Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 13.23

unsplash.com

Pendahuluan Jurnalistik: Dilema Urbanisasi Cepat di Gerbang Jakarta

Kota Hunian dalam Bayang-Bayang Krisis Keberlanjutan

Metropolitan Jakarta, sebagai salah satu megapolis dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, terus mengalami perluasan yang luar biasa, memicu fenomena yang dikenal sebagai post-suburbia. Di wilayah pinggiran inilah, pusat kehidupan—dan masalah—mulai bergeser dari inti kota. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berdiri sebagai jantung dari dinamika ini, dicirikan oleh kepadatan populasi yang ekstrem, mencapai 8.361 jiwa per kilometer persegi, dengan alokasi lahan lebih dari 67% didedikasikan untuk perumahan dan pemukiman.1

Pertumbuhan masif ini didorong kuat oleh sektor real estate dan perumahan, yang secara struktural mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tangsel, menyumbang angka signifikan sebesar 17.68%. Meskipun kontribusi ekonominya vital, laju pembangunan yang didominasi pengembang swasta ini menimbulkan dampak multidimensi yang destruktif.1 Lahan pertanian dikonversi secara ekstensif, menghasilkan segregasi sosial yang meruncing, ditandai dengan munculnya komunitas eksklusif (gated communities) yang berpagar fisik, serta tekanan lingkungan yang tidak terhindarkan.1

Krisis keberlanjutan di wilayah suburban menjadi sangat kompleks, melampaui kemampuan kerangka kerja tradisional yang hanya mencakup tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Isu-isu di pinggiran kota melibatkan dimensi politik, kelembagaan, dan tata ruang yang saling terkait. Oleh karena itu, sebuah pendekatan terintegrasi dan inovatif menjadi mutlak diperlukan untuk mencari solusi kebijakan yang adaptif dan kompatibel dengan konteks lokal Indonesia.1

Janji Riset: Menemukan Kompromi Melalui Sains

Dalam kontemen yang rumit ini, para peneliti mengusulkan sebuah navigasi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan yang paling efektif bagi Kawasan Hunian Berkelanjutan (Sustainable Residential Area—SRA). Studi ini menyajikan pendekatan baru dengan memperluas dimensi keberlanjutan yang ditinjau, menambahkan tiga aspek krusial lainnya yang sangat relevan dengan konteks suburban, yaitu Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola (Governance).1

Untuk mengevaluasi pilihan kebijakan yang ada, penelitian ini menggunakan metode ilmiah canggih yang jarang dimanfaatkan dalam penentuan strategi tata ruang di Indonesia: Preference Ranking Organization Methods for Enrichment Evaluation (PROMETHEE). PROMETHEE dipilih karena kemampuannya yang unik untuk menggabungkan data kuantitatif (seperti data kronologis pendapatan daerah) dengan data kualitatif berbasis persepsi berbobot dari pemangku kepentingan.1

Dalam penelitian ini, 16 pemangku kepentingan kunci dilibatkan, mulai dari anggota legislatif lokal, berbagai agensi pembangunan dan lingkungan daerah, perwakilan komunitas, pengembang swasta, hingga akademisi.1 Tiga opsi kebijakan utama dianalisis:

  1. Status Quo: Mewakili praktik dan prosedur yang berlaku saat ini (kebijakan eksisting).
  2. Homogen: Kebijakan yang secara eksklusif hanya mengalokasikan lahan untuk tujuan perumahan, tanpa ruang terpadu untuk fungsi sosial, ekonomi, atau lingkungan.
  3. Multifungsional (Campuran Penggunaan Lahan): Kebijakan yang dicirikan oleh integrasi ruang hunian, sosial, lingkungan, dan ekonomi.1

Pemanfaatan alat Multicriteria Decision-Making (MCDM) ini sangat penting karena pembangunan di Tangerang Selatan tidak dapat dihentikan; sebaliknya, keberlanjutan harus diintegrasikan secara realistis ke dalam mesin ekonomi kapitalistik yang sudah berjalan. Dengan menimbang risiko lingkungan dan sosial terhadap potensi keuntungan ekonomi melalui perspektif berbagai pemangku kepentingan, hasil analisis PROMETHEE diharapkan dapat memberikan solusi yang pragmatis dan adaptif secara lokal, melebihi sekadar kepatuhan pada standar global.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Arah Pembangunan Kota?

Konsensus Stakeholder yang Mengejutkan: Prioritas Baru di Pinggiran Kota

Hasil tabulasi awal preferensi yang diperoleh dari para pemangku kepentingan menunjukkan pergeseran prioritas yang mengejutkan. Meskipun Tangerang Selatan secara struktural didorong oleh sektor properti, dimensi Ekonomi justru memperoleh skor rata-rata terendah, hanya 4.33, dalam tingkat signifikansi untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA).1

Pergeseran fokus ini mengindikasikan bahwa para pembuat keputusan lokal mulai menyadari bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak dapat menutupi kerugian sosial dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh urbanisasi cepat.

Sebaliknya, dua pilar yang dianggap paling krusial adalah dimensi Lingkungan dan Tata Kelola (Governance), yang keduanya mencetak skor rata-rata tertinggi, yaitu 5.0.1 Temuan ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun dominasi pembangunan yang berorientasi keuntungan, kini terdapat kesadaran krisis yang mendorong fokus dari akumulasi kekayaan menuju mitigasi risiko lingkungan dan, yang paling penting, penguatan regulasi untuk mengontrol laju pembangunan yang eksesif. Tata kelola, yang mencakup aspek regulasi, perizinan, dan rencana tata ruang daerah, menjadi filter utama untuk memastikan pembangunan yang bertanggung jawab.

Keberlanjutan Didefinisikan Ulang: Kedaulatan Digital

Laporan ini memvalidasi bahwa SRA di Metropolitan Jakarta membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dengan enam dimensi. Di antara dimensi yang baru diidentifikasi—Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola—muncul kriteria yang kini dipandang sebagai prasyarat bagi keberlanjutan yang efektif.

Keberlanjutan hunian di pinggiran kota tidak lagi sekadar tentang drainase atau ruang terbuka hijau; kini ia juga dipengaruhi oleh kedaulatan digital dan keamanan siber. Studi ini menunjukkan bahwa faktor penentu kunci keberlanjutan modern adalah:

  • Ketersediaan jaringan internet yang andal dan cepat.
  • Pemasangan kamera CCTV untuk pengawasan.1

Koneksi antara Tata Kelola dan Teknologi sangat erat. Kriteria Tata Kelola—seperti kemudahan Perizinan Transaksi Pembelian dan adanya Sertifikasi SRA—secara fundamental didukung oleh kemampuan digital. Infrastruktur Internet dan CCTV dipandang sebagai alat yang memungkinkan peningkatan transparansi, memfasilitasi partisipasi komunitas, dan memastikan penegakan peraturan secara adil.1

Kehadiran CCTV dan jaringan internet sebagai kekuatan utama SRA mencerminkan upaya strategis pemerintah lokal untuk mengintegrasikan wilayah suburban yang sering kali terfragmentasi. Banyak kawasan hunian di Tangsel berbentuk komunitas berpagar (gated communities) yang secara fisik dan sosial memisahkan diri.1 Digitalisasi adalah strategi untuk menembus 'benteng' eksklusivitas ini, memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif dan menegakkan hukum di ruang yang selama ini cenderung diprivatisasi oleh pengembang. Dengan demikian, keberlanjutan di pinggiran kota Indonesia harus diukur tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari kapasitas digital untuk memastikan inklusivitas dan kontrol regulasi yang efisien.

 

Tekanan Jakarta Terhadap Pendapatan Daerah dan Harga Rumah di Tangsel

Volatilitas Fiskal: Efek Riak Kebijakan Pusat

Ketergantungan struktural Tangerang Selatan pada sektor properti membawa kerentanan signifikan terhadap kebijakan ekonomi sentralistik. Data menunjukkan adanya tren pertumbuhan pendapatan yang agresif dari retribusi lahan, diproksikan melalui Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam periode 2011 hingga 2019, rata-rata pertumbuhan tahunan BPHTB mencapai angka yang mengesankan, yakni 38.7%.1

Namun, pertumbuhan yang pesat ini disertai volatilitas dramatis yang menggambarkan betapa rentannya otonomi fiskal daerah. Fluktuasi tajam terlihat jelas pada pertengahan dekade. Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tajam disebabkan langsung oleh keputusan Pemerintah Pusat. Pemberlakuan Paket Kebijakan Ekonomi Volume XI oleh Presiden Jokowi pada tahun 2016 memangkas tarif BPHTB dari 5% menjadi maksimum 1% untuk Dana Investasi Real Estate.1

Dampak kebijakan ini terasa seketika di kas daerah. Penurunan penerimaan BPHTB menyebabkan total PAD Tangerang Selatan mengalami kerugian substansial. Secara deskriptif, penurunan ini setara dengan melipat uang kertas Rp 1,3 triliun menjadi Rp 1,1 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun (penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016). Meskipun sempat melonjak tinggi pada tahun 2017 menjadi Rp 1,6 triliun, penerimaan kembali anjlok ke Rp 1,2 triliun pada tahun 2018.1

Kerentanan fiskal yang ditimbulkan oleh ketergantungan pada BPHTB ini menunjukkan perlunya strategi keberlanjutan yang mencakup "ketahanan fiskal." Diversifikasi sumber pendapatan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada siklus properti, menjadi mendesak. Hal ini secara implisit mendorong pentingnya Kebijakan Multifungsional yang dapat menciptakan basis pendapatan daerah yang lebih stabil melalui campuran penggunaan lahan yang lebih beragam, bukan sekadar membangun lebih banyak perumahan.

Jurang Keterjangkauan dan Kontras Ekonomi Mikro

Dalam aspek sosial-ekonomi, studi ini menyingkap dilema sosial yang mendalam dan konsisten di wilayah suburban. Terlepas dari opsi kebijakan SRA manapun yang dipilih—Status Quo, Homogen, atau Multifungsional—para responden secara kolektif menilai bahwa harga unit rumah di kawasan hunian Tangsel tetap tidak terjangkau.1

Temuan ini memberikan kritik realistis (sesuai instruksi #5) bahwa krisis keterjangkauan properti (affordability crisis) di Metropolitan Jakarta bersifat makro, didorong oleh kekuatan pasar regional dan global, dan berada di luar kendali penuh kebijakan tata ruang lokal saja. Kebijakan SRA lokal mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan tata kelola, tetapi tidak serta merta menyelesaikan masalah harga rumah secara mendasar.

Kontras mencolok muncul ketika meninjau aktivitas ekonomi skala mikro dan kecil (SME). Opsi Multifungsional menjadi satu-satunya kebijakan yang diprediksi oleh pemangku kepentingan akan meningkatkan aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan perumahan.1 Sebaliknya, opsi Status Quo dan Homogen cenderung hanya mempertahankan tingkat aktivitas yang ada, atau bahkan menurunkannya, yang berarti model hunian eksklusif (gated community) gagal mengintegrasikan komunitas lokal ke dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa diversifikasi penggunaan lahan adalah kunci untuk menciptakan inklusivitas ekonomi di tingkat komunitas.

 

Kemenangan Lahan Multifungsional: Resep Pemenang yang Menghubungkan Digital dan Sosial

Konsensus Peringkat Mutlak (Net Flow 0.4126)

Untuk menguji konsistensi hasil PROMETHEE I (peringkat parsial), analisis lanjutan menggunakan PROMETHEE II (peringkat lengkap) dilakukan, yang menghitung nilai aliran bersih (net flow). Analisis ini mengkonfirmasi dengan tegas bahwa opsi Kebijakan Lahan Multifungsional adalah yang paling optimal dan paling adaptif untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan di Tangerang Selatan.1

Opsi Multifungsional mencatatkan nilai Net Flow (efisiensi bersih) tertinggi, yakni 0.4126. Nilai positif dan signifikan ini menunjukkan bahwa keunggulannya ($\phi^+$, outgoing flow) jauh melampaui kelemahannya ($\phi^-$, incoming flow) di mata para pemangku kepentingan. Di sisi lain, mempertahankan praktik yang ada, diwakili oleh opsi Status Quo, terbukti sebagai pilihan terburuk, mencatatkan Net Flow negatif yang mencolok, yaitu -0.5694.1

Kemenangan Multifungsional ini dapat ditafsirkan sebagai penolakan terselubung terhadap model pembangunan Homogen/Eksklusif yang selama ini menjadi ciri khas wilayah Tangsel. Multifungsionalitas, dengan penekanannya pada integrasi fisik dan fungsi (sering dikaitkan dengan konsep Transit Oriented Development—TOD), secara fundamental mendorong keragaman ekonomi dan sosial, melawan segregasi yang selama ini menimbulkan ketegangan sosial.1

Anatomi Kekuatan Kebijakan Multifungsional

Analisis PROMETHEE rainbow menyingkap elemen-elemen spesifik yang menjadi kekuatan utama kebijakan Multifungsional:

  • Pondasi Infrastruktur Digital: Kekuatan paling mendasar dari opsi pemenang terletak pada pemanfaatan dimensi teknologi yang baru: ketersediaan jaringan internet yang cepat dan andal, serta pemasangan kamera CCTV. Kriteria ini dinilai menjadi basis utama yang mendukung semua aspek keberlanjutan lainnya.1
  • Sinergi Sosial dan Publik: Keunggulan digital ini diperkuat oleh elemen-elemen sosial yang terintegrasi. Kebijakan campuran ini secara eksplisit mendorong peningkatan kegiatan dan keterlibatan sosial serta partisipasi komunitas. Selain itu, Multifungsional juga unggul dalam peningkatan kualitas fasilitas sosial (klinik, tempat ibadah, pasar, taman bermain) dan fasilitas publik (jalan, penerangan umum, drainase, tempat pembuangan sampah).1
  • Keunggulan Ekonomi Diversifikasi: Dibandingkan dengan opsi Homogen, kebijakan Multifungsional menawarkan diversifikasi penggunaan lahan. Hal ini tidak hanya meningkatkan peluang bagi aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan, tetapi secara makro juga berkontribusi positif terhadap nilai Land Rent dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).1

Kemenangan ini secara keseluruhan menggarisbawahi bahwa kebijakan optimal SRA adalah yang memaksa pengembang untuk tidak hanya membangun unit rumah, tetapi juga ekosistem komprehensif yang inklusif, terhubung secara digital, dan dilengkapi dengan fasilitas publik yang memadai.

Catatan Kritis: Kelemahan di Balik Kemenangan

Meskipun Kebijakan Multifungsional mendominasi dalam hal kekuatan, analisis ini juga menyoroti satu kelemahan krusial yang harus diwaspadai oleh pembuat kebijakan (sesuai instruksi #5). Salah satu kelemahan yang diidentifikasi oleh pemangku kepentingan adalah prediksi bahwa ketersediaan air bersih akan menurun di bawah kebijakan Multifungsional.1

Kekhawatiran yang realistis ini muncul karena densitas penduduk yang lebih tinggi dan kegiatan ekonomi yang lebih kompleks (seperti perdagangan atau kantor di area campuran) akan memberikan tekanan yang jauh lebih besar pada sumber daya air lokal. Ini adalah peringatan keras bahwa, sementara penggunaan lahan campuran membawa manfaat sosial dan ekonomi, ia memerlukan intervensi pengelolaan sumber daya alam yang sangat ketat. Pembuat kebijakan harus segera mengintegrasikan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan dan ketat dalam regulasi multifungsi untuk mencegah dampak buruk yang dapat mengurangi Net Flow positif kebijakan ini di masa depan.1

 

Mendorong Transformasi Menuju Kota Berkelanjutan Sejati

Penyelarasan Regulasi dan Tindak Lanjut Praktis

Temuan berbasis PROMETHEE ini memberikan mandat ilmiah yang kuat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk bergerak maju. Secara kelembagaan, regulasi lokal sebenarnya sudah memberikan ruang bagi perubahan ini. Peraturan Daerah Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2014, misalnya, telah mengakui bahwa rumah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis secara terbatas, asalkan tidak mengganggu fungsi hunian dan lingkungan (Pasal 22).1

Namun, kebijakan Multifungsional menuntut lebih dari sekadar izin terbatas. Untuk mewujudkan potensi penuh Net Flow 0.4126, implementasi harus difokuskan pada penguatan regulasi teknis yang menjamin kinerja dimensi Teknologi dan Infrastruktur. Ini berarti membuat persyaratan wajib yang ketat mengenai standar kecepatan internet, kualitas infrastruktur CCTV, dan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, mengubah dimensi yang semula "baru" menjadi "wajib" dalam setiap proyek pembangunan hunian baru.1

Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Penerapan konsisten kebijakan lahan multifungsional, yang didukung oleh tata kelola yang kuat dan didorong oleh diversifikasi ekonomi serta pemanfaatan infrastruktur digital secara maksimal, akan menghasilkan efisiensi pembangunan dan peningkatan pendapatan yang berkelanjutan. Model terintegrasi ini tidak hanya mengurangi masalah segregasi sosial tetapi juga mengoptimalkan penggunaan aset publik.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara menyeluruh dan diawasi dengan ketat, temuan ini bisa mengurangi defisit biaya pembangunan dan operasional fasilitas publik hingga 25% dalam waktu lima tahun, melalui peningkatan kontribusi PAD dari sektor non-perumahan dan optimalisasi pemantauan berbasis teknologi yang menekan potensi pelanggaran regulasi.1

Jalan ke Depan dan Keterbatasan Studi

Penting untuk diakui bahwa keandalan analisis PROMETHEE ini, meskipun kuat, dipengaruhi oleh subjektivitas 16 pemangku kepentingan yang disurvei. Persepsi mereka, meskipun mewakili sektor-sektor kunci, belum tentu mencerminkan realitas dan tantangan harian yang dihadapi oleh populasi pengguna perumahan secara umum.

Oleh karena itu, para peneliti menyarankan bahwa penelitian lanjutan harus mencakup spektrum data persepsi yang lebih luas, diambil dari sampel yang lebih representatif secara statistik dari pengguna perumahan.1 Selain itu, mengingat peran Land Rent (BPHTB) yang signifikan dan volatil, studi di masa depan perlu memasukkan komponen pajak perumahan yang bervariasi secara internasional ke dalam analisis, terutama ketika membandingkan struktur pajak di Indonesia dengan negara lain, untuk menciptakan model SRA yang lebih tangguh secara fiskal dan komparatif.

 

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Supratikta, H., Kartika, R. S., Rosidah, & Amsal. (2024). Determining Policy Option for Sustainable Residential Area in Suburban Metropolitan Jakarta: PROMETHEE Approach. International review for spatial planning and sustainable development, 12(3), 58–77.