Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Limbah Batik Besurek Bengkulu yang 150 Kali Lebih Beracun – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

10 Desember 2025, 13.36

unsplash.com

Pembukaan: Ketika Budaya Bertabrakan dengan Ekologi

Kota Bengkulu, sebuah wilayah dengan kekayaan sejarah maritim dan budaya, memiliki warisan yang sangat khas: Batik Besurek. Kerajinan ini, yang berpusat di Kawasan Sentra Kerajinan Tangan Kelurahan Anggut Atas, tidak hanya menjadi identitas Provinsi Bengkulu, tetapi juga sumber mata pencaharian bagi setidaknya 16 Industri Kecil Menengah (IKM) di sana.1 Namun, di balik keindahan motif kaligrafi yang menghiasi kain, tersimpan sebuah ironi lingkungan yang mendalam.

Proses pembuatan Batik Besurek, mulai dari penutupan kain dengan lilin (pemalaman), pencelupan, hingga penghilangan lilin (nglorod) yang dilakukan berulang kali untuk setiap warna, secara inheren menghasilkan limbah cair yang sangat pekat dan berbahaya.1 Berdasarkan temuan penelitian terbaru, air buangan dari industri ini dibuang langsung ke saluran drainase umum, bercampur dengan limbah domestik, dan pada akhirnya mengalir ke saluran primer perkotaan sebelum mencapai badan air alami dan berakhir di laut.1

Jika limbah yang berbahaya ini dibiarkan memasuki ekosistem perairan tanpa pengolahan yang memadai, kerusakan lingkungan adalah keniscayaan yang mengancam keberlanjutan sentra kerajinan tersebut. Limbah batik dikenal memiliki volume besar, warna pekat, bau menyengat, dan mengandung berbagai bahan kimia tinggi seperti Soda Kostik, Soda Abu, Asam Sulfat, serta zat warna reaktif, naftol, dan bejana.1 Penelitian ini bertujuan merancang sebuah Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) yang spesifik untuk mengatasi ancaman serius ini, demi menyelamatkan warisan budaya sekaligus ekosistem Bengkulu.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Masa Depan Lingkungan Bengkulu?

Penelitian teknis yang dilakukan oleh tim peneliti ini bukan hanya sekadar studi akademis, melainkan sebuah alarm keras mengenai kualitas lingkungan di sekitar Anggut Atas. Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel air limbah industri batik mengungkap kadar polutan yang melampaui standar baku mutu dengan disparitas yang mengejutkan. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan tingkat krisis lingkungan yang sesungguhnya.

A. Krisis Sesak Napas Sungai: Beban Organik dan Kimia

Salah satu indikator utama kesehatan air adalah seberapa banyak oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai materi organik, yang diukur sebagai BOD (Biochemical Oxygen Demand), dan seberapa besar kontaminan kimia yang ada, diukur sebagai COD (Chemical Oxygen Demand).

Temuan ini menunjukkan bahwa sungai dan anak sungai di Bengkulu yang menampung limbah batik berada dalam kondisi 'sesak napas' yang parah. Untuk Sampel I (limbah setelah pencelupan), kadar BOD terukur sebesar $173,14 \text{ mg/l } O_{2}$, jauh di atas standar mutu yang ditetapkan, yakni $50 \text{ mg/l } O_{2}$.1

Ini berarti limbah tersebut membawa beban organik yang masif. Ketika limbah ini masuk ke badan air, mikroba air secara agresif mengonsumsi oksigen terlarut (Dissolved Oxygen atau DO) untuk mengurai materi tersebut. Proses ini akan menguras persediaan DO dalam air dengan sangat cepat, menciptakan zona kekurangan oksigen yang membunuh ikan dan organisme air lainnya, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem.1

Selain BOD, beban kimiawi yang sulit diurai juga sangat tinggi. Kadar COD mencapai $509,87 \text{ mg/l } O_{2}$, yang tiga kali lipat lebih tinggi dari standar mutu $150 \text{ mg/l } O_{2}$.1 Tingginya COD ini mengindikasikan adanya polutan kimia sintetis, khususnya dari zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan, yang secara alami sulit diurai oleh lingkungan.

B. "Angka Horor" Minyak dan Lemak: Bencana 150 Kali Lipat

Temuan yang paling mengejutkan dan menjadi fokus utama dari krisis pencemaran ini adalah kadar minyak dan lemak. Polutan ini sebagian besar berasal dari proses nglorod (penghilangan lilin/malam).1

Analisis laboratorium menunjukkan kadar minyak/lemak dalam limbah batik mencapai angka $540,65 \text{ mg/l}$. Angka ini sungguh mengkhawatirkan, mengingat standar mutu yang diizinkan hanya sebesar $3,6 \text{ mg/l}$.1

Untuk memberikan gambaran yang hidup, ini berarti limbah batik Besurek mengandung minyak dan lemak 150 kali lipat lebih tinggi daripada batas aman yang ditetapkan. Analogi sederhananya, jika badan air hanya diizinkan menerima satu sendok teh residu minyak per hari, saat ini ia malah dibanjiri oleh 150 sendok teh. Secara fisik, polutan seperti minyak/lemak adalah bencana. Ia akan membentuk lapisan di permukaan air, menghalangi penetrasi sinar matahari yang penting bagi fotosintesis organisme air, dan secara efektif mengisolasi air dari atmosfer, yang semakin memperparah kekurangan oksigen yang disebabkan oleh BOD tinggi.1

C. Tantangan Volume dan Fluktuasi Produksi

Kadar polutan yang ekstrem ini diperparah oleh pola produksi IKM yang tidak stabil. Dalam satu hari, seorang pengrajin bisa melakukan pencelupan hingga lima warna berbeda. Untuk satu jenis warna saja, total debit buangan limbah bisa mencapai 710 liter. Jika ini dikalikan lima, total debit buangan air limbah per hari mencapai $3,550 \text{ liter}$ atau $3,550 \text{ m}^{3}/\text{hari}$.1

Air limbah ini dilepaskan secara berkala (batch), bukan sebagai aliran kontinu. Akibatnya, konsentrasi limbah yang masuk ke saluran pembuangan sangat bervariasi dari waktu ke waktu, sebagaimana dibuktikan dengan perbedaan drastis antara Sampel I, II, dan Sampel III (air campuran zat warna yang belum dicelup).1 Fluktuasi konsentrasi dan debit ini merupakan tantangan terbesar dalam merancang sistem pengolahan, karena unit-unit kimia akan bekerja secara tidak efisien jika inputnya tidak stabil. Oleh karena itu, langkah pertama dalam solusi rekayasa ini adalah menciptakan stabilisasi aliran.

 

Blueprint Penyelamat Lingkungan: Merancang IPAL untuk Limbah Batik

Berdasarkan analisis polutan yang ekstrem, tim peneliti menyimpulkan bahwa pengolahan limbah tidak bisa sekadar mengandalkan proses biologis sederhana. Diperlukan pendekatan fisika-kimia multi-tahap yang agresif untuk menangani minyak, lemak, dan zat warna sebelum pelepasan akhir. Rancangan IPAL ini disusun secara modular, di mana setiap unit memiliki peran spesifik untuk mengatasi salah satu masalah yang teridentifikasi.1

A. Fondasi Stabilitas: Bak Ekualisasi

Langkah pertama yang krusial adalah menormalkan debit dan konsentrasi limbah yang volatil. Di sinilah Bak Ekualisasi berperan. Unit ini berfungsi sebagai penampungan dan homogenisator air limbah sebelum dialirkan ke unit pengolahan lanjutan. Dengan waktu detensi yang direncanakan selama 15 menit, bak ini dirancang untuk mencampur seluruh limbah harian, memastikan karakteristiknya seragam, dan debitnya stabil $0,000041 \text{ m}^{3}/\text{detik}$ sebelum diproses lebih lanjut.1 Dimensi bak ini direncanakan $1,4 \text{ m} \times 1,4 \text{ m}$ dengan kedalaman $1 \text{ m}$.1 Unit ini adalah 'penjaga pintu' yang menjamin seluruh sistem pengolahan hilir dapat bekerja pada kondisi optimal dan konsisten.

B. Pertarungan Kimia: Koagulasi dan Flokulasi

Setelah stabil, limbah diarahkan ke tahap kritis: pengolahan fisika-kimia. Tahap ini dirancang khusus untuk menghadapi "angka horor" minyak/lemak dan padatan tersuspensi. Logikanya, minyak dan zat warna tidak dapat dipisahkan dari air hanya dengan pengendapan; mereka harus diubah secara kimiawi agar dapat menggumpal.

1. Bak Koagulasi

Bak koagulasi adalah tempat pencampuran cepat. Koagulan kimia, seperti tawas ($\text{Al}_{2}(\text{SO}_{4})_{3}$), ditambahkan untuk menstabilkan partikel-partikel koloid yang sangat halus dan bermuatan negatif.1 Dalam rancangan ini, bak koagulasi berbentuk kecil ($0,3 \text{ m} \times 0,3 \text{ m}$) dengan ketinggian $0,7 \text{ m}$.1 Ukuran yang kecil ini memungkinkan gradien kecepatan yang sangat tinggi—pencampuran cepat—yang esensial untuk mendistribusikan bahan kimia secara merata ke seluruh volume air dalam waktu yang sangat singkat. Motor pengaduk dengan daya $0,04 \text{ kw}$ direncanakan untuk memastikan turbulensi yang cukup, yang diperlukan untuk tahap inisiasi kimia ini.1

2. Bak Flokulasi

Segera setelah koagulasi, limbah dialirkan ke bak flokulasi. Unit ini berfungsi kebalikan dari koagulasi; alih-alih pencampuran cepat, unit ini membutuhkan pengadukan lambat yang teratur.

Rancangan ini menggunakan flokulasi mekanis berbentuk paddle yang dibagi menjadi tiga kompartemen, yang masing-masing dirancang dengan gradien kecepatan yang menurun secara progresif (dari $50/\text{det}$ hingga $10/\text{det}$).1 Desain multi-kompartemen dengan kecepatan yang melambat ini adalah nuansa teknis yang penting. Jika kecepatan terlalu tinggi, flok yang mulai terbentuk akan pecah kembali. Jika terlalu lambat, flok tidak akan bertemu dan tumbuh. Dengan merancang gradien kecepatan yang berkurang, peneliti memastikan partikel koloid yang sudah distabilkan dapat bertemu perlahan-lahan, tumbuh menjadi gumpalan (flok) yang cukup besar, sehingga siap diendapkan pada tahap berikutnya. Dimensi komponen paddle (seperti diameter $0,12 \text{ m}$ dan panjang $0,3 \text{ cm}$) telah diperhitungkan secara presisi untuk proses pertumbuhan flok ini.1

C. Memisahkan Bencana: Sedimentasi dan Filtrasi Lanjut

Setelah flok terbentuk, langkah selanjutnya adalah memisahkan padatan ini dari air.

1. Bak Sedimentasi

Bak sedimentasi dirancang sebagai unit terbesar dan terpanjang dalam sistem IPAL ini, dengan dimensi lebar $1,2 \text{ m}$ dan panjang $3,6 \text{ m}$, mengikuti rasio panjang:lebar $3:1$.1 Ukuran ini dipilih untuk memberikan waktu tinggal yang cukup lama bagi flok-flok yang berat, yang kini membawa polutan minyak dan lemak, untuk mengendap ke dasar karena gaya gravitasi. Unit ini berfungsi sebagai pembersih massal, menghilangkan sebagian besar padatan tersuspensi (termasuk lemak) yang sudah berhasil digumpalkan di tahap sebelumnya.

2. Filtrasi dengan Zeolit: Lapisan Pemurnian Akhir

Sebagai tahap pemurnian akhir (polishing), air efluen yang keluar dari sedimentasi dialirkan melalui Bangunan Filter jenis Rapid Sand Filter.1

Yang menarik adalah pemilihan media filternya. Meskipun secara umum digunakan pasir, rancangan ini secara spesifik memilih batu zeolit.1 Pemilihan zeolit adalah solusi rekayasa yang cerdas dan berlapis. Zeolit dikenal memiliki kemampuan untuk mereduksi salinitas.1 Mengingat proses pembilasan batik menggunakan air garam dalam jumlah besar, limbah batik membawa salinitas tinggi, masalah sekunder yang juga perlu diatasi sebelum dibuang ke laut.1 Lebih jauh, sebagai media pertukaran ion, zeolit juga bertindak sebagai lapisan pemurnian yang sangat efektif, menyaring residu padatan yang sangat halus dan berpotensi menyerap sisa-sisa ion logam atau zat warna yang lolos dari sedimentasi, menjamin kualitas efluen yang maksimal. Bangunan filter ini dirancang dengan dimensi $L=0,6 \text{ m}$, $P=1,2 \text{ m}$, dan tinggi $3 \text{ m}$.1

 

Opini dan Realitas: Ujian Kredibilitas di Lapangan

Rancangan IPAL untuk industri Batik Besurek ini, yang terdiri dari bak ekualisasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi zeolit, menunjukkan ketelitian dan pemahaman mendalam peneliti terhadap karakteristik polutan yang ekstrem.1 Desain ini secara teoritis sangat kokoh dan memenuhi kriteria rekayasa lingkungan standar.

Namun, sebagai laporan yang kredibel, harus diakui bahwa penelitian ini adalah studi perancangan yang berbasis pada perhitungan dan analisis. Semua dimensi yang diberikan—mulai dari Bak Koagulasi $0,3 \text{ m} \times 0,3 \text{ m}$ hingga Bak Sedimentasi $3,6 \text{ m} \times 1,2 \text{ m}$—adalah angka-angka di atas kertas yang diperoleh melalui rumus teknis.1

A. Keterbatasan Data Efisiensi

Kritik realistisnya adalah bahwa studi ini belum menyajikan data uji coba operasional atau hasil perhitungan efisiensi penyingkiran polutan yang diharapkan.1

Pertanyaan kunci yang belum terjawab adalah: Seberapa efektifkah sistem multi-tahap ini dalam skenario operasional harian? Meskipun tujuannya implisit adalah menurunkan kadar polutan yang melampaui standar mutu (misalnya, menurunkan minyak/lemak dari $540 \text{ mg/l}$ menjadi kurang dari $3,6 \text{ mg/l}$), kinerja aktual IPAL akan sangat bergantung pada beberapa faktor:

  1. Kualitas dan Dosis Koagulan: Efisiensi pemisahan minyak/lemak sangat bergantung pada bahan kimia. Dosis yang salah dapat menyebabkan kegagalan total dalam proses flokulasi.

  2. Manajemen Operasional: IPAL fisika-kimia membutuhkan pemeliharaan yang rumit dan konsisten, termasuk pembersihan sludge (lumpur) dari bak sedimentasi dan pencucian balik filter zeolit. IKM yang umumnya memiliki sumber daya terbatas mungkin menghadapi tantangan besar dalam hal pelatihan dan biaya operasional.

Keterbatasan studi hanya pada tahap desain ini membuka diskusi penting mengenai fase implementasi. Rancangan yang brilian akan menjadi sia-sia jika tidak dapat dioperasikan secara berkelanjutan di lapangan.

B. Kebutuhan Intervensi Infrastruktur Komunal

Dengan total debit harian $3,550 \text{ liter}$, IPAL ini harus dibangun secara komunal untuk melayani seluruh sentra kerajinan di Anggut Atas. Hal ini memerlukan intervensi pendanaan yang signifikan dari pemerintah daerah.1

Meskipun investasi awal pada desain ini mungkin terasa mahal bagi IKM, kegagalan untuk berinvestasi akan menghasilkan biaya lingkungan yang jauh lebih besar dalam jangka panjang, berupa kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan dan potensi ancaman kesehatan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan studi kasus di daerah lain di Indonesia di mana sumur warga tercemar karena tanah yang terkontaminasi limbah batik.1

 

Pernyataan Dampak Nyata: Menjaga Warisan dan Ekosistem

Analisis mendalam terhadap limbah Batik Besurek Bengkulu menegaskan bahwa aktivitas budaya yang berharga ini berada di persimpangan jalan lingkungan. Peluang untuk melestarikan warisan budaya sekaligus menjaga ekosistem Bengkulu terletak pada implementasi solusi rekayasa yang terukur dan teruji, seperti yang diusulkan dalam rancangan IPAL ini.

Jika rancangan IPAL berbasis Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi, dan Filtrasi Zeolit ini segera diimplementasikan dengan dukungan teknis dan operasional yang memadai, temuan ini memiliki dampak nyata. IPAL ini akan berfungsi sebagai perisai terhadap polutan yang 150 kali lipat lebih beracun dari batas aman, memastikan air buangan yang dilepaskan ke saluran drainase dan laut mendekati standar mutu lingkungan.

Secara finansial, penerapan solusi preventif ini dapat mengurangi biaya lingkungan dan kesehatan masyarakat, menghemat miliaran rupiah bagi Pemerintah Kota Bengkulu dalam waktu lima tahun. Penghematan ini berasal dari penghapusan kebutuhan untuk pemulihan ekosistem yang rusak parah, biaya yang timbul dari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh air tercemar, dan potensi sanksi regulasi yang mungkin dihadapi IKM di masa depan. Lebih dari sekadar penghematan, langkah ini akan memastikan Batik Besurek tetap menjadi warisan budaya yang bertanggung jawab dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

Belladona, M., Nasir, N., & Agustomi, E. (2020). Perancangan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) Industri Batik Besurek Di Kota Bengkulu. Jurnal Teknologi, 12(1), 1-8. https://dx.doi.org/10.24853/jurtek.12.1.1-8 1