Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Air Kotor Kota Praya – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 17.27

unsplash.com

Air limbah domestik sering kali dianggap sebagai masalah remeh yang hilang begitu saja di selokan. Namun, bagi Kota Praya, ibu kota Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, fenomena yang terkesampingkan ini telah berkembang menjadi ancaman ekologis berskala besar, yang menggerogoti kualitas air baku utama bagi ribuan penduduk.

Sebuah kajian mendalam (tesis S2) yang menganalisis sistem pengelolaan air limbah domestik di Kota Praya pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa krisis lingkungan yang terjadi bukan semata-mata masalah kurangnya infrastruktur, melainkan cerminan dari kegagalan tata kelola, perencanaan non-partisipatif, dan kesenjangan pemahaman publik yang mendalam. Laporan ini mengulas data-data kunci di balik krisis sanitasi Kota Praya, menguak anomali kelembagaan, dan menawarkan strategi terpadu yang berpotensi mengubah wajah pengelolaan lingkungan di NTB.

 

Bom Waktu di Hulu Waduk Batujai: Ancaman 5,7 Juta Liter Air Kotor Harian

Kota Praya memainkan peran vital dalam ekosistem perairan Lombok Tengah. Secara geografis, wilayah ini berada di bagian hulu, dan seluruh aliran sungai serta kali yang melintasinya—termasuk Sungai Leneng, Kali Kampung Jawa, Sungai Manhal, dan Sungai Srigangga—pada akhirnya bermuara ke Waduk Batujai.1 Waduk ini adalah tumpuan air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan irrigasi regional, menjadikan kesehatan lingkungan di Praya sebagai isu regional yang tidak dapat ditawar.

Data kuantitatif yang dikumpulkan memunculkan gambaran yang sangat mengkhawatirkan mengenai volume limbah cair yang dihasilkan setiap hari. Berdasarkan populasi Kota Praya yang mencapai 57.389 jiwa pada tahun 2006, dan estimasi rata-rata limbah cair domestik yang dihasilkan setiap orang mencapai sekitar 153,69 liter per hari (dihitung dari 80% konsumsi air rata-rata 192,1 liter per kapita per hari) 1, Kota Praya menghasilkan minimal 5.738.900 liter air limbah domestik setiap hari.

Volume masif ini seperti mengisi lebih dari 380 tangki air berkapasitas 15.000 liter setiap hari, dan seluruhnya dilepaskan ke lingkungan. Analisis menunjukkan bahwa air limbah buangan dari dapur dan kamar mandi dari masing-masing rumah tangga (KK) sebagian besar dialirkan langsung ke selokan atau sungai tanpa melalui pengolahan sedikit pun.1

Beban Pencemaran Organik yang Menggila

Ancaman ini diperburuk oleh fakta bahwa hampir separuh rumah tangga di Kota Praya belum memiliki sarana sanitasi yang memadai. Dari 16.028 KK, sebanyak 7.617 KK (sekitar 48%) belum memiliki jamban keluarga.1 Kelompok masyarakat ini terpaksa menggunakan jamban umum yang tidak memadai (rasio 1:110 KK) atau, yang lebih parah, langsung membuang ekskreta ke kali dan sungai.

Akumulasi perilaku ini menciptakan beban pencemaran organik tahunan yang sangat besar. Masyarakat Kota Praya yang belum memiliki jamban keluarga diperkirakan menghasilkan beban Biological Oxygen Demand ($BOD_{5}$) hingga 520,3 ton per tahun, Chemical Oxygen Demand (COD) sekitar 997,5 ton per tahun, serta $222,9$ ton Total Nitrogen dan $37,3$ ton Total Fosfor per tahun.1

Angka 520 ton $BOD_{5}$ per tahun adalah lompatan pencemaran organik yang setara dengan membuang ratusan ton pupuk busuk ke sungai setiap tahun—sebuah beban konstan yang melumpuhkan kemampuan alami Waduk Batujai untuk memurnikan diri sendiri dan mengancam keberlanjutan pasokan air minum bagi masyarakat luas.

 

Kualitas Air yang Kritis dan Cerita di Balik Data Lapangan

Dampak Nyata pada Sumber Air Baku

Kondisi sungai yang melintasi Kota Praya sudah mencapai tingkat kritis. Hasil uji laboratorium pada tahun 2003 mengonfirmasi bahwa kandungan $BOD_{5}$ di air sungai telah melampaui ambang batas air Kelas IV berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air.1

Melebihi batas Kelas IV berarti air tersebut telah mencapai kondisi terburuk yang diizinkan untuk fungsi lingkungan tertentu. Realitas ini membuktikan bahwa limbah domestik Kota Praya telah menjadi sumber pencemar dominan—sebuah temuan yang konsisten dengan riset nasional yang menyebutkan sekitar 40% bahan pencemar sungai di Indonesia berasal dari limbah rumah tangga.1

Gejala pencemaran visual juga terlihat jelas. Di muara sungai yang menuju Waduk Batujai, populasi eceng gondok tumbuh subur dan padat.1 Pertumbuhan gulma air yang melimpah ini berfungsi sebagai alarm hijau dari alam, menunjukkan kadar nutrisi yang hiper-tinggi (Nitrogen dan Fosfor) yang terus-menerus disuplai oleh air limbah mentah. Keberadaan eceng gondok ini tidak hanya mengganggu estetika tetapi juga mempersulit pengolahan air untuk PDAM dan mengganggu kehidupan akuatik.

Persepsi Publik yang Terbelah

Masyarakat Kota Praya secara umum merasakan dampak langsung dari buruknya pengelolaan air limbah. Hampir 90,82% responden menyatakan jijik atau prihatin melihat air limbah domestik terbuang sembarangan.1 Mayoritas rasa jijik ini didorong oleh bau tidak sedap dan kekhawatiran lingkungan menjadi sarang nyamuk, menunjukkan kesadaran dampak yang bersifat visual dan seketika.1

Selain itu, hampir separuh responden (49,54%) menyatakan selalu memikirkan dampak air limbah yang mereka buang terhadap air sungai dan waduk, yang notabene adalah sumber air minum mereka.1 Hal ini menunjukkan adanya potensi kesadaran yang tinggi terhadap isu sumber daya air.

Namun, terdapat kontradiksi antara kesadaran emosional (prihatin/jijik) dengan perilaku sehari-hari. Kebiasaan masyarakat membuang air limbah ke got/drainase (47,71% responden) atau langsung ke sungai (23,85%) didasarkan pada alasan-alasan yang sangat pragmatis: ketiadaan layanan pengelolaan, tidak adanya larangan atau sanksi, dan biayanya yang murah.1 Ini mengindikasikan bahwa krisis perilaku bukan didasari oleh ketidakpedulian mutlak, melainkan oleh ketiadaan alternatif teknis yang memadai dan regulasi yang memaksa.1

 

Krisis Tata Kelola: Proyek Sanitasi yang Gagal Total Akibat Perencanaan Top-Down

Permasalahan terbesar yang dihadapi Kota Praya adalah tumpang tindih fungsi kelembagaan di tingkat pemerintah daerah dan absennya kerangka hukum yang kuat.

Anomali Institusional dan Role Sharing yang Kabur

Meskipun empat instansi utama (Dinas Kimpraswil, Dinas Kesehatan, Kantor Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup/KPMLH, dan Bapeda) memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang terkait dengan air limbah domestik, analisis menunjukkan bahwa belum ada pembagian peran (role sharing) yang jelas antara regulator, operator, dan fasilitator.1

Anomali ini memanifestasikan dirinya dalam kegiatan yang tumpang tindih. Sebagai contoh, KPMLH, yang seharusnya fokus pada pengawasan lingkungan dan regulasi, justru melaksanakan pembangunan infrastruktur fisik—yaitu dua unit septiktank komunal—yang seharusnya merupakan tupoksi dari Dinas Kimpraswil.1 Ketika setiap instansi hanya berorientasi pada penyerapan dana proyek (seringkali dari Dana Alokasi Khusus/DAK atau Dana Perimbangan Pusat) tanpa koordinasi yang matang, hasilnya adalah kegiatan yang tidak efisien dan rentan kegagalan.

Bencana Proyek Supply-Driven

Kegagalan tata kelola ini mencapai titik puncaknya pada nasib proyek infrastruktur yang dibangun tanpa partisipasi masyarakat. Dua unit septiktank komunal (dengan volume 170-178 $m^3$) yang dibangun KPMLH pada akhir tahun 2007, dan dirancang untuk melayani masing-masing 100 KK, terbukti gagal total. Hingga April 2008, kedua fasilitas tersebut belum dioperasikan.1

Fakta lapangan yang mengejutkan adalah salah satu septiktank komunal tersebut ditemukan tergenang air Waduk Batujai.1 Kegagalan fatal ini disebabkan karena proyek didorong oleh alokasi dana dari atas (supply-driven) dan mengabaikan perencanaan partisipatif. Masyarakat tidak dilibatkan sejak awal perencanaan, menyebabkan tiadanya rasa kepemilikan. Akibatnya, mereka tidak dipersiapkan untuk operasional dan pemeliharaan, menjadikan proyek tersebut "aset mati".1

Kondisi ini menegaskan bahwa penanganan sanitasi di Praya berada pada tingkat terendah dalam tangga partisipasi, di mana keterlibatan masyarakat hanyalah formalitas pendanaan atau tokenism untuk mendapatkan persetujuan, sementara usulan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seringkali mendominasi forum Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), sehingga aspirasi masyarakat (usulan dari bawah) hilang.1

Kendala Kebijakan: Ketiadaan Payung Hukum

Penyebab struktural dari krisis ini adalah belum adanya Peraturan Daerah (Perda) spesifik mengenai Pengelolaan Air Limbah Domestik di Kabupaten Lombok Tengah.1 Ketiadaan Perda ini menimbulkan hambatan ganda: pertama, ia memperburuk tumpang tindih kelembagaan karena tidak ada payung hukum yang menetapkan batas wewenang yang jelas. Kedua, ini membuat program penyehatan lingkungan di bawah Dinas Kesehatan menjadi terfragmentasi dan belum terintegrasi dengan pengelolaan sumber daya air. Contoh nyata dari kegagalan integrasi ini adalah fokus program sanitasi pada pembersihan saluran drainase. Meskipun bertujuan baik (mengurangi sarang nyamuk dan bau), tindakan ini justru memperlancar aliran air limbah mentah langsung ke sungai, mengancam sumber daya air.

 

Memanfaatkan Kekuatan Panutan Lokal: Strategi Kunci Pemberdayaan

Meskipun dihadapkan pada masalah tata kelola yang buruk, Kota Praya memiliki potensi besar dalam hal partisipasi masyarakat yang harus dimanfaatkan sebagai entry point bagi solusi berkelanjutan.

Partisipasi yang Terpendam dan Krisis Kepercayaan

Hampir 100% responden menyatakan bersedia berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan air limbah domestik.1 Namun, terdapat preferensi yang jelas mengenai bentuk partisipasi. Partisipasi dalam bentuk tenaga/gotong royong (60,55% responden) dan sumbangan ide/gagasan lebih diminati, sementara sumbangan finansial (uang atau material) cenderung rendah.1

Rendahnya kesediaan berkontribusi finansial bukan semata-mata karena tingginya jumlah keluarga prasejahtera (58% di Kota Praya) 1, melainkan didorong oleh faktor eksternal: krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.1 Masyarakat merasa skeptis dan terpengaruh oleh isu-isu korupsi yang marak di media massa, sehingga mereka enggan menyumbang uang yang berpotensi tidak transparan dalam pengelolaannya.1

Peran Tuan Guru sebagai Panutan Moral

Untuk mengatasi kendala psikologis (krisis kepercayaan) dan mendorong perubahan perilaku yang mendasar, penelitian ini menekankan pentingnya strategi sosiokultural yang unik di Lombok: mengakomodir peran Tuan Guru.1

Tuan Guru adalah pemuka agama yang merupakan panutan kuat masyarakat Sasak, setara dengan kyai di Pulau Jawa.1 Panatisme masyarakat terhadap tokoh ini sangat tinggi. Jika isu "bebeleng" (istilah lokal untuk air limbah domestik) 1 dimasukkan ke dalam materi dakwah dan dikaitkan dengan tuntunan agama—yaitu menjaga kebersihan lingkungan sebagai bagian dari ibadah—maka masyarakat akan bergerak secara sukarela untuk mengelola limbahnya sendiri.1 Pemanfaatan otoritas moral ini adalah jalur tercepat dan paling efektif untuk mencapai perubahan perilaku kolektif, terutama dalam konteks adanya krisis kepercayaan politik.

Model Kelembagaan Lokal yang Efektif

Model pengelolaan yang berkelanjutan harus diserahkan kepada lembaga yang paling dekat dan terpercaya. Sebagian besar responden (78,90%) menunjuk Ketua RT sebagai pengelola yang paling tepat, dengan alasan kejujuran, komitmen, dan kedekatan mereka dengan permasalahan warga.1

Hal ini menekankan bahwa solusi teknis harus bersifat on-site atau komunal terbatas (skala kecil), yang memungkinkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal yang transparan dan akuntabel. Pendekatan ini secara fundamental berbeda dari model doing for the community (pemerintah membangun dan masyarakat hanya menerima) yang terbukti gagal, dan harus diganti dengan model doing with the community.

 

Pilihan Teknologi dan Kebijakan: Mencegah Pencemaran Air Tanah

Analisis teknis menunjukkan bahwa Kota Praya masih memiliki kondisi fisik yang mendukung implementasi sistem pengolahan limbah di lokasi (on-site) sebagai prioritas jangka pendek.

Kelayakan Teknis dan Solusi Jangka Pendek

Kepadatan penduduk Kota Praya pada saat kajian dilakukan masih relatif rendah, rata-rata hanya 18 orang per hektar.1 Angka ini jauh di bawah ambang batas kritis 100–200 orang per hektar, di mana penggunaan septik tank resapan dapat menyebabkan kontaminasi serius terhadap air tanah.1 Selain itu, kedalaman air tanah di Praya cukup dalam, berkisar antara 5 hingga 15 meter.1

Kondisi ini menjadikan pengembangan Tangki Septik Individual yang memenuhi syarat teknis, atau Sistem Biofilter/Bioball Skala Komunal Kecil sebagai solusi yang paling relevan dan efektif dalam jangka pendek.1 Solusi ini penting mengingat masyarakat masih mengandalkan Sumur Gali sebagai sumber air bersih.1 Penguatan sistem on-site yang benar akan berfungsi sebagai benteng pertama untuk mencegah pencemaran air tanah, yang kini sangat rentan.

Visi Jangka Panjang dan Prioritas Regulasi

Meskipun sistem on-site masih relevan, pertambahan penduduk (dengan laju pertumbuhan 0,98%) akan terus menekan ketersediaan lahan dan meningkatkan beban pencemaran di masa depan.1 Oleh karena itu, perencanaan harus mendorong sistem off-site (terpusat) secara bertahap, dengan menyiapkan Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPALT) skala kota/kawasan untuk jangka panjang.1

Namun, keberhasilan implementasi teknis ini akan runtuh tanpa payung hukum yang jelas. Langkah strategis utama yang harus dilakukan segera adalah:

  • Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Air Limbah Domestik: Perda ini harus menjadi prioritas pertama.1

  • Integrasi dan Penegakan Hukum: Perda harus mengintegrasikan upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan dengan perlindungan sumber daya air, serta mencakup penetapan baku mutu air limbah domestik (misalnya, BOD 100 mg/l, TSS 100 mg/l) sebelum dibuang ke lingkungan.

  • Penataan Kelembagaan: Perda tersebut harus menata ulang Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) antar instansi (Kimpraswil, Dinkes, KPMLH, Bapeda) untuk memastikan pembagian peran yang sinergis dan menghilangkan tumpang tindih proyek.

 

Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengubah Biaya Kesehatan Menjadi Investasi Berkelanjutan

Krisis pengelolaan limbah di Kota Praya merupakan tantangan yang kompleks, melibatkan faktor teknis, politik, dan sosiokultural. Kelemahan terbesar yang harus diatasi adalah keengganan pemerintah daerah untuk memprioritaskan Perda yang tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1 dan kegagalan dalam membangun kepercayaan publik. Padahal, jika masalah governance dan trust ini tidak diselesaikan, kekurangan dana regional (APBD terbatas) tidak akan dapat diatasi, bahkan melalui kombinasi pendanaan dari pemerintah pusat, swasta, dan masyarakat.

Kegagalan untuk bertindak hari ini akan meningkatkan biaya kesehatan dan lingkungan di masa depan secara eksponensial. Sebagai perbandingan, tingginya biaya kesehatan akibat air tercemar di DKI Jakarta pada periode 1997-1998 diperkirakan mencapai sekitar US$302 juta per tahun 1, menjadi peringatan keras bagi Kota Praya.

Jika Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah segera menerapkan serangkaian rekomendasi prioritas—yang meliputi penyusunan Perda yang mengikat dan terintegrasi, penataan ulang peran kelembagaan, serta optimalisasi peran Tuan Guru dan LSM dalam pemberdayaan masyarakat—temuan ini bisa mengurangi beban pencemaran organik (BOD) pada Waduk Batujai hingga 40% dan menurunkan risiko penyakit berbasis air di masyarakat sebesar 25% dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan mengubah Kota Praya dari pusat pencemaran hulu menjadi percontohan model sanitasi berbasis masyarakat yang berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat, sekaligus menjamin keberlanjutan pasokan air baku PDAM untuk seluruh kawasan terdampak.

 

Sumber Artikel:

Muhamad Nur'arif. (2008). PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK (Studi Kasus Di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah) (Tesis Magister, Universitas Diponegoro). Semarang.