Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Konstruksi Global – dan Ini yang Harus Diketahui Industri Nigeria!

Dipublikasikan oleh Hansel

08 Oktober 2025, 10.32

unsplash.com

Ketika Proyek Raksasa Menjadi Monster Biaya: Mengapa Inovasi Digital Tertinggal

Industri konstruksi, sebagai tulang punggung dan motor penggerak ekonomi nasional di banyak negara, secara paradoks sering kali menjadi sektor yang paling tidak produktif dibandingkan industri lain, seperti manufaktur.1 Walaupun sektor ini berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan besar, ia juga terkenal dengan isu-isu kronis: keterlambatan jadwal, pembengkakan anggaran (cost overruns), masalah kualitas, sengketa kontrak, dan tingginya tingkat penelantaran proyek.1

Realitas ini semakin tajam terasa di negara-negara berkembang. Di Nigeria, yang memiliki industri konstruksi terbesar di Afrika Barat, masalah ini sudah menjadi ciri khas—proyek sering kali ditunda, ditinggalkan, dan mengalami pembengkakan biaya.1 Untuk mengatasi inefisiensi yang endemik ini, para ahli telah lama menyerukan perlunya modernisasi melalui teknologi mutakhir. Jawabannya terwujud dalam Building Information Modelling (BIM).

BIM bukanlah sekadar perangkat lunak desain tiga dimensi (3D) yang canggih; ia adalah sebuah prosedur berbasis teknologi informasi (IT) yang memungkinkan representasi digital bangunan dan interaksi berkelanjutan antara berbagai pemangku kepentingan sepanjang seluruh siklus hidup proyek, mulai dari tahap konsepsi, perancangan, pembangunan, operasi, pemeliharaan, hingga dekomisioning.1 Secara fundamental, BIM dipandang sebagai kemajuan teknologi yang sangat penting untuk memodernisasi pekerjaan konstruksi dan secara signifikan meningkatkan nilai bagi semua pihak yang terlibat.1

Namun, sebuah ulasan komprehensif mengenai adopsi BIM menunjukkan adanya kontradiksi besar. Meskipun BIM menjanjikan solusi nyata—terutama dalam memfasilitasi kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik dan potensi penghematan dalam biaya operasional—tingkat adopsi di industri konstruksi Nigeria masih sangat rendah. Negara ini dicap sebagai "Industri Bayi BIM" (BIM infant industry).

Tinjauan ini memaparkan sejauh mana Nigeria tertinggal dibandingkan dengan kampanye adopsi yang didukung pemerintah di negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan BIM di Nigeria bukan semata-mata kegagalan industri untuk berinovasi, melainkan kegagalan struktural dan kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perubahan transformatif. Mengingat tantangan yang dihadapi Nigeria, implementasi BIM akan menjadi sangat penting dan bernilai strategis dalam melaksanakan proyek konstruksi.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Industri? Analogi Data Kuantitatif Global

Di berbagai belahan dunia, adopsi BIM telah bergerak melampaui fase eksperimental dan menjadi mandat kebijakan yang didukung penuh oleh pemerintah. Data kuantitatif dari negara-negara pelopor ini memberikan bukti nyata tentang potensi besar yang hilang di Nigeria. Kisah sukses ini bukan hanya tentang desain yang lebih baik, tetapi tentang penghematan biaya yang terukur dan transformasi skala besar.

1. Bukti Nyata Efisiensi dan Penghematan: Mengubah Risiko Menjadi ROI

Pemerintah Britania Raya, misalnya, telah menjalankan program implementasi BIM yang paling maju dan komprehensif di dunia. Pada tahun 2011, pemerintah meluncurkan Strategi Konstruksi Pemerintah yang memiliki rencana implementasi bertahap selama lima tahun, dengan BIM menjadi wajib untuk semua proyek pemerintah pada tahun 2016.1

Tujuan utama di balik langkah radikal ini adalah mengurangi biaya pengadaan sebesar 20 persen.1 Untuk audiens awam, pengurangan 20 persen biaya pengadaan ini setara dengan mengeliminasi biaya pembangunan satu gedung pencakar langit dari setiap lima gedung yang direncanakan. Bayangkan dampak finansial dan fiskal yang dihasilkan dari penghematan seperlima dari anggaran konstruksi nasional, memungkinkan pengalihan dana itu ke pembangunan infrastruktur vital lainnya yang sebelumnya tidak terdanai. Angka ini secara tegas memposisikan BIM sebagai strategi penghematan biaya tingkat nasional, bukan hanya perangkat lunak di meja perancang.

Di Amerika Serikat, kepemimpinan serupa datang dari klien utama pemerintah. General Services Administration (GSA), yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pengelolaan semua fasilitas pemerintah, mempelopori penggunaan BIM pada proyek publik. Mereka memperkenalkan program nasional 3D-4D-BIM pada tahun 2003 dan mewajibkan BIM untuk validasi program spasial pada semua proyek mereka pada tahun 2007.1

Jangkauan program GSA ini luar biasa, meliputi sekitar 8.700 struktur dan lebih dari 300 juta kaki persegi ruang publik secara nasional.1 Skala adopsi yang masif dan terpusat sejak awal tahun 2000-an ini menunjukkan bahwa BIM adalah strategi infrastruktur jangka panjang. Program BIM GSA secara spesifik memeriksa bagaimana teknologi tersebut digunakan di berbagai domain, termasuk pemodelan elemen bangunan, energi dan keberlanjutan, pemindaian laser, dan 4D phasing (penjadwalan berbasis waktu).1

Sementara itu di Asia, Singapura juga berinvestasi besar. Otoritas Konstruksi dan Bangunan (BCA) menciptakan rencana untuk menjadikan BIM digunakan secara luas pada proyek-proyek publik pada tahun 2015. Untuk mendukung transformasi industri ini, pemerintah mendirikan Dana Kapabilitas dan Produktivitas Konstruksi (CPCF) senilai $250 juta.1 Dukungan finansial yang eksplisit ini menghilangkan penghalang biaya awal, membantu industri lokal beralih ke praktik digital.

2. Manfaat Multi-Fase Proyek: Dari Konsepsi hingga Pembongkaran

BIM telah secara luas digunakan dalam berbagai tahap proyek konstruksi karena memberikan manfaat yang terbagi dalam tiga tahap utama siklus hidup bangunan:

  • Pra-Konstruksi: Pada tahap awal ini, BIM memfasilitasi estimasi biaya yang lebih cepat dan akurat, memungkinkan perancangan berkelanjutan, meningkatkan efisiensi energi, dan yang paling kritis, menyelesaikan konflik desain secara visual (clash detection) sebelum masalah tersebut muncul di lapangan.1
  • Fase Konstruksi: Selama fase pembangunan, BIM memungkinkan perencanaan sumber daya yang efektif dan efisien, pengurutan proyek yang lebih baik (sequencing), dan memungkinkan fabrikasi komponen bangunan di luar lokasi (offsite).1
  • Pasca-Konstruksi (Operasi dan Pemeliharaan): Manfaat paling signifikan setelah konstruksi adalah peningkatan manajemen fasilitas dan operasi. BIM mengurangi kerugian informasi penting saat proyek dialihkan dari tim konstruksi ke pemilik dan memfasilitasi akses informasi yang lebih baik dan cepat selama pemeliharaan. Hal ini mempercepat dan meningkatkan akurasi informasi untuk manajemen aset, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat di tahap operasi dan pemeliharaan.1

 

Benua Hijau Raksasa Menjadi Bayi BIM: Kontras Adopsi Global

Perbedaan mencolok antara tingkat adopsi di Nigeria dan negara-negara maju memunculkan sebuah pertanyaan penting: mengapa inovasi digital ini gagal menembus salah satu pasar konstruksi terbesar di benua Afrika?

1. Kepemimpinan Top-Down sebagai Kunci Sukses Global

Adopsi BIM di seluruh dunia membuktikan satu hal: Keberhasilan bergantung pada dorongan top-down dari klien utama—terutama pemerintah—yang bersedia memimpin dan mewajibkan penggunaan teknologi ini.

Wilayah Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia) dikenal memimpin dunia dalam adopsi dan penyebaran BIM. Mereka adalah pelopor dalam desain berbasis model dan sangat mendukung standar interoperabilitas. Misalnya, Senat Properti Finlandia telah menetapkan standar permodelan BIM sejak 2007, dan Norwegia, melalui Stratsbygg, telah mewajibkan BIM yang memenuhi standar IFC (Industry Foundation Classes) sejak 2010.1 Standardisasi ini memastikan bahwa model digital dapat dibaca oleh berbagai pihak tanpa kehilangan data.

Data ini mengungkapkan sebuah pola sebab-akibat yang jelas: Rendahnya adopsi di Nigeria bukanlah karena teknologi BIM yang cacat, melainkan karena kekosongan regulasi (regulatory vacuum) dan kurangnya kepemimpinan terpusat yang gagal menciptakan pasar yang menuntut digitalisasi. Di negara-negara maju, pemerintah bukan sekadar pengguna, melainkan mandator.1

2. Dilema Nigeria: Industri Bayi dan Lingkaran Setan Finansial

Di tengah gemuruh kemajuan global, Nigeria, bersama sebagian besar negara berkembang, diklasifikasikan sebagai "Industri Bayi BIM".1 Meskipun tingkat kesadaran tentang BIM cukup masuk akal, adopsi teknologinya tetap rendah.

Persepsi tentang BIM sangat penting dalam menentukan tingkat adopsi. Laporan McGraw Hill menunjukkan bahwa hampir setiap kontraktor di Jepang melaporkan return on investment (ROI) yang menguntungkan dari implementasi BIM.1 Hal ini kontras dengan beberapa pihak di Tiongkok, di mana BIM sempat dianggap sebagai "pekerjaan tambahan" yang memiliki biaya tetap.1 Pola serupa terlihat di Nigeria, yang berkutat dengan dilema finansial yang rumit.

Industri konstruksi Nigeria menghadapi pembengkakan biaya dan proyek mangkrak.1 Secara teori, BIM adalah alat paling ampuh untuk mengurangi kerugian ini. Namun, biaya perangkat lunak terintegrasi yang tinggi menjadi salah satu hambatan utama adopsi.1 Analisis ini mengidentifikasi lingkaran setan finansial yang terjadi: Industri tidak mampu berinvestasi dalam BIM karena sedang menderita kerugian besar akibat inefisiensi dan risiko, padahal BIM adalah kunci untuk menghentikan inefisiensi dan risiko tersebut. Jika BIM dipersepsikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan dan bukan investasi dengan ROI yang dijamin, resistensi finansial akan terus mendominasi.

Di tingkat regional, negara-negara lain di Afrika juga berjuang; adopsi di benua ini masih sangat rendah.1 Bahkan di Malaysia, hanya sekitar 13 persen peserta survei dari perusahaan publik dan komersial yang telah menggunakan BIM, menunjuk pada rendahnya pengetahuan dan pedoman kebijakan yang tidak jelas.1

 

Tembok Penghalang Digital: Mengapa Adopsi BIM Tersendat di Nigeria?

Ulasan ini secara komprehensif mengidentifikasi sejumlah hambatan utama yang bersifat sosial, ekonomi, dan struktural, yang menghalangi transisi Nigeria dari metode konstruksi konvensional ke digital.

1. Resistensi Sosial, Budaya, dan Kesenjangan Profesional

Hambatan terbesar terhadap adopsi seringkali bersifat manusiawi. Salah satu kendala utama yang dicatat adalah resistensi sosial dan kebiasaan terhadap perubahan, serta tingkat kenyamanan yang tinggi terhadap cara-cara tradisional yang sudah mapan.1 Adopsi BIM menuntut manajemen perubahan tingkat tinggi karena ia mengubah alur kerja sekuensial (tradisional 2D) menjadi proses kolaboratif dan simultan (3D/4D/5D). Resistensi ini adalah refleksi dari ketidakmampuan sistem untuk beradaptasi, bukan hanya keengganan individu.

Selain itu, terdapat kekurangan profesional yang berpengetahuan dan berpengalaman, serta minimnya pelatihan bagi profesional yang dibutuhkan untuk menangani perangkat BIM terintegrasi.1 Kesenjangan keterampilan ini diperparah oleh kurangnya kesadaran teknologi di kalangan klien dan mitra.1

2. Kendala Ekonomi, Infrastruktur, dan Regulasi

Dari segi ekonomi, biaya perangkat lunak terintegrasi yang tinggi merupakan kendala finansial yang signifikan bagi perusahaan konstruksi Nigeria, terutama Usaha Kecil dan Menengah (UKM).1

Hambatan ini diperparah oleh kekosongan regulasi. Kurangnya lingkungan yang mendukung dalam bentuk kebijakan dan legislasi pemerintah menuju adopsi menjadi pemicu utama rendahnya penggunaan BIM.1 Tanpa mandat atau insentif yang jelas, pelaku industri tidak memiliki motivasi kuat untuk menanggung biaya awal yang mahal.

Kendala hukum dan kontraktual juga menghambat kolaborasi yang merupakan inti dari BIM. Jika kerangka hukum tidak mengakui model digital yang terperinci sebagai dokumen resmi dan mengikat, maka para profesional akan enggan berbagi informasi secara kolaboratif.1

Terakhir, kendala infrastruktur dasar seperti pemadaman listrik yang sering terjadi dicatat sebagai salah satu hambatan teknis penting.1 Untuk menjalankan perangkat lunak pemodelan yang kompleks dan berkapasitas tinggi, pasokan listrik yang stabil dan konektivitas yang andal adalah keharusan mutlak. Ketidakstabilan infrastruktur ini secara langsung mengganggu proses implementasi BIM, menjadikannya kurang praktis dalam lingkungan operasional yang genting.

 

Kritik Realistis terhadap Jangkauan Ulasan

Meskipun ulasan ini memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai hambatan di Nigeria, ada catatan penting mengenai jangkauannya. Studi tentang kesiapan adopsi BIM cenderung fokus pada organisasi konstruksi yang beroperasi di daerah perkotaan besar. Keterbatasan studi hanya di daerah perkotaan bisa jadi mengecilkan dampak hambatan umum.1

Masalah fundamental seperti pemadaman listrik, yang sangat kritis untuk operasi digital, cenderung jauh lebih buruk di luar pusat-pusat kota. Jika tantangan listrik saja sudah dicatat sebagai hambatan utama di lingkungan perkotaan yang relatif lebih baik, dampaknya di daerah pedesaan pasti jauh lebih parah, sehingga memperbesar jurang adopsi BIM secara keseluruhan. Kritik ini menyoroti perlunya pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan solusi infrastruktur yang lebih luas sebagai prasyarat keberhasilan digitalisasi konstruksi.

Jalan Ke Depan: Mengubah Lingkaran Setan Biaya Menjadi Penghematan Jangka Panjang

Melihat keberhasilan adopsi BIM di skala global, jelas bahwa industri konstruksi Nigeria memiliki peluang besar untuk mengatasi inefisiensi yang selama ini menghantui. Jalan ke depan memerlukan upaya terkoordinasi dan multi-pihak yang berfokus pada penguatan kebijakan, edukasi, dan standardisasi.

Para peneliti menyimpulkan bahwa kunci untuk mempercepat adopsi adalah dengan lebih menekankan manfaat yang didapatkan dari BIM kepada para pemangku kepentingan.1 BIM harus dipromosikan bukan sekadar sebagai alat perancangan, tetapi sebagai katalis yang mempercepat penyelesaian masalah proyek, mengurangi desain yang cacat dan kesalahan, meningkatkan kinerja proyek (terutama dalam hal biaya dan jadwal), dan meningkatkan kerja sama tim yang lebih baik.1 BIM memiliki pengaruh yang lebih jelas pada produktivitas 1, sebuah elemen penting untuk memotivasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar mau bertransisi.

Untuk mencapai transformasi ini, diperlukan tiga pilar aksi nyata:

1. Pilar I: Kepemimpinan Pemerintah Melalui Mandat

Pelajaran utama dari AS, Inggris, dan Skandinavia adalah peran pemerintah sebagai klien utama yang berani memimpin. Pemerintah Nigeria harus menyediakan panduan dan dukungan yang jelas, dan yang paling krusial, mewajibkan penggunaan BIM pada proyek-proyek publik.1 Dengan menjadikan BIM sebagai syarat wajib, pemerintah menciptakan permintaan pasar yang masif dan memaksa industri swasta untuk berinvestasi dalam kapabilitas yang diperlukan.

2. Pilar II: Pendidikan dan Pelatihan Kolaboratif

Adopsi BIM akan tetap terhambat selama masih ada kekurangan profesional terlatih.1 Diperlukan pelatihan ekstensif yang melibatkan semua pihak dalam rantai pasokan—mulai dari arsitek, insinyur, hingga kontraktor—tidak hanya untuk menguasai perangkat lunak, tetapi juga untuk memahami praktik kolaborasi dan manajemen informasi yang dituntut oleh BIM. Kolaborasi dari semua pihak dalam rantai pasokan untuk desain dan konstruksi bangunan adalah esensial.1

3. Pilar III: Standardisasi Lokal dan Regulasi

Pemerintah dan organisasi regulasi Nigeria harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan konstruksi untuk segera menyediakan standar dan regulasi BIM lokal.1 Ketiadaan standar untuk mengarahkan implementasi BIM saat ini menyebabkan solusi yang terisolasi (siloed) dan tidak dapat berinteraksi, mengurangi nilai kolaboratif inti BIM. Penetapan standar yang jelas akan memastikan interoperabilitas dan mengurangi kebingungan implementasi.

 

Kesimpulan: Gerbang Menuju Industri Konstruksi Abad ke-21

BIM bukan lagi kemewahan, melainkan prasyarat untuk industri konstruksi yang ingin mengatasi masalah kronis seperti keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan adopsi—terutama dengan mengatasi resistensi manusia, memitigasi risiko biaya awal, dan menyediakan mandat kebijakan yang jelas—Industri konstruksi Nigeria akan siap memanfaatkan peluang teknologi ini dalam layanan mereka.1

Pemanfaatan BIM secara efektif akan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik, mengurangi risiko, dan menghasilkan penghematan biaya operasional. Jika diterapkan secara komprehensif, temuan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BIM dapat secara radikal mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh cost overruns dan project abandonment, berpotensi menghemat miliaran dolar (puluhan triliun Rupiah) dalam biaya operasional proyek infrastruktur utama Nigeria dalam waktu lima tahun.

 

Sumber Artikel:

Popoola, O., Olanipekun, A. O., & Ipinlaye, O. N. (2024). A review of adoption of building information modelling (BIM) for the Nigerian building and construction industry. Journal of Civil Engineering Research & Technology, 6(2), 1-6.