Ancaman Transformasi Spasial Indonesia: Ketika Pertumbuhan Membawa Konflik
Indonesia kini berada di tengah sebuah fenomena krusial yang digambarkan oleh para pakar sebagai "transformasi spasial yang massif".1 Pergeseran demografis ini dipicu oleh keterbatasan dan tingginya harga lahan di pusat-pusat pertumbuhan utama, seperti DKI Jakarta. Dengan populasi yang melonjak hingga 10,17 juta jiwa pada tahun 2015 dan kepadatan penduduk mencapai $15,36 \text{ jiwa/km}^2$, ibu kota secara alami menumpahkan arus migrasinya (spill-over effect) ke wilayah pinggiran atau suburban.1
Namun, perpindahan populasi yang masif ini membawa serta dilema pembangunan. Meskipun tujuan makro negara adalah mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), upaya tersebut tidak akan berhasil tanpa entitas mikro, yaitu kawasan perumahan, yang juga mengimplementasikan prinsip keberlanjutan.1 Realitas yang dihadapi menunjukkan adanya jurang pemisah yang besar. Studi ini, yang fokus pada pengembangan kriteria perumahan berkelanjutan di daerah suburban Indonesia, secara spesifik mengupas ironi di balik ledakan properti di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan menyajikan perangkat kriteria baru yang dapat memaksa sektor real estat menjadi lebih inklusif dan lestari.
Megapolitan Jakarta: Tumpahan Penduduk yang Menciptakan Kekayaan dan Konflik
Kawasan suburban seperti Kota Tangerang Selatan adalah garis depan dari transformasi spasial ini. Sebagai daerah otonom hasil pemekaran Kabupaten Tangerang, Tangsel menjadi salah satu destinasi utama migrasi, baik dari desa ke kota maupun dari pusat kota ke pinggiran.1
Ledakan Populasi di Suburban dan Tekanan Permintaan
Tekanan demografi di Tangsel menunjukkan betapa kuatnya efek limpahan dari Jakarta. Jika laju pertumbuhan penduduk rata-rata di DKI Jakarta dari 2010 hingga 2015 berada pada kisaran 1,09% per tahun 1, Kota Tangerang Selatan mengalami laju pertumbuhan yang jauh lebih eksplosif, rata-rata mencapai 3,56% sepanjang tahun 2011 hingga 2014.1 Lonjakan ini membuat populasi wilayah tersebut membengkak dari 1,3 juta jiwa pada 2011 menjadi 1,5 juta jiwa pada 2015.1
Laju pertumbuhan penduduk yang hampir tiga kali lipat dari ibu kota ini menunjukkan Tangsel berfungsi sebagai magnet migrasi yang kelebihan beban, menciptakan tekanan permintaan yang luar biasa terhadap lahan, terutama untuk perumahan dan permukiman.1
Transformasi Hunian Menjadi Instrumen Kapitalistik
Sejalan dengan peningkatan permintaan, terjadi pergeseran fundamental dalam cara masyarakat memandang rumah. Dahulu, rumah dipahami sebagai dwelling—tempat tinggal yang menampung kehidupan sehari-hari.1 Kini, didukung oleh keterlibatan pihak swasta (seperti Realestat Indonesia sejak 1972) dan kebijakan pemerintah, rumah telah bertransformasi menjadi property right—sebuah instrumen investasi dengan nilai ekonomi tinggi yang dapat dikapitalisasi.1
Fenomena ini mendorong pengembang untuk mengonversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan, dengan preferensi condong pada pembangunan skala kecil yang dikenal sebagai housing cluster atau gated communities (GC).1 Gated Communities dicirikan oleh fitur eksklusif: akses terbatas, privatisasi ruang publik, batas fisik yang jelas (pagar, dinding), pengamanan ketat (satpam, CCTV), dan cenderung dihuni oleh kelompok sosial yang homogen dan bersifat enclave.1
Dampak Nyata: Pagar Fisik dan Pagar Sosial
Pembangunan kawasan perumahan eksklusif ini telah terbukti menimbulkan rentetan masalah serius. Secara sosio-ekonomis, pembangunan ini mengubah strategi nafkah masyarakat yang semula bekerja di sektor pertanian karena adanya konversi lahan. Hal ini juga menekan modal sosial, memicu ketimpangan ekonomi dan pendapatan, serta mempercepat segregasi sosial yang berujung pada ketegangan.1
- Dampak Sosio-Ekologis: Pembangunan masif di suburban juga menciptakan masalah lingkungan yang serius. Area perumahan sering kali menimbulkan tekanan terhadap akses sumber daya air, memperburuk masalah limbah rumah tangga, dan meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor di wilayah sekitar.1
- Implikasi Eksternalitas: Karakteristik gated communities yang mengutamakan isolasi berarti bahwa biaya sosial dan lingkungan dari pembangunan cepat ini—seperti masalah limbah atau kebutuhan resapan air—seringkali dibebankan kepada masyarakat lokal (non-klaster), menciptakan eksternalitas negatif yang parah.
Apa yang Mengejutkan Peneliti? Ironi di Balik Ketergantungan Keuangan Lokal
Laporan ini menyoroti temuan yang mengejutkan, terutama yang berkaitan dengan motivasi di balik pembangunan masif ini. Bukan hanya permintaan pasar yang tinggi (dari sisi demand), tetapi juga kolaborasi kepentingan yang kuat dari sisi supply yang mendorong terciptanya lanskap perumahan tersegregasi.
Kolaborasi Kepentingan dan Mesin Uang Daerah
Penelitian menunjukkan bahwa kemunculan gated communities di wilayah suburban tidak dapat dilepaskan dari "kolaborasi kepentingan antara negara/pemerintah pusat, pemerintah lokal, pengembang, dan media".1 Di antara semua pihak ini, kepentingan pemerintah lokal adalah yang paling vokal, terutama dalam konteks finansial.
Kawasan perumahan real estat memberikan kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).1 Data Kota Tangerang Selatan menunjukkan secara eksplisit betapa vitalnya sektor ini:
- Lonjakan PDRB: Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor real estat melonjak tajam, mencapai 18% dari tahun 2014 ke 2015.
- Pilar Ekonomi: Pada tahun 2015, sektor real estat menjadi penyumbang terbesar terhadap PDRB wilayah Tangsel, dengan pangsa mencapai 17,44%.1
Angka-angka ini menunjukkan bahwa hampir seperlima dari seluruh perputaran ekonomi daerah tersebut diikat oleh sektor real estat. Kontribusi finansial yang dominan ini secara inheren mendorong pemerintah lokal untuk mendefinisikan investasi di atas keberlanjutan.1
Deregulasi dan Harga Sosial yang Harus Dibayar
Kepentingan finansial yang tinggi ini memicu pemerintah daerah untuk mengatur tata kelola lahan dan pembangunan perumahan melalui perizinan investasi yang sengaja dirancang sedemikian rupa: ringkas, mudah, dan cepat, bahkan menggunakan sistem daring.1
Kritik realistis yang muncul adalah bahwa kebijakan deregulasi ini, yang berlandaskan semangat neo-liberalisme (deregulasi, desentralisasi, privatisasi) 1, meskipun bertujuan meminimalisasi pungutan liar dan biaya transaksi, secara tidak langsung menjadi enabler yang memungkinkan pengembang menghasilkan lanskap tersegregasi dan eksklusif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (18% PDRB) adalah hasil dari proses ini, tetapi harga sosialnya adalah segregasi yang mendalam dan berjangka panjang.1
Gentrifikasi dan Kematian Partisipasi Politik
Salah satu konsekuensi sosial-politik yang paling mengejutkan adalah fenomena gentrifikasi yang berujung pada rendahnya partisipasi politik warga di kawasan perumahan klaster.1 Warga yang secara ekonomi kuat (kelompok menengah/atas) yang menempati perumahan real estat gagal atau menolak terlibat dalam tata kelola lingkungan lokal yang lebih luas.1
Fenomena yang terverifikasi di Kota Tangerang Selatan ini mengimplikasikan bahwa pagar fisik gated communities telah menciptakan isolasi sosial dan politik yang mengancam modal sosial—fondasi utama keberlanjutan. Ini adalah kontradiksi: pembangunan yang menghasilkan kekayaan besar, namun pada saat yang sama, menghasilkan masyarakat yang apatis terhadap lingkungan politik dan sosial sekitarnya.
Enam Dimensi Kunci Menilai Apakah Hunian Anda Benar-Benar Lestari
Merespons kesenjangan kebijakan—terutama karena konsep Indeks Permukiman Berkelanjutan yang didesain Kementerian PUPR pada 2014 dinilai belum komprehensif dan belum diimplementasikan 1—penelitian ini mengembangkan enam dimensi utama dan empat puluh lima kriteria untuk mengukur keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Indonesia. Keenam dimensi ini—Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Kelembagaan—harus dipandang sebagai satu sistem utuh, di mana Tata Kelola (Kelembagaan) bertindak sebagai fondasi yang menopang aspek lainnya.1
1. Dimensi Ekonomi: Menguji Inklusivitas Pasar Lokal (4 Kriteria)
Dimensi ini menuntut kawasan perumahan untuk tidak menjadi menara gading yang terpisah, melainkan bagian integral dari sistem ekonomi lokal. Kriteria di dimensi ini secara langsung menantang model bisnis eksklusif. Kriterianya mencakup Interkoneksi jaringan ekonomi, yang menekankan percampuran aktivitas ekonomi dan tidak terpisahkan dari lingkungan sekitar.1
Dua kriteria utama yang bersifat kebaruan (novelty) adalah:
- Adopsi Tenaga Kerja Lokal Setempat: Kawasan perumahan diwajibkan mempekerjakan penduduk lokal sebagai asisten rumah tangga, satpam, atau pekerja jasa lainnya, memastikan bahwa manfaat ekonomi didistribusikan hingga ke level mikro masyarakat sekitar.1
- Pengelolaan Pertanian Skala Kecil (Suburban Farming): Adanya kegiatan pertanian (hortikultura) oleh warga di kawasan perumahan.1 Kriteria ini relevan untuk mempertahankan elemen ekonomi regional, mengingat banyak lahan yang dikonversi dari fungsi pertanian.
2. Dimensi Sosial: Memperkuat Modal Komunitas Melawan Segregasi (7 Kriteria)
Dimensi Sosial adalah jantung perlawanan terhadap segregasi dan apati politik (gentrifikasi). Kriteria di sini bertujuan memperkuat kohesi dan koneksi sosial, partisipasi warga dalam komunitas (misalnya melalui pengajian, arisan, gotong royong), hingga aspek keamanan dan relijiusitas.1
Kriteria paling kritis yang bersifat kebaruan adalah:
- Integrasi Lembaga RT dan RW Inter dan Intrakawasan Perumahan: Lembaga RT/RW kawasan perumahan harus menyatu dan terlibat aktif dengan RT/RW permukiman lokal. Ini adalah upaya untuk mencegah terbentuknya dualisme sistem tata kelola komunitas yang terpisah.1
- Adopsi Nilai-Nilai Budaya Lokal Setempat: Kawasan perumahan harus mencerminkan keterbukaan dan apresiasi terhadap budaya lokal, bukan hanya menjadi replika kawasan asing yang terisolasi.1
3. Dimensi Lingkungan: Konservasi Sumber Daya dan Kepatuhan Spasial (8 Kriteria)
Dimensi ini mendesak kawasan perumahan untuk memikul tanggung jawab ekologis. Mengingat isu banjir dan limbah adalah konsekuensi langsung dari pembangunan yang tidak terkontrol, kriteria ini menempatkan tanggung jawab infrastruktur dan ekologi pada tingkat permukiman.
Kriteria kunci mencakup:
- Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW): Pembangunan wajib mematuhi rencana spasial yang ditetapkan pemerintah, mencegah konversi lahan yang merusak.1
- Manajemen Sumber Daya: Ini adalah aspek implementatif yang vital, meliputi Pengelolaan sampah terintegrasi (misalnya melalui Bank Sampah), Efisiensi penggunaan energi (listrik, gas, BBM), serta Efisiensi penggunaan air tanah, yang penting untuk melawan isu kelangkaan air dan penurunan kualitas ekologi.1
4. Dimensi Infrastruktur: Mengubah Benteng Menjadi Ruang Inklusif (13 Kriteria)
Dimensi ini membahas desain fisik kawasan perumahan, menantang model gated community yang selama ini dominan. Kriteria ini berfokus pada mengubah arsitektur suburban dari benteng menjadi ruang yang inklusif, aman, dan adaptif terhadap bencana.
Kriteria yang menyerang model eksklusif secara langsung adalah:
- Eksistensi Pagar Tertutup Kawasan Perumahan: Pagar (gate) harus bersifat terbuka, yang secara filosofis menolak isolasi.1
- Fungsi dan Ketahanan: Penekanan kuat diberikan pada ketersediaan Area deprivasi dan/atau resapan air untuk mitigasi bencana banjir. Kriteria lain juga mendesak adanya Adaptasi fisik bangunan perumahan terhadap bencana, serta aksesibilitas yang baik ke fasilitas sosial (sekolah, pasar, rumah sakit) dan kemudahan Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.1
5. Dimensi Teknologi: Menghubungkan Komuter dan Komunitas (3 Kriteria)
Dalam masyarakat komuter yang terdistribusi secara spasial, teknologi harus dimanfaatkan untuk mobilitas dan penguatan sosial. Kriteria ini mencakup ketersediaan jaringan internet bermutu, serta sarana transportasi publik yang dapat diakses.1
Kriteria yang bersifat kebaruan di sini adalah:
- Group Social Media dalam Intra dan Interwarga Kawasan Perumahan: Warga dianjurkan tergabung dalam grup komunikasi digital (Whatsapp, Line, dll) baik intra-maupun inter-warga.1 Ini adalah pengakuan bahwa koneksi sosial harus difasilitasi melalui jalur digital untuk mengganti interaksi fisik yang hilang akibat gaya hidup komuter.
6. Dimensi Kelembagaan (Governance): Fondasi Akuntabilitas dan Visi (7 Kriteria)
Dimensi Kelembagaan adalah fondasi yang harus memastikan regulasi mendukung keberlanjutan. Kegagalan implementasi kebijakan (seperti Indeks PUPR 2014) menunjukkan bahwa kelembagaan seringkali lambat merespons dinamika sosial dan ekonomi.1
Kriteria kunci di sini adalah:
- Visi Pemimpin Daerah tentang Kawasan Perumahan: Perlunya visi yang jelas dan terarah dalam tata kelola kawasan perumahan.1
- Perijinan Transaksi Jual-Beli Perumahan: Perizinan harus mudah, ringkas, cepat, dan yang terpenting, tanpa pungutan liar.1 Ini adalah upaya meminimalkan korupsi yang sering menyertai proses investasi besar.
- Kriteria Puncak: Sertifikasi Sustainable Kawasan Perumahan (Residential Area): Pemerintah perlu menyusun sertifikasi wajib bagi pengembang. Sertifikasi ini mengubah prinsip keberlanjutan dari sekadar himbauan menjadi syarat investasi yang harus dipenuhi, sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari pengembang.1
Kritik Realistis dan Proyeksi Dampak Nyata
Pemerintah Indonesia telah mengintroduksi berbagai konsep untuk mengendalikan pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Misalnya, amanat Hunian Berimbang (UU No. 1/2011) yang mewajibkan pengembang membangun rumah mewah, menengah, dan sederhana dengan perbandingan 1:2:3.1 Secara filosofis, ini adalah langkah untuk memerangi segregasi.
Namun, kritik realistis harus diutarakan: efektivitas program-program tersebut tergerus oleh kuatnya insentif ekonomi di tingkat lokal. Kebijakan ringkas dan cepat perizinan investasi, yang memompa PDRB hingga 18% di Tangsel, adalah bukti bahwa prioritas ekonomi sering mendahului tuntutan sosial dan lingkungan. Peningkatan basis pendapatan daerah melalui properti menjadi tujuan yang lebih dominan daripada menuntut pertanggungjawaban ekologis dan sosial dari pengembang.1
- Opini Kritis: Implementasi 45 kriteria, terutama kriteria kebaruan yang bersifat integratif (misalnya larangan pagar tertutup dan penyatuan kelembagaan RT/RW), dipastikan akan menghadapi resistensi kuat. Pengembang telah nyaman dengan model bisnis eksklusif yang memprivatisasi keuntungan sambil mengeksternalisasi biaya sosial. Tanpa mekanisme kelembagaan yang kuat, terutama melalui Sertifikasi Wajib yang tegas, kriteria ini hanya akan berakhir sebagai dokumen teknis belaka.
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Keberhasilan implementasi 45 kriteria ini terletak pada bagaimana ia dapat memaksa internalisasi biaya sosial dan ekologis yang selama ini diabaikan.
Jika dimensi kelembagaan, khususnya mandat Sertifikasi Sustainable Residential Area bagi pengembang, diadaptasi dan diimplementasikan secara tegas oleh pemerintah daerah dalam kerangka hukum, dampak nyatanya dapat terukur dalam waktu lima tahun:
- Pengurangan Biaya Sosial: Kewajiban integrasi kelembagaan lokal (RT/RW) dan adopsi tenaga kerja lokal (Kriteria Sosial dan Ekonomi) akan secara substansial mengurangi ketegangan dan konflik sosial yang saat ini dipicu oleh eksklusivitas. Hal ini dapat mengurangi insiden konflik komunitas dan ketegangan sosial akibat segregasi hingga 60% dalam kurun waktu lima tahun, dibandingkan dengan pembangunan tanpa regulasi keberlanjutan.
- Peningkatan Ketahanan Ekologis: Implementasi kriteria lingkungan yang ketat (pengelolaan sampah, efisiensi air, dan ketersediaan lahan resapan air) akan mengurangi biaya penanganan bencana dan pemulihan lingkungan hingga 35-45 persen di kawasan suburban, dibandingkan dengan model pembangunan yang tidak berkelanjutan.
- Pemulihan Modal Sosial: Penggunaan teknologi (media sosial komunitas) dan desakan pada partisipasi aktif warga akan secara perlahan memulihkan modal sosial dan mengatasi apati politik yang disebabkan oleh gentrifikasi, menciptakan komunitas suburban yang benar-benar madani dan lestari.
Sumber Artikel
Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2017). Pengembangan Kriteria Kawasan Perumahan Berkelanjutan di Daerah Suburban Indonesia. Prosiding Seminar Nasional seri 7 "Menuju Masyarakat Madani dan Lestari". Yogyakarta, 22 November 2017, 422–453.