Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konservasi Air Apartemen Depok: Lompatan Teknologi Kunci Penghematan 56%

Dipublikasikan oleh Hansel

10 Desember 2025, 19.07

unsplash.com

Krisis Air Perkotaan: Mengapa Apartemen Harus Jadi Pabrik Daur Ulang Mandiri?

Urbanisasi masif di Pulau Jawa, khususnya di wilayah penyangga ibu kota seperti Depok, telah memicu lonjakan pembangunan gedung vertikal. Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai konstruksi gedung di Indonesia pada tahun 2020 mencapai Rp 438,941 triliun, didukung oleh kepadatan penduduk Jawa Barat yang mencapai $1.365/km^{2}$.1 Fenomena ini membawa konsekuensi lingkungan yang signifikan, salah satunya adalah peningkatan drastis jumlah limbah cair domestik.

Ketika limbah cair dari kegiatan rumah tangga dan perkantoran dibuang tanpa pengolahan yang memadai, pencemaran terhadap badan air lokal atau sungai menjadi tak terhindarkan, mengancam kehidupan di permukaan air.1 Oleh karena itu, konsep bangunan hijau (green building) tidak lagi sekadar tren lingkungan, tetapi telah menjadi keharusan regulasi, terutama pada aspek konservasi air. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI No. 02/PRT/M/2015 mensyaratkan setiap proyek pembangunan harus mengurangi penggunaan air bersih dan menerapkan sistem pengelolaan air limbah yang efektif.1

Proyek Apartemen Samasta Mahata Margonda, yang berlokasi strategis sebagai Transit Oriented Development (TOD) di dekat Stasiun Pondok Cina, berada di garis depan tantangan ini. Untuk memenuhi tuntutan kenyamanan penghuni dan kesehatan lingkungan, serta mencapai sertifikat bangunan hijau, apartemen ini merancang solusi ambisius: sebuah instalasi pengolahan air limbah terpusat (Sewage Treatment Plant atau STP) yang sangat canggih.1 Keputusan memilih STP berteknologi tinggi menunjukkan bahwa keberlanjutan dan ketahanan operasional telah menjadi standar minimum bagi hunian vertikal baru di perkotaan padat.

 

Kebutuhan Air Harian: Skala Masalah di Samasta

Untuk memahami pentingnya sistem daur ulang ini, perlu diukur skala kebutuhan air harian di Samasta Mahata Margonda. Kompleks apartemen yang terdiri dari 27 lantai hunian, fasilitas perkantoran, dan komersil ini melayani total populasi sekitar 4.047 jiwa, mencakup penghuni, pengunjung, dan karyawan.1

Menggunakan metode Unit Beban Alat Plambing (UAP), total kebutuhan air bersih apartemen diperkirakan mencapai $276~m^{3}/hari$. Dari jumlah konsumsi ini, air limbah domestik yang dihasilkan setiap harinya dihitung sebesar 80% dari total kebutuhan air bersih, menghasilkan debit limbah yang harus diolah mencapai $220.8~m^{3}/hari$.1 Volume limbah sebesar ini setara dengan kebutuhan air satu desa kecil per hari. Angka tersebut menegaskan bahwa apartemen tersebut bukan hanya sumber pencemaran yang signifikan, tetapi juga merupakan reservoir sumber daya air potensial yang sangat besar. Mengolah kembali air ini menjadi kunci stabilitas operasional di kawasan urban yang padat.

 

Lompatan Teknologi: Tujuh Lapisan Pemurnian yang Menghasilkan Air Superior

Solusi yang dirancang untuk Apartemen Samasta Mahata Margonda bukanlah STP konvensional. Untuk mengatasi karakteristik air limbah domestik yang kompleks—yang diestimasikan memiliki konsentrasi Biochemical Oxygen Demand (BOD) hingga $382~mg/L$, Chemical Oxygen Demand (COD) $589~mg/L$, dan amonia mencapai $296.39~mg/L$—perencana memilih arsitektur pengolahan air limbah yang berlapis, terdiri dari delapan unit berbeda.1

Arsitektur STP Canggih: Delapan Unit Pengolahan

Alur pengolahan air limbah domestik ini dirancang secara berurutan untuk memaksimalkan penghilangan polutan, jauh melampaui standar instalasi pengolahan limbah sederhana. Proses ini dimulai dari unit pra-pengolahan:

  1. Bar Screen: Unit mekanik ini bertindak sebagai saringan kasar raksasa, dirancang dengan dua ruang untuk memisahkan benda padat besar seperti plastik, kertas, dan kayu, sebelum masuk ke sistem utama.

  2. Grit Chamber: Unit ini menghilangkan padatan anorganik yang lebih halus seperti sisa tulang atau pasir yang dapat merusak peralatan mekanik pada tahapan selanjutnya.1

Setelah penyaringan fisik, air dialirkan ke proses stabilisasi dan biologis:

3. Bak Ekualisasi: Bak ini berfungsi menstabilkan aliran air limbah, memastikan debit air rata-rata konstan selama 8 jam kontak, sehingga proses biologis selanjutnya berjalan optimal.

4. Suspended Growth (Lumpur Aktif): Inilah inti pengolahan biologis, di mana mikroorganisme memakan dan menghilangkan sebagian besar bahan organik terlarut (BOD dan COD). Volume bak ini adalah $57,83~m^{3}$, membutuhkan asupan oksigen teoritis sebesar $114.94~kg O_{2}/hari$ untuk menjaga efektivitas proses pembersihan.1

5. Sedimentasi Sekunder: Unit berbentuk melingkar (circular clarifier) ini memisahkan lumpur aktif (yang mengandung mikroorganisme) dari air yang telah diolah secara biologis.

Senjata Rahasia: Amonia dan Osmosis Balik

Dua unit terakhir yang tergolong teknologi canggih adalah kunci Samasta mencapai kualitas air yang superior. Pertama, unit Ammonia Stripping.1 Karena air limbah domestik memiliki konsentrasi amonia yang sangat tinggi (hampir $300~mg/L$), unit ini menggunakan proses gas stripping di dalam menara setinggi $2.26$ meter untuk mengurangi amonia ke tingkat yang ditoleransi lingkungan. Target minimum yang harus dicapai adalah $10~mg/L$.1

Kedua, dan yang paling krusial, adalah Reverse Osmosis (RO). Jika proses lumpur aktif menghilangkan kotoran yang terlihat, Reverse Osmosis adalah saringan super yang menghilangkan zat terlarut mikroskopis seperti garam, mineral, atau residu kimia.2 RO dipilih sebagai alternatif pengolahan lanjutan untuk menargetkan kualitas air sebersih mungkin, setara dengan baku mutu aliran Kelas 2.1 Teknologi ini membutuhkan energi yang signifikan (sekitar $4,56~kW$ untuk motornya) 1, namun kemampuannya menghasilkan air yang sangat bersih adalah jaminan keberhasilan daur ulang air domestik di tengah krisis air global.2

Proses diakhiri dengan Klorinasi, di mana klor digunakan untuk desinfeksi, membunuh mikroorganisme patogen terakhir sebelum air hasil olahan disimpan di bak penampungan untuk daur ulang.1

Kualitas Efluen: Melebihi Ekspektasi Hukum

Investasi pada sistem 8-unit, termasuk Reverse Osmosis dan Ammonia Stripping, membuahkan hasil kualitas efluen yang mengejutkan. Data konsentrasi akhir dari air limbah setelah melewati seluruh unit pengolahan menunjukkan kinerja removal yang luar biasa.

Sebagai gambaran perbandingan, STP Samasta mampu menurunkan konsentrasi BOD awal sebesar $382~mg/L$ menjadi hanya $0,54~mg/L$. Sementara itu, COD berhasil diturunkan dari $589~mg/L$ menjadi $2,52~mg/L$. Demikian pula, Padatan Tersuspensi Total (TSS) yang awalnya $564~mg/L$ turun drastis menjadi $10,72~mg/L$, dan Amonia mencapai $4,79~mg/L$.1

Jika baku mutu standar aliran kelas 2 untuk air yang dibuang ke lingkungan (dan dapat digunakan kembali) memiliki batas BOD $3~mg/L$ dan COD $25~mg/L$, STP Samasta menghasilkan air yang jauh lebih bersih. Konsentrasi BOD sebesar $0,54~mg/L$ hampir enam kali lebih bersih dari batas minimal. Kinerja ini memberikan margin keamanan kualitas yang ekstrem. Ini membuktikan bahwa STP Samasta tidak hanya memenuhi standar hukum, tetapi juga dirancang untuk melindungi lingkungan air penerima secara maksimal, sekaligus membuka peluang daur ulang yang sangat aman.1

 

Bukti Nyata Penghematan 56%: Analisis Keuangan dan Keamanan Air

Pemanfaatan air hasil olahan STP merupakan inti dari aspek konservasi air. Air berkualitas tinggi dari proses Reverse Osmosis ini dimanfaatkan untuk dua kebutuhan utama: flushing toilet dan penyiraman tanaman (irigasi).1

Mengkuantifikasi Keamanan Air (Water Security)

Dari total kebutuhan air bersih harian apartemen sebesar $276~m^{3}/hari$, air daur ulang yang dihasilkan oleh STP dapat memenuhi volume sebesar $156,5~m^{3}/hari$. Secara persentase, ini merupakan penghematan air bersih harian sebesar 56%.1

Penghematan ini secara langsung berkontribusi pada ketahanan air apartemen. Kebutuhan terbesar datang dari kegiatan flushing toilet (kloset pribadi 484 buah dan kloset umum 36 buah), yang memerlukan $126~m^{3}/hari$. Kebutuhan ini bersifat konstan sepanjang tahun.1

Sementara itu, kebutuhan untuk penyiraman tanaman (diperkirakan seluas $8.808,5~m^{2}$ dengan asumsi rerumputan) bersifat musiman. Menggunakan data iklim dari Stasiun Klimatologi Bogor, kebutuhan air maksimum (sekitar $30,04~m^{3}/hari$) hanya terjadi pada bulan-bulan kering (Juni hingga September). Selama periode Oktober hingga Mei, air hujan sudah mencukupi kebutuhan irigasi, sehingga air daur ulang tidak diperlukan untuk fungsi tersebut.1 Penghematan 56% ini merupakan jaminan fungsional yang menstabilkan operasi toilet apartemen, fungsi publik paling kritis, tanpa bergantung sepenuhnya pada pasokan air bersih primer.

Investasi Awal dan Kecepatan Pengembalian Modal (ROI)

Sistem STP yang canggih ini tentu membutuhkan investasi modal yang besar. Berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang ditetapkan, total biaya yang dibutuhkan untuk membangun instalasi pengolahan air limbah ini adalah Rp1.092.855.422,56.1

Rincian biaya menunjukkan bahwa sebagian besar alokasi dialokasikan untuk pekerjaan beton bertulang, finishing beton, dan yang terbesar adalah pekerjaan instalasi pengolahan itu sendiri, mencakup peralatan mekanik seperti Reverse Osmosis dan pompa.1

Meskipun investasi awal mencapai miliaran rupiah, efisiensi operasional STP menawarkan pengembalian modal (ROI) yang sangat menarik. Apabila kita mengambil rata-rata konservatif tarif air komersial di Depok sekitar Rp5.000 per meter kubik (berdasarkan kisaran tarif yang berlaku di perkotaan, yang bisa mencapai hingga Rp8.800 per $m^{3}$) 4, penghematan biaya operasional harian yang dihasilkan oleh STP adalah sebagai berikut: $$156,5~m^{3}/hari \times Rp 5.000/m^{3} = Rp 782.500/hari$$

Secara tahunan, penghematan operasional ini mencapai sekitar Rp285 juta. Dengan investasi awal sebesar Rp1,092 Miliar, sistem STP ini mencapai titik impas (break-even point) dalam waktu sekitar 3.8 tahun atau sekitar 45 bulan. ROI dalam jangka waktu kurang dari empat tahun untuk infrastruktur vital sebesar ini adalah argumen finansial yang sangat kuat. Hal ini membuktikan bahwa praktik konservasi air yang berkelanjutan di perumahan urban padat bukan hanya altruisme lingkungan, tetapi merupakan keharusan ekonomi yang mampu melikuidasi dirinya sendiri dalam jangka waktu yang relatif cepat.

 

Ironi Bangunan Hijau: Di Mana Rencana Gagal Menyambut Teknologi?

Meskipun Samasta Mahata Margonda telah berinvestasi pada teknologi pengolahan air limbah yang superior, hasil penilaian formal terkait sertifikasi Bangunan Hijau menunjukkan kontradiksi yang ironis.

Skor Greenship WAC yang Kontroversial (9/21)

Aspek konservasi air (Water Conservation atau WAC) dinilai berdasarkan Greenship rating tools untuk bangunan baru versi 1.2.1 Hasil penilaian menunjukkan bahwa proyek Samasta hanya mendapatkan 9 poin dari total 21 poin maksimum dalam kategori WAC.1

Meskipun skor totalnya rendah, proyek ini menunjukkan komitmen pada beberapa kriteria dasar. Samasta berhasil meraih poin penuh pada WAC 2 (Fitur Air Efisien), WAC 4 (Sumber Air Alternatif, seperti pemanfaatan kondensat AC), dan WAC 5 (Penampungan Air Hujan).1 Ini menunjukkan bahwa langkah-langkah konservasi dasar telah diterapkan dengan baik. Namun, kelemahan mendasar yang menyita perhatian muncul pada kriteria inti.

Kegagalan Kritis WAC 3: Teknologi Over-Qualified

Titik pukulan terbesar dalam penilaian ini adalah perolehan 0 poin dari 3 poin maksimal pada kriteria WAC 3 (Daur Ulang Air).1

Ini menciptakan kontradiksi teknologis yang parah. Di satu sisi, perencana telah memilih dan merancang STP 8-unit yang sangat canggih, menggunakan Reverse Osmosis dan menghasilkan air dengan kualitas BOD $0,54~mg/L$, yang secara ilmiah jauh lebih bersih daripada baku mutu Standar Aliran Kelas 2. Kualitas air ini sudah terbukti memadai untuk penggunaan kembali, termasuk flushing toilet.1

Di sisi lain, proyek tersebut gagal mendapatkan poin WAC 3 karena, sebagaimana diungkapkan oleh peneliti, pihak pengembang hanya berkomitmen menggunakan air daur ulang untuk siram tanaman, dan secara eksplisit tidak memanfaatkan air untuk flushing toilet.1 Ini berarti teknologi yang dipasang memiliki kualifikasi kelas dunia, tetapi implementasi kebijakan dan integrasi sistem di dalam gedung (seperti jalur pipa daur ulang air) belum mencapai ambisi teknis yang seharusnya. Dalam narasi jurnalistik, ini adalah cerita tentang insinyur yang unggul, tetapi perencana yang stagnan.

Implikasi Kebijakan: Kesenjangan antara Insinyur dan Perencana

Kegagalan meraih poin pada WAC 3, ditambah dengan perolehan 0 dari 8 poin pada kriteria WAC 1 (Pengurangan Penggunaan Air) 1, mengindikasikan bahwa Samasta belum optimal dalam menerapkan filosofi konservasi air secara menyeluruh. Kesenjangan ini menyoroti risiko umum dalam proyek green building: teknologi canggih dibeli dan dipasang, namun integrasi fungsionalnya ke dalam infrastruktur bangunan tidak maksimal.

Jika air sebersih ini (melebihi standar kelas 2) tidak digunakan untuk flushing toilet—sebuah fungsi yang memerlukan $126~m^{3}/hari$ air daur ulang—maka investasi miliaran rupiah untuk Reverse Osmosis menjadi kurang berdaya guna dalam konteks penghematan air domestik harian.

Ironi ini harus menjadi pembelajaran kritis bagi pembuat kebijakan. Karena tekanan air di perkotaan terus meningkat, kriteria WAC 3 (Daur Ulang Air) seharusnya didorong menjadi prasyarat wajib untuk semua proyek TOD dan apartemen skala besar. Kegagalan Samasta menunjukkan bahwa jika kriteria ini dibiarkan opsional, pengembang mungkin memilih untuk tidak mengimplementasikan infrastruktur daur ulang internal yang diperlukan, meskipun secara teknis sistem pengolahan limbah mereka sudah lebih dari mampu.5

 

Rekomendasi dan Visi Lima Tahun: Standar Emas Baru Konservasi Urban

Analisis mendalam terhadap perancangan STP Samasta Mahata Margonda menunjukkan bahwa proyek ini adalah contoh cemerlang dari segi kemampuan teknis, tetapi terhambat oleh keputusan implementasi non-teknis.

Mendesak Adopsi Penuh dan Koreksi Skor

Rekomendasi yang paling mendesak dan langsung dari penelitian ini adalah agar pihak pengembang segera mengintegrasikan air daur ulang berkualitas tinggi ini untuk fungsi flushing toilet, seperti yang direkomendasikan oleh para peneliti.1

Penerapan fungsi flushing toilet akan otomatis memberikan tambahan 3 poin pada kriteria WAC 3 dan berpotensi meningkatkan skor pada WAC 1, yang mengukur keseluruhan pengurangan penggunaan air bersih. Jika Samasta dapat mengoreksi kekurangan implementasi ini, total poin WAC mereka dapat melonjak mendekati standar proyek green building unggulan lainnya yang biasanya meraih 18 dari 21 poin, memperkuat status Samasta sebagai bangunan hijau yang sesungguhnya. Proyek ini harus memadukan kecanggihan teknologinya dengan ambisi implementasi kebijakan yang setara.

Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Replikasi model STP canggih yang terdiri dari delapan unit pengolahan, dilengkapi dengan teknologi Reverse Osmosis dan Ammonia Stripping, merupakan blueprint yang efektif untuk infrastruktur TOD di Indonesia. Model ini memastikan bahwa pengembang tidak hanya mematuhi baku mutu limbah (Permen LHK No. 68 Tahun 2016), tetapi juga mencapai kualitas air yang melampaui batas (Standar Aliran Kelas 2 dari PP No. 22 Tahun 2021).1

Jika pengembang Apartemen Samasta Mahata Margonda menerapkan rekomendasi peneliti—yaitu memaksimalkan penggunaan air daur ulang untuk siram toilet dan tanaman—sistem ini akan menjamin penghematan biaya operasional air sebesar Rp285 Juta per tahun dengan periode balik modal di bawah empat tahun. Model ini harus menjadi blueprint wajib bagi infrastruktur TOD, memastikan bahwa dalam waktu lima tahun, setiap bangunan vertikal bukan hanya konsumen air, tetapi juga pabrik pengolahan mandiri, menjamin keberlanjutan sumber daya di tengah krisis urbanisasi.

 

Sumber Artikel:

Peran Penting Reverse Osmosis dalam Mengatasi Krisis Air Bersih Global - Artikel Indotara, diakses November 18, 2025, https://indotara.co.id/pentingnya-penggunaan-mesin-water-softener-dalam-pengolahan-air&id=1818.html