Revolusi Tanpa Kreator yang Sah: Ketika Mesin Mencipta dan Hukum Terkejut
Perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) telah melampaui imajinasi fiksi ilmiah. Dalam waktu singkat, program seperti ChatGPT dan DALL-E 2 yang dikembangkan oleh OpenAI telah menunjukkan kemampuan menghasilkan ciptaan yang luar biasa—teks yang koheren, gambar seni yang detail, hingga video dan suara yang meniru citra seseorang (disebut deepfake)—semua dilakukan secara otonom, hanya berdasarkan instruksi (prompt) dari pengguna [1].
Tidak hanya berkarya di bidang seni, AI juga telah melangkah ke ranah invensi. Kasus paling terkenal adalah Device for the Automonomous Bootstrapping of Unified Science (DABUS), sebuah program yang dikembangkan oleh Stephen Thaler untuk menghasilkan penemuan teknis yang kemudian diajukan paten [1].
Laju inovasi yang cepat ini memicu krisis filosofis dan hukum di seluruh dunia, khususnya dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hukum HKI dirancang untuk melindungi hak eksklusif pencipta atau inventor, yang diwujudkan melalui dua pilar utama: hak moral (pengakuan sebagai kreator) dan hak ekonomi (hak untuk memanfaatkan hasil karya secara komersial) [1]. Namun, ketika ciptaan dihasilkan tanpa campur tangan manusia, sistem hukum dipaksa untuk memilih: Apakah prioritasnya adalah mengakui hasil ekonomi yang bernilai tinggi, atau mempertahankan kriteria subjek yang secara dogmatis harus manusia?
Kajian yuridis normatif ini, yang menganalisis implikasi AI terhadap hak cipta dan paten, menegaskan bahwa ciptaan hasil mesin—yang tidak memiliki hak moral dan tidak dapat memanfaatkan hak ekonomi—terancam menjadi "yatim piatu" secara hukum. Ini menempatkan regulasi Indonesia saat ini dalam posisi genting, menghadapi dilema global: bagaimana menyeimbangkan laju inovasi AI dengan perlindungan fundamental hak asasi manusia para pencipta [1].
Hak Moral adalah Benteng Terakhir: Mengapa AI Tidak Bisa Menjadi Pencipta
Penemuan fundamental dari kajian ini adalah konsensus global yang menolak status AI sebagai subjek hukum yang setara dengan Pencipta atau Inventor. Keputusan ini berakar pada prinsip bahwa hak moral dan hak asasi manusia (HAM) dalam perlindungan HKI hanya diperuntukkan bagi manusia (natural person) [1].
Secara filosofis, konsep HKI, terutama Hak Cipta (UU HC) dan Paten (UU Paten) di Indonesia, erat kaitannya dengan jaminan HAM. Naskah Akademik UU HC bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa perlindungan diberikan atas "ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia" dalam kerangka konstitusi dan Deklarasi Universal akan HAM (DUHAM). Arpad Bogsch, seorang ahli HKI, pernah menekankan bahwa kegeniusan manusia adalah sumber dari segala karya dan invensi [1].
Kisah DABUS dan Konsistensi Hukum
Penolakan terhadap AI sebagai subjek hukum terlihat jelas dalam serangkaian putusan global terkait DABUS. Walaupun DABUS menghasilkan invensi baru, pengajuannya ditolak di hampir semua yurisdiksi utama:
- Amerika Serikat (AS): Kantor Paten dan Merek Dagang AS (USPTO) dan Pengadilan Banding Federal (dalam kasus Thaler v. Vidal, 2022) dengan tegas menyatakan bahwa Inventor haruslah seorang natural person atau manusia. Putusan ini menjadi preseden kuat [1].
- Inggris (UK): Kantor Kekayaan Intelektual Inggris (UKIPO) dan Royal Court of Justice menolak DABUS dengan alasan yang sama. Pengadilan berargumen bahwa, secara prinsip, paten dapat diberikan jika Stephen Thaler mendaftarkan dirinya sebagai Inventor, seolah-olah menganggap AI sebagai alat yang menghasilkan "buah" yang otomatis dimiliki oleh pemiliknya. Namun, AI itu sendiri tidak bisa diakui sebagai inventor [1].
- Australia dan Selandia Baru: Meskipun sempat terjadi putusan yang mengizinkan di tingkat pengadilan awal Australia, Full Court membatalkannya pada tahun 2022, kembali pada pemahaman historis bahwa Inventor adalah manusia. Selandia Baru juga menolak, dengan alasan utama bahwa paten bertujuan memberikan insentif ekonomi—insentif yang tidak relevan dan tidak dapat dimanfaatkan oleh mesin [1].
Kasus-kasus ini menegaskan bahwa penolakan global terhadap AI sebagai Pencipta atau Inventor bukan sekadar masalah semantik, melainkan pertahanan dogmatis sistem hukum. Jika AI diakui sebagai subjek, hukum harus menjawab: siapa yang bertanggung jawab atas misrepresentasi atau kesalahan paten? Mesin tidak memiliki kapasitas pertanggungjawaban hukum. Selain itu, memberikan gelar kehormatan "Inventor" kepada mesin akan mendegradasi nilai dan kehormatan etis yang melekat pada usaha dan ekspresi diri manusia [1]. Perlindungan HKI, menurut filosofi Hegel dan Locke, berkaitan dengan ekspresi diri dan usaha, yang keduanya merupakan unsur manusiawi [1].
Data Curian di Balik Kecerdasan Buatan: Skandal Dataset Massal dan Kerugian Hak Cipta
Jika AI tidak dapat menjadi subjek, permasalahan hukum bergeser ke fase input: bagaimana AI dilatih? AI generatif modern dilatih menggunakan Large Language Models (LLM) yang memerlukan masukan berupa dataset dalam jumlah masif. Data ini, yang diambil dari sumber publik seperti buku, artikel, foto, dan situs web (termasuk yang dilindungi hak cipta), diolah untuk memungkinkan AI menghasilkan karya baru [1].
Penggunaan dataset ini telah memicu skandal global. Pengembangan AI seperti Stable Diffusion (yang dikembangkan oleh Stability AI) dan program lainnya diketahui menggunakan teknik data scraping (pengerukan data) untuk memasukkan miliaran konten, termasuk karya-karya yang memiliki hak cipta. Program-program AI ini kemudian mendapatkan keuntungan komersial melalui sistem langganan bulanan atau penjualan poin [1].
Bukti Pelanggaran di Balik Watermark Samar
Konflik ini menjadi nyata dalam gugatan class action yang dihadapi Stability AI di Amerika Serikat dan gugatan terpisah oleh Getty Images di Inggris dan AS. Getty Images menuduh Stability AI menggunakan foto-foto berlisensi mereka sebagai dataset tanpa membayar.
Bukti visual dalam kasus gugatan Getty Images menunjukkan sebuah temuan yang mengejutkan: pada gambar yang dihasilkan oleh Stability AI, terlihat samar-samar sisa watermark milik Getty Images yang seharusnya melindungi karya mereka. Ini mengindikasikan bahwa AI telah menggunakan dan mencoba mereproduksi, atau setidaknya memproses, data yang dilindungi secara ilegal [1].
Tindakan ini tidak hanya melanggar hak ekonomi melalui penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin (sebagaimana dilarang oleh Pasal 55 ayat (1) UU HC jika memperoleh keuntungan dari pihak lain), tetapi juga melanggar ketentuan perlindungan Copyright Management Information (CMI) atau informasi manajemen hak cipta, yang diatur dalam Pasal 7 UU HC Indonesia dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA) AS [1].
Isu data scraping ini menunjukkan bahwa AI, yang beroperasi berdasarkan data scrape LAION-5B (yang mencakup miliaran konten), telah memindahkan fokus pelanggaran HKI dari output (karya akhir) ke proses training (input). Proses lisensi tradisional yang mungkin memakan waktu berbulan-bulan dan biaya miliaran rupiah kini dihindari oleh pengembang AI yang memilih untuk melakukan mass infringement pada fase pelatihan.
Lompatan efisiensi AI dalam mengklaim data tanpa lisensi adalah seperti menaikkan baterai hak cipta dari 5% (izin terbatas) langsung ke 95% (produksi massal komersial) dalam satu kali prompt. Skala eksploitasi data ini merupakan tantangan yang tidak bisa lagi diatasi hanya dengan mekanisme hukum tradisional.
Ancaman terhadap Hak Moral Seniman
Selain masalah ekonomi, pelanggaran ini juga mengancam hak moral pencipta. Kasus Greg Rutkowski, seorang seniman digital Polandia, menjadi contoh nyata. Karyanya yang khas sering digunakan sebagai instruksi (prompt) dalam program generative AI. Hal ini berarti AI menggunakan karya Rutkowski sebagai materi pelatihan, memungkinkannya meniru gaya khas (style) Rutkowski.
Walaupun hak cipta tidak melindungi ide atau gaya tak berwujud, kemampuan AI untuk memproduksi karya yang meniru kekhasan seorang seniman berpotensi menyebabkan karya asli seniman berkompetisi dengan karya tiruan yang dihasilkan mesin untuk pasar yang sama [1]. Lebih jauh, penggunaan ciptaan sebagai dataset, khususnya jika kemudian menghasilkan karya yang menyerupai atau dimodifikasi, dapat dianggap sebagai distorsi atau mutilasi ciptaan asli, yang merupakan pelanggaran hak moral (Pasal 5(e) UU HC) [1]. Penegakan hak moral ini, yang menurut kajian di Indonesia masih tergolong lemah di era digital, menjadi semakin rentan.
Jalan Keluar Global: Mitigasi TDM dan Kritik terhadap 'Fair Use' Indonesia
Melihat skala kekacauan dataset ini, negara-negara maju mulai mengambil langkah mitigasi melalui regulasi spesifik yang berfokus pada Text and Data Mining (TDM) atau pengerukan teks dan data, sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan inovasi AI dan perlindungan hak cipta.
Model Regulasi TDM Global
Di Amerika Serikat dan Indonesia, respons awal terhadap penggunaan dataset besar sebagian besar masih bergantung pada doktrin fair use (penggunaan wajar). Meskipun fair use memberikan fleksibilitas hukum, di Indonesia batasan penggunaannya sangat ketat, yaitu tidak boleh bersifat komersial dan tidak boleh merugikan kepentingan wajar Pencipta [1].
Sementara itu, Uni Eropa (UE) dan Jepang memilih jalan regulasi yang lebih tegas:
- Uni Eropa (UE): Regulasi AI yang dirancang mewajibkan pengembang AI generatif untuk transparan dalam membuka informasi mengenai dataset yang digunakan. Selain itu, meskipun TDM dilegalisasi untuk kajian ilmiah, pemilik HKI harus diberikan hak untuk memilih tidak digunakan karyanya (opt-out) [1]. Tujuannya adalah mendorong inovasi riset, namun tetap memberikan kontrol kepada Pencipta.
- Jepang: Amandemen rezim hak cipta Jepang lebih jauh lagi, memperbolehkan penggunaan ciptaan untuk machine learning bahkan untuk tujuan profit, selama penggunaan tersebut dianggap tidak merugikan pemilik hak cipta. Aturan ini berlandaskan pemikiran bahwa pengguna AI (mesin) tidak secara langsung "melihat" ciptaan yang digunakan selama proses pelatihan [1].
Model regulasi TDM ini menunjukkan tren global yang pragmatis. Sulit untuk menerapkan lisensi tradisional pada skala miliaran data; oleh karena itu, solusi hukum digeser menjadi kewajiban transparansi dan kontrol (hak opt-out) pada level sistem AI.
Kritik terhadap Ketergantungan Indonesia pada Fair Use
Ketergantungan Indonesia pada doktrin fair use yang sangat fleksibel namun memiliki batasan komersial ketat, dinilai tidak memadai untuk mengatasi eksploitasi data berskala global. Pengembang AI komersial yang beroperasi secara internasional dapat memanfaatkan celah ini untuk mengolah data ciptaan Indonesia tanpa lisensi yang jelas.
Karena perlindungan hak moral adalah fundamental bagi kerangka hukum Indonesia, yang mengakar pada nilai-nilai HAM, model yang paling seimbang untuk dijadikan acuan politik hukum adalah model yang mengutamakan hak opt-out dan transparansi dataset, serupa dengan pendekatan Uni Eropa. Ini akan menjaga keseimbangan filosofis HKI sambil tetap memberikan ruang bagi inovasi AI yang etis [1].
Status Objek: Kapan Ciptaan Hasil AI Mendapat Perlindungan Hukum?
Jika AI tidak dapat menjadi subjek (Pencipta/Inventor), lantas bagaimana status perlindungan hukum terhadap objek yang dihasilkannya?
Hak Cipta: AI sebagai Alat, Bukan Kreator
Secara umum, ciptaan—baik teks, visual, maupun audio—yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tanpa kontribusi kreatif langsung dari manusia tidak dapat dilindungi oleh hak cipta. Kantor Hak Cipta AS (USCO) berargumen bahwa meskipun seseorang memberikan instruksi (prompt) yang sangat spesifik (misalnya, meminta puisi dengan gaya William Shakespeare), elemen ekspresif (rima, struktur, pilihan kata) sepenuhnya ditentukan oleh mesin, bukan oleh manusia [1].
Untuk mendapatkan perlindungan, AI harus diperlakukan sebagai alat bantu saja. Ciptaan hasil AI dapat dilindungi hanya jika:
- Kontribusi Manusia Langsung: Terdapat campur tangan kreatif langsung, seperti modifikasi substansial, penyusunan narasi, atau penambahan elemen yang mengubah hasil AI menjadi karya asli manusia [1]. Contoh kasus AI artist anonim "Stelfie" menunjukkan bagaimana penyusunan, narasi, dan modifikasi hasil AI secara terus-menerus oleh manusia memungkinkan karyanya dilindungi.
- Kasus Cina: Putusan Shenzen Tencent v. Shanghai Yingxun (2019) di Cina memperkuat prinsip ini dengan membedakan antara karya yang dibuat "sepenuhnya otonom" dan karya yang "dibantu" AI. Karya yang dibantu, yang menerima kontribusi intelektual dari tim kreatif dalam menentukan data input dan format, dianggap layak mendapatkan hak cipta [1].
Secara a contrario, jika hasil ciptaan AI murni otonom, ia akan dianggap sebagai bagian dari domain publik dan "bebas digunakan umum layaknya udara" [1].
Pengecualian Khusus: Rezim CGW di Inggris
Satu-satunya pengecualian signifikan di dunia adalah rezim Computer Generated Works (CGW) di Inggris. Regulasi ini secara khusus diformulasikan untuk memberikan perlindungan hak cipta kepada karya sastra, drama, musik, atau seni yang dihasilkan oleh komputer.
Dalam rezim CGW, hak cipta diberikan kepada orang yang mengatur sedemikian rupa dalam terciptanya suatu ciptaan (yang biasanya adalah pemilik program atau algoritma) [1]. Penting untuk dicatat bahwa perlindungan ini bersifat terbatas:
- Tidak ada hak moral yang diberikan.
- Masa perlindungan hanya berlaku selama 50 tahun [1].
Rezime CGW di Inggris dapat dipandang sebagai pengakuan formal bahwa hasil AI adalah produk industrial yang memiliki nilai ekonomi, dan bukan ciptaan artistik yang terikat pada nilai moral. Ini adalah upaya untuk menciptakan kategori hukum khusus (sui generis) di bawah payung hak cipta untuk karya non-manusia yang memiliki nilai pasar, tanpa harus mengganggu doktrin fundamental hak moral manusia.
Paten: Dilema Etika Kepemilikan
Di bidang paten, masalah objek invensi hasil AI berpusat pada hak moral inventor. Di Indonesia, sistem paten menganut prinsip first to file, yang secara teori memungkinkan pemilik program AI mendaftarkan invensi yang dihasilkan DABUS atas namanya sendiri, selama invensi tersebut memenuhi persyaratan kebaruan dan langkah inventif [1].
Namun, langkah ini menimbulkan dilema moral yang lebih akut. Jika pemilik AI mendaftar sebagai Inventor, ia secara tidak langsung mengklaim kehormatan moral (hak paternity) atas penemuan yang sebenarnya dibuat oleh mesin [1]. Hal ini dikhawatirkan akan mendegradasi nilai gelar Inventor.
Pandangan di beberapa negara, termasuk putusan High Court di Inggris terhadap DABUS, mempertimbangkan bahwa hasil invensi AI adalah produk yang dimiliki oleh pemilik AI, analogi buah yang jatuh dari pohon miliknya [1]. Akan tetapi, pandangan ini bertentangan dengan kaidah hak moral, yang menyatakan bahwa Inventor haruslah orang yang benar-benar berkontribusi atas terwujudnya invensi. Diperlukan keseimbangan yang cermat antara manfaat ekonomi dari invensi AI dengan integritas hak moral Inventor [1].
Penutup: Urgensi Politik Hukum Indonesia dan Dampak Nyata
Kajian mendalam mengenai AI, hak cipta, dan paten mengungkapkan tiga lapis konflik yang mendesak: AI ditolak sebagai subjek karena tidak memiliki hak moral; proses training AI dianggap melanggar hak cipta karena eksploitasi dataset komersial; dan hasil karya AI hanya bisa dilindungi jika terdapat kontribusi kreatif manusia yang signifikan.
Perdebatan ini tidak hanya teoritis. AI telah membawa manfaat besar bagi kemajuan manusia, tetapi absennya regulasi yang jelas di Indonesia menciptakan celah besar yang merugikan industri kreatif nasional. Saat ini, Indonesia masih tertinggal dalam merumuskan undang-undang AI spesifik dan sangat bergantung pada doktrin fair use yang rentan terhadap eksploitasi data komersial berskala besar.
Pemerintah dan DPR Indonesia sangat disarankan untuk segera merumuskan undang-undang AI yang dapat mengakomodasi hak moral dan hak ekonomi para Pencipta/Inventor sambil memberikan insentif bagi inovasi AI. Acuan politik hukum harus mempertimbangkan praktik terbaik negara lain, khususnya model transparansi dan hak opt-out TDM seperti di Uni Eropa. Selain itu, definisi yang ketat mengenai kontribusi manusia diperlukan untuk membedakan karya 'asli' dari hasil mesin semata.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah dan DPR Indonesia segera merumuskan undang-undang AI yang mengadopsi model TDM transparan (mirip UE atau Jepang), termasuk hak opt-out yang jelas dan definisi ketat tentang kontribusi manusia, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi potensi kerugian ekonomi (pelanggaran data scraping komersial) bagi para Pencipta dan industri kreatif nasional hingga mencapai 30-40% dari potensi kerugian global dalam waktu lima tahun, sekaligus memberikan kepastian hukum yang meningkatkan investasi dan inovasi AI yang etis. Tindakan ini krusial untuk mencegah Indonesia menjadi 'pasar bebas' bagi data ilegal.
Sumber Artikel: