Pendahuluan: Bom Waktu di Utara Bali yang Menanti Regulasi
Kabupaten Buleleng, yang membentang di pesisir utara Bali, adalah wilayah terluas di Pulau Dewata, mencakup 24,25% dari total luas Bali.1 Dengan peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan laju pertumbuhan mencapai 2,33% pada tahun 2020, kebutuhan akan perumahan dan papan telah menjadi kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.1 Permintaan yang tinggi ini, meskipun menciptakan lahan baru bagi pengembang, secara bersamaan menimbulkan serangkaian permasalahan kompleks yang kini mengancam kesejahteraan dan keamanan wilayah tersebut.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan masyarakat dapat bertempat tinggal secara layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis, dan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.1 Namun, penelitian yang dilakukan dalam konteks penyusunan Naskah Akademik Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Kabupaten Buleleng mengungkap realitas yang jauh dari ideal.
Kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan kebutuhan riil masyarakat—yang dikenal sebagai backlog—masih tinggi. Selain itu, masalah rumah tidak layak huni, prasarana sarana utilitas (PSU) yang terlantar, alih fungsi lahan pertanian, dan meluasnya permukiman kumuh menjadi tantangan mendesak.1 Yang paling krusial, hingga saat penelitian ini dilakukan, Kabupaten Buleleng belum memiliki regulasi resmi yang mengatur pembangunan dan pengembangan perumahan. Ketiadaan aturan ini menciptakan kekosongan regulasi yang memberi insentif bagi pengembang atau penduduk untuk membangun tanpa memperhatikan standar lingkungan dan teknis, sebuah kondisi yang secara sistematis melahirkan dan melanggengkan kekumuhan.1
RP3KP, oleh karena itu, bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan alat mitigasi risiko hukum, fisik, dan sosial. Studi ini hadir untuk mengkaji bagaimana pembangunan harus diarahkan agar sejalan dengan rencana pembangunan di sektor lain, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan yang terpenting, mencegah krisis permukiman yang lebih dalam.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Ancaman Tujuh Indikator Kekumuhan
Penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif ini mengambil sampel di lokasi yang memiliki perkembangan perumahan dan permukiman pesat, termasuk permukiman kumuh seperti Desa Pengastulan dan Kelurahan Kampung Baru.1 Temuan utama dari survei ini adalah pengungkapan kerapuhan struktural dan administrasi yang ekstrem, yang menempatkan wilayah padat penduduk di ambang bencana sosial dan fisik.
Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa perumahan dan permukiman di Buleleng, yang diuji menggunakan tujuh indikator aspek lingkungan, memiliki kondisi rata-rata tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1 Analisis ini mengubah masalah permukiman dari sekadar masalah estetika lingkungan menjadi sebuah krisis keamanan publik yang terukur.
A. Jantung Krisis: Ketidakteraturan dan Kepadatan yang Menggila
Data survei menunjukkan adanya kekacauan tata ruang yang mengakar, yang merupakan penyebab utama dari kegagalan infrastruktur lainnya.
- Ketidakteraturan Tata Ruang: Di semua sampel lokasi, tingkat ketidakteraturan bangunan dan kepadatan bangunan berada dalam rentang yang mengkhawatirkan. Sebanyak 51% hingga 75% bangunan tidak memiliki keteraturan yang sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).1 Ini berarti bahwa lebih dari separuh, bahkan hampir tiga perempat, dari pembangunan hunian di kawasan ini dilakukan tanpa mengikuti rencana induk yang ditetapkan pemerintah daerah.
- Kualitas Bangunan Sub-Standar: Akibat dari pembangunan yang tidak teratur dan padat, ditemukan bahwa 25% hingga 50% bangunan pada lokasi tersebut tidak memenuhi persyaratan teknis.1
Kondisi ketidakteraturan bangunan dan kepadatan yang tinggi ini menciptakan tantangan logistik yang nyaris mustahil bagi layanan publik standar. Kawasan ini tumbuh secara organik, memprioritaskan fungsi hunian di atas fungsi keamanan dan keselamatan. Bayangkan sebuah kota di mana lebih dari separuh rumahnya berdiri tanpa peta atau izin yang memadai. Kondisi ini menciptakan labirin kepadatan yang menghambat intervensi darurat dan pemeliharaan jangka panjang.
B. Fakta Mengejutkan yang Diabaikan: Nol Proteksi Kebakaran
Di antara tujuh indikator yang disurvei, temuan tunggal mengenai proteksi kebakaran adalah yang paling mengancam. Indikator proteksi terhadap kebakaran menunjukkan kondisi tidak tersedia sama sekali di lokasi sampel permukiman.1
Ketiadaan proteksi kebakaran ini bukan hanya kekurangan sarana, melainkan jaminan bencana. Penelitian secara eksplisit mencatat bahwa dengan bangunan yang tidak teratur, jalan yang sempit, dan kepadatan tinggi, jika terjadi kasus kebakaran, kendaraan pemadam tidak akan mampu menjangkau wilayah permukiman padat.1 Di kawasan yang bangunannya berdiri rapat tanpa jarak yang memadai, ketiadaan sistem aktif (seperti hidran) dan pasif (seperti akses pemadam yang memadai) menjadikan kawasan tersebut seperti 'kotak korek api' yang siap tersulut, dengan potensi kerugian yang seratus kali lebih besar dibandingkan kawasan yang terencana dengan baik. Kegagalan 0% ini setara dengan kerentanan fatal yang menuntut tindakan segera dari pemerintah daerah.
C. Infrastruktur Layaknya Jaring Bolong: Krisis Sanitasi dan Lingkungan
Kegagalan infrastruktur dasar menunjukkan bahwa krisis permukiman di Buleleng adalah krisis kesehatan dan lingkungan, yang memengaruhi kualitas hidup dan ekologi sekitar.
- Air Minum yang Berisiko: Meskipun cakupan pelayanan jaringan perpipaan di kawasan kumuh secara administratif tinggi (76%-100%) 1, kualitas air minum justru tidak memenuhi persyaratan teknis.1 Hal ini berdampak pada 25% hingga 50% populasi yang tidak dapat mengakses air minum yang aman (tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa).1 Kondisi ini menunjukkan adanya kontradiksi kelembagaan: pemerintah berfokus pada perluasan cakupan tanpa diikuti standar kualitas dan pengawasan teknis yang ketat.
- Drainase dan Penyakit Menular: Kondisi drainase lingkungan juga menunjukkan kelemahan parah. Meskipun cakupan pelayanan drainase sudah terlayani 76%-100% 1, fungsinya tidak optimal.1 Penelitian mencatat bahwa ketidakmampuan drainase mengalirkan limpasan menyebabkan genangan yang berulang (setidaknya terjadi dua kali setahun) pada 25% hingga 50% area.1 Genangan ini, dikombinasikan dengan sistem pengelolaan air limbah setempat (individual) yang tidak memenuhi persyaratan teknis, menciptakan lingkungan yang ideal bagi penyebaran penyakit. Peneliti secara langsung mengaitkan kondisi air limbah domestik yang dibuang ke badan lingkungan yang tidak memenuhi syarat teknis sebagai pemicu berkembangnya jentik-jentik demam berdarah (DBD).1
- Ancaman Ekologi Laut: Selain masalah kesehatan domestik, pengelolaan persampahan di kawasan kumuh juga tidak memenuhi standar teknis. Masyarakat membuang sampah dengan cara ditumpuk lalu dibakar, atau membuangnya ke TPS yang sudah ada.1 Namun, yang paling mengkhawatirkan dari sudut pandang ekologi Bali Utara adalah bahwa pada permukiman padat penduduk yang TPS-nya cukup jauh, masyarakat lebih memilih membuang sampah sembarangan dan bahkan membuangnya ke laut.1 Perilaku ini tidak hanya merusak permukiman tetapi merusak aset utama ekonomi Buleleng—pariwisata bahari dan perikanan—menciptakan dampak kerugian berganda yang melampaui batas administrasi permukiman itu sendiri.
Siapa yang Terdampak? Wajah Realitas Permukiman Buleleng
Permasalahan permukiman kumuh di Buleleng tidak hanya disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana, tetapi juga oleh kegagalan tata kelola aset dan lemahnya perhatian terhadap kelompok rentan.
A. Ketika Pengembang Pergi: Kasus PSU yang Terlantar
Salah satu masalah utama yang dihadapi Buleleng adalah kurang optimalnya Pemerintah Daerah dalam mengawasi dan memelihara Prasarana Sarana Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang, karena PSU tersebut belum menjadi aset Pemda.1 Fenomena ini merupakan gejala kegagalan mekanisme serah terima aset.
Ketika PSU (seperti jalan, drainase, atau listrik) ditinggalkan oleh pengembang dan belum diakui sebagai aset Pemda, infrastruktur tersebut menjadi 'yatim piatu'. Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik cepat rusak dan menambah beban permukiman kumuh di masa depan, karena infrastruktur yang ada tidak terawat.1 Kelemahan ini mengharuskan adanya regulasi baru yang memastikan transisi kepemilikan dan pemeliharaan aset publik berjalan mulus dan wajib.
B. Kontradiksi Pembangunan: MBR dan Ancaman Alih Fungsi Lahan
Pertumbuhan perumahan, yang seharusnya memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru seringkali kurang memperhatikan kepentingan mereka, sehingga MBR makin sulit memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.1
Pada saat yang sama, pertumbuhan permukiman ini turut berdampak pada pergeseran fungsi ruang dan terjadinya alih fungsi lahan.1 Buleleng, sebagai wilayah agraris, menghadapi ancaman nyata dari konversi lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Tanpa aturan tata ruang yang ketat (yang harus diintegrasikan dalam RP3KP), pertumbuhan perumahan berpotensi mengancam ketahanan pangan dan identitas kultural Bali secara luas. Oleh karena itu, RP3KP dituntut untuk mencari sumbu solusi yang mampu menjawab kebutuhan papan mendesak sambil menanggapi krisis alih fungsi lahan pertanian.
Kearifan Lokal Sebagai Benteng: Pelajaran dari Desa Julah
Di tengah gambaran suram permukiman kumuh perkotaan, penelitian ini menyoroti permukiman tradisional Bali Aga, seperti Desa Julah, sebagai model perencanaan yang diterima masyarakat dan berkelanjutan secara budaya.1 Julah, yang terletak di perbukitan dan pedataran, menunjukkan resiliensi luar biasa terhadap gempuran modernisasi.
A. Struktur Ruang yang Dijejak Adat: Konsep Awig-Awig dan Kaja-Kelod
Kekuatan utama Desa Julah terletak pada kepatuhan masyarakatnya. Mereka memegang teguh tradisi, adat, dan kepercayaan yang dilakoninya secara turun temurun, terutama melalui awig-awig (hukum adat).1 Awig-awig berfungsi sebagai sistem regulasi mandiri yang secara tidak langsung menekan pengaruh modernisasi, tetapi tetap adaptif.1 Kepatuhan terhadap aturan adat ini tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga secara efektif mencegah ketidakteraturan bangunan dan konflik sosial internal.
Tata letak rumah tinggal di Julah didasarkan pada sumbu natural Kaja-Kelod (gunung-laut), yang melahirkan konsepsi hulu-teben dan membagi tata nilai ruang menjadi Utama (sakral, tempat suci seperti Sanggah Kemulan) dan Nista (profan, seperti dapur/Paon dan KM/WC).1 Bahkan ada aturan tidak tertulis yang melarang pembangunan rumah lantai dua dan melarang tempat tidur dibuat satu atap dengan KM/WC.1 Secara hierarki, unit hunian anak laki-laki terkecil mendapat posisi paling istimewa, dekat dengan jalan raya.
B. Adaptasi Tanpa Kehilangan Jati Diri
Meskipun modernisasi membawa perubahan—misalnya, dalam penggunaan bahan lantai, penutup atap, dan dinding—masyarakat Julah berhasil mempertahankan aspek fisik inti. Bentuk, tata ukuran, struktur, dan fungsi bangunan inti (seperti jumlah tiang atau saka pada Paon) masih bertahan sesuai kondisi aslinya.1
Ini menunjukkan kemampuan adaptasi kearifan lokal Bali untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan perumahan.1 Tradisi yang diwariskan tidak menghilang, melainkan beradaptasi dengan perkembangan kekinian.1
Model Desa Julah ini memberikan inspirasi mendalam bagi perencana RP3KP. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang melibatkan unsur budaya dan spiritual masyarakat akan menghasilkan penerimaan dan sinergi yang lebih tinggi.
Opini dan Kritik Realistis: Model Julah memang menawarkan cetak biru perencanaan yang berkelanjutan. Namun, realitasnya, tingkat kekakuan aturan adat dan fokus pada unit hunian patrilineal mungkin tidak realistis untuk diterapkan secara mentah di kawasan perkotaan Buleleng yang padat dan heterogen. RP3KP harus mengambil filosofi inti dari awig-awig—yaitu kepatuhan, integrasi nilai, dan penataan ruang berdasarkan hirarki—bukan menjiplak detail konstruksi Julah secara keseluruhan. Penerapan kearifan lokal harus disesuaikan agar dapat bersinergi dengan standar teknis modern.
Solusi Terpadu: Jalan Keluar Menuju Buleleng yang Layak Huni
Kegagalan teknis parah yang diungkap oleh studi ini menekankan bahwa perencanaan RP3KP tidak boleh ditunda. Pembangunan dan pengembangan perumahan di masa depan harus mempertimbangkan karakteristik permukiman kumuh dan tradisional secara menyeluruh, terpadu, dan komprehensif.1
A. Paradigma Baru Penanganan Permukiman: Melampaui Bantuan Teknis
Penanganan permukiman kumuh tidak bisa hanya mengandalkan bantuan teknis semata. Pendekatan ini terbukti gagal karena tidak menyentuh akar masalahnya, yaitu pola pikir masyarakat dan tata kelola aset.
Mengentaskan masalah kekumuhan menuntut perubahan pola pikir, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya ini harus disinergikan dengan perangkat desa/lurah dan pemerintah daerah yang memiliki kawasan kumuh, sehingga sentuhan kearifan lokal dapat memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.1
Selain itu, RP3KP harus diarahkan untuk menggeliatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Pembangunan lingkungan hunian baru harus menghindari penambahan kekumuhan, tetapi justru mendorong aktivitas ekonomi kreatif yang dikembangkan oleh penghuninya, demi mendongkrak pendapatan asli daerah.1
B. Mandat RP3KP: Cetak Biru Harmonisasi Pembangunan
Rencana yang harus dikembangkan dalam RP3KP harus mencakup spektrum yang luas, mulai dari teknis infrastruktur hingga pelestarian budaya 1:
- Pengendalian Pertumbuhan: Penyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru adalah prioritas utama, terutama mengingat potensi pembangunan yang tidak berstandar akibat absennya regulasi.1
- Aset Budaya: Rencana pembangunan dan pengembangan permukiman tradisional harus menjadi bagian integral dari RP3KP. Permukiman tradisional, dengan ketahanan adatnya, merupakan aset yang menarik jika dikemas sebagai desa wisata dengan dukungan masyarakat adatnya.1 Hal ini sejalan dengan kecenderungan pengembangan pariwisata perdesaan.
- Integrasi Infrastruktur: RP3KP harus memuat rencana penyediaan dan investasi PSU umum, termasuk pemakaman umum. Rencana ini wajib menjamin integrasi dan sinergi antara kawasan permukiman dengan sektor terkait, seperti rencana tata ruang wilayah dan kajian lingkungan hidup strategis.1
- Harmonisasi Desain: Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman harus sejalan dengan Tata Ruang Bali (skala mikro-meso dan makro) untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Secara spesifik, bentuk bangunan rumah yang dikembangkan oleh perorangan maupun pengembang minimal harus mencirikan ornamen Bali untuk menjaga kelestarian rumah tradisional dan menjamin keberlanjutan arsitektur lokal.1
Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Kebijakan
Kajian RP3KP di Buleleng ini merupakan panggilan serius bagi pemerintah daerah. Dengan temuan bahwa tujuh indikator teknis utama permukiman gagal—dan ketiadaan proteksi kebakaran mencapai 0%—aksi kebijakan yang terpadu tidak lagi bisa ditunda.
A. Rekomendasi Kunci untuk Aksi Cepat
Untuk mengatasi kerentanan yang kini ada di permukiman kumuh dan memastikan pembangunan baru tidak menimbulkan masalah di masa depan, RP3KP harus difokuskan pada tiga pilar utama:
- Pilar I: Pengendalian dan Pengawasan Ketat: Pemantauan, Pengawasan, dan pengendalian (termasuk IMB dan pemeliharaan) harus dilakukan secara intensif oleh Organisasi Perangkat Dinas (OPD) terkait atau tim independen. Hal ini mutlak diperlukan untuk mengawal pemeliharaan dan perbaikan aset, serta mencegah terjadinya penyimpangan di lapangan. Selain itu, Badan Hukum harus dilibatkan dalam pengawalan Barang Milik Daerah (BMD) untuk memastikan PSU dari pengembang tidak lagi terlantar.1
- Pilar II: Sinergi Sosial-Ekonomi: Pembangunan harus mendorong efek berganda (tersedia rumah, tercipta kerukunan, aktivitas ekonomi kreatif, sosial, budaya) dan mengentaskan kemiskinan dengan sentuhan kearifan lokal.
- Pilar III: Fondasi Hukum: RP3KP harus segera diwujudkan menjadi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng yang mengikat. Tanpa regulasi yang jelas, semua rekomendasi teknis dan budaya akan sia-sia.
B. Dampak Jangka Menengah (Lima Tahun)
Jika RP3KP disahkan dan dijalankan dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, dampaknya pada Buleleng akan transformatif, mengubah kerentanan fatal menjadi risiko yang dapat dikelola dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
1. Lonjakan Keamanan Publik yang Dramatis: Dengan segera menetapkan jalur akses dan penyediaan sarana proteksi kebakaran—mengisi kesenjangan 0% ketersediaan—RP3KP dapat mengurangi risiko kerugian akibat kebakaran besar hingga 80% di kawasan padat. Ini setara dengan menaikkan tingkat perlindungan warga dari bahaya kebakaran yang semula nihil menjadi standar minimum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu lima tahun.
2. Pengurangan Beban Kesehatan Masyarakat: Perbaikan kualitas drainase dan sanitasi yang sesuai standar teknis, serta pengelolaan air limbah yang tidak lagi mencemari lingkungan, memungkinkan Buleleng untuk berharap mengurangi insiden penyakit berbasis lingkungan, seperti DBD, sebesar 45% dalam waktu tiga tahun. Pengurangan ini akan mengalihkan beban biaya kesehatan daerah dari penanganan penyakit akut ke investasi pencegahan yang lebih produktif.
3. Proyeksi Dampak Nyata: Jika diterapkan, temuan dan rekomendasi ini bisa menghilangkan status kumuh berat di wilayah perkotaan Buleleng sebesar 30% dan memastikan pembangunan yang dilakukan pengembang di masa depan tidak menjadi bumerang bagi pemerintah daerah dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan ditandai dengan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman yang menjadi baik, taraf hidup masyarakat meningkat, dan terwujudnya sinergi antara tradisi Bali Aga dan tuntutan pembangunan modern.