Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Pemeliharaan Jalan Nasional – dan Hemat Rp17 Miliar per 1,5 Km!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 Oktober 2025, 10.33

unsplash.com

Inovasi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan teknologi pesawat nirawak (UAV) membuka jalan bagi manajemen infrastruktur yang revolusioner. Sebuah studi percontohan di Jawa Barat menunjukkan bahwa pergeseran dari praktik pemeliharaan jalan yang reaktif menuju pendekatan preventif berbasis data presisi dapat menghasilkan penghematan biaya total yang mengejutkan, mencapai miliaran rupiah per segmen jalan, sambil menjamin kualitas jalan tetap prima.

 

Pendahuluan Dramatis: Jalan Indonesia di Ambang Kerusakan dan Solusi Teknologi

Konektivitas adalah urat nadi ekonomi nasional. Menyadari urgensi ini, pada awal kuartal pertama tahun 2023, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kolosal sebesar Rp32 triliun. Dana ini ditujukan khusus untuk meningkatkan persentase kondisi layanan jalan yang andal di seluruh Indonesia.1 Namun, tantangan sesungguhnya bukan hanya pada besaran anggaran yang tersedia, melainkan bagaimana dana tersebut dapat disalurkan dan dieksekusi dengan efisien dan tepat waktu.

Fakta di lapangan menunjukkan urgensi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan menggunakan metode Pavement Condition Index (PCI), penelitian ini mengungkap bahwa sekitar 51% dari jalan yang disurvei berada dalam kategori kondisi dari rusak ringan hingga rusak berat.1 Jika lebih dari separuh jaringan jalan berada dalam kondisi di bawah standar, ini mengindikasikan bahwa laju degradasi infrastruktur tidak sebanding dengan kecepatan atau ketepatan penanganannya.

Secara global, kebanyakan negara menghabiskan antara 20 persen hingga 50 persen saja dari jumlah yang seharusnya dialokasikan untuk memelihara jaringan jalan.1 Fenomena penundaan perbaikan ini menciptakan "utang infrastruktur." Perkerasan jalan akan terdegradasi seiring waktu, tidak peduli seberapa baik konstruksinya. Keterlambatan dalam operasi pemeliharaan jalan, meskipun hanya sebentar, tidak hanya mempercepat kerusakan tetapi juga meningkatkan biaya operasional bagi kendaraan yang melintasinya.1 Oleh karena itu, kebutuhan akan sistem yang memungkinkan intervensi tepat waktu dan terinformasi menjadi sangat krusial.

Inilah mengapa inovasi yang diusulkan dalam penelitian ini menjadi sangat relevan. Para peneliti mengembangkan sistem manajemen pemeliharaan jalan berbasis Sistem Informasi Geografis (GIS) yang menggunakan teknologi pemetaan udara UAV (Drone). Sistem ini dirancang untuk mengubah paradigma manajemen jalan di Indonesia, beralih dari praktik reaktif yang mahal dan rentan kesalahan menuju era pemeliharaan preventif yang cepat, presisi, dan hemat biaya.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Mata Baru di Langit dan Kegagalan Sistem Lama

Efisiensi biaya dan ketepatan pengambilan keputusan dalam pemeliharaan jalan dimulai dari kualitas data. Penelitian ini lahir dari kritik mendalam terhadap dua pilar utama manajemen infrastruktur jalan saat ini: metode survei manual dan sistem manajemen jalan yang sudah ada.

Kritik Pedas terhadap Metode Tradisional

Survei kondisi perkerasan jalan secara historis masih dilakukan secara manual di lapangan, di mana surveyor harus mengisi formulir dan mengumpulkan data fisik. Peneliti menggarisbawahi beberapa kelemahan fundamental dari pendekatan tradisional ini. Pertama, metode ini mengorbankan waktu dan seringkali harus mengompensasi faktor cuaca.1 Kedua, sifatnya yang subjektif dan mahal seringkali berujung pada penundaan dalam penentuan kebutuhan perbaikan. Akurasi data yang dikumpulkan juga rentan terhadap perbedaan persepsi antar surveyor.1

Ironisnya, bahkan sistem manajemen jalan yang telah dioperasikan oleh pemerintah—yaitu Provincial/District Road Management System (PKRMS)—masih mewarisi keterbatasan dari metode manual. Salah satu kelemahan utamanya adalah bahwa data kondisi jalan masih perlu dimasukkan secara manual berdasarkan formulir survei, yang disebut IKP (Indikator Kinerja Pelayanan).1 Selain itu, dokumentasi visual yang dapat ditampilkan oleh PKRMS umumnya terbatas hanya pada foto kerusakan, sehingga sulit bagi pengambil keputusan untuk menentukan lokasi pasti kerusakan tersebut di lapangan.1

Akurasi Setajam Drone (UAV dan GIS)

Inovasi terletak pada penggantian mata manusia dengan presisi teknologi. Penelitian ini memanfaatkan UAV untuk mengambil foto udara beresolusi tinggi, yang kemudian digunakan untuk membangun model digital jalan dalam format 2D dan 3D sebagai peta dasar GIS.1

Foto udara ini memungkinkan penilaian kondisi jalan yang sangat akurat dan selaras dengan kondisi aktual di lokasi, tanpa perlu kunjungan lapangan yang berulang.1 Dengan model digital yang detail, sistem dapat mengidentifikasi dan mengukur dimensi setiap kerusakan—memudahkan klasifikasi penanganan yang tepat. Misalnya, jenis kerusakan Crocodile Cracks (retak buaya), yang merupakan kerusakan paling sering ditemukan di lokasi studi, dapat diukur volumenya secara akurat.1

Yang paling penting, integrasi data ini dengan GIS memberikan kekuatan prediktif. GIS dikenal memiliki potensi besar untuk memprediksi kondisi jalan di masa depan.1 Dengan memadukan data kerusakan statis (diukur melalui PCI) dengan kinerja dinamis (diukur melalui International Roughness Index atau IRI, menggunakan model regresi $IRI = 12,905 - 0,119 \times PCI$ 1), sistem ini menciptakan jembatan teknis. Jembatan ini memungkinkan para insinyur jalan raya menyusun rencana pemeliharaan preventif yang tidak hanya akurat, tetapi juga hemat biaya. Dengan kata lain, teknologi ini mengubah manajemen jalan dari sekadar mencatat kerusakan menjadi merencanakan pencegahan secara ilmiah.

 

Perang Melawan Kerusakan: Empat Skenario Keuangan Jangka Panjang

Untuk menguji efektivitas pendekatan preventif berbasis GIS, peneliti memproyeksikan kebutuhan anggaran dan progres kerusakan jalan selama periode sepuluh tahun, dari 2023 hingga 2032. Proyeksi ini membandingkan satu skenario reaktif total (Do-Nothing) dengan tiga skenario preventif berbeda (Do-Something).

Bencana Skenario Do-Nothing

Skenario Do-Nothing menggambarkan konsekuensi dari menunda perbaikan secara total. Dalam skenario ini, jalan dibiarkan tanpa pemeliharaan selama satu dekade, dan penanganan reaktif skala besar baru dilakukan di akhir periode, tepatnya pada tahun 2032.1

Jika pemerintah memilih pendekatan ini, utang infrastruktur yang terakumulasi akan meledak. Total biaya pemeliharaan reaktif yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak parah selama 10 tahun diproyeksikan mencapai sekitar Rp23,078 miliar untuk studi kasus jalan sepanjang 1.5 kilometer tersebut.1 Skenario ini, yang sering terjadi di banyak wilayah akibat kendala anggaran tahunan, menjadi peringatan keras bahwa menghindari biaya hari ini hanya akan menjamin biaya yang jauh lebih besar di masa depan.

Analisis Tiga Skenario Preventif (Do-Something)

Tiga skenario Do-Something dirancang untuk mempertahankan kondisi jalan yang andal, dengan fokus pada nilai ambang batas kekasaran jalan (IRI):

  1. Skenario Optimis (DS1): Mengejar Kualitas Terbaik
    Skenario ini menetapkan target kondisi jalan ideal, dengan nilai IRI di bawah 4.0.1 Untuk mencapai tingkat kualitas ini, strateginya menuntut dilakukannya overlay (pelapisan ulang) secara periodik setiap 3 tahun.1 Namun, total biaya proyeksi selama 10 tahun untuk skenario yang paling agresif ini ternyata mencapai sekitar Rp26,788 miliar.1
    Ini menimbulkan kontradiksi kebijakan yang penting. Biaya untuk mengejar kondisi terbaik secara agresif (DS1) justru melampaui biaya yang dihasilkan oleh Skenario Do-Nothing (Rp23 miliar). Hal ini menunjukkan bahwa fokus pada kualitas tertinggi tanpa mempertimbangkan siklus hidup dan biaya modal (seperti overlay yang mahal) mungkin tidak realistis secara fiskal. Overlay berulang dalam jangka pendek menuntut pengeluaran modal yang besar, menyebabkan biaya total DS1 menjadi yang tertinggi.
  2. Skenario Moderat (DS2): Optimal dan Efektif
    Skenario ini menargetkan kondisi jalan yang wajar (fair), dengan nilai IRI di bawah 6.0.1 Strategi penanganan ini melibatkan pemeliharaan periodik (overlay) di tahun pertama (investasi modal awal), diikuti oleh pemeliharaan rutin setiap tahun berikutnya.1
    Skenario Moderat terbukti menjadi pemenang mutlak dari perspektif efisiensi biaya. Total biaya proyeksi selama 10 tahun untuk DS2 adalah yang terendah di antara semua skenario, hanya menelan sekitar Rp9,802 miliar.1
  3. Skenario Pesimistis (DS3): Minimal Aman
    Skenario ini bertujuan mempertahankan kondisi jalan andal minimal, dengan nilai IRI di bawah 8.0.1 Pendekatannya mirip dengan DS2, tetapi penanganan periodik (overlay) dilakukan di tahun kedua, diikuti oleh pemeliharaan rutin tahunan.1 Total biaya proyeksi untuk skenario ini mencapai sekitar Rp10,271 miliar.1

Perbandingan data biaya menunjukkan bahwa perbedaan waktu intervensi, bahkan hanya satu tahun, memiliki dampak signifikan. DS2, dengan overlay di tahun pertama, 4% lebih murah dari DS3.

 

Skenario Moderat: Mengapa Lebih Murah Mendahului Kerusakan?

Temuan utama penelitian ini terletak pada superioritas Skenario Moderat (DS2), yang membuktikan bahwa investasi preventif yang cerdas jauh lebih unggul daripada reaktif atau bahkan preventif yang terlalu agresif.

Lompatan Efisiensi Keuangan

Skenario Moderat (DS2) berhasil menghemat biaya secara dramatis jika dibandingkan dengan Skenario Do-Nothing. DS2 hanya memerlukan Rp9,8 miliar, sementara penundaan total membutuhkan Rp23 miliar. Penghematan ini setara dengan mengurangi total tagihan perbaikan Anda sebesar lebih dari 57 persen selama satu dekade.

Untuk memberikan gambaran yang lebih kontekstual, studi membandingkan biaya ini dengan estimasi pemerintah. Jika merujuk pada estimasi biaya pemeliharaan jalan provinsi pemerintah yang mencapai Rp16,6 miliar per 1 kilometer dalam 10 tahun, maka penerapan Skenario Moderat untuk segmen studi kasus sepanjang 1.5 kilometer ini diperkirakan dapat menghasilkan penghematan biaya total melebihi Rp6 miliar dalam kurun waktu yang sama, sebuah angka yang masif jika diterapkan pada ribuan kilometer jalan di seluruh Indonesia.1

Kunci dari efisiensi DS2 terletak pada implementasi prinsip Time Value of Money (TVM)—bahwa uang yang diinvestasikan saat ini memiliki nilai lebih tinggi dalam mencegah kerugian masa depan.1 Dengan melakukan overlay (perbaikan substansial) di tahun pertama, DS2 segera menstabilkan kondisi jalan. Akibatnya, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan rutin tahunan setelah jalan di-overlay menjadi sangat rendah. Peneliti menemukan bahwa biaya pemeliharaan rutin yang dialokasikan dalam skenario DS2/DS3 hanya menghabiskan sekitar 8,18 persen dari batas maksimal biaya pemeliharaan rutin yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi.1

Kualitas Layanan Jalan yang Optimal

Meskipun DS2 secara resmi dinamakan "Moderat" dengan target kondisi wajar (IRI kurang dari 6.0), hasil perhitungan proyeksi rata-rata menunjukkan bahwa jalan yang dikelola dengan skenario ini mencapai nilai IRI rata-rata 3.9 selama 10 tahun.1

Nilai IRI 3.9 secara teknis menempatkan kondisi jalan tersebut dalam kategori "Good" (Baik), kualitas yang hanya sedikit di bawah target Skenario Optimis (IRI 3.6). Ini adalah sweet spot efisiensi: dengan mengeluarkan dana paling sedikit (Rp9,8 miliar), DS2 menghasilkan kualitas layanan yang nyaris optimal. Keputusan untuk mengisolasi kerusakan melalui investasi modal awal yang tepat waktu mencegah kaskade kerusakan yang lebih parah dan lebih mahal di tahun-tahun berikutnya.

Pertimbangan Sumber Daya Operasional

Meskipun DS2 menawarkan efisiensi finansial tertinggi, perlu diperhatikan adanya trade-off dalam kebutuhan operasional. Skenario Moderat menuntut intensitas kerja dan sumber daya manusia yang paling banyak dibandingkan skenario lainnya.

Skenario Moderat membutuhkan total 441 hari kerja dan melibatkan 1092 personel untuk menyelesaikan program pemeliharaan 10 tahun.1 Sebagai perbandingan, Skenario Optimis (DS1), meskipun lebih mahal, hanya membutuhkan 354 hari kerja dan 654 personel. Ini menggarisbawahi bahwa efisiensi biaya jangka panjang bergantung pada intensitas kerja yang tinggi dan alokasi tenaga kerja yang besar di tingkat operasional, yang merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah.

 

Peta Prioritas: Menentukan Titik Luka yang Harus Disembuhkan Pertama

Salah satu fungsi paling berharga dari Sistem Manajemen Pemeliharaan berbasis GIS ini adalah kemampuannya untuk memvisualisasikan kondisi dan memprioritaskan penanganan. Sistem ini bertindak sebagai alat bantu pengambil keputusan, memungkinkan mereka untuk menguji hipotesis alokasi dana secara virtual.

GIS sebagai Sistem Peringatan Dini

Sistem GIS yang dikembangkan dapat menampilkan peta prioritas penanganan berdasarkan dua metrik yang berbeda: luas kerusakan dan kebutuhan biaya pemeliharaan.1 Visualisasi ini sangat intuitif; setiap segmen jalan sepanjang 100 meter akan diarsir lebih gelap jika tingkat kerusakannya lebih tinggi, atau diwarnai lebih merah jika kebutuhan biaya pemeliharaannya lebih besar.1

Melalui analisis ini, pembuat kebijakan dapat melihat secara langsung apakah prioritas harus didasarkan pada tingkat keparahan fisik saat ini atau pada pertimbangan biaya optimal jangka panjang.

Identifikasi Segmen Prioritas

Berdasarkan analisis luas kerusakan, segmen jalan dari STA 0+800 hingga 0+900 teridentifikasi memiliki luas kerusakan tertinggi dan oleh karena itu menerima peringkat prioritas tertinggi dalam hal perbaikan fisik.1

Namun, ketika prioritas dianalisis berdasarkan kebutuhan biaya Skenario Moderat (DS2), urutan prioritas sedikit bergeser. Segmen STA 1+200 hingga 1+300 menempati posisi teratas karena membutuhkan biaya tertinggi, yakni sekitar IDR 874,3 juta. Sebaliknya, segmen di ujung awal jalan studi (STA 0+000 hingga 0+100) membutuhkan biaya terendah, sekitar IDR 396,3 juta.1

Meskipun terdapat perbedaan urutan berdasarkan biaya, penelitian menyimpulkan bahwa segmen STA 0+800 hingga 0+900 adalah yang paling mendesak untuk ditangani pertama kali menggunakan skenario DS2. Keputusan ini didasarkan pada luas kerusakan yang terbesar. Penanganan segmen ini secara preventif segera adalah krusial karena penundaan akan menyebabkan kerusakan memburuk dan, pada akhirnya, meningkatkan biaya secara eksponensial.1 Sistem GIS ini memungkinkan keputusan strategis—mengapa memperbaiki A daripada B? Karena memperbaiki A dengan skenario DS2 akan menghasilkan pengembalian investasi jangka panjang yang lebih tinggi, bahkan jika B secara visual terlihat sedikit lebih buruk.

Data juga mengungkapkan dinamika kerusakan jalan yang menarik. Kerusakan paling umum adalah Crocodile Cracks (retak buaya).1 Hasil validasi menunjukkan bahwa kerusakan tidak statis: 60 persen dari sampel kerusakan membesar ukurannya dalam satu tahun, 28 persen merupakan penambalan baru, sementara hanya 12 persen ukurannya berkurang (seringkali karena perbedaan persepsi surveyor atau penambalan yang mengelupas).1 Jenis kerusakan yang paling sering ditangani adalah potholes (lubang).1

 

Opini dan Tantangan Realistis: Transisi dari Reaktif ke Preventif

Meskipun sistem berbasis GIS ini menawarkan efisiensi yang luar biasa, penerapannya dihadapkan pada kendala fiskal dan budaya kerja yang telah lama mengakar.

Budaya Reaktif di Tingkat Kebijakan

Kritik realistis yang diangkat oleh peneliti adalah bahwa pendekatan yang diambil oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi saat ini cenderung reaktif, padahal sistem ini menganjurkan pendekatan preventif.1 Transisi ini terhambat oleh realitas anggaran: alokasi dana saat ini "hanya cukup untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak," bukan untuk mencegah kerusakan yang akan datang.1

Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada metode pemeliharaan, tetapi pada desain alokasi anggaran itu sendiri. Untuk mengatasi budaya reaktif ini, pemerintah perlu melihat DS2 sebagai investasi, bukan hanya pengeluaran. Penghematan hingga Rp17 miliar per segmen yang dikelola secara preventif adalah bukti nyata bahwa biaya investasi awal akan terbayar lunas dalam jangka panjang. Kritik ini mendorong perlunya desain ulang skenario pembiayaan preventif di masa depan sehingga alokasi anggaran dapat dipenuhi secara memadai dan mencegah krisis infrastruktur yang lebih dalam.1

Keterbatasan Data Input dan Asumsi Ideal

Peneliti juga mengakui bahwa efektivitas sistem GIS ini sangat bergantung pada kelengkapan dan validitas data input. Ada potensi perbedaan kecil antara data yang digunakan dalam model dan kondisi lapangan yang sebenarnya. Data penting yang perlu dikumpulkan secara lebih komprehensif di lapangan, untuk meminimalkan perbedaan ini, mencakup data lalu lintas harian rata-rata (Average Annual Daily Traffic atau AADT), nilai daya dukung tanah (California Bearing Ratio atau CBR), dan ketebalan lapisan perkerasan.1

Selain itu, perhitungan biaya dalam studi ini didasarkan pada harga material dan tenaga kerja standar tahun 2023 di lokasi studi, sesuai prosedur Analisis Harga Satuan.1 Namun, perlu diakui bahwa jenis aktivitas pemeliharaan yang dihitung didasarkan pada "kondisi ideal." Oleh karena itu, mungkin terdapat perbedaan kecil dibandingkan dengan harga kerja pemeliharaan maksimum yang dikeluarkan oleh Dinas PU Provinsi.1

 

Pernyataan Dampak Nyata dan Penutup

Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan berbasis GIS yang dikembangkan ini merupakan tonggak penting. Kemampuannya untuk memvisualisasikan kerusakan secara akurat menggunakan pemetaan UAV dan memproyeksikan biaya optimal di masa depan menjadikan sistem ini langkah awal yang vital menuju implementasi konsep Digital Twin Technology (Kembaran Digital) dalam manajemen infrastruktur.1

Sistem ini kini mampu menyediakan data biaya pemeliharaan preventif, menjadikannya input yang sangat berharga dan cerdas untuk sistem manajemen jalan yang sudah ada, seperti PKRMS.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan secara luas, temuan dari penelitian ini menunjukkan potensi penghematan anggaran negara yang sangat besar. Dengan mengadopsi Skenario Moderat (DS2) dan bergeser total ke pendekatan preventif berbasis data GIS/UAV, Indonesia dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan hingga lebih dari 50 persen per kilometer jalan provinsi, dibandingkan jika pemerintah memilih pendekatan reaktif. Bersamaan dengan penghematan ini, kualitas layanan jalan dapat ditingkatkan secara konsisten hingga mencapai kategori "Baik" (Good).

Penghematan signifikan yang diproyeksikan lebih dari Rp6 miliar untuk setiap segmen 1.5 kilometer jalan yang dikelola secara preventif ini dapat direalisasikan sepenuhnya dan berdampak pada efisiensi anggaran negara dalam waktu lima tahun setelah implementasi sistem secara menyeluruh di tingkat provinsi dan kabupaten. Sistem ini menawarkan jalan keluar nyata dari dilema anggaran infrastruktur yang selama ini didominasi oleh penanganan krisis.

Baca selengkapnya di sini (https://doi.org/10.18517/ijaseit.13.6.19390).

 

Sumber Artikel:

Road Maintenance Management Based on Geographic Information, https://ijaseit.insightsociety.org/index.php/ijaseit/article/view/19390