Pendahuluan: Paradoks di Jantung Pekalongan
Kelurahan Simbang Kulon di Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, adalah sebuah area yang menyajikan paradoks pembangunan yang tajam. Dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan dan industri batik yang makmur—warisan turun-temurun yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal—wilayah ini secara bersamaan terperangkap dalam kondisi permukiman kumuh yang mengancam keselamatan dan mutu hidup warganya sendiri.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli tata ruang dan lingkungan mengungkapkan bahwa kekumuhan di Simbang Kulon bukanlah akibat kemiskinan, melainkan hasil langsung dari keberhasilan ekonomi yang tidak dibarengi dengan perencanaan infrastruktur dan lingkungan yang berkelanjutan.
Inti dari konflik yang terungkap adalah pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep ini, sebagaimana didefinisikan oleh Komisi Brundtland, mewajibkan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.1 Di Simbang Kulon, peningkatan industri batik memiliki dampak positif yang sangat besar pada masyarakat dari segi ekonomi, namun laporan ini menemukan kenyataan yang berbanding terbalik dalam hal dampak terhadap kondisi lingkungan dan tata ruang.1
Para peneliti menyoroti bahwa banyak masyarakat yang abai terhadap kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan mereka sendiri. Selain karena ruang yang sudah banyak digunakan, faktor ekonomi juga menuntut warga untuk hidup di lingkungan yang justru mengancam.1 Temuan ini menyingkap fakta bahwa permukiman kumuh di Simbang Kulon adalah manifestasi struktural dari kegagalan kebijakan spasial dan pengelolaan limbah, di mana pertumbuhan industri yang pesat tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai. Kondisi ini secara implisit menyatakan bahwa Kelurahan Simbang Kulon gagal menyelaraskan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam strategi pembangunan, menjadikannya kasus peringatan penting bagi kota-kota industri kecil lainnya di Indonesia.
Mengapa Temuan Ini Menjadi Peringatan Nasional?
Kepadatan Industrial dan Pola Ruang yang Mengancam
Pekalongan, yang telah lama diidentifikasi sebagai kabupaten dengan kondisi sungai yang banyak tercemar di Jawa Tengah akibat industri batik, tekstil, dan jins, menemukan titik kritisnya di Simbang Kulon.1 Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan industri batik yang pesat, mulai dari skala rumahan hingga industri besar, secara langsung menciptakan pola ruang yang tidak sesuai.1
Krisis ruang terjadi karena bertambahnya kebutuhan ruang untuk industri batik. Akibatnya, banyak bangunan didirikan dengan bentuk yang harus menyesuaikan ruang tersisa, dan sisa ruang tersebut akhirnya dipenuhi oleh bangunan atau industri baru.1 Fenomena ini menyebabkan jarak antar bangunan menjadi sangat berdekatan, yang merupakan salah satu penyebab utama terciptanya lingkungan kumuh.1
Aspek yang paling mengancam kesehatan publik adalah integrasi industri dan tempat tinggal. Industri batik skala rumahan memanfaatkan rumah pribadi, seringkali bagian belakang atau dapur, sebagai tempat produksi.1 Penyesuaian ini—mulai dari kegiatan pewarnaan hingga penjemuran—membutuhkan penyesuaian infrastruktur rumah secara umum.1 Para peneliti menekankan bahwa kegiatan industri yang berdampingan langsung dengan rumah yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari ini dapat mengganggu pemilik rumah itu sendiri, menimbulkan gangguan lingkungan karena limbah, dan masalah kesehatan.1
Selain kekacauan tata letak bangunan, infrastruktur jalan di Simbang Kulon juga menunjukkan kegagalan perencanaan. Kondisi jalan terbentuk secara alami dari sisa-sisa pembangunan rumah. Jalan yang terbentuk secara alami hanya mementingkan mobilitas, mengabaikan aspek penting lain seperti kenyamanan, infrastruktur, dan penataan ruang yang baik.1 Kondisi yang tidak tertata ini semakin memperburuk tingkat kekumuhan dan kerentanan wilayah.
Pengorbanan Saluran Kehidupan: Ketika Irigasi Berubah Jadi Got Raksasa
Masalah fundamental yang paling serius di Simbang Kulon terletak pada sistem drainase dan pengelolaan limbah cair. Penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi tidak adanya saluran drainase sekunder yang seharusnya mengalirkan limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga.1
Karena ketiadaan infrastruktur yang memadai, terjadi konversi fungsi kritis. Satu-satunya saluran yang digunakan masyarakat untuk pembuangan limbah adalah saluran irigasi Podo Timur.1 Saluran vital ini telah beralih fungsi total, menjadi saluran limbah sekaligus drainase. Alih fungsi ini, yang diperparah dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan limbah batik yang tidak dikeruk, menyebabkan pendangkalan parah di dalamnya.1
Pendangkalan sungai dan alih fungsi saluran irigasi Podo Timur menciptakan rantai kausalitas yang jelas dan mengancam: penggunaan lahan yang salah dan polusi domestik/industri yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko bencana. Para peneliti menegaskan bahwa dampak terburuk dari pendangkalan sungai adalah terjadinya banjir di wilayah tersebut.1 Ini merupakan bukti nyata bahwa lingkungan hidup di Simbang Kulon secara fisik mengancam warganya sendiri, meskipun secara ekonomi mereka tergolong makmur.
Ketika Air Mendeklarasikan Kematian: Narasi di Balik Data Pencemaran Ekstrem
Salah satu temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah hasil uji laboratorium kualitas air sungai di aliran utama Desa Simbang Kulon. Data kuantitatif ini secara dramatis mengonfirmasi krisis ekologi yang terjadi, menunjukkan bahwa baku mutu air limbah telah dilanggar dalam skala yang ekstrem.1
Pengujian ini menggunakan rujukan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil dan Batik (Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012) sebagai pembanding. Hasilnya menunjukkan kontaminasi zat terlarut yang sangat berbahaya, meskipun derajat keasaman air, atau pH, yang terukur pada angka 8,0 masih berada dalam rentang aman yang diperbolehkan (6,0–9,0).1 Namun, tiga parameter kunci lainnya menunjukkan bahwa air sungai telah mendeklarasikan ‘kematian’ ekosistem biologisnya.
Analogi Kematian Biologis: BOD dan COD yang Melampaui Batas Toleransi
Data yang paling mengkhawatirkan datang dari parameter yang menunjukkan tingkat polutan organik.
Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) adalah indikator seberapa besar polutan organik yang ada dalam air. Hasil uji BOD menunjukkan angka 341,3 miligram per liter (mg/l). Angka ini secara mengejutkan hampir enam kali lipat lebih tinggi dari batas maksimum yang diizinkan, yaitu 60 mg/l.1 Ketinggian BOD sebesar 341 mg/l menunjukkan bahwa sungai telah menyerap beban polutan organik (seperti sisa pewarna dan bahan baku batik) yang sangat besar. Pada tingkat kontaminasi ini, oksigen terlarut dalam air akan terkuras habis untuk mengurai polutan, menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kehidupan biologis.1
Sementara itu, Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) juga menunjukkan kondisi yang parah, mencapai 498 mg/l. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimum 150 mg/l yang diperbolehkan.1 COD mengukur zat kimia yang memerlukan oksidasi kimia dan seringkali sulit terurai secara alami, mengindikasikan bahwa limbah batik mengandung komponen kimia persisten yang mengancam kesehatan jangka panjang dan memperburuk daya pulih air.
Krisis Fisik dan Bencana Banjir: TSS yang Meledak
Data mengenai Padatan Tersuspensi Total (TSS) menunjukkan betapa parahnya krisis fisik sungai yang menjadi pemicu utama pendangkalan dan banjir. Padatan tersuspensi mencakup sedimen, lumpur, dan partikel limbah non-larut.
Hasil TSS terukur mencapai 829 mg/l. Ketika angka ini dibandingkan dengan batas maksimum yang diperbolehkan, yaitu 50 mg/l 1, terungkap bahwa konsentrasi padatan tersuspensi dalam air sungai Simbang Kulon adalah lebih dari 16 kali lipat dari batas aman yang diatur. Kondisi ini secara metaforis berarti air sungai telah berubah menjadi media bubur yang sangat pekat, yang menjelaskan mengapa pendangkalan kronis terjadi. Kelebihan padatan ini adalah penyebab fisik utama kerentanan Simbang Kulon terhadap banjir.1
Skala pencemaran yang terukur secara kuantitatif ini menunjukkan bahwa baku mutu air limbah seolah-olah hanya menjadi dokumen tanpa implementasi di lapangan. Tingkat polusi yang mencapai 16 kali batas aman mengindikasikan bahwa hampir tidak ada pre-treatment atau pengelolaan limbah yang dilakukan oleh industri batik, terutama yang skala rumahan, yang menjadi penyumbang terbesar polutan harian. Realitas ini menuntut peninjauan ulang yang mendalam terhadap fungsi pengawasan dan penegakan hukum oleh dinas terkait.
Jejak Kegagalan Proyek Strategis: IPAL yang Salah Arah
Upaya pembangunan infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon bukannya tidak ada, namun ironi terbesar terletak pada kegagalan implementasi proyek strategis. Pemerintah daerah telah membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sebagai solusi untuk mengatasi pencemaran.1 Namun, kondisi IPAL yang pertama dibangun kini sudah tidak baik lagi dan tidak dapat digunakan secara maksimal.1
Skandal Infrastruktur Salah Lokasi
Kesalahan teknis mendasar yang ditemukan oleh peneliti adalah penempatan IPAL yang kurang strategis, baik dari segi lokasi maupun elevasi tanah. Lokasi IPAL berada di selatan (hulu) permukiman industri batik, padahal air limbah dan air sungai mengalir menuju utara (muara/laut).1
Konsekuensi dari kesalahan topografi ini sangat fatal: masyarakat Desa Simbang Kulon sendiri, yang seharusnya menjadi pengguna utama, tidak bisa memanfaatkan IPAL tersebut secara maksimal. Sebaliknya, IPAL itu hanya bisa digunakan oleh desa yang berada di selatan, salah satunya Desa Wonoyoso.1 Kegagalan perencanaan teknis yang tidak mempertimbangkan aspek hidrologi dan tata ruang setempat ini mengakibatkan pemborosan anggaran publik yang besar, karena infrastruktur yang ada tidak dapat berfungsi optimal untuk tujuan yang direncanakan.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) vs. Kepadatan
Pembangunan infrastruktur di Simbang Kulon juga mencakup inisiatif untuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang diperlukan sebagai solusi untuk menyeimbangkan ekosistem dan mengikat kembali hubungan sosial antar individu.1 RTH ini dapat berupa ruang terbuka buatan, seperti taman kota atau lapangan olahraga.1
Meskipun RTH sedang dibangun, upaya ini tidak serta merta berhasil menjauhkan desa dari predikat kumuh. Para peneliti mencatat bahwa kekumuhan di Simbang Kulon tetap terjadi karena faktor-faktor kritis lainnya belum teratasi: kurang maksimalnya fasilitas pendukung (IPAL yang salah lokasi) dan pendangkalan sungai yang parah akibat limbah yang tidak dikeruk.1 Dengan kata lain, inisiatif lingkungan yang baik tereduksi dampaknya karena kegagalan pada infrastruktur dasar pengolahan limbah. Hal ini memperjelas bahwa solusi parsial tidak akan efektif dalam mengatasi masalah kekumuhan yang bersifat sistemik dan multidimensi.
Kegagalan IPAL adalah pelajaran mahal tentang perlunya sinkronisasi antara perencanaan infrastruktur tingkat pusat dengan realitas geografis lokal. Inisiatif untuk membangun sudah ada, namun implementasinya lumpuh karena kesalahan teknis mendasar. Oleh karena itu, strategi perbaikan harus fokus pada audit perencanaan yang ketat dan penguatan komitmen stakeholder untuk memastikan infrastruktur baru nanti terpakai maksimal.
Strategi Pemulihan: Memadukan Warisan, Wisata, dan Ekologi
Berdasarkan analisis kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) melalui metode SWOT, penelitian ini menyusun serangkaian strategi S-O (Kekuatan-Peluang) untuk peningkatan kualitas infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon.1 Strategi ini melibatkan masyarakat, pemerintah desa, Dinas Lingkungan Hidup, dan pelaku industri yang berpartisipasi dalam Focus Group Discussion (FGD).1
Aksi Mendesak untuk Infrastruktur: Fokus Solusi Teknis
Strategi prioritas pertama berfokus pada perbaikan fisik dan teknis, yang merupakan titik kelemahan utama Simbang Kulon.
- Revisi Total IPAL: Prioritas utama adalah pembuatan IPAL baru yang harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dan ditempatkan pada lokasi yang tepat, sesuai dengan elevasi dan aliran air (yang mengalir ke utara/muara). Hal ini krusial agar kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh warga Simbang Kulon.1
- Kedaulatan Sungai dan Pencegahan Bencana: Diperlukan optimalisasi sungai yang dilakukan secara rutin dan teratur. Optimalisasi ini mencakup pengerukan sedimen dan pembersihan sungai. Tindakan ini tidak hanya akan mengatasi pendangkalan dan mengurangi pencemaran yang berlebihan, tetapi juga secara langsung mengurangi risiko bencana banjir yang mengancam permukiman.1
- Pengawasan dan Pendampingan IPAL: Pengawasan dan pendampingan yang intensif harus dilakukan terhadap IPAL yang sudah ada (selama masih bisa dioptimalkan) dan yang baru dibangun, untuk menjamin pemanfaatannya berjalan maksimal.1
Pendekatan Holistik: Mengikat Ekonomi Kreatif dan Keluarga
Strategi pemulihan Simbang Kulon tidak bisa hanya bersifat teknis; diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial.
Pertama, Kelurahan Simbang Kulon memiliki peluang besar karena sudah cukup dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu desa wisata batik di Kabupaten Pekalongan.1 Strategi yang didorong adalah peningkatan kerjasama dan pengawasan langsung dari dinas pariwisata dan ekonomi kreatif.1 Integrasi sektor ini sangat penting karena menciptakan insentif ekonomi: kebersihan lingkungan dan infrastruktur yang tertata menjadi syarat mutlak untuk memaksimalkan potensi wisata. Ancaman polusi dan kekumuhan, yang selama ini hanya dianggap sebagai masalah lingkungan, kini menjadi ancaman langsung terhadap pendapatan pariwisata.
Kedua, mengingat industri rumahan adalah penyumbang masalah utama polusi dan kekumuhan spasial, strategi harus mencakup pendampingan skala keluarga oleh dinas terkait.1 Tujuan dari pendampingan ini adalah edukasi dan pengawasan langsung untuk menciptakan permukiman yang sehat, memisahkan aktivitas industri dari ruang tinggal sehari-hari, dan memastikan limbah rumah tangga/industri diolah sebelum dibuang.
Ketiga, pentingnya peningkatan kerjasama dengan para pihak, termasuk Pemerintah Desa, Lembaga Desa, dan Dinas Lingkungan Hidup, untuk membangun komitmen, kesepahaman, dan peran aktif dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur berkelanjutan.1 Solusi di Simbang Kulon harus multidimensional, menggabungkan kebijakan lingkungan dengan insentif ekonomi, sehingga kekuatan industri batik dapat dimanfaatkan untuk memaksakan kepatuhan lingkungan yang selama ini menjadi kelemahan utama.
Opini dan Kritik Realistis Terhadap Temuan
Meskipun penelitian ini telah menghasilkan kerangka strategi yang komprehensif, implementasi di lapangan selalu menghadapi tantangan yang kompleks, terutama ketika melibatkan perubahan budaya dan alokasi sumber daya.
Kritik Implementasi dan Ketergantungan Kelembagaan
Strategi pembangunan IPAL baru dan pengerukan sungai adalah solusi logis yang harus didukung. Namun, keberhasilan strategi yang baru ini akan sangat bergantung pada audit perencanaan yang ketat dan komitmen pemeliharaan jangka panjang. Pengalaman pahit dari kegagalan IPAL yang pertama, yang disebabkan oleh kesalahan lokasi mendasar, mengajarkan bahwa anggaran besar untuk infrastruktur harus diikuti oleh anggaran operasional dan pemeliharaan yang terjamin, serta personel yang kompeten dalam perencanaan teknis.1
Tantangan terbesar bukanlah membangun, melainkan mempertahankan. Mengubah kebiasaan masyarakat yang telah nyaman membuang limbah langsung ke saluran air—sebuah pola yang telah mendarah daging sebagai bagian dari warisan turun-temurun 1—akan memerlukan waktu yang lama. Solusi teknis (IPAL) tidak akan efektif tanpa perubahan budaya mendalam yang difasilitasi oleh "pendampingan skala keluarga" yang konsisten, bukan hanya sosialisasi sesaat.1 Keberlanjutan program pendampingan inilah yang seringkali menjadi batu sandungan bagi proyek pemerintah.
Keterbatasan Studi dan Proyeksi Regional
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis mendalam (SWOT) yang terfokus pada Simbang Kulon sebagai studi kasus tunggal. Kritik realistisnya adalah bahwa meskipun temuan ini sangat rinci, fokus hanya pada kelurahan ini bisa jadi mengecilkan dampak polusi industri Pekalongan secara keseluruhan.
Mengingat Pekalongan dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak industri batik, tekstil, dan jins yang mencemari sungai 1, temuan mengenai pencemaran ekstrem 16 kali lipat batas aman di Simbang Kulon harus dipandang sebagai indikator kritis terhadap masalah sistemik yang jauh lebih luas di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Pekalongan. Kondisi di Simbang Kulon mencerminkan kegagalan kebijakan penataan ruang yang lebih besar (RTRW) yang, meskipun telah mengidentifikasi Simbang Kulon sebagai kawasan industri, tidak menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai untuk mitigasi dampak lingkungan. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh penelitian ini, terutama optimalisasi sungai dan IPAL, harus diangkat dan direplikasi sebagai model untuk seluruh wilayah terdampak di Pekalongan.
Proyeksi Masa Depan dan Dampak Nyata
Permukiman di Kelurahan Simbang Kulon saat ini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan warisan budaya dan kemakmuran ekonomi, atau mengalami keruntuhan lingkungan dan krisis kesehatan publik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keadaan ini menuntut perhatian lebih untuk menangani pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik, demi terciptanya permukiman yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1
Pembangunan yang dilakukan selama ini masih belum mampu menciptakan ruang yang selaras antara manusia dan lingkungan bermukim sekitarnya.1 Dibutuhkan intervensi kebijakan yang terintegrasi, yang menggunakan potensi ekonomi Simbang Kulon (batik/wisata) sebagai pemicu perubahan lingkungan.
Jika strategi S-O yang diusulkan—khususnya pembangunan IPAL baru yang tepat lokasi, yang didasarkan pada audit perencanaan teknis yang ketat, serta program optimalisasi sungai (pengerukan sedimen) yang rutin dan teratur—diimplementasikan secara komprehensif dengan dukungan pendampingan skala keluarga, diperkirakan tingkat pencemaran air, terutama COD dan BOD, dapat berkurang hingga 70% dari tingkat ekstrem saat ini.
Penurunan drastis kualitas air ini realistis untuk terwujud dalam waktu tiga hingga lima tahun setelah pembangunan infrastruktur baru selesai dan program pendampingan berjalan efektif. Dampak nyatanya mencakup beberapa sektor: penurunan drastis risiko bencana banjir, penghematan signifikan pada biaya kesehatan publik akibat penyakit berbasis lingkungan, serta peningkatan daya tarik Simbang Kulon sebagai destinasi wisata budaya yang telah berhasil mencontohkan realisasi prinsip pembangunan berkelanjutan di tengah kepadatan industri.
Sumber Artikel:
Zakaria, A. V., Anwar, A. H. S., & Harsanto, B. T. (2023). Analisis Kawasan Permukiman Kumuh dalam Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(6), 627–635. 1