Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IPAL Komunal Sleman – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

11 Desember 2025, 17.59

unsplash.com

Pendahuluan: Saat Air Tanah Merapi Terancam oleh Limbah Harian

Latar Belakang Krisis Air dan Ancaman Tersembunyi di Sleman

Kabupaten Sleman, yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), secara geografis memainkan peran penting sebagai zona resapan bagi Aquifer Merapi yang produktif. Namun, wilayah ini menghadapi ancaman lingkungan yang serius dan sering kali tersembunyi, yaitu pencemaran air tanah dan sungai.1 Penelitian sebelumnya telah menyoroti bahwa peningkatan pesat populasi, bisnis, dan pertumbuhan pariwisata cenderung meningkatkan laju penarikan air tanah. Meskipun demikian, di area urban Sleman, para peneliti justru mencatat fenomena anomali berupa peningkatan muka air tanah.1

Peningkatan muka air tanah ini, alih-alih menjadi kabar baik, justru mengindikasikan adanya urban recharge yang masif, dan komponen utama dari recharge tersebut adalah kebocoran dari jaringan air limbah domestik (sewers leakage).1 Ini berarti infrastruktur sanitasi yang tidak sempurna tidak hanya gagal membersihkan air, tetapi juga secara aktif menyuntikkan polutan, termasuk bakteri berbahaya dan zat kimia, langsung ke dalam akuifer yang menjadi sumber air baku masyarakat. Kondisi ini mengubah fokus masalah dari sekadar ketersediaan air menjadi isu kualitas air yang mendesak, terutama karena sungai-sungai di sekitar area studi telah terkonfirmasi tercemar, dengan tingkat Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Coliforms yang signifikan.1

Fokus Penelitian: Tidak Hanya Efluen, tetapi Infrastruktur Konvei

Menanggapi urgensi tersebut, sebuah studi komprehensif dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan dua model Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (DWWTP) komunal di Sleman: DWWTP Tipe 1 di Sembir dan DWWTP Tipe 2 di Tambakrejo.1 Evaluasi ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi yang kuat bagi perbaikan sistem sanitasi di masa depan.

Uniknya, penelitian ini melangkah lebih jauh daripada sekadar mengukur kualitas air buangan (effluent). Para peneliti juga menilai kinerja teknis inti sistem, seperti debit air limbah (influent discharge) dan waktu tinggal air (detention time), yang sangat menentukan efektivitas pengolahan biologis. Selain itu, aspek infrastruktur pendukung, khususnya material bak kontrol (manhole), turut dianalisis untuk mengidentifikasi praktik terbaik yang dapat mencegah kebocoran polutan langsung ke dalam tanah.1 Ini adalah langkah penting, karena seringkali titik-titik lemah dalam jaringan pipa, seperti manhole, menjadi sumber kontaminasi paling berbahaya bagi air tanah dangkal.

 

Kisah Dua IPAL: Kontras Kinerja dan Kunci Sukses ABR

Perbandingan antara DWWTP Tipe 1 dan Tipe 2 menunjukkan kontras yang dramatis, memberikan pelajaran krusial tentang pentingnya desain yang realistis dan teknologi yang tepat dalam pengolahan air limbah anaerobik.

DWWTP Sembir (Tipe 1): Ketika Desain Dikalahkan Kenyataan

DWWTP Tipe 1 di Sembir dirancang untuk melayani 450 jiwa.1 Namun, dalam implementasinya, jumlah pengguna melampaui kapasitas desain. Kondisi ini segera menciptakan masalah klasik dalam infrastruktur sanitasi: kapasitas berlebihan (excessive capacity) dan, yang paling merusak, waktu detensi yang tidak sesuai (improper detention time).1

Analisis teknis menunjukkan bahwa debit air limbah rata-rata harian (mean discharge) pada DWWTP Tipe 1 berada di atas batas desain.1 Kondisi ini menyebabkan kecepatan aliran air (flow velocity) menjadi sangat cepat. Sebagai ilustrasi, tercatat bahwa puncak aliran air mencapai $113.53~m^{3}/d$, nilai yang jauh melampaui batas optimal.1 Akibatnya, air limbah bergerak terlalu cepat melalui setiap unit pengolahan. Misalnya, di tangki settler (pengendap) yang idealnya dirancang untuk menahan air selama 12 jam, air hanya tertahan selama kurang dari empat jam, yaitu sekitar 3.78 jam.1

Proses pengolahan air limbah, terutama yang berbasis biologis, sangat bergantung pada waktu kontak yang memadai agar mikroorganisme dapat mendegradasi polutan organik. Waktu detensi yang sangat singkat ini secara fundamental menggagalkan kemampuan sistem untuk bekerja optimal. Kegagalan fungsi akibat kecepatan aliran yang berlebihan ini terlihat jelas pada kualitas air buangan.

Efisiensi Pengolahan yang Gagal:

  • Chemical Oxygen Demand (COD): Efisiensi penghilangan COD, yang merupakan indikator polusi organik yang kritis, hanya mencapai 34.43%.1 Dengan konsentrasi efluen terukur sebesar 247.59 mg/L, sistem ini jauh melampaui batas baku mutu nasional sebesar 100 mg/L.1

  • Data Vivid (Efisiensi yang Rendah): Efisiensi COD Tipe 1 yang hanya 34.43% ini seperti sebuah pabrik yang dipaksa memproses barang empat kali lebih cepat dari kapasitas normalnya. Hasilnya, produk—yaitu air—dikeluarkan dalam keadaan cacat dan masih tercemar.

  • Polutan Kritis Lain: Selain COD, DWWTP Tipe 1 juga gagal memenuhi standar baku mutu untuk Biochemical Oxygen Demand ($\text{BOD}_5$, dengan konsentrasi efluen 106.72 mg/L dibandingkan batas 30 mg/L), Amonia (40.50 mg/L berbanding batas 10 mg/L), dan yang paling mengkhawatirkan, Total Coliforms, dengan konsentrasi efluen melebihi $>1.600 \times 10^5$ MPN/100mL, jauh di atas batas aman 3000 MPN/100mL.1

DWWTP Tambakrejo (Tipe 2): Rahasia ABR dan Lompatan Efisiensi

Berlawanan dengan Tipe 1, DWWTP Tipe 2 di Tambakrejo, yang dirancang untuk melayani 400 jiwa, menunjukkan kinerja yang optimal.1 Kesuksesan ini bermula dari kesesuaian kapasitas; debit air limbah rata-rata di Tambakrejo ditemukan berada di bawah debit desain, dengan puncak aliran hanya $34.44~m^{3}/d$.1 Aliran yang terkontrol ini memungkinkan waktu detensi yang lebih panjang (longer existing detention time), menciptakan lingkungan yang ideal bagi proses pengolahan.1

Kunci teknologi yang membuat Tipe 2 unggul adalah adanya Anaerobic Baffled Reactor (ABR), yang ditempatkan setelah Settler dan sebelum Anaerobic Filter (AF).1 ABR berfungsi sebagai reaktor pengolahan biologis dengan saringan bertumpuk. Proses di dalamnya menguraikan zat organik oleh bakteri yang bekerja tanpa oksigen, menghasilkan biogas (metana dan karbon dioksida) dan lumpur dalam jumlah sedikit.1

Lompatan Kualitas yang Impresif:

Berkat desain ABR dan waktu tinggal yang memadai, DWWTP Tipe 2 mencapai lompatan kualitas air yang signifikan.

  • Efisiensi COD: Efisiensi penghilangan COD mencapai angka impresif 73.24%.1 Nilai efluen COD terukur (84.22 mg/L) berhasil memenuhi baku mutu nasional (di bawah 100 mg/L).1

  • Data Vivid (Perbandingan Efisiensi): Lompatan efisiensi Tipe 2 yang mencapai 73.24% adalah peningkatan kualitas yang nyaris dua kali lipat lebih baik dibanding Tipe 1. Efek ini dimungkinkan karena waktu detensi yang lebih panjang, khususnya di ABR, yang memberikan kesempatan maksimal bagi mikroba untuk mendegradasi polutan organik.

  • Parameter yang Memenuhi Standar: Secara keseluruhan, Tipe 2 berhasil memenuhi standar untuk enam parameter utama berdasarkan regulasi Indonesia: pH, Total Suspended Solids (TSS), Total Dissolved Solids (TDS), Minyak dan Lemak (Oil and Grease), Deterjen, dan COD.1 Keberhasilan dalam mereduksi Deterjen ini sangat dipengaruhi oleh waktu detensi yang memadai.1

 

Ancaman Bakteri di Bawah Tanah: Pentingnya Standar Manhole Anti-Bocor

Fokus penelitian ini tidak berhenti pada instalasi pengolahan, tetapi merambah ke jaringan pengumpul limbah, di mana ditemukan titik lemah sanitasi komunal yang paling dekat dengan sumber air minum masyarakat: bak kontrol atau manhole.

Deteksi Dini Polusi Jaringan Pipa

Air tanah di sekitar manhole di area penelitian diukur untuk parameter Total Coliforms, sebagai indikator potensi kebocoran bakteri.1 Data sekunder menunjukkan bahwa air sumur dangkal di dekat sistem air limbah sudah menunjukkan adanya koliform dalam jumlah signifikan.1 Analisis tanah di bawah manhole kemudian dilakukan untuk mengidentifikasi jenis material yang paling rentan terhadap kebocoran bakteri E. Coli. Standar baku mutu kesehatan lingkungan untuk E. Coli dalam tanah adalah $0~cfu/100~mL$.1

Hasilnya sangat mengkhawatirkan: hampir semua jenis manhole yang umum digunakan menunjukkan kontaminasi masif.

  • Manhole tipe pasangan bata (masonry), beton pracetak biasa, dan cor di tempat (cast-in-situ concrete) menunjukkan konsentrasi E. Coli yang ekstrem, melebihi $>1.6 \times 10^5~cfu/100~mL$.1

  • Konsentrasi Total Coliforms pada manhole yang bocor bahkan mencapai puluhan juta MPN/100mL, jauh di atas standar aman 50 MPN/100mL.1

Tingkat kontaminasi yang terdeteksi di bawah manhole ini jauh melebihi konsentrasi efluen yang dikeluarkan oleh IPAL, bahkan pada sistem yang gagal sekalipun.1 Hal ini menegaskan bahwa ancaman kesehatan masyarakat yang paling parah mungkin bukan berasal dari air yang dibuang setelah diolah, tetapi dari saluran pipa jaringan air limbah yang bocor sebelum limbah mencapai IPAL. Ini merupakan bahaya pencemaran titik terdekat (point-source contamination) yang berpotensi memengaruhi sumur dangkal secara langsung.

Solusi Rekomendasi: Manhole Cincin Beton Pracetak

Di tengah temuan kontaminasi yang luas, hanya satu jenis material manhole yang terbukti efektif menahan perkolasi bakteri E. Coli ke dalam tanah.

  • Praktik Terbaik: Bakteri E. Coli tidak ditemukan (not present) di tanah di bawah manhole dasar cincin beton pracetak (ring type precast concrete manholes).1

  • Implikasi Struktural: Manhole jenis ini direkomendasikan untuk penggunaan di masa depan karena menawarkan integritas struktural yang superior dan lebih kedap air dibandingkan konstruksi konvensional seperti pasangan bata atau cor di tempat. Namun, para peneliti menekankan bahwa keefektifan ini sangat bergantung pada pemasangan yang cermat. Pengawasan ketat diperlukan saat pembuatan lapisan nat (grout lined section) harus dilakukan untuk menghilangkan celah kebocoran.1

 

Kritik Realistis: Ketika ‘Tercemar Sedang’ Belum Cukup Aman

Meskipun DWWTP Tipe 2 menunjukkan kinerja yang optimal secara teknis, studi ini memberikan kritik konstruktif bahwa pencapaian standar sekunder saja tidak memadai untuk melindungi ekosistem kritis seperti Aquifer Merapi di Sleman.

Indeks Polusi (PI): Status ‘Tercemar Sedang’

Untuk menilai kualitas air buangan secara keseluruhan, para peneliti menggunakan metode Indeks Polusi (PI) Nemerow & Sumitomo.1 Metode ini menunjukkan tingkat relatif dari polusi yang diperbolehkan.

  • Hasil Komparatif: DWWTP Tipe 1 mencatat PI 7.02, dan DWWTP Tipe 2 yang unggul mencatat PI sedikit lebih rendah, yaitu 6.96.1

  • Kategori Bahaya: Kedua nilai ini berada dalam rentang $5.0 < PI_j \le 10$, yang secara resmi dikategorikan sebagai "tercemar sedang" (moderately polluted).1

Fakta bahwa sistem "optimal" (Tipe 2) yang berhasil memenuhi sebagian besar baku mutu masih dikategorikan sebagai moderately polluted menunjukkan dua hal. Pertama, standar baku mutu yang digunakan mungkin terlalu konservatif untuk lingkungan yang sangat sensitif seperti Sleman, yang berada di atas akuifer produktif. Kedua, lingkungan Sleman kemungkinan besar membutuhkan sistem pengolahan yang mampu mencapai kategori 'good condition' ($PI_j \le 1.0$) untuk benar-benar menghilangkan dampak kumulatif polusi terhadap ekosistem sungai dan air tanah dalam jangka panjang.

Problem Nutrien dan Patogen yang Belum Tuntas

Kelemahan paling menonjol dari kedua sistem, termasuk Tipe 2 yang optimal, adalah kegagalan kolektif dalam menghilangkan nutrisi (Amonia) dan patogen (Total Coliforms) secara efektif.1

  • Kegagalan Amonia: DWWTP Tipe 2 gagal mereduksi Amonia secara signifikan. Konsentrasi Amonia di air masuk (influent) sebesar 34 mg/L hanya berkurang menjadi 27.00 mg/L di air buangan (effluent), masih jauh di atas batas aman 10 mg/L.1 Amonia yang tinggi di efluen berpotensi menyebabkan eutrofikasi di badan air penerima. Kegagalan ini mengindikasikan bahwa proses biologis nitrifikasi-denitrifikasi yang dibutuhkan untuk menghilangkan nitrogen belum berjalan efisien.

  • Kegagalan Total Coliforms dan Pemeliharaan: Kedua DWWTP tidak menunjukkan pengurangan yang efektif terhadap Total Coliforms.1 Masalah utama diyakini terkait dengan deposisi lumpur tinja (excreta sludge deposition) di outlet dan kurangnya pemeliharaan.1 Untuk mengatasi masalah patogen ini, para peneliti menyimpulkan bahwa pemeliharaan berkelanjutan, termasuk pengerukan lumpur (sludge pumping) minimal setiap dua tahun, adalah keharusan operasional yang tidak bisa ditawar.1

Fenomena Peningkatan TDS: Kritik Realistis pada Sistem Anaerobik

Sistem pengolahan anaerobik memiliki keterbatasan proses, salah satunya terlihat dari fenomena Total Dissolved Solids (TDS).

  • Analisis TDS: DWWTP Tipe 1 menunjukkan peningkatan TDS di efluen.1

  • Konteks Ilmiah: Peningkatan TDS dapat terjadi dalam reaktor anaerobik karena padatan tersuspensi yang besar (TSS) diuraikan menjadi zat terlarut yang lebih kecil (TDS). Jika waktu detensi terlalu singkat (seperti yang terjadi di Tipe 1), partikel terlarut ini belum sepenuhnya terdegradasi menjadi gas (metana dan CO2), sehingga konsentrasi TDS di air buangan justru meningkat.1 Meskipun DWWTP Tipe 2 mampu mereduksi TDS, tantangan ini menunjukkan bahwa sistem anaerobik memerlukan pengawasan waktu detensi yang sangat ketat untuk memastikan degradasi tuntas.

 

Dari Limbah Menjadi Energi dan Air: Rekomendasi Transformasi Masa Depan

Berdasarkan perbandingan kinerja kedua IPAL, para peneliti menyajikan cetak biru yang komprehensif untuk mendesain ulang sanitasi Sleman agar lebih berkelanjutan, beralih dari sekadar pengolahan menjadi pemulihan sumber daya.

Peningkatan Kualitas Air Melalui Pengolahan Tersier

Mengingat kegagalan sistem pengolahan sekunder dalam menangani Amonia dan patogen secara tuntas, diperlukan peningkatan mutu efluen agar air buangan dapat dimanfaatkan kembali atau setidaknya tidak merusak badan air.1

  • Opsi Desain: Peneliti merekomendasikan penambahan unit pengolahan tersier sebelum proses desinfeksi. Dua opsi utama yang diusulkan adalah integrasi biogas digester (dengan opsi penambahan bahan organik seperti dedak untuk meningkatkan produksi metana) atau constructed wetlands (lahan basah buatan), terutama jika ketersediaan lahan memungkinkan.1

  • Pengolahan tersier adalah investasi tambahan, namun para ahli melihat potensi manfaat ekonomi, seperti produksi energi terbarukan, yang dapat mengimbangi biaya tersebut, sejalan dengan visi Wastewater Resources Recovery Implementation.1

Revolusi Biogas: Menjadikan Kotoran Manusia Sumber Energi Lokal

Potensi daur ulang sumber daya yang ditawarkan oleh proses anaerobik, terutama dengan adanya ABR di DWWTP Tipe 2, harus dimaksimalkan.1

  • Pemanfaatan Maksimal: Proses anaerobik secara alami menghasilkan biogas.1 Pemanfaatan ini dapat mengikuti model di negara tropis lain, di mana residu digunakan sebagai pupuk dan gas (terutama metana) digunakan untuk memasak, penerangan, atau pemanas.1 Penelitian di Indonesia telah menunjukkan bahwa penambahan 6% dedak (bran) dapat meningkatkan produksi biogas dan efisiensi penghilangan air limbah dalam septic tank digester.1

  • Manfaat Multilateral: Pemanfaatan kotoran manusia menjadi biogas dan pupuk memberikan solusi multilateral: menyediakan sumber energi alternatif (mengurangi ketergantungan energi), mengurangi volume limbah, dan mendukung lingkungan, sebuah konsep yang terbukti berhasil dalam berbagai studi kasus.1

Daur Ulang Efluen dan Kebutuhan Integrasi Tata Ruang

Air efluen yang telah diolah, terutama dari sistem DWWTP yang optimal (Tipe 2), memiliki potensi daur ulang yang tinggi dan bernilai ekonomi.

  • Aplikasi Water Reuse: Air buangan yang telah memenuhi standar dapat dimanfaatkan untuk irigasi kebun, terutama di kawasan peri-urban. Bahkan, studi lain telah menunjukkan bahwa efluen air limbah yang diolah dapat digunakan dalam produksi elemen beton non-bertulang, sebuah alternatif untuk manajemen air limbah desentralisasi.1

  • Integrasi Kebijakan: Para peneliti menekankan bahwa Sistem Pengolahan Air Limbah Desentralisasi (Decentralized Wastewater Treatment Systems atau DWWTS) harus diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang kota (urban planning).1 Integrasi kebijakan ini krusial karena terbukti mampu mengurangi biaya investasi secara keseluruhan dan memastikan skenario daur ulang efluen yang lebih aman dan terstruktur.1

Keterlibatan Swasta dan Reformasi Kelembagaan

Pelaksanaan sistem sanitasi yang efektif dan berkelanjutan memerlukan dukungan finansial dan keahlian manajemen yang kuat.

  • Mendesak Kemitraan Swasta: Untuk mempercepat reformasi dan mengatasi tantangan rumit—mulai dari aspek ekonomi hingga sosial budaya—diperlukan kemitraan yang kuat dengan sektor swasta.1 Sektor swasta dapat menyediakan sumber daya, skema finansial inovatif, serta teknologi berbiaya rendah dan efisien (misalnya, Domestic Multi-Recycler atau DMR).1

  • Visi Masa Depan: Sleman didorong untuk mengidentifikasi hambatan dalam pemulihan sumber daya air limbah dan menyusun cetak biru manajemen air limbah yang baru. Cetak biru ini harus fokus tidak hanya pada pengobatan polusi, tetapi juga pada pemanfaatan limbah sebagai sumber daya, mengubah infrastruktur sanitasi dari beban menjadi aset yang produktif.1

 

Pernyataan Dampak Nyata (Kesimpulan)

Evaluasi kelayakan DWWTP di Sleman memberikan cetak biru yang jelas mengenai jalur optimal menuju sanitasi perkotaan yang berkelanjutan. Model IPAL komunal yang paling menjanjikan adalah yang mampu mengelola debit sesuai desain dan mengintegrasikan teknologi pengolahan anaerobik efisien seperti Anaerobic Baffled Reactor (ABR), yang berhasil mencapai efisiensi COD tinggi sebesar 73.24%.1

Peningkatan kinerja ini harus didukung oleh penggunaan infrastruktur anti-bocor yang terstandarisasi, khususnya manhole cincin beton pracetak, yang terbukti mampu mencegah kebocoran bakteri E. Coli ke dalam tanah.1 Langkah ini krusial untuk menjaga integritas Aquifer Merapi dan melindungi kesehatan publik.

Jika temuan kritis ini—mulai dari desain ABR hingga standar manhole yang direkomendasikan, disertai dengan pemeliharaan rutin pengerukan lumpur setiap dua tahun—diterapkan secara masif di Kabupaten Sleman, didukung oleh investasi sektor swasta dan integrasi ke dalam perencanaan tata ruang kota, Pemerintah Daerah dapat memproyeksikan penurunan risiko pencemaran air tanah akibat patogen dan polusi organik hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu lima tahun. Selain melindungi kesehatan publik dan lingkungan, langkah ini membuka jalan bagi pengurangan biaya energi operasional IPAL dan penciptaan sumber daya terbarukan melalui pemanfaatan biogas dan daur ulang air limbah, mengubah infrastruktur sanitasi menjadi aset yang berkelanjutan dan memulihkan kualitas air yang tercemar sedang menjadi kondisi yang baik.

 

Sumber Artikel:

Saraswati, S. P., Diavid, G. H., An Nisa, S., Amal, N., & Asriningtyas, V. (2021). Feasibility Evaluation of Wastewater Treatment Plant System: A Case Study of Domestic Wastewater System in Sleman Regency, Yogyakarta, Indonesia. Journal of the Civil Engineering Forum, 7(3), 309–322.