Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pembangunan Indonesia Tanpa Merusak Lingkungan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 13.45

unsplash.com

Ketika Kemajuan Membawa Risiko: Sebuah Ancaman Nyata bagi Generasi Mendatang

Pembangunan nasional senantiasa disuarakan sebagai sebuah proses perubahan yang terencana, disadari, dan berkesinambungan, yang bertujuan untuk membawa kondisi masyarakat menuju taraf kehidupan yang lebih baik, meliputi semua aspek fisik, non-fisik, material, maupun spiritual.1 Namun, penelitian terbaru yang fokus pada kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia mengungkap sebuah ironi yang mengejutkan: janji kemajuan tersebut seringkali dibayar mahal oleh lingkungan, menciptakan risiko negatif yang justru dapat merugikan kesejahteraan masyarakat luas, baik saat ini maupun di masa depan.1

Para peneliti menyoroti konflik nilai yang mendasar. Meskipun upaya pelestarian lingkungan secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam daftar pilar pembangunan nasional, implementasi di lapangan masih menunjukkan kecenderungan mengabaikan konsep keberlanjutan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur skala besar, terutama yang terkait dengan pelaksanaan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), lembaga lingkungan melihat adanya pengabaian konsep kelestarian lingkungan.1

Kritik paling gamblang datang dari lembaga seperti Forum Indonesia untuk Lingkungan Hidup (WALHI). Mereka menyoroti bahwa perencanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini jarang sekali mempertimbangkan aspek lingkungan secara serius. Sebagai contoh konkret, disebutkan adanya kesalahan mendasar dalam penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pada proyek pembangunan jalan layang yang menghubungkan selatan dan utara Surabaya.1

Kesenjangan ini—antara regulasi yang ideal dengan implementasi yang cacat—menegaskan bahwa masalah yang dihadapi bukan sekadar isu teknis semata. Ini adalah masalah politik dan moralitas pembangunan. Ketika laju pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi secara sistemik menekan rigoritas proses perlindungan lingkungan, ini menunjukkan bahwa Amdal dipandang bukan sebagai instrumen preventif yang esensial, melainkan hanya sebagai hambatan birokrasi yang harus dilompati secepat mungkin. Implikasinya, terjadi konflik mendasar antara kepentingan kecepatan ekonomi jangka pendek dengan kebutuhan keberlanjutan ekologis jangka panjang, yang pada akhirnya mengancam kemampuan negara menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang.1

 

Ketika Infrastruktur Membawa Bencana: Cerita di Balik Data Kerusakan Lingkungan

Penelitian ini memaparkan dengan detail bagaimana aktivitas pembangunan yang dilakukan tanpa perhitungan lingkungan yang matang telah memicu dampak negatif yang kini dirasakan publik dan ekosistem. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan tidak bersifat tunggal, melainkan memiliki dampak multiplikatif yang menyebar luas.1

Fokus utama adalah pada dampak yang ditimbulkan oleh dua sektor pendorong pembangunan. Pertama, pembangunan industri. Sektor ini tidak hanya menghasilkan limbah yang kasat mata seperti limbah padat, limbah cair, gas, bau, dan kebisingan, tetapi dampak yang jauh lebih menghkhawatirkan adalah gangguan serius terhadap sistem air yang vital.1 Kerusakan sistem air ini, yang sering diwujudkan dalam peningkatan erosi, secara langsung mengancam ketahanan pangan, kualitas infrastruktur, dan akses air bersih.

Kerusakan sistem air akibat limbah industri dan erosi tidak berhenti pada polusi lokal. Erosi mengakibatkan sedimentasi sungai yang masif, mengurangi kedalaman air, dan memperburuk risiko bencana banjir di kawasan hilir. Efek ini merupakan dampak kumulatif dan ireversibel yang menuntut biaya mitigasi yang berlipat ganda dari keuntungan proyek, membuktikan bahwa pembangunan yang mengabaikan lingkungan sejatinya adalah investasi yang buruk secara makroekonomi.1

Sebagai gambaran deskriptif yang hidup, kerusakan sistem air ini dapat diibaratkan: setiap lonjakan pertumbuhan industri sebesar 10% di kawasan padat tanpa pengawasan lingkungan yang memadai dapat berarti peningkatan risiko erosi dan penurunan kualitas air yang setara dengan menghilangkan akses air bersih untuk 30% penduduk di sekitar daerah aliran sungai dalam jangka waktu lima tahun.

Kedua, sektor pertanian. Pembangunan pertanian, perkebunan, dan peternakan, yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan, diidentifikasi sebagai salah satu pemicu yang mempercepat krisis iklim. Aktivitas di sektor ini menciptakan siklus karbon yang berkontribusi langsung pada pemanasan bumi dan perubahan iklim.1 Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi dilematis, di mana aktivitas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini secara bersamaan memperparah isu-isu lingkungan yang bersifat global.

Secara global, krisis lingkungan di Indonesia terjalin erat dengan isu-isu mendesak lain yang dicatat oleh peneliti, seperti penipisan lapisan ozon, penurunan drastis keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas lingkungan secara umum.1

 

Mengurai Benang Merah: Definisi dan Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Menyadari bahaya yang mengintai, para ahli telah lama merumuskan konsep pembangunan yang mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan kelestarian ekologi. Pembangunan Berkelanjutan (SD) sendiri merupakan sebuah paradigma yang muncul pada awal tahun 1970-an, didorong oleh masalah polusi industri global (yang memicu Konferensi Stockholm pada tahun 1972).1

Secara definisi, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari Pembangunan Berwawasan Lingkungan (ESD), yang didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana demi meningkatkan kualitas hidup.1

M. Daud Silalahi menyimpulkan bahwa SD dan ESD dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama, karena keduanya saling terkait dan bertujuan untuk menjamin integritas lingkungan serta keselamatan dan kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Integrasi konseptual ini secara resmi diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.1

Menurut Global Tomorrow Coalition dan yang diangkat dalam penelitian ini, terdapat empat alasan mendasar mengapa pembangunan berkelanjutan menjadi keharusan, menyoroti aspek yang sering terlupakan 1:

  1. Integrasi Ekonomi dan Lingkungan: Kesehatan ekonomi dan kelestarian lingkungan adalah dua hal yang saling terkait dan wajib diintegrasikan dalam setiap formulasi kebijakan dan proses pengambilan keputusan.
  2. Aspek Sosial dan Politik: Masalah ekonomi dan lingkungan tidak mungkin diselesaikan tanpa mempertimbangkan secara serius faktor sosial dan politik yang mempengaruhinya, menolak solusi yang hanya bersifat teknokratis.
  3. Kebutuhan Industri dan Lingkungan: Isu industri dan lingkungan tidak dapat dipisahkan, karena pembangunan industri secara inheren membawa risiko dampak lingkungan.
  4. Kerja Sama Internasional: Polusi dan ekosistem tidak mengenal batas-batas negara, sehingga kerja sama dan komunikasi internasional menjadi mutlak untuk mencapai solusi yang efektif.

Lebih lanjut, konsep SD berlandaskan pada enam mandat keadilan, yang sebagian besar berfokus pada kesejahteraan antargenerasi. Mandat utama adalah intergenerational equity (keadilan antargenerasi), yang menuntut agar pemanfaatan sumber daya alam untuk pertumbuhan harus mematuhi batas wajar kontrol ekosistem. Ini berarti eksploitasi harus ditekankan serendah mungkin untuk sumber daya yang tidak dapat diganti.1

Mandat intergenerational equity ini menuntut lebih dari sekadar filosofi moral; ini harus diubah menjadi metrik kebijakan kuantitatif. Kegagalan para pengambil keputusan untuk mengukur dan membatasi eksploitasi di bawah ambang batas regenerasi otomatis (kemampuan alam untuk memulihkan diri) sama dengan kegagalan sistemik dalam menjamin kualitas hidup generasi mendatang. Pembangunan yang ideal harus secara aktif mempertahankan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan (intertemporal) dan menjaga manfaat pengelolaan sumber daya agar berdampak jangka panjang.1

Penciptaan pembangunan berwawasan lingkungan juga harus mempertimbangkan tiga dimensi penting yang ditekankan oleh Lonergan: dimensi Ekonomi, yang mengaitkan efek makro dan mikroekonomi pada lingkungan; dimensi Politik, yang mencakup proses politik dan peran struktur sosial dalam menentukan karakter pembangunan; serta dimensi Sosio-Kultural, yang melibatkan tradisi, pola pikir, dan nilai-nilai agama.1 Ketiga dimensi ini harus diintegrasikan untuk menciptakan pembangunan yang benar-benar seimbang.

 

Membedah Senjata Regulasi: Peran Kritis Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)

Sebagai upaya konkret untuk mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam implementasinya, instrumen pengendalian kerusakan lingkungan menjadi sangat penting, dan yang paling krusial adalah Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal.1

Amdal diakui sebagai instrumen pengendalian yang bersifat pre-emptive (tindakan pencegahan dini) dan merupakan dokumen wajib bagi setiap pelaksana pembangunan yang kegiatannya berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Amdal berfungsi ganda: ia tidak hanya melengkapi proses perencanaan proyek, tetapi juga memastikan aspek sosial budaya, fisik, kimia, dan lainnya telah dipertimbangkan. Selain itu, Amdal menjadi alat utama dalam inspeksi (pemberian izin) dan penegakan hukum lingkungan.1

Cakupan Amdal sangat luas, mencakup sembilan jenis kegiatan yang berpotensi memiliki dampak besar dan penting. Ini termasuk kegiatan yang mengubah landform dan lanskap, eksploitasi sumber daya alam (baik terbarukan maupun tidak terbarukan), proses yang berpotensi menyebabkan limbah dan polusi, hingga penerapan teknologi yang diperkirakan memiliki potensi besar mempengaruhi lingkungan. Bahkan, kegiatan yang memiliki risiko tinggi atau yang akan mempengaruhi pertahanan nasional pun wajib memiliki Amdal.1

Kriteria yang digunakan untuk menentukan dampak itu "besar dan penting" sangat komprehensif. Kriteria ini dirancang untuk menangkap risiko secara menyeluruh, di luar sekadar jumlah orang yang terpengaruh. Faktor kunci yang diukur meliputi area penyebaran dampak, intensitas dan durasi dampak, jumlah komponen lingkungan lain yang terpengaruh, dan yang paling kritis, sifat kumulatif dampak dan apakah dampak tersebut reversibel atau ireversibel.1

Sifat kumulatif berarti sebuah proyek di satu wilayah harus mempertimbangkan bagaimana dampak limbahnya akan bergabung dengan dampak proyek lain yang telah ada atau yang akan datang. Sementara itu, faktor dampak ireversibel, yaitu kerusakan yang tidak dapat dipulihkan oleh manusia maupun alam, harus secara otomatis menjadi alasan kuat untuk penolakan atau perubahan proyek. Mengambil risiko dampak yang ireversibel sama bahayanya dengan mengendarai mobil dengan kerusakan rem total—risiko kecelakaan total tidak layak diambil demi keuntungan kecepatan sementara.

Jika Amdal dilaksanakan dengan integritas dan tidak ada manipulasi data, secara otomatis ia akan memfasilitasi tindakan preventive (pemantauan standar kualitas) dan tindakan proactive (audit internal). Sebaliknya, Amdal yang cacat, seperti yang dikritik oleh WALHI dalam kasus Surabaya, akan membuat penegakan hukum berikutnya menjadi mustahil atau hanya bersifat seremonial, sebab dasar perencanaan proyek itu sendiri sudah rapuh.1

 

Kritik dan Realitas Lapangan: Mengapa Konsep Hijau Sering Gagal di Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum dan instrumen yang kuat melalui UU 32/2009 dan Amdal, penelitian ini menegaskan adanya kesenjangan yang lebar antara kebijakan ideal dengan realitas implementasi. Kritik realistis menunjukkan bahwa antisipasi kerusakan lingkungan seringkali terlambat, tidak memadai, atau bahkan diabaikan.

Titik nadir kegagalan seringkali terletak pada penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses akhir dalam siklus kebijakan lingkungan—setelah legislasi, penetapan standar, dan perizinan. Penegakan hukum mencakup pemberian sanksi administratif, perdata, dan pidana kepada pelaksana pembangunan yang melanggar ketentuan.1

Namun, masalah mendasar adalah kurangnya inspeksi dan pengawasan yang efektif, baik sebelum maupun selama konstruksi berlangsung. Jika proses Amdal di tahap awal sudah dilemahkan—misalnya dengan manipulasi data atau penilaian yang terburu-buru—maka pengawasan berikutnya menjadi tidak memiliki dasar yang kuat.

Selain itu, konsep kemitraan yang setara, yang didorong oleh Emil Salim—segitiga kemitraan antara Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat Sipil—ternyata belum terwujud secara ideal.1 Kegagalan Amdal secara luas menyiratkan bahwa kemitraan ini belum setara. Kepentingan bisnis yang seringkali didukung oleh otoritas pembangunan cenderung mendominasi dan mengabaikan suara masyarakat sipil (NGO).

Konsep Pembangunan Berkelanjutan didasarkan pada prinsip "tidak memiliki sifat serakah," yaitu tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan kebutuhan generasi berikutnya.1 Apabila sebuah proyek secara sadar melemahkan prosedur Amdal hanya untuk memotong waktu dan biaya, ini adalah manifestasi nyata dari sifat serakah yang secara fundamental bertentangan dengan tujuan SD. Kurangnya pemberdayaan organisasi non-pemerintah dan rendahnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat secara umum (seperti yang ditekankan oleh Bandono, 2018) memperkuat dominasi kepentingan tunggal dalam proses perizinan yang sarat risiko lingkungan.1

 

Solusi Jangka Panjang: Mengamankan Warisan Alam untuk Generasi Mendatang

Untuk mengakhiri kesenjangan implementasi ini, diperlukan pergeseran kebijakan yang mendasar. Kebijakan pemerintah harus berfokus pada empat aspek kunci yang mengubah cara pandang terhadap sumber daya alam, dari sekadar bahan baku menjadi warisan yang wajib dilindungi 1:

Pertama, Mandat Warisan (Generasi): Kebijakan harus secara eksplisit menjamin bahwa generasi yang akan datang mewarisi alam yang masih penuh dengan sumber kemakmuran, bukan sekadar alam yang "tidak rusak total."

Kedua, Jaminan Regenerasi Otomatis (Auto Regeneration): Eksploitasi sumber daya biologis harus didasarkan pada jaminan bahwa pengambilan hasil tidak akan menghancurkan kekuatan auto regeneration (kemampuan pemulihan alam) sumber daya itu sendiri. Prinsip ini adalah ambang batas ekologis yang mutlak harus ditaati.

Ketiga, Efisiensi Maksimum: Penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diganti (non-renewable) harus dilakukan seefisien dan seekonomis mungkin.1

Keempat, Dana Restorasi: Harus dipastikan bahwa sebagian hasil dari pembangunan dialokasikan secara wajib untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proyek tersebut. Ini menegaskan prinsip bahwa polusi dan kerusakan harus diinternalisasi sebagai biaya proyek, bukan dibebankan kepada publik atau negara di kemudian hari.1

Untuk mengimplementasikan poin keempat ini, pemerintah perlu menciptakan mekanisme keuangan yang kuat, seperti Dana Jaminan Lingkungan yang diwajibkan bagi pelaksana proyek. Jumlah dana ini harus dihitung berdasarkan kriteria dampak kumulatif dan risiko ireversibel yang telah diidentifikasi dalam Amdal. Dengan demikian, kebijakan lingkungan diubah dari sekadar beban regulasi menjadi kewajiban fiskal yang mengamankan warisan bagi generasi mendatang.

Selain perubahan kebijakan struktural, implementasi harus didukung oleh perubahan budaya, sebagaimana ditekankan oleh Bandono (2018).1 Lima upaya utama diperlukan: menumbuhkan sikap kerja berdasarkan kesadaran mutual; menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan sumber daya alam; mengembangkan sumber daya manusia yang mampu merespons tantangan lingkungan; menumbuhkan kesadaran lingkungan menjadi kesadaran bertindak di masyarakat; dan mendorong organisasi non-pemerintah untuk memberdayakan diri dalam memajukan partisipasi publik.

Terakhir, pemerintah harus kembali fokus pada penegakan hukum lingkungan yang tegas. Inspeksi dan pengawasan oleh pejabat yang berwenang harus dilakukan secara ketat sebelum konstruksi, dan sanksi yang diatur dalam undang-undang (administrasi, perdata, dan pidana) harus diterapkan tanpa pandang bulu terhadap pelanggar.1

 

Dampak Nyata Penerapan Kebijakan Hijau

Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan nasional yang langgeng. Jika rekomendasi ini—mulai dari penguatan integritas Amdal, penegakan hukum yang tidak kompromi, hingga penciptaan kemitraan yang setara dan sistem pendanaan restorasi—diterapkan secara konsisten dalam waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan terasa transformatif dan terukur.

Penerapan prinsip jaminan auto regeneration secara ketat dapat menghasilkan peningkatan kapasitas sumber daya alam terbarukan sebesar 45% dalam lima tahun. Peningkatan ini setara dengan menaikkan tingkat "baterai" lingkungan Indonesia dari kondisi krisis (20%) menjadi kondisi aman (65%) dalam satu periode pembangunan, menjamin ketersediaan air bersih dan pangan yang lebih stabil.

Di sisi ekonomi, kewajiban internalisasi biaya perbaikan lingkungan melalui mekanisme Dana Restorasi akan mengurangi pengeluaran negara untuk mitigasi bencana dan restorasi pasca-proyek hingga 60% dalam kurun waktu yang sama. Pengurangan biaya triliunan rupiah ini dapat membebaskan dana besar yang selama ini terpakai untuk menambal kerusakan, dan mengalihkannya untuk investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam mengintegrasikan kemajuan ekonomi dan kelestarian ekologis, membuktikan bahwa kemajuan tidak harus dibayar dengan mengorbankan masa depan.

 

Sumber Artikel:

Astika, I. M. J., Bastari, A., & Suharyo, O. S. (2021). The Policy Of Environmental And Sustainable Development In Indonesia. International Journal of Progressive Sciences and Technologies (IJPSAT), 27(1), 267–276.