Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Modernisasi Data BPS – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

09 Oktober 2025, 20.55

unsplash.com

 

Pendahuluan Jurnalistik: Ketika Data Menentukan Arah Bangsa

Di abad ke-21, laju dunia ditentukan oleh data. Data mengalir deras dengan volume, varietas, dan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya—sebuah fenomena yang kini dikenal sebagai Big Data.1 Lembaga-lembaga statistik nasional di seluruh dunia, termasuk Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, menghadapi dilema fundamental: bagaimana memanfaatkan gelombang data raksasa ini—mulai dari data transaksi komersial hingga interaksi media digital—tanpa mengorbankan kredibilitas dan kualitas statistik resmi yang menjadi pondasi pengambilan keputusan negara.

BPS, sebagai jantung pengambilan keputusan data di Indonesia, berada di persimpangan jalan krusial. Analisis menunjukkan bahwa urgensi pemanfaatan Big Data bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan keharusan strategis untuk menjaga relevansi di tengah lonjakan volume data global.2 Pertumbuhan data ini diperkirakan berlipat ganda setiap dua tahun—sebuah kecepatan yang membuat metode survei tradisional berbasis sampel, yang memakan waktu panjang, tampak seperti upaya yang berjalan di tempat.

Mendorong Standar Internasional dan Tekanan Reputasi

Modernisasi sistem statistik Indonesia didorong kuat oleh ambisi eksternal, terutama upaya negara untuk bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Keanggotaan di OECD menuntut integrasi data administrasi dan penerapan kualitas data yang terstandar secara global, memastikan bahwa angka-angka yang dipublikasikan Indonesia dapat dibandingkan dan diandalkan oleh komunitas internasional.3

Namun, paper penelitian ini menyingkap tantangan terbesar yang dihadapi BPS, dan ini bukanlah pada volume data atau kurangnya infrastruktur cloud. Tantangan utamanya adalah "risiko reputasi".2 Kegagalan dalam menjamin keamanan, kerahasiaan, atau interpretasi data non-tradisional yang rumit dapat mengikis kepercayaan publik. Kepercayaan adalah aset paling berharga bagi institusi statistik mana pun, dan sekali terkikis, akan sangat sulit untuk dipulihkan.

Oleh karena itu, penelitian yang mendalam ini menawarkan solusi struktural dan prosedural: sebuah blueprint tata kelola yang menyandingkan arsitektur Big Data dengan dua kerangka kerja global yang teruji: Generic Statistical Business Process Model (GSBPM) dan Responsible, Accountable, Consulted, Informed (RACI). Tujuan utamanya adalah menjamin akuntabilitas, kualitas, dan konsistensi proses di tengah tsunami data, membuka jalan bagi Pemerintah Berbasis Data (Data-Driven Government) di Indonesia.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Statistik Indonesia?

Analisis terhadap kerangka kerja Big Data yang diusulkan oleh BPS mengungkapkan adanya pergeseran fundamental dalam cara statistik diproduksi dan dirasakan di Indonesia. Ini bukanlah sekadar penambahan perangkat lunak, melainkan reorientasi institusional yang mendalam.

Kisah di Balik Data: Dari Survei ke Analisis Real-Time

Apa yang paling mengejutkan peneliti? Kecepatan di mana data non-tradisional, seperti data transaksi komersial, data geo-spasial pergerakan populasi, dan interaksi di media digital, kini menjadi sumber statistik yang valid dan krusial.1 Para peneliti menemukan bahwa model tradisional stove-pipe—di mana setiap proses data (pengumpulan, pembersihan, analisis) berjalan secara terisolasi—tidak lagi dapat menampung integrasi data masif yang datang dengan kecepatan tinggi (high velocity).

Implikasi pergeseran ini sangat besar. Siapa yang paling terdampak? Utamanya adalah pengambil keputusan di sektor moneter, fiskal, dan perencanaan pembangunan. Dengan memanfaatkan Big Data yang terstruktur, BPS berpotensi menyediakan indikator ekonomi dan sosial dengan latensi yang jauh lebih rendah (lebih cepat) dibandingkan survei tahunan atau kuartalan. Ini memungkinkan intervensi kebijakan yang lebih cepat dan, yang lebih penting, lebih tepat sasaran. Contohnya, memantau perubahan harga harian di pasar daring untuk memprediksi inflasi regional, sebuah kapabilitas yang hampir mustahil dengan metode lama.

Lompatan Efisiensi dan Akurasi

Paper ini tidak hanya menawarkan visi, tetapi juga mengukur potensi dampaknya secara kuantitatif yang dramatis. Penelitian ini memproyeksikan potensi lompatan efisiensi dalam fase pemrosesan data (Fase 5 GSBPM).

Bayangkan skenario ini: Waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan, memvalidasi, dan mengintegrasikan set data baru yang rumit—misalnya, data logistik dan pergerakan barang yang masif—dapat berkurang hingga 43% dibandingkan dengan alur kerja data tradisional.

Untuk memvisualisasikan angka 43% ini secara hidup, analoginya adalah seperti menaikkan daya baterai smartphone publik dari 20% menjadi 70% dalam satu kali isi ulang; sebuah lonjakan daya yang memungkinkan pengambilan keputusan kebijakan yang hampir real-time.2 Dalam ekonomi digital, di mana dinamika pasar berubah dalam hitungan jam, efisiensi pemrosesan 43% bukanlah hanya penghematan biaya administrasi. Ini adalah prasyarat fundamental untuk mempertahankan relevansi BPS dalam ekosistem data-driven government.4 Kegagalan mencapai efisiensi ini akan membuat statistik resmi selalu tertinggal dari realitas pasar yang bergerak cepat.

Selain itu, analisis mendalam menunjukkan bahwa transisi ini memindahkan fokus risiko dari "Risiko Operasional" (kegagalan teknis) menjadi "Risiko Strategis." Jika BPS gagal memanfaatkan Big Data dan mengintegrasikannya dengan standar global, instansi lain atau, yang lebih berbahaya, sektor swasta akan mengambil alih fungsi statistik kunci. Hal ini dapat merusak monopoli data resmi negara dan secara langsung memengaruhi risiko reputasi.2 Oleh karena itu, studi ini merupakan panggilan kritis untuk mempertahankan posisi BPS sebagai produsen utama statistik yang kredibel di Indonesia.

 

Mengurai Benang Kusut Tata Kelola: GSBPM sebagai Peta Jalan Modernisasi

Untuk menavigasi kompleksitas Big Data, BPS membutuhkan lebih dari sekadar teknologi; mereka membutuhkan peta jalan proses yang terstandardisasi. Jawaban atas kebutuhan ini ditemukan dalam Generic Statistical Business Process Model (GSBPM).

Standardisasi Global: GSBPM Bukan Sekadar Diagram

GSBPM adalah kerangka kerja standar internasional yang dikembangkan oleh UNECE/Eurostat/OECD yang secara komprehensif mendefinisikan dan mendeskripsikan proses bisnis yang diperlukan untuk menghasilkan statistik resmi.5

Keunggulan utama GSBPM adalah sifatnya yang source-agnostic atau independen terhadap sumber data. Model ini dirancang agar dapat diterapkan pada semua jenis input—baik survei berbasis sampel, data administratif (seperti catatan pajak atau pendaftaran kesehatan), hingga Big Data (data bervolume, berkecepatan, dan bervariasi tinggi yang berasal dari sumber digital).1 GSBPM menjamin bahwa data yang diproduksi dari, misalnya, analisis citra satelit atau API media sosial, memiliki standar kualitas proses yang setara dengan data yang dikumpulkan melalui sensus tradisional.

Penelitian ini mengusulkan adaptasi model GSBPM v5.1 menjadi serangkaian fase spesifik untuk Big Data di BPS. Perubahan paling radikal terjadi pada fase awal dan tengah proses:

  1. Fase 2 (Design - Perancangan): BPS harus secara radikal mendesain metodologi baru untuk akuisisi data non-tradisional, termasuk merancang perjanjian legal dengan penyedia data pribadi atau komersial.
  2. Fase 4 (Collect - Pengumpulan): Pengumpulan data kini melibatkan penarikan data secara otomatis (scraping atau API). Berbeda dengan survei, di mana validasi terjadi pasca-pengumpulan, dalam Big Data, validasi awal struktural (misalnya, memastikan format data benar) terjadi secara streamed atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data.7
  3. Fase 5 (Process - Pemrosesan): Fase 'Review and validate' 7 menjadi sangat intensif. Karena Big Data seringkali noisy (banyak data sampah) dan penuh anomali, BPS perlu menerapkan aturan validasi yang jauh lebih canggih. Proses ini setara dengan menyaring satu butir emas dari satu ton pasir, di mana sistem diprogram untuk memisahkan sinyal (informasi berguna) dari noise (data sampah) dengan presisi yang tinggi. Ini adalah jantung dari efisiensi 43% yang dibahas sebelumnya.

Struktur Organisasi Baru dan RACI: Siapa Bertanggung Jawab Atas Data Mana

Implementasi GSBPM hanya akan berhasil jika ada kejelasan tanggung jawab. Untuk menghilangkan ambiguitas dalam proses Big Data yang kompleks, paper ini mengusulkan adopsi kerangka kerja Responsible, Accountable, Consulted, and Informed (RACI).2 RACI adalah kunci untuk menerjemahkan model GSBPM yang abstrak menjadi tindakan operasional dan akuntabilitas yang nyata.

Dalam konteks Big Data BPS, RACI memetakan tanggung jawab sebagai berikut:

  • Tanggung Jawab Akuisisi dan Legalitas: Meskipun Unit Big Data diusulkan menjadi pihak yang Responsible (R) dalam tahap pengumpulan data teknis (API atau scraping), pihak yang Accountable (A) atas legalitas dan ketaatan regulasi data tersebut (termasuk aspek privasi) harus berada pada Direktorat Hukum dan Regulasi. Hal ini memastikan bahwa risiko reputasi diatasi secara hukum sebelum data diolah.
  • Tanggung Jawab Kualitas dan Publikasi: Ketika data bergerak ke Fase 7 (Disseminate), Direktorat Teknis Fungsional (misalnya, yang bertanggung jawab atas Statistik Ekonomi) adalah pihak yang Accountable (A) untuk rilis data, memastikan bahwa interpretasi dan konteksnya tepat. Sementara itu, manajemen senior, termasuk Kepala BPS, adalah pihak yang harus diInformed (I) secara strategis mengenai implikasi data tersebut.

Model RACI secara efektif memaksa kolaborasi antar tim teknis, metodologi, dan hukum. GSBPM menyediakan apa yang harus dilakukan (proses), tetapi RACI menentukan siapa yang melakukannya. Di lembaga publik dengan struktur birokrasi tradisional, inovasi sering terhambat oleh ambiguitas tanggung jawab antar-direktorat. Penggunaan RACI secara eksplisit merupakan upaya untuk mengindustrialisasi proses produksi statistik 8, yang memerlukan perubahan budaya drastis. Keberhasilan teknis BPS bergantung pada kemampuan mereka mengatasi inersia birokrasi, didorong oleh kejelasan peran yang didefinisikan oleh RACI.

 

Pilar Kebijakan Data BPS: Keamanan, Kualitas, dan Metadata

Kerangka tata kelola BPS tidak hanya mencakup proses (GSBPM) dan peran (RACI), tetapi juga empat pilar kebijakan utama: Strategi, Kualitas, Keamanan, dan Metadata.

Strategi Akuisisi dan Kualitas Data Baru

Strategi Big Data yang diusulkan oleh paper ini berfokus pada pendekatan hibrida: menggabungkan data survei tradisional yang kaya konteks (yang seringkali mahal dan lambat) dengan data Big Data yang masif volumenya (yang seringkali cepat, tetapi mentah). Strategi akuisisi harus memprioritaskan data yang memiliki relevansi tinggi dengan indikator ekonomi makro dan sosial, memastikan sumber data dipilih berdasarkan nilai statistik, bukan sekadar ketersediaan data.2

Tantangan Kualitas sangat besar. Big Data memiliki variasi (V) yang tinggi, yang berarti standar kualitas tradisional yang ketat (seperti pada Sensus) tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Kebijakan Kualitas yang diusulkan menekankan pada kriteria fitness for use—apakah data itu cukup baik dan dapat diandalkan untuk tujuan spesifik (misalnya, memprediksi mobilitas penduduk), meskipun tidak sempurna dalam hal cakupan populasi. Ini adalah perubahan paradigma dari kesempurnaan data menjadi keandalan fungsional.

Perisai Keamanan dan Perlindungan Privasi

Mengingat bahwa Big Data seringkali berasal dari sumber privat dan berpotensi berisi informasi sensitif, kebijakan keamanan data menjadi pilar utama. Mengingat risiko reputasi yang tinggi 2, kebijakan ini mencakup standardisasi tata kelola data siber, kepemilikan data (custodianship), dan aturan pengarsipan data (archiving).1

Penelitian ini secara spesifik menyoroti bahwa perlindungan privasi harus menjadi bagian integral dari desain proses. Ini berarti mengembangkan teknik anonimisasi (penghilangan identitas) yang canggih sebelum data tersebut digunakan untuk tujuan statistik.4 Penerapan kebijakan keamanan dan privasi ini penting untuk mematuhi Prinsip Fundamental Statistik Resmi PBB, membangun kepercayaan publik.

Penting untuk dipahami bahwa risiko reputasi 2 tidak hanya diatasi dengan firewall teknis, tetapi dengan menumbuhkan trust institusional. Kebijakan keamanan dan privasi yang transparan adalah mekanisme formal untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan tersebut, memastikan bahwa data sensitif warga negara dihormati dan diproses secara bertanggung jawab.

Metadata: Memastikan Data Dapat Diaudit dan Direplikasi

Dalam dunia Big Data yang serba cepat, metadata (data tentang data) seringkali diabaikan, padahal ini adalah kunci kredibilitas. BPS mengusulkan kebijakan metadata yang ketat yang mencakup dokumentasi semua proses, termasuk langkah-langkah teknis seperti scraping dan pembersihan data.

Dokumentasi ini adalah bagian dari aktivitas Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management).1 Tujuannya adalah menjamin bahwa proses produksi statistik dapat diulang (repeatable) dan dapat diaudit secara eksternal. Tanpa metadata yang kuat yang menjelaskan asal-usul data, bagaimana data itu dikoreksi, dan bagaimana data itu dikodekan, data Big Data yang kompleks tidak dapat direplikasi, dan secara efektif merusak kredibilitas publikasi statistik resmi BPS. Dengan mendokumentasikan setiap langkah dalam kerangka GSBPM, BPS menunjukkan pertanggungjawaban publik, secara formal mengurangi risiko reputasi yang mungkin timbul dari misinterpretasi data yang kompleks.1

 

Menimbang Batasan: Opini dan Kritik Realistis Terhadap Studi

Secara keseluruhan, paper ini menyajikan cetak biru tata kelola yang ambisius dan visioner. Penerapan GSBPM dan RACI menunjukkan bahwa BPS tidak hanya pasif menunggu gelombang teknologi, tetapi secara proaktif merancang mekanisme internal untuk menyeberanginya. Langkah maju ini patut dipuji sebagai upaya serius untuk membawa Indonesia setara dengan lembaga statistik modern di negara-negara maju.

Namun, terdapat beberapa kritik realistis dan batasan yang perlu dicatat, berdasarkan konteks implementasi di Indonesia dan poin evaluasi yang disajikan dalam penelitian tersebut.2

Keterbatasan Geografis dan Infrastruktur

Penelitian ini cenderung fokus pada kerangka kerja pusat, yang mungkin secara implisit mengasumsikan ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia yang seragam. Kritik paling mendasar adalah bahwa keterbatasan studi ini—yang berfokus pada arsitektur pusat—bisa jadi mengecilkan dampak tantangan implementasi secara umum. Realitas implementasi di daerah yang masih menghadapi digital divide atau keterbatasan infrastruktur data lake memerlukan penyesuaian signifikan yang belum sepenuhnya dirinci.4 Transfer pengetahuan dan investasi dalam infrastruktur regional menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar.

Regulasi Mendahului Teknologi

Kritik paling realistis dan paling mendesak adalah bahwa arsitektur teknis BPS (GSBPM/RACI) telah siap, tetapi pondasi hukumnya masih goyah. Model GSBPM/RACI adalah cetak biru pasca-regulasi, merancang sistem bagaimana data seharusnya diolah. Namun, keberhasilan model ini bergantung pada kemampuan BPS untuk secara legal dan berkelanjutan mengakses data non-tradisional, terutama yang dikendalikan oleh sektor swasta.

Studi ini dan forum BPS itu sendiri menekankan perlunya keterlibatan semua pihak untuk "memperkuat regulasi, termasuk Peraturan Presiden dan undang-undang/peraturan terkait".3 Tanpa kekuatan hukum yang jelas untuk menentukan custodianship data non-tradisional, seluruh model tata kelola ini akan macet di Fase 4 (Collect) GSBPM. Kerangka teknis, meskipun sempurna, hanya akan menjadi dokumen yang indah jika tidak didukung oleh kemauan politik dan regulasi yang memberikan BPS kewenangan penuh dan jelas atas data tersebut. Oleh karena itu, investasi teknologi harus diimbangi dengan percepatan legalisasi akses data.

Tantangan Sumber Daya Manusia dan Literasi

Akhirnya, kunci keberhasilan kerangka kerja yang canggih ini terletak pada Sumber Daya Manusia (SDM). Investasi pada infrastruktur canggih seperti cloud dan data lake harus diimbangi dengan peningkatan literasi data yang masif di kalangan pengambil keputusan, manajer statistik, dan analis BPS sendiri. Model GSBPM/RACI akan menuntut SDM BPS tidak hanya menguasai statistik tradisional, tetapi juga ilmu data, pemrograman, dan keamanan siber. Jika literasi data tidak ditingkatkan, data mentah Big Data yang telah diolah dengan susah payah tidak akan diubah menjadi wawasan kebijakan yang bermakna.4

 

Proyeksi Akhir: Dampak Nyata dalam Lima Tahun Mendatang

Integrasi Big Data di Badan Pusat Statistik, yang dipandu oleh model proses GSBPM dan diperjelas oleh matriks akuntabilitas RACI, bukan hanya sekadar proyek teknologi informasi. Ini adalah lompatan institusional yang menentukan apakah statistik Indonesia akan menjadi leader atau follower dalam ekonomi global.

Jika kerangka tata kelola Big Data yang distandardisasi ini diterapkan secara konsisten, didukung penuh oleh regulasi pemerintah, dan diinternalisasikan dalam budaya kerja BPS selama periode lima tahun, temuan ini memproyeksikan dua dampak nyata yang terukur:

  1. Pengurangan Biaya Operasional: Biaya operasional untuk pengumpulan, pembersihan, dan validasi data untuk survei periodik tertentu—yang dapat digantikan atau ditambah dengan data administratif atau Big Data—diproyeksikan berkurang hingga 25%. Pengurangan ini dapat dialokasikan untuk memperkuat kualitas pada survei spesifik yang tidak dapat digantikan oleh Big Data.
  2. Peningkatan Akurasi Kebijakan: Akurasi model statistik makro, seperti akurasi proyeksi inflasi regional, yang sangat sensitif terhadap pergerakan harga real-time dan mobilitas penduduk, dapat meningkat sebesar 10 hingga 15% karena kecepatan dan volume input data yang lebih besar.2 Peningkatan akurasi ini berarti intervensi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi jauh lebih efektif, menyelamatkan potensi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh perkiraan yang salah.

Kesimpulannya, Indonesia kini memiliki cetak biru yang solid untuk mengukur dirinya sendiri secara lebih cepat, akurat, dan transparan. Implementasi kerangka ini adalah fondasi vital bagi pemerintahan berbasis data (data-driven government) yang responsif dan akuntabel 4, membuka jalan bagi peningkatan kredibilitas data Indonesia di panggung global.

 

Sumber Artikel:

Susanto, R., & Hartono, A. (2024). Kerangka Tata Kelola Big Data untuk Badan Pusat Statistik Indonesia: Integrasi GSBPM dan RACI. Jurnal Statistika Kebijakan, 12(1), 1–25.