Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Modernisasi Infrastruktur Indonesia – dan Ini 6 Strategi Kritis yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

08 Oktober 2025, 18.49

unsplash.com

Transformasi digital telah menyapu bersih hampir setiap sektor industri global, dan sektor konstruksi—meski terkenal lambat—kini berada di garis depan inovasi. Di jantung revolusi ini terdapat Building Information Modeling (BIM), sebuah metodologi yang jauh melampaui gambar 3D sederhana. BIM melibatkan penciptaan model digital yang kaya data, mempromosikan kolaborasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara para peserta proyek melalui digitalisasi data.1

Para ahli kini meyakini secara luas bahwa BIM adalah solusi yang optimal dan mendesak untuk mengatasi tantangan yang terus-menerus terjadi dalam industri Arsitektur, Engineering, dan Konstruksi (AEC), terutama di Indonesia.1 Manfaat yang ditawarkan teknologi ini sangatlah dramatis, menjanjikan efisiensi yang fundamental.

Secara global, implementasi BIM telah terbukti mampu mengubah permainan:

  • BIM telah menghilangkan perubahan yang tidak dianggarkan (unbudgeted change) sebesar 40%.1 Angka ini sangat signifikan, setara dengan menghilangkan hampir setengah dari semua kejutan buruk yang memicu pembengkakan biaya di tengah jalannya proyek.1
  • BIM telah meningkatkan akurasi estimasi biaya sebesar 3% dan menghemat nilai kontrak hingga 10%.1
  • Yang paling vital, BIM telah memangkas durasi proyek sebesar 7%.1 Pengurangan durasi sebesar 7% dalam konteks proyek multi-tahun dapat berarti penghematan waktu hingga berbulan-bulan. Secara sederhana, lompatan efisiensi waktu 7% ini seperti menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang, menunjukkan betapa cepatnya progres dapat dicapai dengan alur kerja yang terdigitalisasi [Instruksi 3].

Namun, bagi Indonesia, kunci untuk merealisasikan janji transformasi ini bukanlah hanya membeli perangkat lunak canggih. Menurut studi mendalam oleh Hafnidar A. Rani dan rekan-rekan, implementasi BIM yang berhasil di Indonesia sangat bergantung pada intervensi strategis dan terkoordinasi dari pemerintah.1 Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi hambatan, tetapi juga memetakan enam strategi kritis yang harus menjadi prioritas kebijakan nasional untuk mendorong industri AEC Indonesia menuju era digital.1

 

Mengapa Modernisasi Konstruksi Indonesia Tak Bisa Ditunda? (Konteks dan Tantangan)

Sektor konstruksi Indonesia selama ini berperan sebagai pendorong utama pertumbuhan (growth driver) perekonomian nasional.1 Sebelum pandemi, sektor ini mencatatkan pertumbuhan tahunan yang sehat, mencapai 4,83% pada tahun 2021 dan investasi di bidang ini—mencakup pembangunan bendungan, jalan umum, jalan tol, dan jembatan—menyumbang 1,28% terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.1 Perkembangan infrastruktur ini krusial untuk menjaga daya saing negara.

Pukulan Resiliensi Pasca-Pandemi

Sayangnya, sama seperti industri lain, industri AEC Indonesia menerima pukulan signifikan akibat pandemi COVID-19. Kebijakan pembatasan sosial menyebabkan output industri menurun sebesar 2% pada tahun 2020, dengan beberapa proyek konstruksi ditunda karena keterbatasan dana.1

Dampak ekonomi ini terasa hingga ke tingkat makro, menyebabkan Indonesia mengalami penurunan status dari negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income) menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle income) pada tahun 2020.1 Konteks ini menciptakan urgensi yang tinggi. Dengan sumber daya yang terbatas dan kebutuhan untuk memastikan kelanjutan proyek pembangunan yang vital, inovasi desain dan konstruksi, seperti BIM, menjadi strategi ketahanan ekonomi nasional yang tak terelakkan. Strategi yang efektif dan terfokus sangat dibutuhkan untuk menghindari pemborosan sumber daya dan kegagalan implementasi BIM.1

Tiga Tantangan Lokal yang Menghambat Adopsi BIM

Meskipun potensi BIM begitu besar, studi-studi sebelumnya menyoroti bahwa adopsi di Indonesia dihambat oleh beberapa faktor struktural dan operasional yang mendalam 1:

  • Beban Finansial yang Tinggi: Salah satu hambatan paling signifikan adalah biaya implementasi BIM yang tinggi. Ini mencakup harga perangkat lunak dan perangkat keras, serta biaya berkelanjutan untuk pemeliharaan dan pelatihan profesional. Bagi banyak organisasi AEC, BIM dipersepsikan memiliki implikasi finansial yang besar, membuat mereka enggan berinvestasi dalam infrastruktur yang memadai dan personel internal (in-house personnel).1
  • Kesenjangan Pengetahuan dan Kesadaran: Di tingkat individu, terdapat kekurangan kesadaran dan pengetahuan BIM di kalangan profesional AEC. Mereka yang tidak menyadari manfaat transformatif BIM cenderung menolak ide implementasi dan bersikeras menggunakan pendekatan tradisional. Perlawanan terhadap perubahan alur kerja ini menghambat penyebaran BIM di tingkat industri.1
  • Kekosongan Struktural dan Kontraktual: Secara struktural, kontrak resmi untuk proyek BIM masih absen di Indonesia. Selain itu, permintaan BIM dari klien seringkali dianggap tidak memadai untuk memotivasi organisasi AEC secara luas agar beralih ke praktik digital.1

 

Konsensus Universal: Dua Strategi Fondasi yang Diinginkan Semua Pihak

Ketika para peneliti meninjau 12 potensi strategi pemerintah yang diidentifikasi melalui tinjauan literatur sistematis dan wawancara dengan para profesional AEC, mereka menemukan total enam strategi yang dinilai kritis (memiliki nilai normalisasi di atas 0,50) untuk meningkatkan implementasi BIM di Indonesia.1

Namun, temuan yang paling mengejutkan dan penting bagi para pembuat kebijakan adalah adanya konsensus universal di antara semua pemangku kepentingan utama proyek konstruksi—yaitu konsultan, kontraktor, dan klien—mengenai dua strategi fondasi.

Dalam industri konstruksi, di mana hubungan antarpihak seringkali diwarnai ketidaksepakatan atau kepentingan yang bertentangan, kesepakatan bulat (overlap) ini menunjukkan bahwa dua masalah ini bersifat struktural dan harus menjadi titik fokus utama pemerintah.1

Dua strategi kritis yang tumpang tindih (overlap) di antara semua pemangku kepentingan adalah:

  1. Mengembangkan program untuk mengintegrasikan BIM ke dalam kurikulum pendidikan dan akademik (GS09).1
  2. Mengembangkan pedoman implementasi BIM (GS11).1

Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa kedua strategi ini memiliki korelasi yang tinggi, dengan koefisien Spearman sebesar .1 Korelasi tinggi ini mengisyaratkan bahwa efektivitas salah satunya sangat bergantung pada implementasi yang lain. Strategi ini bukanlah pilihan terpisah, melainkan elemen dari paket reformasi yang tidak terpisahkan.

Menciptakan angkatan kerja yang terampil melalui pendidikan akan sia-sia jika industri tidak memiliki kerangka kerja atau "buku aturan" yang jelas untuk mereka gunakan (pedoman). Sebaliknya, pedoman yang canggih tidak akan berguna jika tidak ada profesional yang kompeten untuk menjalankannya. Dengan kata lain, kompetensi (pendidikan) memungkinkan kepatuhan (pedoman), dan kepatuhan memperkuat kebutuhan akan kompetensi.1

Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan persetujuan universal ini sebagai momentum politik yang kuat untuk memprioritaskan alokasi sumber daya pada kedua inisiatif ini secara simultan.1

 

Prioritas 1: Menciptakan Generasi BIM-Capable melalui Kurikulum Pendidikan

Strategi untuk mengintegrasikan BIM ke dalam kurikulum pendidikan dan akademik (GS09) secara langsung mengatasi akar masalah kesenjangan pengetahuan dan keterampilan di Indonesia.1 Ini adalah investasi jangka panjang yang paling efektif, ditujukan untuk mengisi kesenjangan yang ada antara kebutuhan industri dan output akademisi.1

Tujuan utama dari inisiatif ini adalah menghasilkan lulusan yang sudah terampil dalam BIM (BIM-skilled graduates). Kurangnya personel BIM yang terlatih saat ini memaksa organisasi AEC untuk melatih ulang operator CAD berpengalaman—sebuah proses yang memakan biaya dan waktu.1 Dengan secara sistematis menghasilkan lulusan yang kompeten, pemerintah dapat mengurangi beban finansial pada organisasi AEC, yang selama ini enggan berinvestasi karena mahalnya biaya pelatihan.1

Mekanisme Implementasi Program BIM Education

Untuk merealisasikan strategi ini, interaksi dan kerja sama yang efektif antara pemerintah dan sektor pendidikan harus ditekankan.1

Pertama, BIM harus diintegrasikan sepenuhnya ke dalam program gelar teknik sipil, arsitektur, dan manajemen konstruksi. Program ini harus mencakup lebih dari sekadar konsep teoritis; fokus harus juga diberikan pada kompetensi teknis dalam alat BIM spesifik, serta transisi alur kerja dari pemodelan 2D tradisional ke pemodelan 3D parametrik.1

Kedua, keterlibatan profesional industri sangat penting untuk memastikan bahwa modul pendidikan BIM relevan dengan kebutuhan pasar.1 Penyelarasan antara sektor pendidikan dan badan profesional akan membantu mengembangkan materi pembelajaran dan rencana belajar yang membutuhkan cakupan dan akreditasi dari otoritas terkait. Melalui inisiatif ini, para lulusan akan lebih akrab dengan proses BIM dan dapat langsung mengisi peran profesional yang dibutuhkan industri.1

 

Prioritas 2: Menyusun "Buku Aturan" Standar Nasional (Pedoman Implementasi BIM)

Jika pendidikan mengatasi masalah kompetensi individu, strategi untuk mengembangkan pedoman implementasi BIM (GS11) menangani masalah struktural dan prosedural industri. Studi menunjukkan bahwa tanpa pedoman yang jelas, mustahil untuk memiliki strategi dan metodologi yang efektif untuk implementasi BIM.1

Pedoman ini sangat penting di Indonesia karena saat ini, tidak ada pedoman atau standar BIM yang tersedia dan disesuaikan dengan konteks lokal.1 Mengandalkan panduan luar negeri tidaklah ideal karena BIM bersifat sensitif terhadap konteks regional, budaya bisnis, dan lingkungan AEC setempat.1

Fungsi Kunci Pedoman Nasional

Pedoman BIM harus berfungsi sebagai peta jalan praktis yang mengurangi persepsi risiko dan kerumitan bagi organisasi AEC, terutama bagi usaha kecil dan menengah.1 Fungsi kuncinya meliputi:

  • Standarisasi dan Konsistensi: Pedoman harus menetapkan bahasa umum, prosedur, dan standar untuk eksekusi BIM di berbagai proyek dan pemangku kepentingan. Standarisasi ini merupakan inti dari manfaat BIM, yaitu memastikan model yang dibuat oleh konsultan dapat diintegrasikan secara interoperable dengan mudah oleh kontraktor dan klien.1
  • Klarifikasi Peran dan Tanggung Jawab: Pedoman harus mendefinisikan secara eksplisit peran, tanggung jawab, dan hasil yang diharapkan (deliverables) dari setiap peserta proyek. Ini juga harus mencakup isu sensitif terkait kepemilikan model dan hak kekayaan intelektual (HKI) yang telah menjadi subjek penelitian di Indonesia.1
  • Adaptasi Standar Global: Pemerintah dapat mempercepat proses ini dengan memanfaatkan pedoman global yang sudah ada (misalnya dari Amerika Serikat, Inggris, atau Denmark) dan menyesuaikannya—melokalisasi kontennya (misalnya bahasa, simbol, dan prosedur) agar sesuai dengan lingkungan industri lokal Indonesia.1

Dengan adanya pedoman nasional yang kuat, industri akan memiliki kejelasan tentang bagaimana mengimplementasikan BIM secara konsisten, yang pada akhirnya akan mempercepat realisasi manfaat berbasis bukti (evidence-based benefits) BIM, seperti yang terlihat pada inisiatif proyek percontohan di negara lain.1

 

Empat Strategi Pelengkap untuk Mempercepat Adopsi

Selain dua fondasi utama (Pendidikan dan Pedoman), empat strategi tambahan telah diidentifikasi sebagai kritis untuk menciptakan lingkungan adopsi BIM yang optimal di Indonesia 1:

1. Mengembangkan Standar BIM (GS03)

Standar BIM (GS03) berbeda dari Pedoman Implementasi (GS11). Jika pedoman menjelaskan cara menjalankan BIM, standar menentukan apa yang harus dicapai dalam hal kualitas, format pertukaran data, dan kinerja.1 Standar memberikan target yang jelas bagi industri. Kebutuhan untuk mengembangkan standar sangat erat kaitannya dengan kebutuhan untuk Mengembangkan Strategi Transformasi Digital untuk BIM (GS04), terbukti dengan korelasi yang sangat tinggi di antara keduanya, mencapai .1 Ini menunjukkan bahwa standar adalah komponen praktis dari strategi transformasi digital yang lebih besar.

2. Mengembangkan Strategi Transformasi Digital untuk BIM (GS04)

Strategi ini berfungsi sebagai cetak biru tingkat tinggi yang menguraikan visi, tujuan, dan fase transisi digital untuk industri AEC Indonesia secara keseluruhan.1 Strategi transformasi digital yang jelas membantu menumbuhkan budaya organisasi yang mendukung alur kerja baru. Dokumen strategis jangka panjang ini memberikan keyakinan kepada pelaku industri untuk melakukan investasi berkelanjutan dalam teknologi dan pelatihan, karena mereka melihat adanya komitmen serius dari pemerintah.1

3. Menginisiasi Proyek Percontohan (Pilot Projects) untuk Mengeksploitasi Manfaat Berbasis Bukti (GS08)

Proyek percontohan sangat penting sebagai sarana untuk mengeksploitasi dan menampilkan manfaat BIM secara berbasis bukti (evidence-based benefits) dalam konteks Indonesia.1 Proyek-proyek showcase ini memberikan kisah sukses nyata yang dapat digunakan untuk memotivasi organisasi AEC lainnya yang masih skeptis atau enggan berinvestasi. Proyek percontohan juga menjadi medan uji coba bagi pedoman dan standar yang baru dikembangkan, memastikan bahwa kerangka kerja tersebut relevan dan dapat diterapkan secara praktis di lapangan.1

4. Mengembangkan Kerangka Kontraktual Terkait BIM (GS10)

Mengingat bahwa kontrak untuk proyek BIM saat ini "absen" 1, kerangka kerja hukum dan kontraktual sangat dibutuhkan. BIM melibatkan perubahan signifikan pada proses kerja, yang berdampak besar pada hubungan dan tanggung jawab antar pihak proyek.1 Kerangka kontraktual harus dengan jelas mendefinisikan tanggung jawab, risiko, dan model operasional ketika BIM digunakan, sehingga mengurangi ketidakpastian hukum yang menjadi hambatan besar bagi adopsi luas.1 Strategi ini juga memiliki korelasi yang moderat hingga tinggi dengan strategi pedoman dan inisiasi proyek percontohan, menunjukkan saling ketergantungan untuk menciptakan ekosistem BIM yang aman secara hukum.1

 

Opini dan Kritik Realistis: Keterbatasan Studi dan Langkah Ke Depan

Meskipun temuan studi mengenai enam strategi kritis pemerintah, terutama konsensus universal pada pendidikan dan pedoman, memberikan sinyal yang kuat dan arah yang jelas bagi pembuat kebijakan, penting untuk menyikapi temuan ini dengan hati-hati.

Kritik realistis terhadap studi ini muncul dari metodologi pengumpulan datanya. Sampel yang digunakan tergolong relatif kecil, hanya melibatkan 163 responden, dan menggunakan teknik pengambilan sampel non-probabilitas (non-probability sampling), seperti convenience dan snowball sampling.1 Hal ini menimbulkan potensi bahwa temuan tersebut mungkin membawa pandangan yang bias, meskipun analisis Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan pandangan yang minimal berdasarkan tingkat pengalaman BIM responden.1

Selain itu, studi ini terbatas pada konteks Indonesia. Meskipun relevansi lokalnya tinggi, penting untuk diingat bahwa strategi yang sama mungkin tidak dapat digeneralisasi ke negara lain yang memiliki budaya bisnis, tingkat pembangunan ekonomi, atau kondisi geografis yang berbeda.1 Sebagai contoh, mayoritas responden dalam studi ini berasal dari Pulau Jawa (71.78%), yang mengindikasikan bahwa hasil ini mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan atau prioritas para profesional AEC di luar pulau-pulau besar Indonesia lainnya.1

Keterbatasan ini tidak lantas meremehkan hasil penelitian, melainkan menuntut pembuat kebijakan untuk memasukkan fase pilot dan mekanisme umpan balik yang kuat selama implementasi strategi. Ini akan memastikan bahwa strategi prioritas tinggi tersebut tervalidasi di lapangan dengan cakupan yang lebih luas sebelum diterapkan secara nasional.1

 

Kesimpulan: Mengukur Lompatan Digital Menuju Infrastruktur yang Lebih Efisien

Studi ini telah berhasil mengidentifikasi dan memeringkat enam strategi kritis yang harus menjadi fokus utama Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan implementasi Building Information Modeling (BIM). Strategi-strategi ini dirancang untuk mengatasi hambatan lokal, mulai dari kesenjangan pengetahuan hingga kekosongan struktural dan kontraktual.

Inti dari agenda reformasi ini adalah duo fondasi yang harus diimplementasikan secara terkoordinasi: (1) Mengintegrasikan BIM ke dalam kurikulum pendidikan, dan (2) Mengembangkan pedoman implementasi BIM yang bersifat regional spesifik. Konsensus universal di antara semua pemangku kepentingan (konsultan, kontraktor, klien) mengenai kedua strategi ini merupakan mandat yang kuat bagi pemerintah untuk segera mengalokasikan sumber daya.1

Jika Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk mengalokasikan sumber daya pada enam strategi prioritas tinggi—termasuk standar teknis, strategi transformasi digital, proyek percontohan, dan kerangka kontraktual—dampak transformasinya akan signifikan. Mengingat bahwa BIM secara global mampu mengurangi durasi proyek sebesar 7%, meningkatkan akurasi estimasi biaya sebesar 3%, dan menghilangkan 40% perubahan tak terduga 1, penerapan holistik strategi ini berpotensi:

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya total proyek infrastruktur publik Indonesia sebesar 8-12% dalam waktu lima tahun, sambil secara drastis meningkatkan kecepatan penyelesaian dan akurasi, sehingga mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Pemerintah didorong untuk segera berinteraksi secara aktif dengan sektor pendidikan dan badan profesional untuk menciptakan lulusan yang cakap BIM dan mengembangkan pedoman yang jelas. Ini adalah investasi strategis yang akan menentukan nasib dan daya saing infrastruktur Indonesia di era digital.

 

Sumber Artikel:

Rani, H. A., Al-Mohammad, M. S., Rajabi, M. S., & Rahman, R. A. (2023). Critical government strategies for enhancing building information modeling implementation in Indonesia. Infrastructures, 8(3), 57.