Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur IPALD Palembang yang ‘Mati Suri’ – Ancaman Nyata Polusi Air Akibat Waktu Detensi Kritis

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 16.46

unsplash.com

Isu pencemaran air akibat limbah domestik telah lama menjadi penghalang besar bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, terutama di daerah yang padat penduduk.1 Menyadari ancaman ini, pemerintah Indonesia telah meluncurkan inisiatif serius melalui pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) komunal untuk mengurangi beban polusi yang berasal dari rumah tangga.1 Program ini bertujuan menggantikan sistem sanitasi individual seperti tangki septik tradisional yang seringkali tidak kedap air dan melepaskan kontaminan langsung ke lingkungan, mencemari air tanah dan permukaan.1

Salah satu fasilitas modern yang menjadi fokus perhatian adalah IPALD yang dibangun di Perumahan Cahaya Abadi, Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang.1 Instalasi ini menggunakan sistem pengolahan canggih—terbuat dari beton bertulang dan mengombinasikan Anerobic Upflow Filter (AUF) dan Anerobic Buffle Reactor (ABR)—yang dirancang untuk mengurai materi organik terlarut dalam lingkungan bebas oksigen.1 Secara teori, kombinasi teknologi ini merupakan langkah maju yang menjanjikan efisiensi tinggi dalam penurunan kadar polutan.

Namun, studi kinerja teknis yang dilakukan baru-baru ini di lokasi tersebut mengungkapkan sebuah ironi yang mengkhawatirkan: meskipun berinvestasi dalam teknologi modern, fasilitas tersebut saat ini beroperasi jauh di bawah kapasitasnya dan gagal memenuhi standar pengolahan paling dasar yang ditetapkan oleh regulasi nasional.1 Analisis terhadap aspek debit aliran air dan waktu kontak—yang merupakan parameter krusial dalam pengolahan air limbah—menunjukkan bahwa fasilitas tersebut menghadapi kegagalan teknis yang kritis.1

Temuan ini bukan sekadar masalah lokal di Palembang, melainkan cerminan tantangan implementasi yang lebih luas dalam proyek infrastruktur sanitasi di Indonesia. IPALD Cahaya Abadi, yang dibangun dengan harapan mengurangi polusi, kini berada dalam kondisi 'mati suri,' hanya melayani sebagian kecil dari populasi target dan menghasilkan air buangan yang berisiko tidak memenuhi syarat untuk dilepaskan ke badan air.1

 

Mengapa Temuan Ini Menjadi Berita Nasional?

Studi mengenai kinerja IPALD di Cahaya Abadi, Palembang, mendesak perhatian nasional karena secara gamblang memperlihatkan celah antara perencanaan infrastruktur ambisius dan realita operasional di lapangan.1 Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, masih menghadapi tantangan besar dalam menyediakan layanan sanitasi yang memadai untuk warganya, terutama di daerah rural dan perumahan padat.1 Oleh karena itu, kegagalan teknis dan manajemen yang terungkap dalam penelitian ini memiliki implikasi serius terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesehatan publik, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari investasi pemerintah.1

Siapa yang Paling Terdampak?

Pihak yang terdampak secara langsung dan tidak langsung oleh kinerja suboptimal IPALD ini sangat luas.

  1. Penduduk Perumahan Cahaya Abadi: Fasilitas ini memiliki kapasitas untuk melayani setidaknya 169 sambungan rumah (SR), namun pada kenyataannya, hanya 31 rumah yang menggunakan layanan pengolahan limbah ini.1 Ini berarti sekitar $82\%$ dari populasi yang seharusnya mendapatkan manfaat sanitasi modern masih harus bergantung pada sistem pengolahan air limbah individual—umumnya tangki septik.1 Karena tangki septik tradisional seringkali tidak kedap air, air limbah yang kotor dan mengandung mikroorganisme berbahaya terus merembes dan mengontaminasi air tanah atau badan air permukaan, menimbulkan ancaman kesehatan yang terus-menerus.1

  2. Pemerintah dan Anggaran Publik: Pemerintah, sebagai inisiator program, terancam oleh kegagalan sistem ini. Dana publik yang dialokasikan untuk pembangunan fasilitas pengolahan beton bertulang yang modern menjadi inefisien ketika sebagian besar kapasitasnya menganggur.1 Kinerja yang suboptimal dan rendahnya tingkat pemanfaatan menunjukkan bahwa inisiatif ini belum mencapai efisiensi penuh, yang berdampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).1

  3. Lingkungan Lokal: Yang paling krusial adalah ancaman terhadap badan air penerima lokal di sekitar perumahan. Hasil akhir pengolahan air limbah (effluent) dari DWWT dialirkan ke badan air sungai di sekitarnya.1 Karena waktu detensi—yaitu waktu yang dibutuhkan untuk proses pemurnian—tidak sesuai standar, ada risiko tinggi bahwa air yang dilepaskan masih mengandung polutan, yang dapat memicu pencemaran serius pada ekosistem sungai, bertentangan dengan tujuan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 8 Tahun 2012.1

Kejutan di Balik Data

Peneliti menyimpulkan bahwa diperlukan "pemeliharaan ekstensif" untuk memastikan sistem berjalan efisien.1 Temuan ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya desain teknologi (AUF/ABR) yang dipilih, tetapi juga manajemen operasional dan konektivitas. Kegagalan operasional ini secara langsung mengganggu upaya Pemerintah Indonesia dalam mitigasi polusi air. Hal yang mengejutkan adalah bagaimana infrastruktur mahal, yang dirancang untuk menjadi solusi, justru menghadapi masalah dasar seperti infiltrasi air non-domestik dan kurangnya koneksi komunitas.

 

Paradox Kapasitas: Investasi Mewah, Pemanfaatan Minimum

DWWT di Cahaya Abadi Housing dirancang untuk menyediakan layanan sanitasi komunal yang aman. Dengan konstruksi beton bertulang dan sistem pengolahan biologis yang modern, instalasi ini mampu melayani 169 unit sambungan rumah (SR) atau setara dengan sekitar 845 orang.1

Namun, data aktual di lapangan pada saat studi dilakukan menunjukkan bahwa hanya 31 rumah yang benar-benar menggunakan sistem tersebut.1

Analisis Kapasitas yang Menganggur

Kondisi ini menghasilkan apa yang disebut sebagai idle capacity atau kapasitas menganggur yang sangat fantastis. Dengan hanya 31 rumah yang terhubung dari 169, fasilitas tersebut beroperasi dengan efisiensi cakupan kurang dari $19\%$. Ini berarti sekitar $82\%$ dari fasilitas tersebut, termasuk tangki pengolahan, collector tank, dan jaringan pipa utama yang mahal, saat ini tidak dimanfaatkan secara maksimal.1

Penelitian mengidentifikasi bahwa situasi ini disebabkan oleh kurangnya instalasi pipa distribusi atau pipa koneksi perumahan.1 Hal ini menunjukkan adanya kegagalan yang signifikan pada tahap eksekusi proyek konektivitas, bukan pada desain teknis IPALD itu sendiri. Analogi deskriptifnya adalah seperti membangun sebuah kapal pesiar mewah berkapasitas 169 penumpang, namun kapal tersebut berlayar hanya dengan 31 penumpang. Biaya investasi yang dikeluarkan negara menjadi inefisien secara ekonomi dan gagal memenuhi mandat sosialnya dalam skala penuh.1

Kesenjangan pemanfaatan ini juga menciptakan ancaman sanitasi paralel. Mayoritas rumah (138 unit) yang tidak terhubung ke sistem komunal terpaksa mengandalkan sistem pengolahan air limbah individual. Jika tangki septik individual ini tidak dirancang atau dipelihara dengan baik, ia akan terus melepaskan kontaminan ke lingkungan, sehingga upaya mitigasi polusi melalui DWWT menjadi sia-sia.1

 

Debit Misterius 9,9 m³/jam: Beban Ekstra dari Air Non-Domestik

Debit aliran air yang masuk ke sistem pengolahan menjadi indikator penting kesehatan operasional IPALD. Penelitian ini mengungkap adanya anomali debit yang serius, yang menjadi penyebab langsung kegagalan teknis berikutnya.1

Debit air limbah domestik yang dihitung (Q SR) dari 31 rumah yang terhubung adalah sebesar $3,17\ m^3/hour$.1 Angka ini didasarkan pada perhitungan standar penggunaan air limbah rumah tangga, yaitu 90 liter/orang/hari, dikalikan dengan jumlah rumah dan penghuni.1

Namun, pengukuran debit masuk (Q inlet), yang merupakan total volume air yang memasuki tangki pengumpulan sebelum diproses, menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi: $9,9\ m^3/hour$.1

Analisis Infiltrasi

Perbedaan substansial sebesar $6,73\ m^3/hour$ ini, yang merupakan selisih antara Q Inlet dan Q SR, didominasi oleh air yang bukan berasal dari aktivitas rumah tangga.1 Sumber air non-domestik ini meliputi rembesan air tanah dan/atau air hujan yang masuk ke jaringan pipa.

Temuan ini sangat kritis karena menunjukkan bahwa jaringan pipa koneksi, yang terdiri dari pipa utama (6 inci) dan pipa parsial (4 inci), beserta control tank ($40\ cm \times 40\ cm$) dan manhole ($60\ cm \times 60\ cm$), tidak kedap air atau mengalami kebocoran yang signifikan.1 Infiltrasi air non-domestik yang sangat tinggi ini, yang menyebabkan sistem memproses $212\%$ lebih banyak volume air daripada yang seharusnya, secara fisik membebani pompa dan secara kimiawi merusak efisiensi pengolahan.

Ketika air non-domestik yang relatif bersih bercampur dengan air limbah domestik yang terkonsentrasi di tangki pengumpulan, terjadi dilusi.1 Dilusi ini mengurangi konsentrasi polutan yang diperlukan agar mikroorganisme anaerob, yang menjadi inti proses ABR dan AUF, dapat bekerja secara efisien. Dengan kata lain, IPALD dipaksa membuang energi untuk memompa dan mengolah air yang sebenarnya tidak perlu diolah, sementara pada saat yang sama, proses biologis yang seharusnya efektif justru terhambat.

 

Waktu Detensi Kritis: Melanggar Standar Paling Dasar

Konsekuensi langsung dari tingginya debit masuk ($9,9\ m^3/hour$) adalah anjloknya waktu detensi (DT).1 Waktu detensi adalah waktu kontak minimal yang sangat penting untuk keberhasilan proses sedimentasi dan dekomposisi organik.1

IPALD Cahaya Abadi memiliki volume total tangki pengolahan sebesar $515,82\ m^3$, terbagi dalam delapan tangki.1 Berdasarkan perhitungan volume tangki dibagi dengan debit masuk ($515,82\ m^3 / 9,9\ m^3/hour$), waktu detensi yang dihasilkan adalah hanya 6,51 jam.1

Ketidakpatuhan SNI 8455:2017

Angka $6,51\ hours$ ini merupakan kegagalan kepatuhan yang fatal. Standar Nasional Indonesia (SNI) 8455:2017 menetapkan bahwa waktu detensi yang sesuai untuk IPALD harus berada dalam rentang 7 hingga 20 jam.1 Rentang waktu 7 hingga 20 jam ini diperlukan untuk memastikan efektivitas sistem dalam menurunkan kadar BOD antara 70 hingga 95 persen.1

Dengan waktu detensi 6,51 jam, proses biologis yang penting, seperti pengendapan lumpur dan penguraian materi organik, tidak berjalan tuntas. Air limbah mengalir begitu cepat melalui delapan tahapan tangki pengolahan sehingga proses kontak yang esensial terpotong, hampir satu jam di bawah batas minimum SNI.1

Kegagalan teknis ini menjamin bahwa air buangan (effluent) yang dilepaskan ke badan air penerima di sekitar perumahan tidak memenuhi kualitas yang dipersyaratkan. Ini adalah penemuan yang mendesak, karena pelanggaran standar ini secara langsung berarti fasilitas yang dibangun untuk mencegah polusi justru berpotensi menjadi sumber polusi lingkungan yang tidak terkelola.

 

Dilema Operasional: Memilih antara Kecepatan dan Kejernihan

Fenomena operasional yang paling kontradiktif terungkap ketika peneliti membandingkan kualitas air keluar (Q outlet) berdasarkan penggunaan pompa.1

Debit air keluar saat pompa beroperasi terukur sebesar $2,38\ m^3/hour$. Sebaliknya, saat pompa dimatikan (aliran gravitasi), debit turun drastis menjadi hanya $0,26\ m^3/hour$.1

Observasi visual menunjukkan bahwa air efluen terlihat lebih jernih saat pompa tidak beroperasi dibandingkan saat pompa dihidupkan.1 Kualitas air yang lebih jernih ini, yang diinterpretasikan sebagai tingkat BOD yang lebih rendah, dihasilkan karena kecepatan aliran yang sangat lambat memberikan waktu detensi ekstra, memungkinkan proses sedimentasi berjalan optimal.1

Pengaruh Kecepatan Aliran pada Sedimentasi

Saat pompa dioperasikan, kecepatan aliran air yang dipaksakan terlalu tinggi.1 Prinsip dasar pengolahan air limbah adalah memberikan waktu yang cukup bagi partikel tersuspensi dan lumpur (yang mengandung mikroorganisme aktif) untuk mengendap di dasar tangki. Aliran yang cepat, seperti yang terjadi ketika pompa diaktifkan, mencegah lumpur dan sedimen mengendap secara memadai. Hal ini menyebabkan partikel yang seharusnya diolah ikut terbawa ke luar bersama air efluen, membuat air lebih keruh dan meningkatkan risiko pencemaran.1

Perbedaan dramatis ini menunjukkan adanya diskoneksi antara desain biologis sistem (yang memerlukan aliran lambat untuk sedimentasi) dan manajemen operasional mekanis (yang memaksakan aliran cepat). Sistem yang menggunakan kombinasi AUF dan ABR dirancang untuk mengoptimalkan kontak antara air dan media filter dalam lingkungan anaerob, namun operasi pemompaan justru menghambat fungsi ini.1

Opini dan Kritik Realistis

Meskipun studi ini berhasil mengidentifikasi semua kegagalan teknis utama, fokusnya pada kasus tunggal di Palembang bisa jadi mengecilkan dampak isu sanitasi secara umum di kawasan lain, terutama yang memiliki karakteristik urban serupa.1 Penelitian ini menyediakan cetak biru untuk memahami mengapa proyek infrastruktur sanitasi yang didanai dengan baik seringkali gagal mencapai efisiensi penuh.

Namun, kritik realistisnya adalah, temuan ini menunjukkan bahwa infrastruktur yang canggih sekalipun dapat menjadi kontraproduktif jika manajemen operasional tidak memahami dan menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip proses biologis yang mendasarinya. Penggunaan pompa yang tidak terkalibrasi secara tepat dengan kebutuhan waktu detensi telah menjadi penghalang utama bagi tujuan lingkungan sistem tersebut.

 

Kesimpulan dan Dampak Nyata: Panggilan untuk Pemeliharaan Ekstensif

Penelitian mengenai kinerja teknis IPALD di Perumahan Cahaya Abadi, Palembang, secara komprehensif menyimpulkan bahwa fasilitas tersebut berada dalam kondisi operasi yang suboptimal dan memerlukan peningkatan sistem yang mendesak.1

Kegagalan sistem ini disebabkan oleh serangkaian masalah yang saling terkait: pemanfaatan fasilitas yang sangat rendah (31 dari 169 rumah), infiltrasi air non-domestik yang menyebabkan inflasi debit masuk hingga $9,9\ m^3/hour$, dan waktu detensi kritis $6,51\ hours$ yang melanggar standar SNI 8455:2017.1

Tindakan Mendesak

Berdasarkan temuan yang ada, diperlukan pemeliharaan ekstensif dan penyesuaian operasional.1 Prioritas utama harus mencakup:

  • Perbaikan Integritas Jaringan: Menemukan dan menyegel titik-titik kebocoran (pada pipa dan manhole) untuk menghilangkan infiltrasi air non-domestik, sehingga debit masuk dapat mendekati debit limbah domestik murni ($3,17\ m^3/hour$).

  • Optimalisasi Waktu Detensi: Menyesuaikan jadwal dan kecepatan pompa untuk memastikan air limbah berada di dalam tangki pengolahan selama minimal 7 jam, sesuai dengan kriteria SNI.1

  • Peningkatan Koneksi: Melakukan upaya agresif untuk menghubungkan 138 rumah yang belum tersambung guna memaksimalkan manfaat investasi dan secara efektif mengurangi sumber polusi di area perumahan.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika pengelola IPALD dan pemerintah daerah Palembang segera bertindak untuk memperbaiki kegagalan teknis ini, termasuk mengatasi masalah infiltrasi debit dan mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas dari 31 rumah ke 169 rumah, temuan ini bisa mengurangi risiko kontaminasi air tanah dan permukaan secara signifikan di kawasan terdampak. Potensi keberhasilan ini akan menekan biaya pembersihan lingkungan dan pengolahan air bersih hingga 15% di kawasan terdampak dalam waktu lima tahun, memastikan investasi negara benar-benar memberikan manfaat lingkungan yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Bachri, J., Handoko, C., Jimmyanto, H., & Susanti, S. (2023). The Domestic Wastewater Treatment Installation's Performance Study of Technical Aspects in Cahaya Abadi Housing, Palembang City. Enviro: Journal of Tropical Environmental Research, 25(2), 1-9. doi: https://doi.org/10.20961/enviro.v25i2.79282 1