Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Mengatasi Kemacetan Last-Mile Kota Megapolitan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

04 November 2025, 20.27

unsplash.com

Logistik pengiriman tahap akhir (last-mile) telah menjadi tulang punggung perekonomian digital, tetapi juga menjadi beban terbesar bagi rantai pasok global dan kualitas hidup perkotaan. Dengan akselerasi perdagangan elektronik (e-commerce) dan strategi penjualan langsung ke konsumen (direct-to-consumer), kota-kota megapolitan menghadapi krisis yang semakin parah: kemacetan kronis, polusi yang meningkat, dan biaya operasional yang melambung tinggi.

Sebuah metodologi mutakhir berbasis data dan model, yang diuji coba secara nyata di megacity Bogota, Kolombia, menawarkan terobosan signifikan. Penelitian ini menyajikan kerangka kerja komprehensif yang memadukan kecerdasan buatan, optimasi, dan simulasi untuk mengubah tantangan logistik yang paling kompleks di pasar negara berkembang menjadi keunggulan operasional yang berkelanjutan.

 

Krisis Last-Mile: Beban Terberat di Jantung Kota

Mengapa Pengiriman Cepat Merusak Kota Kita?

Operasi logistik tahap akhir, baik untuk logistik maju (pengiriman) maupun logistik balik (pengembalian atau daur ulang), bertanggung jawab atas sebagian besar biaya, emisi gas rumah kaca (GRK), dan waktu yang terbuang dalam rantai pasok modern.1 Data global menunjukkan bahwa sektor transportasi bertanggung jawab atas sekitar 25% emisi $\text{CO}_2$ secara global, dan yang mengkhawatirkan, 30% dari total emisi tersebut berasal dari kendaraan pengangkut barang di darat.1

Dampak finansialnya pun sangat besar. Operasi last-mile menyumbang 53% dari total biaya pengiriman. Persentase yang sangat tinggi ini disebabkan oleh tuntutan pasar akan frekuensi pengiriman yang lebih tinggi dengan volume pesanan yang lebih kecil dan lebih personal.1 Di tingkat kota, inefisiensi ini berujung pada masalah nyata bagi publik: distribusi urban bertanggung jawab atas 13% kemacetan yang tidak diinginkan, menciptakan tekanan besar pada infrastruktur jalan dan sistem transportasi yang sudah ada.1

Bogota: Laboratorium Uji Coba di Tengah Kemacetan Dunia

Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian ini memusatkan perhatian pada Bogota, Kolombia, salah satu kota paling padat di Amerika Latin, yang berfungsi sebagai studi kasus krusial. Tantangan logistik di Bogota—dan kota-kota besar di pasar negara berkembang lainnya—bersifat unik. Masalahnya tidak hanya didorong oleh tren teknologi semata, melainkan diperparah oleh urbanisasi yang cepat, perubahan sosio-ekonomi yang dinamis, aksesibilitas yang bervariasi, dan pergeseran jejak ritel.1

Kerangka kerja yang diusulkan secara eksplisit dirancang untuk menanggulangi faktor-faktor kritis yang menjadi ciri khas kota-kota ini, termasuk fragmentasi logistik, faktor kemacetan tinggi, infrastruktur yang masih berkembang, pola sosio-ekonomi yang dinamis, dan area komersial padat.1

Siapa saja yang paling terdampak oleh kekacauan logistik ini?

  1. Nanostores: Logistik di wilayah metropolitan pasar berkembang, termasuk Bogota, sangat bergantung pada nanostores—pengecer kecil milik keluarga yang memiliki kurang dari lima karyawan dan dukungan teknologi terbatas.1 Nanostores mendominasi lebih dari 50% pangsa pasar ritel global. Fragmentasi ritel ini memaksa perusahaan melakukan pengiriman yang lebih sering dan kecil ke ribuan lokasi berbeda, memperparah inefisiensi rute.
  2. Pengecer dan Pengirim (Shippers): Organisasi ritel berjuang keras untuk memenuhi jendela waktu pengiriman (time windows) dan mempertahankan tingkat layanan tinggi di tengah ketidakpastian lalu lintas dan waktu yang terbuang saat mencari parkir atau melakukan servis.1
  3. Penduduk Kota: Masyarakat kota menanggung dampak eksternal yang parah, termasuk peningkatan kemacetan, polusi udara, dan kebisingan, yang semuanya dihasilkan oleh armada pengiriman yang bekerja dengan kinerja di bawah optimal.1

Masalah logistik last-mile di Bogota menunjukkan adanya Fragmentasi Data dan Fragmentasi Fisik yang saling memperburuk. Kompleksitas fisik kota (banyaknya nanostores, kondisi jalan yang beragam, dan kemacetan tak terduga) menghasilkan data operasional yang terfragmentasi dan tidak lengkap. Akibatnya, model perencanaan rute kendaraan (Vehicle Routing Problem - VRP) tradisional yang bersifat statis tidak mampu menyerap perubahan dinamis ini, yang pada akhirnya menghasilkan pemanfaatan sumber daya yang buruk dan biaya operasional yang mahal.1

 

Terobosan Digital Twin: Membangun Otak Prediktif untuk Logistik

Kerangka Kerja Hibrida: Gabungan Optimasi, Simulasi, dan Kecerdasan Buatan

Metodologi yang diajukan dalam penelitian ini bukanlah model tunggal, melainkan sebuah arsitektur sistem pendukung keputusan (Decision Support System - DSS) yang modular dan hibrida. Penelitian sebelumnya telah menyimpulkan bahwa tujuan yang berbeda dari dimensi keberlanjutan (ekonomi, sosial, atau lingkungan) tidak mungkin dapat ditingkatkan hanya dengan satu metode.1 Oleh karena itu, diperlukan integrasi teknik komplementer seperti simulasi, optimasi, dan pembelajaran mesin (machine learning).1

Metodologi ini terdiri dari enam fase (P1 hingga P6) yang beroperasi secara iteratif, memungkinkan pengujian dan penyesuaian antara kinerja yang direncanakan dan kinerja aktual di lapangan.1

Arsitektur Modular P1 hingga P6

  • Fase P1: Koleksi Data Historis: Pengumpulan data terpusat dari empat pendorong utama distribusi: data lalu lintas, perilaku pelanggan, lokasi pengiriman per pelanggan, dan kinerja operator kendaraan.1
  • Fase P2: Data Mining dan Clustering: Data dianalisis menggunakan teknik data mining, pengelompokan (clustering) seperti K-means, dan klasifikasi. Tujuannya adalah mengidentifikasi pola, variabel signifikan, dan mendefinisikan profil yang jelas untuk produk, pelanggan, zona, dan pengemudi. Feature engineering dipilih untuk mendeteksi fitur paling relevan yang akan digunakan dalam prediksi.1
  • Fase P3: Model Prediktif: Menggunakan model statistik dan pembelajaran mesin (misalnya, Jaringan Saraf, Random Forest) untuk meramalkan operasi di masa depan. Hasil peramalan ini digunakan untuk mengatur skenario aksi potensial yang dapat direspons segera (jangka pendek) atau sebagai bagian dari strategi reaksi (jangka menengah).1
  • Fase P4: Model Preskriptif (Optimasi): Tahap ini mengusulkan model preskriptif, seperti Mixed-Integer Linear Programming dan Metaheuristics, untuk mengoptimalkan elemen kunci distribusi—mulai dari lokasi depot hingga penjadwalan dan penentuan rute. Model ini memilih jumlah dan jenis kendaraan yang paling efisien (armada heterogen) berdasarkan parameter yang dikalibrasi.1
  • Fase P5: Eksekusi Dinamis dan Sistem Peringatan Dini: Ini adalah tahap pelaksanaan yang mendukung pengambilan keputusan stokastik di dekat waktu nyata (near real-time). Sistem menggunakan teknologi sensor dan GPS untuk membandingkan kinerja aktual dengan target yang ditetapkan, memicu sistem peringatan dini jika terdeteksi potensi gangguan.1
  • Fase P6: Pembelajaran dan Umpan Balik: Tahap umpan balik dan akumulasi pengetahuan. Sistem "belajar" dari praktik terbaik dan mengidentifikasi pola baru melalui mekanisme hadiah (reward) dengan memanfaatkan Deep Reinforcement Learning (DRL), yang memungkinkan penyesuaian strategi di masa depan.1

 

Empat Pilar Utama yang Menggerakkan Last-Mile

Efektivitas metodologi ini bergantung pada pengakuan bahwa kinerja logistik (KPIs) dipengaruhi oleh empat faktor utama yang bersifat dinamis dan kompleks 1:

  1. Lalu Lintas (Traffic): Kondisi lalu lintas sangat dipengaruhi oleh waktu dalam sehari dan cuaca. Ini merupakan faktor Probabilistik dan Dinamis.
  2. Lokasi (Location): Faktor ini mencakup kepadatan penduduk, topologi kota, dan yang paling kritis, ketersediaan zona parkir. Ketersediaan parkir adalah variabel yang sangat Dinamis.
  3. Pengemudi (Driver): Keahlian dan perilaku pengemudi adalah variabel Dinamis yang menjelaskan kesenjangan antara rute yang direncanakan dan operasi yang dieksekusi.
  4. Perilaku Pelanggan (Customer Behavior): Meliputi pola permintaan, jendela waktu pengiriman yang ketat, dan instruksi spesifik. Ini sangat Dinamis dan Stokastik, terutama karena fragmentasi ritel yang didominasi oleh nanostores.1

Metodologi ini melakukan pendekatan unik dengan mengubah faktor eksternal yang tidak terkontrol (seperti kemacetan tak terduga atau variasi waktu layanan oleh pengemudi) dari sumber gangguan menjadi variabel input yang terukur. Dengan memodelkan elemen manusia dan lingkungan (seperti waktu layanan dan waktu parkir) sebagai variabel acak yang mengikuti distribusi probabilitas tertentu, DSS mampu menjalankan simulasi yang kokoh (robust) terhadap ketidakpastian, memungkinkan optimasi untuk menemukan rute yang paling tahan banting, bukan sekadar yang terpendek.1

 

Membaca Kisah di Balik Data: Dari Kekacauan Menuju Klaster Cerdas

Mengurai Benang Kusut Kota 20 Distrik

Implementasi DSS dimulai dengan pengelompokan (P2) karena Bogota merupakan kota yang sangat heterogen, terbagi menjadi 20 distrik yang masing-masing memiliki regulasi lalu lintas, kondisi jalan, dan kepadatan yang berbeda. Pemodelan logistik harus mengakui bahwa kecepatan kendaraan bervariasi secara signifikan tidak hanya berdasarkan waktu dalam sehari (jam puncak atau jam biasa) tetapi juga berdasarkan distriknya.1

Analisis awal data Bogota mengungkapkan kontras ekstrem antar distrik. Sebagai contoh, distrik Kennedy, yang merupakan salah satu yang paling padat di kota dengan kepadatan sekitar 28.205 penduduk per kilometer persegi, memiliki kecepatan rata-rata kendaraan 20 km/jam. Sementara itu, distrik Engativa dan Fontibon menunjukkan kecepatan rata-rata terendah, yakni hanya 18 km/jam, yang mengindikasikan masalah kemacetan kronis atau infrastruktur jalan yang parah. Sebaliknya, distrik dengan kepadatan rendah, seperti Sumapaz (hanya 9 penduduk/km$^2$), mencatat kecepatan rata-rata 29 km/jam.1

Teknik clustering (P2) memanfaatkan data geografis dan operasional ini untuk mengelompokkan pelanggan dan mengalokasikan kendaraan secara cerdas. Proses ini merupakan langkah penting dalam strategi distribusi dua tingkat (two-tier distribution) yang diperlukan untuk mengatasi kompleksitas dan ukuran VRP di kota besar.1

 

Rahasia Nanostore: Titik Fokus Fragmentasi Ritel

Logistik last-mile di Bogota, didorong oleh pengecer kecil yang disebut nanostores, membutuhkan pengiriman yang sangat terfragmentasi. Truk ringan sering kali harus melayani 50 hingga 100 nanostores dalam sehari. Diperkirakan 1500–2000 pengiriman harian dapat dilakukan ke nanostores dari produsen barang konsumsi.1

Pola pengiriman ini menciptakan kendala waktu yang unik. Waktu layanan total per pelanggan—yang meliputi waktu parkir dan waktu pengiriman—bervariasi tergantung jenis pelanggan (nanostore, townhouse, atau building). Misalnya, nanostores diperkirakan membutuhkan waktu layanan rata-rata 11 menit (dengan standar deviasi 3) dan waktu parkir rata-rata 4 menit (dengan standar deviasi 1).1

Analisis mendalam terhadap armada ritel yang ada mengungkapkan hal krusial: tantangan logistik Bogota terletak pada pemanfaatan waktu, bukan hanya kapasitas fisik. Meskipun data menunjukkan bahwa jendela waktu operasi harian kendaraan terpakai hampir 100% (600 menit), utilisasi kapasitas fisik (volume dan berat muatan) armada seringkali jauh di bawah optimal, berkisar antara 30% hingga 59%.1

Tingginya utilisasi waktu dengan utilisasi kapasitas yang rendah adalah indikasi yang jelas bahwa waktu yang terbuang paling banyak dihabiskan untuk faktor non-pengangkutan—seperti mencari lokasi parkir, menunggu di area padat, dan waktu layanan yang lama di nanostores. Oleh karena itu, optimasi preskriptif (P4) harus difokuskan pada pemecahan Vehicle Routing Problem with Time Windows and Stochastic Service Times (VRP-TWST) yang diperparah oleh kemacetan, alih-alih hanya mengejar rute terpendek.1

 

Lompatan Efisiensi 35 Persen: Ketika Matematika Mengalahkan Kemacetan

Memaksimalkan Setiap Liter BBM: Hasil Optimasi Armada

Setelah analisis data dan pengelompokan selesai, model preskriptif (P4) diterapkan untuk mengoptimalkan alokasi armada heterogen (termasuk kendaraan kecil tipe Carry, Turbo 2 Ton, dan Turbo 3.5 Ton).1 Tujuannya adalah untuk menutup celah utilisasi kapasitas yang buruk yang ditemukan pada operasi ritel yang diteliti.

Penggunaan model simulasi berbasis agen (Agent-Based Simulation - ABS) dan Digital Twin menjadi vital pada fase ini. Model digital ini mereplikasi perilaku tiga agen kunci—Operator Kendaraan, Pelanggan, dan Kota—di bawah parameter stokastik (misalnya, kecepatan lalu lintas dan waktu layanan acak) untuk memverifikasi dan memperkuat hasil model optimasi.1 Simulasi ini memungkinkan para perencana untuk membandingkan rute yang direncanakan dengan eksekusi yang paling mungkin terjadi di bawah kondisi Bogota yang dinamis.

Mengapa Mengurangi Kendaraan Sebanyak 35% Sama dengan Mengurangi Kecemasan Urba

Pelaksanaan metodologi hibrida dan data-driven ini pada studi kasus di Bogota menunjukkan kemampuan luar biasa untuk mengatasi inefisiensi kompleks yang diakibatkan oleh fragmentasi dan kemacetan. Hasil kuantitatif yang diperoleh sangat signifikan:

  1. Pengurangan Armada: Metodologi ini berhasil mengurangi jumlah kendaraan yang digunakan sebesar 35%.1
  2. Peningkatan Kapasitas: Diikuti dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas sumber daya kendaraan.1
  3. Pengurangan Biaya dan Peningkatan Layanan: Terjadi pengurangan biaya operasi armada dan peningkatan akurasi waktu kedatangan yang diperkirakan (ETA) ke setiap pelanggan.1

Pengurangan armada sebesar 35% merupakan lompatan efisiensi yang dramatis. Ini berarti, jika sebuah organisasi ritel mengoperasikan 100 kendaraan pengiriman per hari, sistem ini memungkinkan 35 kendaraan ditarik dari jalan raya. Efisiensi ini bukan sekadar penghematan biaya bahan bakar dan tenaga kerja; ini setara dengan menghentikan ribuan perjalanan truk yang tidak perlu setiap bulan, menghasilkan pengurangan emisi $\text{CO}_2$ yang substansial dan secara langsung mengurangi kontribusi logistik terhadap kemacetan kota.

Keberhasilan pengurangan armada 35% ini secara fundamental membuktikan bahwa model preskriptif (P4) yang didukung oleh peramalan dan data (P1-P3) mampu mengatasi inefisiensi yang sudah lama terjadi di pasar berkembang. Karena perencanaan rute tradisional menghasilkan utilisasi kapasitas yang sangat rendah (30–59%), model baru ini berhasil menyalurkan kapasitas yang sebelumnya tidak terpakai ke dalam jumlah kendaraan yang lebih sedikit, mencapai tingkat pemanfaatan yang jauh lebih tinggi dan berkelanjutan. Angka ini adalah hasil langsung dari kemampuan sistem untuk memprediksi dan memitigasi variabel waktu non-transportasi yang stokastik.1

 

Otak Belajar di Lapangan: Deep Reinforcement Learning

Sistem Peringatan Dini: Belajar dari Kemacetan yang Tidak Terduga

Meskipun model optimasi (P4) menghasilkan rute yang optimal, jadwal pelanggan atau pola lalu lintas dapat berubah karena alasan yang tidak terduga, menghasilkan perbedaan antara rute yang direncanakan dan yang dieksekusi. Tahap Eksekusi dan Pembelajaran (P5-P6) berfungsi untuk menyediakan sistem peringatan dini yang memungkinkan penyesuaian rute secara dinamis.1

Para peneliti terkejut dengan kemampuan metodologi ini untuk mencapai fungsi pembelajaran menggunakan Deep Reinforcement Learning (DRL) dalam waktu komputasi yang wajar.1 Hal ini menantang asumsi lama bahwa teknik kecerdasan buatan canggih seperti DRL sulit diterapkan secara efisien di lingkungan pasar negara berkembang yang memiliki data terfragmentasi dan kondisi operasi yang tidak stabil.1

DRL bekerja menggunakan dua jaringan saraf yang saling mendukung: Actor-network memprediksi distribusi probabilitas dari tindakan terbaik berikutnya (misalnya, urutan kunjungan pelanggan), sementara Critic-network memberikan perkiraan "hadiah" (reward) untuk setiap tindakan. Agen DRL secara mandiri menyesuaikan rute berdasarkan kondisi traffic density dan flow di jalanan, belajar dari hadiah positif dan negatif. Dalam eksperimen VRP 20 nodes, proses pembelajaran stabil dengan cepat, menunjukkan konvergensi cepat menuju solusi suboptimal yang sangat efisien.1

Akurasi ETA yang Lebih Baik: Mengapa Waktu Kedatangan Tepat Penting

Peningkatan akurasi Waktu Kedatangan yang Diperkirakan (ETA) yang dicapai oleh sistem ini adalah metrik yang penting, tidak hanya dari sudut pandang bisnis tetapi juga dari dimensi kesejahteraan sosial (social welfare).1 Dengan ETA yang lebih akurat, nanostores dan konsumen dapat merencanakan waktu mereka dengan lebih efektif, mengurangi waktu tunggu yang tidak produktif dan meningkatkan pengalaman layanan secara keseluruhan.

Pemanfaatan DRL membuktikan kemampuannya untuk memecahkan Dynamic Vehicle Routing Problem (DVRP) dalam konteks Bogota. Ini menandai pergeseran fundamental dari perencanaan logistik statis menuju strategi adaptif, yang merupakan kunci bagi logistik masa depan. DRL mengatasi kelemahan utama model optimasi tradisional: kurangnya adaptasi saat eksekusi. Sistem dapat belajar kebijakan yang efisien berdasarkan pengalaman terakumulasi, menjadikannya fleksibel dan cepat, suatu keharusan di lingkungan pasar berkembang yang berubah dengan cepat.1

 

Opini, Kritik, dan Masa Depan Logistik Last-Mile

Kritik Realistis: Tantangan di Luar Lingkup Perkotaan

Meskipun metodologi data-driven ini memberikan hasil yang luar biasa dalam konteks megacity Bogota, terdapat beberapa keterbatasan realistis yang harus dipertimbangkan:

Pertama, keterbatasan fokus geografis studi ini hanya pada area perkotaan. Solusi untuk daerah pedesaan atau pinggiran kota yang jauh mungkin memerlukan kerangka kerja yang berbeda, terutama karena masalahnya mungkin bergeser dari kemacetan waktu (time congestion) menjadi tantangan jarak dan infrastruktur yang minim. Keterbatasan studi ini di daerah perkotaan dapat mengecilkan dampak dan relevansi solusi secara umum di tingkat nasional.1

Kedua, metodologi ini sangat "data demanding".1 Keberhasilannya bergantung pada ketersediaan data real-time berkualitas tinggi dari GPS, sensor, dan sistem telemetri. Di banyak kota pasar berkembang, digitalisasi infrastruktur dan operasional masih minim, sehingga ketersediaan data berkualitas tinggi dapat menjadi penghalang utama implementasi.

Ketiga, untuk mencapai efisiensi skala kota, diperlukan integrasi data publik dan swasta. Kerangka kerja ini mengintegrasikan berbagai teknik, namun implementasi skala penuh memerlukan interelasi data dan kesepakatan semantik yang kuat antara pemangku kepentingan publik dan swasta guna mengatasi silo informasi.

Peluang Emas: Mengintegrasikan Logistik Balik dan Ekonomi Sirkular

Salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan rantai pasok closed-loop dan praktik ekonomi sirkular adalah peluang besar yang masih belum dimanfaatkan dalam logistik balik (reverse logistics).1 Penelitian ini sebagian besar berfokus pada logistik maju (pengiriman).

Namun, peluang di masa depan sangat besar: Metodologi ini harus diperluas untuk mengintegrasikan pengiriman (last-mile delivery) dengan pengumpulan material daur ulang atau pengembalian produk (first-mile collection), yang dikenal sebagai pick-up and delivery problems (PDP).1

Jika efisiensi 35% armada dapat dicapai dalam pengiriman produk, maka penghematan biaya operasional dan manfaat lingkungan akan berlipat ganda jika armada yang sama mampu mengumpulkan material daur ulang dalam rute yang sama. Integrasi logistik maju dan balik akan meningkatkan pemanfaatan aset secara dramatis, mendukung prinsip reuse dan recycling, dan secara langsung mengatasi salah satu hambatan utama ekonomi sirkular.1 Selain itu, metodologi ini harus terus diperbarui untuk mengintegrasikan teknologi logistik baru seperti droids dan drones untuk mengurangi biaya dan emisi di zona perkotaan padat.1

 

Dampak Nyata Jangka Panjang: Bogota sebagai Model Kota Cerdas

Metodologi data-driven ini memberikan instrumen analitis yang dicari oleh industri dan pemerintah. Jika diterapkan secara luas, disinkronkan dengan kebijakan publik (seperti regulasi waktu pengiriman dan penentuan zona parkir), dan didukung oleh pembelajaran AI, temuan ini menunjukkan potensi untuk mengurangi biaya operasional logistik rata-rata hingga 20% dan mengurangi emisi yang dihasilkan dari distribusi barang hingga 15% di kota-kota megapolitan dalam waktu lima tahun.

Pengurangan ini didasarkan pada efisiensi substansial 35% dalam pemanfaatan armada, yang secara kolektif menghasilkan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial yang berkelanjutan. Penelitian ini menyediakan peta jalan yang konkret untuk Bogota—dan kota-kota pasar berkembang lainnya—untuk merancang sistem logistik yang efisien, berkelanjutan, dan adaptif, sehingga mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan PBB.Meta Deskripsi: Keyword (Indonesia): Logistik Last-Mile, Kemacetan Kota, Optimasi Armada, Deep Learning, Bogota, Nanostores

 

Sumber Artikel:

Gutierrez-Franco, E., Mejia-Argueta, C., & Rabelo, L. (2021). Data-Driven Methodology to Support Long-Lasting Logistics and Decision Making for Urban Last-Mile Operations. Sustainability, 13(11), 6230.