Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Kronis Palembang – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

30 Oktober 2025, 23.45

palembangpos.com

Di kota-kota besar, kemacetan adalah sarapan sehari-hari. Namun, apa yang terjadi di Palembang bukanlah sekadar kemacetan biasa; ini adalah krisis infrastruktur yang sistemik. Sebuah penelitian mendalam dari Universitas Bina Darma mengungkap angka-angka yang menjelaskan mengapa jalanan kota terasa begitu penuh sesak, dan menawarkan cetak biru solusi cerdas yang mungkin menjadi satu-satunya jalan keluar.

Setiap tahun, jalanan di Palembang dijejali 20% lebih banyak kendaraan bermotor. Sebuah angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis, namun ironisnya, lumpuh oleh fakta lain: kemampuan kota untuk menyediakan jalan baru—infrastruktur vital untuk menampung mobilitas itu—hanya tumbuh 5% per tahun.1

Ini adalah bom waktu demografis lalu lintas. Kesenjangan 15% setiap tahun ini menciptakan kondisi yang disebut oleh para peneliti, Muhammad Izman Herdiansyah dan Linda Atika, sebagai under capacity infrastructure.1 Jalanan kota secara harfiah tumbuh empat kali lebih lambat daripada jumlah kendaraan yang menggunakannya.

Ketika kesenjangan ini semakin menganga, sistem tradisional mulai rontok. Penelitian ini menyoroti bahwa salah satu akar masalahnya adalah kegagalan manajemen. Kota disebut "tidak mampu mengatur rekayasa lalu lintas secara real time" dan "belum dilakukan analisis yang komprehensif" untuk mengoptimalkan apa yang sudah ada.1

Lampu lalu lintas yang kita temui diatur oleh timer kaku, yang tidak peduli apakah satu ruas jalan sedang lowong sementara ruas lainnya sudah mengunci. Di sinilah letak kegagalan sistemis yang coba dipecahkan oleh penelitian ini.

 

Mengapa Persimpangan Charitas Menjadi 'Ground Zero' Kemacetan?

Untuk membedah masalah ini, para peneliti tidak hanya duduk di laboratorium. Mereka turun ke 'medan perang' kemacetan kota: Persimpangan Charitas Palembang. Lokasi ini dipilih sebagai objek penelitian untuk memotret realitas di lapangan.1

Tim peneliti berdiri di sana, menghitung secara manual setiap kendaraan yang lewat (metode survei Lintas Harian Rata-rata atau LHR) pada tiga waktu krusial: jam sibuk pagi (07.00-08.00), jam makan siang (12.00-13.00), dan jam sibuk sore (16.00-17.00).1

Apa yang mereka temukan? Puncak kepadatan absolut, seperti yang bisa diduga, terjadi pada jam pulang kerja. Di sore hari, 4.855 kendaraan tercatat melintasi simpang itu hanya dalam satu jam dari satu kaki persimpangan (arah Jl. Jend. Sudirman (POLDA)). Pagi hari tidak jauh berbeda, dengan 4.493 kendaraan. Arus baru terlihat sedikit melandai di siang hari, dengan 3.155 kendaraan.1

Namun, data yang jauh lebih mengejutkan adalah siapa yang ada di jalan. Ini bukanlah 'macet mobil'. Jalanan Palembang, berdasarkan temuan ini, adalah lautan sepeda motor.

Bayangkan Anda berdiri di simpang itu pada jam 7 pagi. Dari hampir 4.500 kendaraan yang melintas, 2.775 di antaranya adalah sepeda motor—itu setara dengan 61,7% dari total arus lalu lintas. Pada sore hari, dominasi roda dua ini semakin menjadi-jadi, melonjak hingga 72,4% dari total kendaraan, atau 3.519 unit.1

Sementara itu, mobil pribadi berkontribusi sekitar 30-35% dari arus. Dan angkutan umum? Nyaris tidak terlihat. Data menunjukkan angkutan umum hanya berkontribusi antara 0,8% hingga 1,3% dari total volume kendaraan.1

Dominasi absolut sepeda motor ini bukan hanya data demografis; ini adalah tantangan teknis yang fundamental. Sistem lampu lalu lintas konvensional dirancang untuk unit yang relatif seragam (mobil). Mengelola ribuan unit yang lincah, fleksibel, dan seringkali kurang terduga (sepeda motor) membutuhkan tingkat kecerdasan sistem yang jauh lebih tinggi.

 

Angka 1,29: Momen 'Eureka' yang Menjelaskan Mengapa Jalan Terasa 'Penuh Sesak'

Jika data volume kendaraan tadi adalah gejalanya, para peneliti kemudian menemukan diagnosis presisi dari penyakitnya. Mereka beralih dari sekadar menghitung jumlah, ke analisis kinerja jalan. Mereka menghitung Volume to Capacity (V/C) Ratio—sebuah rasio sederhana namun brutal antara jumlah kendaraan yang ingin lewat (Volume) dibandingkan kapasitas nyata yang bisa ditampung oleh jalan (Capacity).

Pada jam puncak pagi (07.00-08.00) di salah satu kaki persimpangan yang paling padat (Jl. Jend. Sudirman IP), hasilnya mencengangkan. Volume kendaraan yang tumpah ke jalan, setelah dikonversi ke satuan mobil penumpang (smp), setara dengan 6.648 unit mobil per jam. Masalahnya, kapasitas maksimum jalan itu didesain hanya untuk 5.132 unit mobil per jam.1

Hasil baginya adalah 1,29.

Angka 1,29 ini adalah bukti matematis mengapa jalanan terasa 'penuh sesak' dan tidak bergerak. Ini adalah momen 'eureka' yang menjelaskan keluhan kolektif warga kota.

Untuk memberi Anda gambaran yang lebih hidup: V/C ratio 1,29 ini seperti Anda mencoba menuangkan 1,3 liter air ke dalam botol berkapasitas 1 liter. Pasti akan tumpah kemana-mana. Secara teknis, ini berarti volume kendaraan pada jam sibuk telah melebihi kapasitas desain jalan sebesar 29%.

Dalam ilmu teknik sipil, kondisi ini diberi label Level of Service (LOS) E—sebuah kode yang dalam laporan ini diterjemahkan sebagai "sangat buruk".1 Ini adalah kondisi di mana lalu lintas sudah tidak stabil, macet parah, tersendat, dan antrean yang mengular panjang tanpa henti.

Ironisnya, di jam sibuk sore hari, kaki persimpangan yang sama justru menunjukkan V/C ratio 0,68, atau terisi 68% (LOS C).1 Apa artinya ini? Ini membuktikan bahwa kemacetan tidak seragam. Satu arah bisa lumpuh total (V/C 1.29) sementara arah lain di jam berbeda relatif lancar (V/C 0.68).

Inilah kegagalan fundamental dari lampu lalu lintas konvensional yang 'bodoh'. Ia memberi waktu hijau yang sama, padahal satu sisi jalan sedang 'berteriak' minta tolong karena kelebihan muatan 29%, sementara sisi lain masih punya ruang.

 

Di Balik Lampu Merah: Titik Jenuh 100% yang Mengerikan

Kengerian data tidak berhenti di situ. Jika V/C ratio 1,29 adalah masalah (input terlalu banyak), peneliti ingin tahu apakah sistem (output) bisa mengatasinya. Mereka beralih ke Teori Antrean (Queueing Theory) untuk melihat seberapa efisien lampu merah 'melayani' antrean kendaraan di kaki persimpangan lain (dari arah Jl. Veteran).

Mereka menemukan bahwa jumlah rata-rata kendaraan yang datang ($\lambda$) per siklus lampu adalah 159 unit. Sementara jumlah rata-rata kendaraan yang bisa dilayani atau keluar ($\mu$) oleh durasi lampu hijau hanya 158 unit.1

Saat 159 dibagi 158, hasilnya adalah 1,00. (Secara teknis 1,006, namun dalam analisis ini dibulatkan menjadi 1,00).1

Dalam teori antrean, angka 1,00 (atau $\rho=1.00$) adalah kode merah bencana. Ini berarti tingkat intensitas kegunaan lampu lalu lintas itu sudah 100%.

Bayangkan sebuah kasir di supermarket yang bekerja tanpa henti. Tidak pernah berhenti sedetik pun untuk istirahat atau minum. Namun, jumlah pelanggan yang datang ke antreannya selalu lebih banyak daripada yang bisa ia layani. Apa yang terjadi? Antrean di depannya akan terus bertambah panjang, selamanya, hingga sistem itu kolaps.

Itulah yang terjadi di Simpang Charitas. Peneliti menyimpulkan kondisi $\rho=1.00$ ini sebagai "sangat sibuk" dan "tidak memberikan waktu idle time (waktu istirahat)".1 Sisa antrean kendaraan (12 kendaraan dalam 19 siklus pengamatan) terus terakumulasi, siklus demi siklus, menciptakan kemacetan yang tak terurai.

 

Jika Manusia Kewalahan, Bisakah 'Otak Buatan' Mengambil Alih?

Menghadapi V/C ratio 1,29 dan tingkat kejenuhan 100%, solusi tradisional tidak lagi mempan. Melebarkan jalan (yang hanya tumbuh 5% setahun) adalah solusi jangka panjang yang mustahil mengejar ketertinggalan. Mengubah timer lampu (yang sudah 100% sibuk) juga percuma.

Para peneliti mengajukan solusi yang pada tahun 2016 tergolong radikal: Pendekatan Sistem Pakar.

Apa itu Sistem Pakar? Sederhananya, ini adalah cabang dari Kecerdasan Buatan (AI). Tujuannya, menurut penelitian ini, adalah untuk "merekam dan menduplikasi kemampuan pakar" atau "menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar".1

Idenya adalah mengganti timer kaku lampu merah dengan otak buatan. Otak ini akan berpikir seperti gabungan petugas Dishub dan Polisi Lantas paling berpengalaman. Sistem ini akan melihat kepadatan di semua arah secara real-time dan membuat keputusan sepersekian detik.

"Oke," kata sistem itu, "Arah A dari Jl. Sudirman IP sedang kolaps (V/C 1.29), kita harus segera memberinya waktu hijau 20 detik lebih lama. Sementara arah B dari Jl. Veteran (V/C 0.68) masih aman, mereka bisa menunggu 10 detik lebih lama."

Untuk membangun otak buatan ini, para peneliti menggunakan metode Prototyping. Ini adalah proses pengembangan perangkat lunak yang iteratif, di mana mereka membangun model sederhana, menunjukkannya kepada pengguna (dalam hal ini, para pakar lalu lintas), mendapatkan masukan, merevisi model, dan begitu seterusnya hingga sistem itu benar-benar 'berpikir' seperti pakar.1

 

Membedah Pikiran Pakar: 12 'Rahasia' Pengaturan Lalu Lintas Terungkap

Untuk membuat 'otak buatan' ini cerdas, peneliti tidak bisa hanya mengandalkan teori buku teks. Mereka harus 'mengisi' otak itu dengan kearifan dan pengalaman lapangan.

Untuk itu, mereka duduk bersama dengan para pakar di dunia nyata: pejabat dari Dinas Perhubungan dan Kominfo (Dishubkominfo) Sumatera Selatan dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Palembang.1

Melalui Focus Group Discussion (FGD), mereka berhasil mengekstrak 12 'aturan main' atau logika penting yang selama ini ada di kepala para pakar tersebut. Logika inilah yang kemudian ditanamkan ke dalam Sistem Pakar. Berikut adalah 12 masukan penting tersebut 1:

  • Untuk meningkatkan kualitas pengendalian lalu lintas, telah diinisiasi untuk membangun pusat pengendali lalu lintas atau ATCS (Area Traffic Control System).
  • Masalah kemacetan lalu lintas berkaitan erat dengan budaya masyarakat dan penegakan hukum.
  • Tata letak APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) sangat berpengaruh dalam pengaturan kondisi jalan.
  • Apabila terjadi kemacetan, harus dapat dikendalikan dari ruang kontrol (control room) ATCS.
  • Angkutan massal harus terus dikembangkan (menyinggung rendahnya pengguna angkutan umum).
  • Sistem hukum yang tidak bergerak (seperti APILL dan Rambu) sangat penting dalam pengendalian kemacetan.
  • Didalam UU lalu lintas Bab 16 telah disebutkan perlunya penggunaan sistem informasi dan komunikasi.
  • Sistem informasi online dan cerdas sangat dibutuhkan.
  • Perlunya edukasi lalu lintas dari usia dini.
  • Perlu ditekankan penerapan aturan dan sistem dengan fokus utama pengendalian riil time untuk mengatur arus lalu lintas dan alternatif arus.
  • Pengaturan kemacetan harus memperhatikan Pasal 103 UU lalu lintas (tentang keselamatan).
  • Faktor kemacetan juga disebabkan kurangnya jalan alternatif di tengah kota dan terpusatnya pusat ekonomi.

Jika kita analisis 12 poin ini, ada benang merah yang sangat jelas. Poin 1 (rencana ATCS), Poin 4 (butuh control room), Poin 8 (butuh sistem cerdas), dan Poin 10 (fokus pada real-time) adalah pengakuan kolektif dari para pakar di lapangan: "Kami butuh bantuan teknologi. Kami butuh sistem yang cerdas dan responsif."

Penelitian ini pada dasarnya sedang membangun prototipe otak (Sistem Pakar) untuk tubuh (infrastruktur ATCS) yang sudah direncanakan oleh pemerintah kota. Ini membuat temuan penelitian menjadi sangat relevan dan dapat ditindaklanjuti, bukan sekadar teori akademis.

 

Kritik Realistis: Apakah Ini Solusi Ajaib untuk Palembang?

Namun, apakah sistem pakar secanggih apa pun adalah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah? Tentu tidak.

Para pakar dari Dishub dan Poltabes sendiri, dalam poin 2 FGD, secara jujur mengakui bahwa masalah kemacetan juga berkaitan erat dengan "budaya masyarakat dan penegakan hukum".1 Sebuah sistem AI yang cerdas di ruang kontrol tidak dapat menghentikan pengendara sepeda motor (yang mendominasi 72% jalan) untuk menerobos lampu merah, atau angkutan umum yang berhenti sembarangan di tengah persimpangan.

Keterbatasan studi ini juga harus diakui: penelitian difokuskan hanya pada satu persimpangan, Simpang Charitas.1 Menerapkan model ini ke seluruh jaringan kota yang kompleks, di mana satu simpang akan mempengaruhi delapan simpang lainnya dalam satu koridor, adalah tantangan teknis yang jauh lebih besar.

Perlu juga dicatat bahwa penelitian ini dipublikasikan pada tahun 2016.1 Ini adalah sebuah prototype brilian yang membuktikan sebuah konsep. Namun, jalan dari prototype di laboratorium menuju implementasi penuh di control room ATCS yang berfungsi penuh seringkali panjang, membutuhkan kemauan politik yang kuat dan investasi infrastruktur sensor jalan real-time yang masif.

 

Dampak Nyata: Cetak Biru Menuju Kota Cerdas

Meskipun demikian, prototype ini berhasil. Para peneliti melaporkan dalam kesimpulannya bahwa sistem yang mereka rancang "telah mampu menghasilkan perhitungan keputusan terhadap pengoperasional lampu lalu lintas" yang berbeda untuk kepadatan pagi, siang, dan sore.1 Ini membuktikan bahwa konsep lampu lalu lintas cerdas ini valid dan berfungsi.

Kesimpulan peneliti jelas: model optimasi jaringan ini terbukti "dapat menggambarkan profil masalah kemacetan lalu lintas perkotaan dengan lebih baik dan dapat digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan" oleh pemerintah, baik dari aspek operasional (pengaturan harian) maupun strategis (perencanaan jangka panjang).1

Jika model sistem pakar ini—yang kini logikanya telah terbukti—diterapkan secara penuh ke dalam control room ATCS Palembang, dampaknya akan transformatif. Ini bukan lagi soal mengurangi antrean 1-2 menit di Simpang Charitas.

Ini adalah cetak biru untuk mengubah seluruh filosofi manajemen lalu lintas kota: dari sistem abad ke-20 yang reaktif (mengandalkan timer kaku) menjadi sistem abad ke-21 yang prediktif dan real-time (meniru keputusan pakar).

Dalam lima tahun ke depan, penerapan sistem cerdas ini dapat secara signifikan mengurangi waktu tempuh, menurunkan kerugian ekonomi akibat jutaan liter bahan bakar yang terbuang percuma di antrean, dan menjadi langkah monumental pertama Palembang untuk bertransformasi menuju smart city seutuhnya.