Pernahkah Anda berkendara di jalan nasional yang baru saja diperbaiki? Aspalnya mulus, lebarnya memadai, dan secara teori, Anda seharusnya bisa memacu kendaraan dengan lancar. Namun, kenyataannya, laju kendaraan tetap terasa lambat, terjebak dalam iring-iringan panjang yang seolah tak berujung. Anda mungkin bertanya-tanya, "Jika jalan sudah bagus, mengapa kita tidak bisa melaju lebih cepat?" Pertanyaan ini, yang sering kali hanya menjadi keluhan di balik kemudi, ternyata adalah inti dari sebuah paradoks besar dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.
Sebuah penelitian mendalam yang menyoroti program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan membongkar sebuah kebenaran yang mengejutkan. Temuan ini mengindikasikan bahwa miliaran rupiah yang digelontorkan untuk melebarkan dan memuluskan jalan mungkin telah mengatasi masalah yang salah. Masalah sebenarnya, sang biang keladi dari lambatnya konektivitas kita, tersembunyi bukan pada permukaan aspal, melainkan pada sesuatu yang lebih fundamental: desain dan geometri jalan itu sendiri.
Ambisi Besar di Balik Aspal: Mengejar Mimpi Konektivitas Indonesia
Pembangunan jalan bukanlah sekadar proyek menambal lubang atau melapisi aspal. Di Indonesia, setiap kilometer jalan nasional yang dibangun adalah bagian dari sebuah visi yang jauh lebih besar. Proyek-proyek ini adalah urat nadi dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Marga dan pilar utama dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebuah cetak biru ambisius untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas antar koridor ekonomi utama, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya, memutar roda perekonomian lebih kencang.
Salah satu target paling krusial dalam rencana strategis periode 2015-2019 adalah mencapai waktu tempuh jalan nasional antara 1,0 hingga 2,0 jam per 100 km.1 Ini berarti, jalan arteri primer kita harus mampu melayani kendaraan dengan kecepatan rata-rata minimum . Namun, kenyataan di lapangan melukiskan gambaran yang berbeda. Berbagai studi menunjukkan bahwa waktu tempuh rata-rata di jalan nasional Indonesia mencapai 2,7 hingga 3,3 jam per 100 km, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam (2,0 jam per 100 km) dan Malaysia (1,5 jam per 100 km).1 Kesenjangan ini adalah alarm yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam strategi pembangunan kita.
Menyadari hal ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga berupaya mengubah paradigma. Penelitian ini menyoroti adanya pergeseran fundamental dari pendekatan lama yang bersifat "reaktif"—di mana perbaikan hanya dilakukan setelah kerusakan terjadi—menuju pendekatan yang lebih "preventif" dan "antisipatif".1 Rencana strategis 2015-2019 bukanlah sekadar siklus anggaran rutin; ia adalah sebuah upaya sadar untuk merombak total cara Indonesia mengelola arteri ekonominya. Pemerintah tidak lagi ingin terkesan "terlambat menangani" masalah. Sebaliknya, mereka ingin menciptakan program yang rasional dan mampu mengantisipasi kebutuhan masa depan, terutama di jalur-jalur vital nasional. Inilah konteks yang membuat temuan penelitian ini menjadi semakin penting: kegagalan mencapai target kecepatan bukan terjadi dalam kerangka kerja yang usang, melainkan dalam sebuah sistem baru yang lebih canggih dan ambisius.
Membedah Jaringan Nadi Sumatera Selatan: Sebuah "Laboratorium" Nasional
Untuk memahami masalah konektivitas skala nasional, para peneliti tidak bisa menganalisis ribuan kilometer jalan secara serentak. Mereka memerlukan sebuah "laboratorium" di dunia nyata—sebuah wilayah yang cukup representatif untuk dijadikan model. Pilihan jatuh pada jaringan jalan nasional di Provinsi Sumatera Selatan, sebuah koridor ekonomi yang vital di bawah pengawasan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III.1 Wilayah ini menjadi ajang pembuktian bagi efektivitas rencana strategis baru pemerintah.
Metode yang digunakan untuk "mendiagnosis" kesehatan jalan ini bukanlah sekadar survei visual. Para peneliti menerapkan pendekatan canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA) atau Analisis Multi-kriteria.1 Bayangkan para peneliti ini bertindak seperti tim dokter spesialis yang melakukan check-up medis menyeluruh terhadap seorang pasien. Mereka tidak hanya mengukur "tanda-tanda vital" jalan—seperti kerataan permukaan atau jumlah lubang—tetapi juga menggali "gaya hidup" dan "peran sosial" jalan tersebut.
Proses diagnosis ini dibagi menjadi dua kategori besar:
- Pemeriksaan Kondisi Teknis: Ini adalah "pemeriksaan fisik" jalan. Para peneliti mengukur serangkaian variabel kuantitatif untuk menilai performa struktural dan fungsionalnya. Variabel-variabel ini mencakup International Roughness Index (IRI) untuk mengukur kemulusan atau kerataan jalan, Surface Distress Index (SDI) untuk menghitung tingkat kerusakan permukaan seperti retak dan lubang, rasio volume terhadap kapasitas () untuk melihat tingkat kepadatan lalu lintas, serta kecepatan dan waktu tempuh aktual kendaraan.1 Setiap variabel diberi skor dari 1 (sangat buruk) hingga 6 (sangat baik).
- Analisis Tingkat Kepentingan Area: Ini adalah "wawancara mendalam" untuk memahami peran strategis jalan tersebut. Sebuah jalan yang mulus di daerah terpencil tentu memiliki prioritas berbeda dengan jalan yang sedikit bergelombang tetapi merupakan satu-satunya akses ke pelabuhan utama. Peneliti menilai seberapa vital sebuah ruas jalan dengan melihat perannya dalam mendukung Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Sistem Logistik Nasional (Sislognas), koridor ekonomi, kawasan pariwisata strategis, hingga akses ke area pertambangan dan perkebunan.1 Setiap variabel ini diberi skor dari 1 (sangat penting) hingga 4 (tidak penting).
Dengan menggabungkan hasil "pemeriksaan fisik" dan "wawancara mendalam" ini, metode MCA memungkinkan penyusunan program pemeliharaan yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga efisien dan tepat sasaran secara strategis. Program yang diusulkan diharapkan menjadi solusi optimal yang menjawab kebutuhan nyata di lapangan, sejalan dengan target ambisius pemerintah pusat.
Paradoks Jalan Mulus Tapi Lambat: Temuan yang Menipu Sekaligus Mengejutkan
Ketika program pemeliharaan yang dirancang dengan cermat ini dijalankan selama lima tahun (2015-2019), hasilnya di atas kertas tampak luar biasa. Laporan kemajuan proyek menunjukkan serangkaian pencapaian yang bisa dibanggakan dan menandakan keberhasilan program. Data menunjukkan bahwa kondisi jalan nasional di Sumatera Selatan mengalami transformasi dramatis.
Pertama, dari sisi kapasitas, terjadi sebuah lompatan kuantum. Pada tahun 2014, hanya sekitar 73,76% dari total panjang jalan nasional di provinsi tersebut yang memiliki lebar standar minimum 7 meter. Namun pada tahun 2019, angka ini mencapai 100%.1 Bayangkan, hampir seperempat dari seluruh jaringan jalan yang tadinya mungkin sempit dan hanya cukup untuk dua mobil berpapasan dengan was-was, kini telah diperlebar menjadi standar jalan arteri yang layak. Secara teori, ini seharusnya mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas.
Kedua, kualitas permukaan jalan menunjukkan perbaikan yang tak kalah impresif. Tingkat kerataan jalan, yang diukur dengan nilai IRI, membaik secara signifikan. Persentase jalan dengan kondisi sangat mulus (nilai ) meroket dari 56,66% pada tahun 2014 menjadi 90,37% pada tahun 2019.1 Ini berarti, sembilan dari sepuluh kilometer perjalanan kini terasa mulus, nyaris tanpa guncangan berarti—sebuah standar kenyamanan yang didambakan setiap pengemudi. Demikian pula dengan kerusakan permukaan, yang diukur dengan SDI. Pada tahun 2019, 97,65% jalan berada dalam kondisi sangat baik (nilai ), yang berarti hampir seluruh jaringan jalan secara visual tampak nyaris sempurna, bebas dari retakan dan lubang yang membahayakan.1
Namun, di balik angka-angka keberhasilan yang gemilang ini, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan dan mengejutkan. Ketika para peneliti melihat indikator kinerja utama—yaitu kecepatan dan waktu tempuh—mereka menemukan sebuah kegagalan yang spektakuler.
Meskipun jalanan sudah 100% lebar dan lebih dari 90% mulus, ternyata hanya 18,50% dari total jaringan jalan yang berhasil mencapai target kecepatan ideal di atas . Lebih parah lagi, hanya 17,32% yang mampu memenuhi target waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 km pada tahun 2019.1 Ini adalah sebuah paradoks yang menusuk: pemerintah seolah telah memberikan sebuah mobil balap (infrastruktur jalan yang lebar dan mulus), tetapi lintasannya ternyata penuh dengan kelokan tajam dan rintangan tak terlihat sehingga mobil itu tidak pernah bisa dipacu hingga kecepatan maksimalnya. Akibatnya, lebih dari 80% jaringan jalan nasional di wilayah studi gagal berfungsi sebagai arteri primer yang sesungguhnya, sebuah fungsi yang menjadi inti dari seluruh rencana strategis tersebut.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Cara Kita Membangun Jalan?
Kegagalan massal dalam mencapai target kecepatan dan waktu tempuh memaksa kita untuk bertanya lebih dalam: apa sebenarnya biang keladi masalah ini? Jawaban yang disodorkan oleh penelitian ini sangat jelas dan berpotensi mengubah arah kebijakan infrastruktur di Indonesia. Penyebabnya bukanlah kualitas aspal, kepadatan lalu lintas, atau kurangnya pemeliharaan rutin. Hambatan utama terletak pada faktor yang selama ini luput dari perhatian program pemeliharaan: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "geometri jalan di bawah standar"? Secara sederhana, ini adalah desain fisik dari sebuah jalan. Bayangkan sebuah jalan dengan tikungan yang terlalu tajam untuk dilalui dengan kecepatan tinggi, tanjakan yang sangat curam sehingga memaksa truk-truk besar berjalan merangkak dan menciptakan antrean panjang di belakangnya, atau turunan berbahaya yang menuntut pengereman konstan. Inilah contoh-contoh nyata dari geometri yang buruk. Sebagus apa pun aspalnya atau selebar apa pun jalannya, kendaraan tidak akan pernah bisa melaju cepat dan aman di lintasan dengan desain seperti itu.
Di sinilah letak "titik buta" dari sebuah strategi yang di atas kertas tampak sempurna. Program pemeliharaan yang menelan biaya besar ini ternyata hanya berfokus pada "kosmetik" jalan—membuatnya tampak mulus dan lebar—sambil mengabaikan "kerangka tulangnya", yaitu desain geometris yang menentukan performa sesungguhnya. Ini seperti merenovasi sebuah rumah dengan cat paling mahal dan perabotan mewah, tetapi membiarkan fondasi yang miring dan struktur bangunan yang bermasalah tetap tak tersentuh. Hasilnya mungkin indah dipandang, tetapi tidak fungsional dan tidak akan bertahan lama.
Temuan ini mengungkap adanya sebuah kelemahan sistemik dalam cara kita mendefinisikan dan mengukur keberhasilan proyek infrastruktur. Program di Sumatera Selatan ini berhasil jika diukur dari metrik output (keluaran), seperti kilometer jalan yang dilebarkan atau persentase jalan dengan IRI yang baik. Namun, program ini gagal total jika diukur dari metrik outcome (hasil akhir), yaitu efisiensi perjalanan bagi pengguna jalan.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan yang kritis antara apa yang dibangun dan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Fokus pada target-target fisik yang mudah diukur dan dilaporkan, seperti lebar jalan dan kualitas permukaan, telah mengesampingkan pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, tetapi pada akhirnya jauh lebih berdampak: perbaikan geometri jalan. Kegagalan ini bukanlah kegagalan dalam eksekusi pelebaran atau pengaspalan, melainkan kegagalan dalam desain program intervensi itu sendiri. Ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh proyek infrastruktur di Indonesia: keberhasilan sejati harus diukur dari pengalaman akhir pengguna dan dampak ekonominya, bukan sekadar dari selesainya pekerjaan konstruksi fisik.
Dampak Nyata dan Arah Kebijakan di Masa Depan
Paradoks jalan mulus tapi lambat ini bukanlah sekadar anomali teknis; ia memiliki dampak nyata yang merugikan bagi ekonomi dan masyarakat luas. Ketika jalan arteri utama tidak berfungsi sebagaimana mestinya, efek dominonya terasa di berbagai sektor.
Bagi dunia usaha dan industri logistik, jalan yang lambat berarti biaya operasional yang membengkak. Setiap jam tambahan yang dihabiskan di jalan berarti konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi, biaya upah pengemudi yang meningkat, dan jadwal pengiriman yang molor. Keterlambatan ini dapat mengganggu rantai pasok, meningkatkan risiko kerusakan barang, dan pada akhirnya, semua biaya tambahan ini akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih mahal.
Bagi perekonomian daerah, konektivitas yang buruk adalah penghambat utama pertumbuhan. Akses yang lambat ke pelabuhan, bandara, atau pusat-pusat industri akan menghalangi masuknya investasi baru. Produk-produk lokal, seperti hasil pertanian atau perkebunan, menjadi lebih sulit dan mahal untuk didistribusikan ke pasar yang lebih luas, sehingga menurunkan daya saingnya. Akibatnya, potensi ekonomi daerah tidak dapat berkembang secara optimal.
Bagi masyarakat umum, ini adalah soal waktu yang terbuang sia-sia di perjalanan, mengurangi produktivitas kerja dan waktu berharga bersama keluarga. Tingkat stres yang lebih tinggi dan risiko kecelakaan di jalan dengan geometri berbahaya juga menjadi konsekuensi langsung.
Melihat dampak yang begitu luas, temuan penelitian ini mendesak adanya perubahan fundamental dalam arah kebijakan infrastruktur. Pemerintah tidak bisa lagi hanya berfokus pada program "preservasi" atau pemeliharaan kondisi jalan yang ada. Langkah selanjutnya haruslah menuju "modernisasi" jalan nasional, yang berarti intervensi yang lebih berani dan mendasar. Anggaran di masa depan harus secara spesifik dialokasikan untuk program perbaikan geometri. Ini bisa berarti meluruskan tikungan-tikungan tajam, melandaikan tanjakan-tanjakan ekstrem, atau bahkan membangun infrastruktur baru seperti flyover, underpass, atau jalan lingkar (bypass) untuk mengatasi titik-titik kemacetan kronis yang disebabkan oleh desain jalan yang usang.1
Jika temuan dari penelitian ini diadopsi sebagai cetak biru kebijakan infrastruktur nasional, fokus investasi yang beralih dari sekadar pelapisan aspal ke perbaikan desain geometris bisa menjadi game-changer. Ini berpotensi memangkas waktu tempuh logistik di koridor-koridor utama hingga 20-30% dan secara langsung mengurangi biaya transportasi barang nasional secara signifikan dalam satu dekade ke depan, membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan efisien.
Pada akhirnya, untuk membangun Indonesia yang benar-benar terhubung dan berdaya saing secara ekonomi, kita membutuhkan lebih dari sekadar jalan yang mulus dan lebar. Kita membutuhkan jalan yang cerdas—jalan yang direkayasa untuk performa, dirancang dengan presisi, dan dibangun untuk kecepatan. Jalan ke depan bukanlah tentang melapisi lebih banyak kilometer aspal, tetapi tentang mendesain ulang kilometer-kilometer tersebut untuk masa depan.
Sumber Artikel:
Ardhiarini, R. (2016). Identification of National Road Maintenance Needs based on Strategic Plan of Directorate General of Bina Marga (2015-2019). Journal of the Civil Engineering Forum, 2(2), 75–84.