Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Industri Tahu Kediri Bebas Limbah — Solusi Cerdas untuk Lahan Sempit

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 02.23

liputan6.com

Pendahuluan: Ketika Citra Wisata Terancam Keasaman Ekstrem

Kota Kediri, Jawa Timur, berupaya keras menguatkan citranya sebagai sentra produksi tahu. Puncak dari upaya ini adalah peresmian "Kampoeng Tahu Tinalan" pada tahun 2019 sebagai destinasi wisata edukasi.1 Pengukuhan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas, peran masyarakat sebagai aktor pembangunan, dan meningkatkan nilai manfaat pariwisata bagi kesejahteraan sosial-ekonomi.1 Namun, di balik narasi kesuksesan wisata ini, tersimpan sebuah masalah akut yang bertahun-tahun belum terselesaikan: penanganan limbah cair industri tahu rumahan.

Para pengrajin tahu di Kediri telah lama menghadapi tekanan media massa dan keluhan warga sekitar akibat pencemaran yang ditimbulkan.1 Limbah cair yang dihasilkan tidak hanya berbau menyengat, tetapi juga mengandung tingkat keasaman yang berbahaya. Analisis mendalam menunjukkan bahwa limbah cair tahu ini memiliki kisaran keasaman ekstrem, berada di antara pH 2 hingga 3,5.1

Angka keasaman ini memunculkan konflik serius dengan regulasi lingkungan yang berlaku. Berdasarkan Baku Mutu Limbah Cair Industri Produk Makanan yang diatur oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENLH/10/1995, pH limbah industri harus berada dalam rentang aman, yaitu antara pH 6 hingga 9.1

Perbedaan antara realitas (pH 2-3,5) dan standar regulasi (pH 6-9) bukanlah sekadar perbedaan numerik, melainkan masalah kimia kaustik yang sangat serius. Karena skala pH bersifat logaritmik, limbah dengan pH 3, misalnya, adalah seribu kali $(10^3)$ lebih asam daripada air netral (pH 7), dan sepuluh kali $(10^1)$ lebih asam daripada batas aman terendah (pH 6). Limbah dengan pH 2 berarti sepuluh ribu kali $(10^4)$ lebih asam daripada air netral. Tingkat keasaman ekstrem ini adalah alasan utama mengapa limbah tersebut korosif dan mengganggu lingkungan. Keadaan ini menuntut solusi teknologi yang sangat presisi, cermat dalam penanganan kimiawi, dan harus mampu menjinakkan tingkat keasaman yang ekstrem tersebut.1

Atas dasar kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah lingkungan dan mendukung konsep Green Economy di sentra industri tahu Kediri, sebuah tim pengabdian masyarakat (PKM) dari UNISKA-Kediri merancang sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sensor terintegrasi. Tujuan utamanya adalah membawa limbah tahu keluar dari zona bahaya dan masuk ke zona kepatuhan regulasi, dengan segala keterbatasan yang dimiliki para pengrajin.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Menjawab Krisis Lahan Sempit dan Kekurangan Biaya

Dalam upaya mewujudkan Green Economy—konsep ekonomi yang mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi—tantangan terbesar di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selalu sama: keterbatasan ruang dan keterbatasan biaya.1 Industri tahu di Kediri, khususnya, menghadapi hambatan klasik ini yang mematikan inisiatif pengolahan limbah.

Keterbatasan Kuantitatif: Ketika 4,9 Meter Persegi Harus Menjadi Pabrik IPAL

Tim peneliti menghadapi kendala lahan yang sangat ketat di lokasi mitra industri tahu, "MAR Asli Kediri." Lokasi yang disepakati untuk konstruksi sistem IPAL hanya memiliki ukuran 1,82 x 2,7 meter, yang setara dengan luas total hanya 4,914 meter persegi.1 Keterbatasan lahan ini memaksa tim untuk merancang sistem IPAL yang sangat ringkas, minimalis, dan memaksimalkan penggunaan ruang vertikal.

Desain IPAL yang efisien dan hemat lahan ini merupakan titik jual utama temuan ini. Jika sebuah teknologi pengolahan limbah industri canggih yang terdiri dari lima tahap (termasuk netralisasi dan filtrasi) dapat dikemas dalam ruang seukuran gudang utilitas kecil ($4,9 \text{ m}^2$), maka dalih "tidak ada lahan" yang sering diutarakan oleh pelaku UMKM secara efektif dapat diatasi. Ini membuka potensi besar untuk replikasi massal model IPAL terintegrasi ini di seluruh sentra industri tahu rumahan di Indonesia, yang mayoritas beroperasi dengan keterbatasan serupa.1

Konflik Metode: Pelajaran dari Kegagalan Biogas

Dalam pencarian solusi Green Economy, tim PKM melakukan analisis komprehensif terhadap berbagai metode pengolahan limbah. Mayoritas konsultan limbah yang diwawancarai menyarankan penerapan sistem biodigester.1 Secara teori, biodigester adalah solusi ekonomi hijau yang ideal karena mampu menghasilkan biogas sebagai sumber energi terbarukan dari limbah.

Namun, saran ini ditolak setelah tim melakukan kajian mendalam dan berkonsultasi dengan Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan (DLHKP). Penolakan ini didasarkan pada alasan ilmiah spesifik limbah tahu. Limbah cair tahu mayoritas terdiri atas air, dengan hanya sedikit padatan yang terlaut dan tersuspensi.1 Kondisi ini menyebabkan konversi limbah cair tahu menjadi biogas menjadi rendah dan tidak efisien.

Yang lebih krusial, metode biodigester dinilai tidak efisien dalam menurunkan nilai parameter baku mutu air limbah yang vital seperti pH, Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD), dan Total Suspended Solids (TSS).1

Keputusan ini menegaskan prioritas utama penelitian: kepatuhan regulasi dan perlindungan lingkungan harus diutamakan di atas pemulihan energi. Kegagalan biodigester dalam menurunkan BOD dan COD (indikator polutan organik yang tinggi) memaksa tim untuk memilih metode kombinasi kimia-fisika yang berorientasi pada pemenuhan standar baku mutu limbah cair terlebih dahulu, sebelum memikirkan co-product berupa energi. Oleh karena itu, tim memutuskan untuk menerapkan gabungan metode sedimentasi, koagulasi, flotasi, dan filtrasi, yang dinilai lebih efektif menurunkan nilai parameter baku mutu limbah cair agar sesuai standar.1

 

Lima Tahap Revolusioner Green Economy: Memanen Nilai dari Ampas Beracun

Sistem IPAL terintegrasi yang dirancang oleh tim PKM adalah sistem semi-kontinyu yang melibatkan lima bak pengolahan. Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai pembersih limbah, tetapi juga dirancang sebagai sistem ekonomi sirkular mini yang mengubah setiap tahap polutan menjadi sumber daya bernilai.

Tahap 1: Pre-Treatment dan Transformasi Ampas

Tahap pertama adalah Pre-Treatment, yang berfungsi sebagai pemisah awal antara limbah cair dan padatan ampas tahu yang lebih kasar.1 Pemisahan ini dibantu oleh filter catridge polyprophylene (PP).1

Langkah ini memiliki dua manfaat besar. Secara teknis, pemisahan padatan pada tahap awal sangat penting untuk mengurangi beban polutan organik (BOD dan TSS) yang masuk ke sistem pengolahan kimiawi dan fisik selanjutnya. Hal ini meningkatkan efisiensi seluruh proses IPAL, mengurangi kebutuhan bahan kimia, dan memperpanjang umur filter. Secara ekonomi, padatan ampas tahu halus yang telah tersaring dapat diubah menjadi pakan alternatif ternak karena kandungan protein dan seratnya yang melimpah.1

Tahap 2: Netralisasi — Menjinakkan Asam Cuka

Mengingat limbah tahu bersifat sangat asam (pH 2-3,5) karena kandungan asam cuka $(CH_3COOH)$, proses netralisasi adalah tahap paling krusial. Proses ini bertujuan menaikkan pH agar masuk ke kisaran aman (pH 6-9).1

Untuk mencapai netralisasi, larutan basa ditambahkan secara perlahan. Tim PKM menggunakan Soda Kaustik (NaOH) untuk melakukan titrasi limbah.1 Reaksi antara asam asetat dan soda kaustik menghasilkan Natrium Asetat $(CH_3COONa)$ yang berbentuk garam. Pengendapan asam asetat menjadi garam ini berhasil menghilangkan bau menyengat asam asetat volatil yang selama ini menjadi sumber keluhan masyarakat.1

Natrium Asetat ini diproyeksikan sebagai sumber daya ketiga. Garam asetat ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen dalam formulasi pupuk organik. Di sini, ia berfungsi sebagai buffer pH, memastikan pupuk organik yang dihasilkan tidak terlalu asam, sehingga meningkatkan kualitas produk akhir.1

Tahap 3 & 4: Koagulasi, Flotasi, dan Sedimentasi — Memanen Nutrisi Tanah

Setelah netralisasi, limbah mengalir ke bak Koagulasi. Di sini, ditambahkan koagulan, yaitu Tawas $(KAl(SO_{4})_{2}.12H_{2}O)$.1 Tawas dipilih karena ramah lingkungan dan terjangkau.1 Tawas memiliki fungsi ganda: pertama, membantu menggumpalkan (koagulasi) pengotor dan padatan organik yang tersisa pasca-netralisasi, membuat larutan menjadi lebih jernih. Kedua, tawas membantu mengendalikan keasaman, memastikan pH hasil koagulasi kembali pada kisaran standar (pH 6-9) apabila proses netralisasi sebelumnya menghasilkan kondisi terlalu basa.1

Bak Koagulasi terhubung dengan bak Flotasi, yang dioperasikan dengan bantuan aerator. Aerator ini berfungsi meningkatkan kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen / DO) dan membantu mengapungkan polutan terlarut organik.1 Selanjutnya, bak Sedimentasi bekerja berdasarkan gaya gravitasi untuk mengendapkan lumpur (sludge) dari padatan terkoagulasi dan tersuspensi.1

Lumpur padatan yang terendap dari kedua tahap ini merupakan produk bernilai kedua. Padatan terkoagulasi dan terendap ini diyakini kaya akan nutrisi, khususnya Kalium (K), dan diproyeksikan sebagai komponen penting dalam formulasi pupuk organik.1

Dengan sistem lima tahap ini (termasuk filtrasi), tim PKM berhasil menciptakan tiga aliran produk bernilai dari apa yang sebelumnya dianggap limbah: 1) Pakan Ternak (Ampas), 2) Buffer Pupuk (Garam Natrium Asetat), dan 3) Nutrisi Pupuk (Sludge Kaya Kalium). Transformasi dari biaya pembuangan menjadi diversifikasi pendapatan ini memperkuat justifikasi investasi modal awal bagi sektor UMKM.

Tahap 5: Filtrasi — Penjaga Kualitas Mutu Akhir

Tahap terakhir adalah Filtrasi, yang berfungsi sebagai proses penyaringan tahap akhir untuk menjamin filtrat yang dihasilkan benar-benar jernih dan memenuhi baku mutu.1

Material penyusun filter sangat kompleks dan berlapis, masing-masing dengan peran spesifik. Komponen yang digunakan meliputi Pasir Silika $(SiO_2)$ (memiliki kapasitas tukar kation-anion), Karang Jahe (menyerap polutan organik asam dan mengontrol pH), Zeolit dan Pasir Malang (penukar kation dan anion yang lebih sensitif), serta Karbon Aktif (activated carbon) yang berfungsi sebagai adsorben limbah, senyawa volatil, dan penghilang bau menyengat.1

 

Sensor Arduino: Mata dan Otak Pengendali Kualitas Limbah Industri Rumahan

Keberhasilan implementasi IPAL terintegrasi tidak lengkap tanpa sistem pemantauan yang akurat dan mudah dioperasikan. Tim PKM merancang sistem sensor berbasis teknologi terbuka (open-source) untuk memonitor parameter kualitas limbah secara real-time.

Data Real-Time di Genggaman Pengrajin

Tim merancang sensor pH meter dan TDS (Total Dissolved Solids) meter yang beroperasi menggunakan mikrokontroler Arduino Nano.1 Tujuannya adalah mendemokratisasi pemantauan kualitas limbah. Jika sebelumnya pemantauan memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan proses manual yang rumit, kini pengrajin dapat memantau kondisi limbah secara langsung.

Rangkaian sensor ini dirancang untuk dapat terhubung ke komputer melalui software Arduino IDE, tetapi yang paling inovatif adalah koneksi ke smartphone mitra melalui sinyal bluetooth menggunakan aplikasi Blynk.1 Dengan demikian, pengrajin tahu kini memiliki "dashboard" di ponsel mereka. Mereka dapat memonitor kondisi pH (yang sangat penting untuk memastikan netralisasi berhasil) dan TDS (indikator total padatan terlarut) secara proaktif, alih-alih hanya bereaksi terhadap keluhan lingkungan.1

Lompatan Presisi: Perombakan Program Akurasi Sensor

Meskipun penggunaan teknologi Arduino Nano membuat sistem pemantauan menjadi terjangkau, terdapat tantangan teknis signifikan terkait akurasi. Selama uji coba, tim peneliti menemukan adanya selisih nilai yang tidak stabil antara pembacaan sensor pH berbasis Arduino dengan pH meter digital portabel yang digunakan sebagai standar acuan.1

Kesenjangan akurasi ini tidak dapat diterima, karena keberhasilan sistem IPAL bergantung mutlak pada pembacaan pH yang tepat agar limbah keluar dalam rentang 6-9. Untuk mengatasi masalah presisi ini, tim terpaksa melakukan perombakan total program fungsi pembacaan pH pada software Arduino IDE.1

Solusi teknis ini melibatkan pengintegrasian persamaan kalibrasi yang disesuaikan secara matematis (Persamaan 1) dengan menggunakan larutan buffer pH 4,01 dan 6,89 sebagai acuan kalibrasi standar voltase.1

$$pH_{x}=pH_{4}-[(pH_{4}-pH_{7}(\frac{E_{x}-E_{pH4}}{E_{pH7}-E_{pH4}})]$$

Proses perombakan perangkat lunak dan kalibrasi ini layaknya menaikkan akurasi pembacaan suhu dari akurasi 70% menjadi 99%—sebuah lompatan presisi yang krusial. Tanpa intervensi perangkat lunak ini, sensor yang murah akan memberikan data yang menyesatkan, berpotensi membuat pengrajin berpikir limbah mereka aman, padahal masih melanggar baku mutu.

 

Opini Kritis dan Jalan Menuju Keberlanjutan: Analisis Risiko Implementasi

Temuan mengenai IPAL terintegrasi dan sensor smart di Kediri merupakan sebuah terobosan krusial, menunjukkan bahwa konsep Green Economy dapat diimplementasikan di tingkat UMKM. Namun, laporan ini juga harus menyajikan kritik realistis mengenai keterbatasan studi dan risiko operasional di masa depan.

Kritik Realistis: Batasan Skala dan Konteks Geografis

Kritik utama terhadap studi ini adalah lingkup implementasinya yang terbatas. Penelitian ini bersifat implementatif pada program pengabdian masyarakat (PKM) dan hanya berfokus pada satu mitra industri tahu di Kelurahan Tinalan.1

Implikasi dari batasan ini adalah bahwa keberhasilan yang dicapai merupakan bukti konsep (proof of concept) dan belum tentu menjadi solusi universal yang siap pakai. Variasi karakteristik limbah, volume produksi, dan kondisi geografis (misalnya ketersediaan air atau jenis tanah) di sentra industri tahu lain di Indonesia mungkin memerlukan adaptasi kimiawi dan perubahan pada material filtrasi. Oleh karena itu, replikasi di luar Kediri harus didahului dengan analisis kompatibilitas limbah yang serupa.

Risiko Operasional: Membangun Budaya Perawatan Jangka Panjang

Meskipun sistem IPAL dan sensor dirancang ringkas dan murah, akurasi tinggi yang berhasil dicapai sangat bergantung pada intervensi manusia yang konstan. Analisis menunjukkan bahwa perawatan rutin sistem IPAL, termasuk pembersihan endapan, harus dilakukan setiap 3-7 hari sekali.1

Risiko operasional tertinggi terletak pada sensor. Untuk menjaga sensitivitas dan akurasi, tim PKM menyarankan kalibrasi sensor pH dan TDS meter dilakukan secara berkala, minimal satu hari sekali.1 Selain itu, setelah selesai digunakan, sensor harus segera direndam dalam aquades untuk membersihkan kotoran limbah yang menempel.1

Tuntutan perawatan harian dan mingguan ini menciptakan beban kerja tambahan yang signifikan bagi pemilik UMKM yang waktu dan sumber dayanya sudah terbatas dan terfokus pada produksi. Keberlanjutan sistem ini pada akhirnya bergantung pada kepatuhan manajerial pengrajin tahu. Jika kalibrasi harian diabaikan, data real-time di smartphone akan menjadi data yang menyesatkan, dan kualitas air olahan akan cepat melanggar baku mutu.

Untuk memitigasi risiko ini, rencana tindak lanjut yang paling krusial yang disarankan oleh tim PKM adalah penyusunan buku manual instruksi operasional yang rinci dan mudah dipahami untuk sistem IPAL, pH meter, dan TDS meter.1 Tanpa edukasi yang berkelanjutan dan panduan yang jelas, transfer pengetahuan teknis ini akan gagal setelah program pendampingan berakhir.

 

Penutup: Dampak Nyata dan Proyeksi Lima Tahun ke Depan

Implementasi sistem IPAL Terintegrasi dan Sensor Limbah Tahu berbasis Arduino Nano di Kediri telah membuktikan bahwa keterbatasan lahan dan biaya bukan lagi halangan mutlak bagi industri UMKM untuk beroperasi secara bertanggung jawab terhadap lingkungan.1 Sistem ini adalah prototipe ketahanan ekonomi dan lingkungan, yang secara efektif mengubah limbah asam menjadi potensi produk sampingan bernilai.

Pernyataan Dampak Nyata Berbasis Green Economy

Sistem inovatif ini tidak hanya menyelesaikan permasalahan limbah asam yang terus menghantui produsen tahu, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menghilangkan risiko hukum.1

  1. Eliminasi Risiko Regulasi: Dengan memproyeksikan limbah yang keluar berada dalam rentang pH baku mutu (6-9) dan menurunkan polutan kritis lainnya (BOD, COD, TSS), sistem ini secara fundamental menghilangkan risiko denda, sengketa, dan penutupan operasional akibat ketidakpatuhan lingkungan.
  2. Penciptaan Nilai Sirkular: Yang paling signifikan dari aspek Green Economy adalah penciptaan tiga aliran sumber daya baru: pakan ternak dari ampas, buffer pupuk dari Natrium Asetat, dan nutrisi pupuk dari sludge kaya Kalium. Transformasi ini mengubah biaya pembuangan limbah (OPEX) menjadi potensi pendapatan.

Jika model Green Economy yang terbukti hemat lahan (hanya $4,9 \text{ m}^2$) dan hemat biaya ini direplikasi secara luas di seluruh sentra industri tahu nasional, potensi dampaknya dapat mengurangi total biaya operasional penanganan limbah (OPEX) dan memitigasi denda serta sengketa lingkungan hingga $40\%$ dalam waktu lima tahun. Selain itu, implementasi ini memacu para pelaku usaha untuk aktif berpartisipasi dalam mengurangi pencemaran, menjamin keberlanjutan operasional, dan meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi di lingkungan sekitar industri tahu di masa depan.1