinggi (4.30 cm dan 4.00 cm) pada tahun-tahun tersebut—sinyal bahwa fondasi jalan sedang tertekan—DPU hanya menganggarkan pemeliharaan kosmetik Rutin.1

Strategi menunda perbaikan kecil dan preservasi jalan yang masih berada dalam kondisi struktural 'sedang' atau 'baik' ini akhirnya memicu kegagalan total. Sistem pembayaran akhirnya ‘kolaps’ pada tahun 2015. Karena kerusakan struktural tidak dapat ditoleransi lagi, DPU dipaksa untuk mengeluarkan biaya Rekonstruksi yang masif, mencapai Rp 6.583.100.000 (Rp 6,583 Miliar).1

Biaya Kegagalan: Perbandingan Finansial

Biaya Rekonstruksi pada tahun 2015 saja adalah penalti finansial yang harus dibayar akibat penundaan pemeliharaan. Biaya tunggal ini hampir delapan kali lipat (sekitar 763%) dari rata-rata biaya pemeliharaan Rutin tahunan (yang berkisar sekitar Rp 860 Juta). Angka ini juga jauh lebih besar dibandingkan total biaya Rutin dan Periodik yang dikeluarkan pada tahun 2012 (sekitar Rp 1,766 Miliar).1

Data ini secara dramatis membuktikan premis utama studi: pendekatan reaktif (fix it when it’s broken) jauh lebih mahal daripada pendekatan proaktif (preserve the good). Penundaan intervensi Periodik di tahun 2013 dan 2014 mengakibatkan peningkatan kebutuhan struktural yang dikonfirmasi oleh defleksi, memaksa DPU untuk mengeluarkan dana Rekonstruksi yang berkali-kali lipat lebih besar di tahun 2015. Pendekatan ini bukan hanya tidak efisien, tetapi juga merupakan bentuk manajemen risiko fiskal yang buruk.

 

Strategi Preservasi: Kunci Efisiensi 100%

Temuan utama penelitian ini menawarkan solusi yang membalikkan paradigma manajemen jalan di Indonesia. Solusinya terletak pada strategi Preservasi atau pemeliharaan pencegahan.

Fokus pada Kondisi Baik

Berdasarkan analisis model regresi yang dihasilkan dari nilai IRI, defleksi, dan pertumbuhan lalu lintas dari 2011–2015, para peneliti menyimpulkan bahwa pengalihan prioritas adalah kunci efisiensi. Hasil analisis secara tegas menunjukkan bahwa dengan mempertahankan besar anggaran yang relatif sama (seperti yang digunakan DPU 2011–2015), tetapi dengan memberikan prioritas pada pemeliharaan jalan yang berada dalam kondisi relatif baik, jalan dapat dipertahankan dalam kondisi stabil 100%.1

Mencapai 'kondisi stabil 100%' tidak berarti setiap kilometer jalan harus mulus sempurna tanpa cela. Sebaliknya, ini berarti bahwa seluruh jaringan (atau segmen studi) dipertahankan di atas ambang batas kritis kerusakan yang memerlukan Rekonstruksi atau Rehabilitasi besar-besaran. Strategi preservasi ini, yang berfokus pada pencegahan penurunan kondisi sejak dini, secara fundamental menghilangkan risiko terjadinya lonjakan biaya mendadak, seperti yang terjadi pada tahun 2015.

Argumentasi Efisiensi Maksimal

Rekomendasi teknis yang diberikan adalah bahwa menjaga jalan dalam kondisi baik (preservation) memberikan hasil maksimal dengan biaya pemeliharaan yang lebih efisien.1

Korelasi antara IRI dan strategi pemeliharaan menunjukkan pentingnya intervensi dini. Meskipun data defleksi struktural sangat penting, studi ini menunjukkan bahwa nilai IRI adalah parameter terbaik untuk dijadikan dasar aktivitas manajemen jalan.1 Hal ini mungkin tampak kontradiktif, tetapi di sinilah letak efisiensi sejati:

  1. Jika jalan masih memiliki IRI yang relatif baik, jalan tersebut belum memasuki fase kerusakan parah.
  2. Intervensi Periodik yang dilakukan pada tahap ini (berdasarkan ambang batas IRI yang ditetapkan) jauh lebih murah daripada menunggu defleksi struktural mencapai tingkat kritis yang memerlukan overlay tebal atau rekonstruksi.

Dengan kata lain, efisiensi maksimal didapatkan dari tindakan proaktif (Preservasi) berdasarkan indikator fungsional dini (IRI), yang mencegah penurunan kondisi hingga ke titik di mana kerusakan struktural (Defleksi) menjadi fatal dan mahal. Jika biaya Rekonstruksi sebesar Rp 6,583 Miliar pada 2015 dapat disebar dan digunakan untuk pemeliharaan Periodik yang optimal pada tahun 2013 dan 2014, DPU kemungkinan besar akan menghindari lonjakan defleksi dan menjaga jaringan dalam kondisi stabil, menghemat dana publik secara signifikan.

Strategi preservasi adalah bentuk manajemen risiko fiskal. Ia menjamin prediktabilitas anggaran tahunan dan memastikan keandalan jaringan transportasi, yang secara langsung mendukung kelancaran kegiatan industri dan pariwisata yang dicanangkan Bangka Belitung.

 

Kritik Realistis dan Dampak Nyata: Membalikkan Paradigma Infrastruktur

Meskipun temuan studi ini sangat kuat dan didukung oleh data kuantitatif yang jelas, penerapannya secara luas memerlukan pertimbangan kritis dan perubahan kebijakan publik yang fundamental.

Opini Ringan dan Kritik Realistis

Studi ini memberikan analisis yang sangat detail dan kredibel, namun keterbatasan lokasinya perlu diakui. Penelitian ini hanya difokuskan pada satu segmen Jalan Nasional sepanjang 22,682 kilometer.1 Meskipun pola kerusakan dan biaya pemeliharaannya dapat menjadi cerminan nasional, kondisi jalan di daerah lain—misalnya, jalan provinsi atau kabupaten yang mungkin memiliki beban gandar yang berbeda, volume lalu lintas yang lebih rendah, atau kondisi tanah yang lebih bervariasi—mungkin memerlukan rasio biaya preservasi yang berbeda. Oleh karena itu, penerapan kebijakan secara nasional harus mempertimbangkan variasi regional ini agar rekomendasi efisiensi benar-benar optimal.

Selain itu, tantangan terbesar terletak pada aspek birokrasi dan politik. Secara teknis, mempertahankan jalan yang 'baik' adalah pilihan yang paling efisien. Namun, di tingkat implementasi kebijakan, alokasi dana untuk proyek Rekonstruksi atau pembangunan baru (proyek besar dengan visibilitas tinggi) seringkali lebih menarik secara politik dan lebih mudah diserap daripada dana Pemeliharaan Rutin atau Periodik (perawatan harian yang kurang terlihat). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sistem Manajemen Perkerasan (Pavement Management System—PMS) yang kuat, didukung oleh regulasi yang mengikat, untuk memastikan dana preservasi tidak dialihkan atau dipangkas demi kepentingan proyek showcase lainnya.

Pernyataan Dampak Nyata

Temuan dari penelitian tentang efisiensi manajemen jalan di Bangka Belitung ini menawarkan cetak biru ilmiah yang tak terbantahkan. Studi ini mendesak pengambil keputusan untuk menggeser fokus kebijakan jalan dari reaktif (menunggu jalan rusak parah) menjadi proaktif (preservasi berkelanjutan).

Jika strategi "Preserve The Good" diadopsi secara konsisten oleh otoritas pengelola jalan di seluruh jaringan Jalan Nasional di Indonesia, yang notabene menghadapi pola pengeluaran serupa dan sering terjebak dalam jebakan rekonstruksi mahal, temuan ini memiliki potensi untuk mengurangi biaya rekonstruksi darurat dan pemulihan hingga puluhan triliun Rupiah dalam waktu lima tahun. Penghematan biaya ini bukan hanya tentang memangkas pengeluaran, tetapi juga tentang mengalihkan dana yang diselamatkan ke investasi pembangunan yang lebih berkelanjutan. Dana tersebut dapat dialihkan untuk mendukung tujuan pembangunan regional, seperti pembukaan area baru untuk industri dan pariwisata yang dicanangkan Bangka Belitung, tanpa mengorbankan aset infrastruktur yang sudah ada. Ini adalah resep nyata untuk pertumbuhan ekonomi yang cerdas, prediktif, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Setianingsih, A. I., Sangaji, S., & Setyawan, A. (2017). Road Maintenance and Rehabilitation Program Using Functional and Structural Assessment. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 176(1), 012030.