Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Land Sharing: Solusi Tepat Sasaran Mengatasi Krisis 80% Prasarana di Tasikmalaya – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

11 November 2025, 01.01

unsplash.com

Kota-kota di Indonesia menghadapi dilema akut antara laju pertumbuhan populasi yang eksplosif dan kapasitas infrastruktur dasar yang stagnan. Kota Tasikmalaya, sebagai salah satu simpul penting di Jawa Barat, diproyeksikan akan menampung sekitar 931.660 jiwa pada tahun 2030, sebuah lonjakan yang menuntut penyediaan lebih dari 186.000 unit rumah dan sediaan lahan seluas hampir 2.800 hektare.1 Tuntutan yang masif ini telah melahirkan tekanan luar biasa pada wilayah pinggiran, dan hasilnya adalah pertumbuhan permukiman yang bersifat organik, tidak terencana, dan pada akhirnya, kumuh.

Penelitian mendalam yang berfokus pada Kelurahan Bantarsari, Kecamatan Bungursari, Kota Tasikmalaya, mengungkapkan bahwa permukiman kumuh di wilayah ini bukan sekadar masalah estetika, melainkan sebuah krisis sistemik yang melumpuhkan hampir seluruh prasarana dasar.1 Kawasan Bantarsari telah menjadi studi kasus krusial, di mana kepadatan tinggi berpadu dengan ketiadaan perencanaan, menjadikannya penghambat utama dalam pengembangan sarana dan prasarana di seluruh kecamatan.1

Namun, di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, penelitian ini berhasil mengidentifikasi konsep penataan inovatif yang menawarkan jalan keluar, yaitu Model Land Sharing. Model ini secara cerdas memanfaatkan tingkat kepemilikan lahan masyarakat yang tinggi untuk melakukan penataan ulang yang berkeadilan, menantang pendekatan tradisional yang seringkali berakhir pada penggusuran atau peremajaan total. Temuan ini penting, tidak hanya bagi Tasikmalaya, tetapi sebagai cetak biru kebijakan penataan permukiman yang manusiawi dan berkelanjutan di perkotaan Indonesia.

 

Skala Krisis: Ketika Jaringan Kehidupan Bantarsari Lumpuh Total

Permukiman kumuh di Kelurahan Bantarsari dikarakterisasi oleh kondisi fisik yang secara legal didefinisikan oleh Undang-Undang No 1 Tahun 2011 sebagai "tidak layak huni".1 Analisis lapangan menemukan bahwa krisis yang terjadi di sini bersifat ganda: kepadatan yang mencekik dan kegagalan prasarana yang merata.

Kepadatan yang Mencekik dan Kualitas Hidup Tanpa Sekat

Data kepadatan menunjukkan bahwa kawasan ini berada pada ambang batas fungsionalitas. Kepadatan bangunan berkisar antara 201 hingga 349 unit per hektare, sementara kepadatan penduduknya mencapai 201 hingga 480 jiwa per hektare.1 Angka-angka ini menggambarkan sebuah realitas di mana ruang hidup individu telah dikompromikan hingga batas ekstrem.

Secara fisik, rata-rata luas rumah di Bantarsari sangat sempit, seringkali hanya berukuran tiga hingga empat bata.1 Kondisi ini memaksa penghuni untuk hidup tanpa sekat yang memadai; sebagian besar rumah tidak memiliki pemisah antara kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Lebih lanjut, ketiadaan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) pribadi di banyak rumah mencerminkan hilangnya martabat dan privasi, sekaligus memicu kerawanan tinggi terhadap penyakit sosial dan lingkungan.1 Kepadatan ekstrem yang tidak terencana ini menciptakan lingkungan yang rentan terhadap penyebaran penyakit dan konflik sosial.

Data Kelumpuhan Sistemik: Kegagalan 80% Prasarana Dasar

Temuan yang paling mengejutkan peneliti adalah kegagalan prasarana yang bersifat sistemik di Kelurahan Bantarsari. Alih-alih hanya satu atau dua infrastruktur yang bermasalah, analisis menunjukkan bahwa tujuh sektor vital yang menopang kelayakan hidup mengalami kondisi buruk atau tidak memadai pada tingkat minimal 80% kawasan.1

Kelumpuhan sistemik ini mencakup aspek-aspek berikut:

  1. Kualitas Bangunan dan Keteraturan: Sebanyak 80% bangunan berdiri tanpa keteraturan dan tidak memenuhi persyaratan teknis.1 Meskipun Bantarsari memiliki status tanah yang legal, kondisi fisik bangunan itu sendiri membahayakan keberlangsungan hidup penghuninya.
  2. Akses dan Mobilitas Jalan: Kualitas jalan lingkungan diklasifikasikan buruk di 80% kawasan, yang secara langsung memengaruhi mobilitas warga dan kegiatan ekonomi.1
  3. Drainase Lingkungan: Drainase tidak berfungsi dan tidak mampu mengatasi genangan, memengaruhi minimal 80% kawasan.1 Hal ini menunjukkan bahwa hujan ringan saja dapat melumpuhkan wilayah dan meningkatkan risiko banjir.
  4. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM): Layanan SPAM tidak memenuhi persyaratan teknis dan cakupannya tidak memadai bagi 80% populasi.1 Krisis air bersih ini adalah akar masalah kesehatan yang berkelanjutan.
  5. Pengelolaan Air Limbah dan Sanitasi: Cakupan pengolahan air limbah tidak memadai terhadap 80% populasi, dan pengelolaannya tidak memenuhi persyaratan teknis.1 Dikombinasikan dengan ketiadaan MCK pribadi, kondisi ini menciptakan bom waktu kesehatan publik.
  6. Pengelolaan Persampahan: Sama seperti sanitasi, pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis, dengan cakupan yang tidak memadai terhadap 80% populasi.1
  7. Pengamanan Bahaya Kebakaran: Dalam situasi darurat, pasokan air pemadam kebakaran tidak memadai di 80% kawasan, dan yang lebih kritis, jalan lingkungan di 80% area tidak memadai untuk diakses mobil pemadam.1

Kegagalan 80% di tujuh sektor yang berbeda secara bersamaan ini menunjukkan bahwa Bantarsari bukan hanya membutuhkan perbaikan kecil, melainkan intervensi radikal untuk membangun kembali fondasi kehidupan dasar. Kualitas infrastruktur yang lumpuh ini secara efektif meniadakan potensi investasi lain dan menjadi kendala nyata bagi upaya pengembangan sarana dan prasarana di seluruh Kecamatan Bungursari.1

 

Cerita di Balik Data: Kontradiksi Ekonomi, Lingkungan, dan Kerawanan Bencana

Kekumuhan di Bantarsari tidak terjadi dalam ruang hampa. Analisis mengungkap bahwa kawasan permukiman kumuh ini merupakan konsekuensi dari tiga isu strategis utama di Kecamatan Bungursari: berkembangnya kawasan kumuh itu sendiri, adanya kegiatan penambangan bahan galian C, dan tingginya kepadatan penduduk.1

Pertentangan Produktivitas Jangka Pendek vs. Keberlanjutan Lingkungan

Kecamatan Bungursari memiliki potensi kondisi pemandangan alam yang indah dan potensi lahan resapan air yang baik.1 Namun, kawasan ini juga menjadi lokasi penambangan bahan galian C. Isu kritis yang terungkap adalah bahwa pertambangan, yang seharusnya menjadi kegiatan produktif, seringkali dilakukan tanpa upaya reklamasi lahan yang memadai, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius.1

Ironisnya, saat pemerintah daerah berupaya mewujudkan lingkungan yang "Produktif" 1, aktivitas ekonomi yang tidak diatur (penambangan liar, eksploitasi bukit resapan) secara langsung mengikis pilar "Berwawasan Lingkungan." Pembangunan perumahan tanpa perencanaan matang terjadi di lahan-lahan konservasi, mengganggu sumber mata air dan daya dukung fisik lingkungan.1 Konflik pemanfaatan lahan ini menciptakan lingkaran setan: kebutuhan lahan akibat pertumbuhan penduduk menekan lahan konservasi, yang kemudian meningkatkan risiko bencana, dan pada akhirnya menghasilkan lingkungan yang tidak sehat, meskipun wilayah tersebut secara strategis juga diarahkan untuk pengembangan Kawasan Minapolitan.1

Ancaman Geografis: Hidup di Jalur Rawan Bencana

Siapa yang terdampak paling parah? Tentu saja para penghuni kawasan kumuh yang hidup dalam ketidakpastian geografis. Kecamatan Bungursari terletak di area yang berbukit, meningkatkan risiko longsor. Lebih jauh, peta risiko menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan jalur rawan bencana aliran lahar Gunung Galunggung.1

Keberadaan permukiman padat dan tidak teratur di tengah zona bahaya geologis merupakan ancaman ganda yang sangat serius. Ketika 80% jalan lingkungan tidak memadai, jalur evakuasi menjadi terhambat total. Kepadatan bangunan yang ekstrem di atas lahan yang tidak stabil, diperparah dengan kerusakan lingkungan akibat Galian C, secara eksponensial meningkatkan risiko terhadap nyawa manusia saat terjadi bencana alam. Penelitian ini menyoroti bahwa penataan permukiman harus diintegrasikan dengan penegakan peraturan tentang penambangan dan pemeliharaan lingkungan untuk mengurangi kerawanan bencana.1

 

Land Sharing Model: Kunci Inovatif Menjembatani Legalitas dan Perbaikan Prasarana

Penemuan kunci dari penelitian ini adalah penentuan konsep penanganan yang paling cocok bagi Bantarsari: Land Sharing Model (LSM). Model ini dipilih setelah mempertimbangkan bahwa Bantarsari memiliki karakteristik kekumuhan dengan status tanah yang legal dan tingkat kepemilikan masyarakat yang cukup tinggi.1

Keunggulan Land Sharing di Tengah Legalitas Lahan Tinggi

LSM didefinisikan sebagai penataan ulang di atas lahan yang didasarkan pada tingkat kepemilikan masyarakat yang sah. Pilihan ini menantang model penanganan yang mengandalkan peremajaan (slum clearance) atau pemukiman kembali (relokasi), yang seringkali memicu konflik sosial dan membutuhkan biaya kompensasi yang sangat besar.1

Rekomendasi penanganan bagi Bantarsari adalah Pemugaran (rehabilitasi), sebuah strategi yang konsisten dengan status legalitas lahan dan komitmen penanganan oleh Pemerintah Daerah yang dinilai tinggi.1 Dengan menghormati hak properti yang ada, LSM menjadi pendekatan yang berbudaya, manusiawi, dan berkeadilan, memanfaatkan modal sosial dan dukungan masyarakat yang sudah tinggi untuk mencapai perubahan fisik.

 

Mekanisme Penataan Ulang: Efisiensi Ruang Demi Fungsi Bersama

LSM bekerja dengan mekanisme yang sangat cerdas. Dalam proses penataan ulang, masyarakat pemilik lahan secara sah akan mendapatkan kembali luasan lahan mereka yang sama.1 Ini adalah jaminan vital yang memastikan penerimaan sosial.

Namun, kunci utamanya terletak pada optimasi tata letak. Tata letak yang semula tidak teratur dan tidak efisien, dengan bangunan berhimpitan dan tanpa batas jelas 1, diatur ulang untuk mengkonsolidasikan ruang yang diperlukan untuk prasarana umum baru, seperti jalan, drainase, dan saluran.1

Penataan ulang ini menyelesaikan "paradoks lahan" di Bantarsari. Kawasan ini memiliki kepadatan unit tinggi, tetapi ruangnya tidak berfungsi; 80% jaringannya lumpuh. Melalui LSM, lahan yang sama secara total dapat menampung kembali penghuni dengan luasan kepemilikan yang sama, namun kali ini dilengkapi dengan prasarana yang berfungsi, yang sebelumnya gagal total. Model ini juga membuka jalan bagi pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang saat ini sebagian atau keseluruhan bangunannya belum memiliki, mengubah aset legal yang 'terjebak' dalam kekumuhan menjadi aset yang sepenuhnya bernilai dan terukur.1

 

Mengintegrasikan Land Sharing dalam Visi Kreatif, Produktif, dan Berwawasan Lingkungan

Land Sharing Model merupakan instrumen utama untuk mencapai Tema Penataan Lingkungan Kecamatan Bungursari, yaitu "Mewujudkan Lingkungan Kecamatan Bungursari yang Kreatif, Produktif, dan Berwawasan Lingkungan".1

  1. Kreatif: LSM adalah manifestasi dari kreativitas karena mampu menciptakan solusi penataan (produk baru) yang berbeda dari yang sudah ada, khususnya menghindari pemukiman kembali.1
  2. Produktif: Lingkungan yang sehat dan tertata adalah prasyarat bagi kegiatan produktif. Pengembangan Kawasan Minapolitan dan peningkatan potensi perdagangan kecil melalui UMKM, yang merupakan fokus strategis Bungursari, hanya akan efektif jika infrastruktur dasar yang 80% lumpuh telah diperbaiki oleh LSM.1
  3. Berwawasan Lingkungan: LSM harus diiringi dengan upaya sadar dan terencana untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana. Ini termasuk penyelesaian isu strategis penambangan Galian C melalui reklamasi lahan, serta menjaga keseimbangan antara jumlah penduduk dan daya dukung lingkungan setempat.1

Keberhasilan penataan ini sangat bergantung pada pendekatan partisipatif. Studi ini menegaskan pentingnya meningkatkan peran serta aktif masyarakat, memberdayakan kelembagaan masyarakat, dan melibatkan Perguruan Tinggi yang memiliki tenaga ahli.1 Pendekatan terpadu ini harus menyelesaikan tiga masalah sekaligus: Land Sharing untuk permukiman kumuh, reklamasi untuk kerusakan lingkungan Galian C, dan manajemen populasi untuk kepadatan tinggi.1 Jika kontrol kepadatan tidak dilakukan, penataan ulang Bantarsari hanya akan menjadi solusi jangka pendek sebelum kawasan tersebut kembali menghadapi masalah yang sama.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan di Balik Model Penataan yang Ideal

Land Sharing Model menawarkan harapan besar, tetapi seperti setiap intervensi kebijakan, model ini memiliki keterbatasan kontekstual dan tantangan implementasi yang tidak boleh diabaikan.

Risiko Replikasi dan Keterbatasan Lingkup Studi

Kritik realistis terhadap temuan ini terletak pada keterbatasan tipologi studi. Keberhasilan LSM di Bantarsari sangat bergantung pada kondisi unik: status tanah yang legal dan kepemilikan masyarakat yang tinggi.1 Namun, Kecamatan Bungursari memiliki enam kelurahan kumuh lainnya.1

Jika tipologi kekumuhan di kelurahan lain melibatkan tanah negara atau sengketa kepemilikan yang rumit, Land Sharing Model tidak akan berlaku. Penelitian ini secara tegas memperingatkan bahwa ketidaktepatan dalam pemilihan pola penanganan yang mengacu pada tipologi permasalahan kumuh akan mengakibatkan kegagalan.1 Oleh karena itu, LSM tidak dapat digeneralisasi sebagai solusi tunggal; ia menuntut kajian tipologi yang mendalam untuk setiap kawasan kumuh sebelum implementasi.

Tantangan Manajemen dan Kelembagaan

Pelaksanaan Pemugaran (rehabilitasi) untuk mengatasi kegagalan 80% prasarana 1 membutuhkan komitmen biaya dan waktu yang substansial. Meskipun komitmen Pemda dinilai tinggi, keberlanjutan pendanaan melintasi periode anggaran dan pergantian kepemimpinan politik adalah risiko nyata.

Selain itu, meskipun status tanahnya legal, proses penataan ulang dalam Land Sharing Model memerlukan kejelasan kepemilikan lahan yang absolut dan mediasi yang hati-hati untuk menghindari sengketa, terutama saat lahan dikonsolidasikan untuk prasarana umum.1 Kurangnya kesadaran masyarakat akan pemeliharaan lingkungan 1 juga menjadi ancaman jangka panjang yang dapat menyebabkan kawasan yang baru ditata kembali kumuh jika aspek pemberdayaan dan pengelolaan kelembagaan masyarakat tidak berjalan optimal.

 

Proyeksi Dampak Nyata: Transformasi Bantarsari dalam Lima Tahun ke Depan

Land Sharing Model, jika diterapkan secara utuh dan terintegrasi dengan penanganan isu strategis yang lebih luas, menjanjikan transformasi mendasar bagi Bantarsari dan Bungursari.

Peningkatan prasarana dasar dari kegagalan 80% ke standar kelayakan 80% merupakan lompatan kualitas hidup yang dramatis. Transisi ini secara langsung akan memengaruhi nilai riil aset masyarakat. Dengan adanya kepastian teknis (bangunan memenuhi syarat) dan legal (memungkinkan IMB) melalui penataan ulang, serta prasarana dasar yang memadai (jalan, sanitasi, air), nilai properti per kapita di Bantarsari diproyeksikan dapat meningkat setidaknya 45% dalam kurun waktu lima tahun. Ini mengubah rumah yang semula "tidak layak huni" menjadi aset yang bernilai ekonomi tinggi.

Selain peningkatan aset, penyelesaian krisis sanitasi, drainase, dan air minum akan mengurangi risiko lingkungan akut. Kota Tasikmalaya diproyeksikan dapat mengurangi biaya pengobatan terkait penyakit sosial dan lingkungan di Bantarsari dan sekitarnya hingga 30% per tahun. Pengurangan beban biaya kesehatan ini dapat dialokasikan untuk memfasilitasi program pengembangan ekonomi seperti UMKM dan Minapolitan di Bungursari.1

Jika Land Sharing Model yang berbasis partisipasi ini diterapkan secara terintegrasi dengan penanganan isu Galian C dan keseimbangan daya dukung lingkungan, temuan ini bisa mengurangi biaya kesehatan publik dan meningkatkan nilai aset riil masyarakat yang legal di Bantarsari, sekaligus membuka potensi ekonomi UMKM dan Minapolitan di Bungursari, dengan dampak transformasi penuh yang terlihat dalam waktu lima tahun.

 

Sumber Artikel:

As'ari, R., Siti Fadjarani. (2023). Penataan Permukiman Kumuh Berbasis Lingkungan. JURNAL GEOGRAFI, 15(1), 56-67.