Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Konstruksi Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

08 Oktober 2025, 17.31

unsplash.com

Infrastruktur adalah denyut nadi perekonomian sebuah negara, dan di Indonesia, sektor konstruksi terus menghadapi tantangan dalam mengelola proyek yang semakin besar dan kompleks. Selama dua dekade terakhir, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) telah diyakini sebagai kunci untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses bisnis di industri mana pun.1 Namun, sektor konstruksi, yang sering kali digambarkan sebagai salah satu industri tertua, menunjukkan kemajuan yang lambat dalam mengadopsi inovasi digital tersebut.

Di tengah kebutuhan mendesak untuk merampingkan proses yang terfragmentasi, muncul Building Information Modelling (BIM). BIM, yang didefinisikan bukan hanya sebagai perangkat lunak, melainkan sebagai representasi digital dari karakteristik fisik dan fungsional fasilitas, menawarkan kerangka kerja kolaborasi yang dapat mengurangi fragmentasi industri dan meningkatkan interoperabilitas.1 Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Utara, dan Skandinavia telah berhasil mengembangkan strategi implementasi BIM yang matang.1

Namun, sebuah studi mendalam mengenai status industri konstruksi Indonesia mengungkapkan sebuah ironi yang mencengangkan: adopsi digital sedang berlangsung, tetapi di atas fondasi pengetahuan yang rapuh. Penelitian yang melibatkan 112 praktisi konstruksi di Indonesia ini menemukan bahwa mayoritas, yaitu lebih dari 60% responden, tidak familiar atau tidak memiliki pemahaman yang benar mengenai terminologi dasar BIM.1 Ini adalah temuan yang mengejutkan bagi para peneliti, karena menunjukkan jurang pemisah antara alat dan konsep.

Paradoks ini semakin dramatis ketika data implementasi proyek disandingkan dengan tingkat pengetahuan praktisi. Walaupun sebagian besar praktisi belum memahami konsep dasarnya, lebih dari 70% proyek yang ditangani oleh responden survei telah mengimplementasikan setidaknya BIM Level 1—tahap pemodelan berbasis objek.1 Ini mengindikasikan bahwa industri mungkin mengadopsi alat (misalnya, perangkat lunak visualisasi 3D) tanpa sepenuhnya menginternalisasi konsep kolaborasi dan manajemen informasi yang menjadi roh BIM.1 Adopsi superfisial ini berisiko besar, karena proyek yang didorong oleh kebutuhan visual semata mungkin tidak akan pernah mencapai potensi efisiensi penuh yang ditawarkan oleh BIM.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Masa Depan Infrastruktur Nasional?

BIM Level 1, yang merupakan tahapan pemodelan berbasis objek, sudah mulai digunakan secara luas dalam proyek-proyek di Indonesia, terutama pada kategori infrastruktur yang kompleks dan vital, seperti transportasi, produksi dan distribusi energi, jalan dan jembatan, serta bangunan.1 Fakta bahwa sektor-sektor kunci ini berada di garis depan implementasi teknis menunjukkan adanya dorongan pasar—meskipun belum tentu didukung oleh pemahaman mendalam.

Kesenjangan Pengetahuan: Ketika Pengalaman Gagal Mengejar Teknologi

Untuk memahami kedalaman masalah ini, para peneliti membagi responden berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap BIM dan tingkat kematangannya (BIM Maturity Level). Hasilnya menunjukkan sebuah piramida yang terbalik dalam hal pengetahuan:

  • Grup 1: Kelompok terbesar (sekitar 63%) adalah mereka yang sama sekali tidak familiar dengan BIM atau salah mengartikannya (misalnya, menganggapnya sekadar perangkat lunak komputer).1
  • Grup 2: Sekitar 25% responden memahami BIM sebagai konsep kolaborasi tetapi tidak familiar dengan tingkat kematangan BIM (Level 1, 2, 3).1
  • Grup 3: Hanya 11% yang familiar dengan tingkat kematangan BIM tetapi memberikan penjelasan yang salah.1
  • Grup 4: Yang paling kritis, hanya 2% responden yang benar-benar familiar dengan konsep tingkat kematangan BIM dan mampu menjelaskannya dengan benar.1

Konsentrasi pengetahuan yang sangat rendah di Grup 4 adalah tanda bahaya strategis. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa pengetahuan terbaik ini (Grup 3 dan 4) terfokus hampir secara eksklusif pada praktisi dengan pengalaman kerja kurang dari 10 tahun (kategori 0–5 tahun dan 5–10 tahun).1 Ini menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "fenomena dinasti terbalik" dalam industri konstruksi: mereka yang lebih muda dan berada di tingkat operasional memiliki pemahaman teknologi terkini yang lebih baik, sementara praktisi senior dan manajer yang memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, yang sebagian besar bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan stakeholder interfacing, memiliki pengetahuan yang minimal.1

Kesenjangan ini menjadi penghalang serius untuk kemajuan, sebab kolaborasi yang diwajibkan oleh BIM Level 2 (integrasi model dengan biaya dan waktu) atau Level 3 (integrasi jaringan penuh) sangat bergantung pada kesiapan manajerial dan kepemimpinan yang mapan. Jika para pengambil keputusan senior tidak memahami manfaat dan persyaratan BIM secara benar, dorongan untuk meningkatkan level adopsi akan mandek di Level 1.

Jurang Kesenjangan: Proyek Kompleks Terjebak di Gigi Satu

Dampak dari pengetahuan yang terbatas ini tercermin dalam kesenjangan antara kebutuhan proyek dan implementasi aktual. Mayoritas responden (54%) masih bekerja pada proyek dengan siklus hidup Tahap 1, di mana tidak ada tumpang tindih antara tahap desain, konstruksi, dan operasi. Namun, 40% proyek telah mencapai Tahap 2, di mana terjadi tumpang tindih antara desain dan konstruksi, yang secara ideal menuntut implementasi minimal Level 2 BIM.1

Analisis kritis yang dilakukan para peneliti menemukan bahwa hampir 60% proyek yang ada (tepatnya 58.9%) memerlukan Level Maturitas BIM yang lebih tinggi daripada yang saat ini mereka terapkan (Project life cycle phase > BIM implementation).1

Kesenjangan hampir 60% ini setara dengan situasi di mana sebuah perusahaan konstruksi memiliki kapasitas untuk mengurangi kerugian proyek sebesar 30% berkat potensi BIM Level 3, tetapi karena terjebak di Level 1 (hanya pemodelan 3D tanpa integrasi biaya dan jadwal), mereka hanya mampu menghemat sebagian kecil dari potensi tersebut. Defisit efisiensi 58.9% ini ibarat Anda berusaha menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% dengan sekali isi ulang (potensi BIM), tetapi karena keterbatasan sistem dan metodologi, baterai hanya naik ke 30%. Potensi penghematan biaya, percepatan waktu, dan pengurangan risiko yang signifikan terbuang sia-sia karena kegagalan mengaplikasikan tingkat kolaborasi yang sesuai dengan kompleksitas proyek.1

 

Lima Tembok Penghalang Tertinggi: Klien Adalah Kunci yang Hilang

Langkah pertama menuju solusi adalah memahami mengapa adopsi BIM secara holistik tertahan. Berdasarkan pemeringkatan 14 faktor penghalang, lima tembok penghalang tertinggi di Indonesia telah diidentifikasi secara jelas 1:

  1. Kurangnya pelatihan BIM
  2. Kurangnya pengalaman dan kapabilitas BIM
  3. Tidak ada permintaan klien (No client demand)
  4. Biaya tinggi akuisisi perangkat lunak dan keras
  5. Fasilitas teknologi informasi (IT) yang tidak memadai

Hambatan SDM: Investasi pada 'Brain-ware' Tertinggal

Dua peringkat teratas berakar pada masalah Sumber Daya Manusia (SDM). Praktisi secara kolektif merasakan kebutuhan mendesak akan pelatihan dan peningkatan kapabilitas. Ini menunjukkan bahwa meskipun industri konstruksi Indonesia mungkin belum memiliki standar nasional yang lengkap (yang menempati peringkat keenam), dorongan untuk belajar (karena paparan informasi global) sangat kuat.1 Praktisi lebih merasakan dampak langsung dari kurangnya kemampuan internal daripada menunggu regulasi pemerintah.

Namun, minimnya pelatihan dan pengalaman ini diperparah oleh biaya tinggi, baik untuk perangkat keras, perangkat lunak, maupun pelatihan pengguna itu sendiri (masing-masing menempati peringkat 4 dan 7).1 Meskipun biaya selalu menjadi hambatan yang konsisten secara global (misalnya di Tiongkok dan Iran), di Indonesia, masalah biaya ini menjadi masalah sekunder setelah ketidaksiapan SDM dan, yang paling penting, permintaan pasar.

Hambatan Strategis: Mengapa Klien Menjadi Tembok Terbesar?

Hambatan peringkat ketiga, "Tidak ada permintaan klien," adalah faktor yang paling strategis dan menentukan nasib adopsi BIM di Indonesia.

Koneksi antara pengetahuan dan permintaan sangat kentara. Data survei menunjukkan bahwa entitas Owner atau Pemilik Proyek memiliki pengetahuan BIM terendah dibandingkan Konsultan atau Kontraktor.1 Sebanyak 64% responden dari kategori Owner berada di Grup 1 (tidak familiar dengan terminologi BIM), dan Owner adalah pihak yang paling banyak terlibat dalam proyek Level Pre-BIM (dokumentasi berbasis kertas).1

Ketidaktahuan dan ketidakmauan Owner untuk menuntut implementasi BIM yang lebih tinggi secara langsung menghasilkan lack of demand, yang membuat kontraktor dan konsultan enggan berinvestasi besar pada BIM Level 2 atau 3.1 Bagi mereka, investasi besar dalam pelatihan dan teknologi canggih tanpa jaminan permintaan dari klien dianggap memiliki low return-on-investment (yang menempati peringkat ke-13).

Studi ini menunjukkan bahwa kegagalan adopsi adalah masalah struktural yang dimulai dari puncak piramida pengambilan keputusan. Tanpa perintah yang jelas dari klien—terutama pemerintah sebagai klien terbesar—inisiatif digitalisasi yang ambisius akan sulit terwujud.

Namun, meskipun data ini jelas, perlu dicatat bahwa survei seperti ini seringkali cenderung merefleksikan pandangan dari praktisi di pusat-pusat konstruksi yang lebih maju. Keterbatasan studi yang mungkin terfokus di daerah perkotaan bisa jadi meremehkan betapa vitalnya regulasi wajib di luar area tersebut untuk memastikan implementasi yang merata. Jika tanpa dorongan yang tegas dari klien (terutama pemerintah), inisiatif adopsi BIM di daerah yang kurang terlayani akan cepat layu karena biaya awal yang tinggi, sehingga memperkecil dampak positif secara umum.

 

Solusi Jangka Panjang: Pemerintah Sebagai Katalis dan 'Klien Cerdas'

Untuk mengatasi jurang pengetahuan dan memecahkan hambatan permintaan klien, penelitian ini merekomendasikan intervensi top-down yang harus diinisiasi oleh pemerintah.1 Pemerintah harus memimpin dengan strategi dua pilar yang solid.

Pilar 1: Program Familiarisasi Komprehensif

Pilar pertama adalah pelaksanaan program familiarisasi yang menyeluruh. Program ini harus mencakup pengetahuan dasar BIM, keuntungan nyata BIM, dan panduan implementasinya di industri.1

Tujuan utama dari familiarisasi ini adalah mengubah pandangan konvensional praktisi yang menganggap implementasi BIM sebagai biaya tinggi yang tidak perlu. Pemahaman yang benar mengenai keuntungan BIM—seperti peningkatan produktivitas, peningkatan kolaborasi, dan pengurangan biaya yang timbul akibat fragmentasi data—akan membantu industri melihat BIM sebagai investasi yang dapat menghemat biaya proyek secara substansial dibandingkan biaya pengadaannya.1

Program familiarisasi ini perlu diprioritaskan untuk entitas Owner, termasuk instansi pemerintah sendiri, untuk memastikan para pengambil keputusan memiliki pemahaman yang sama tentang manfaat BIM. Setelah Owner memahami dan menuntut BIM, barulah pihak Kontraktor dan Konsultan akan termotivasi untuk meningkatkan kapabilitas SDM mereka.

Pilar 2: Regulasi dan Standar Wajib yang Bertahap

Paralel dengan familiarisasi, pemerintah harus segera menyiapkan regulasi dan standar sebagai panduan yang jelas untuk implementasi BIM.1 Melalui regulasi, pemerintah dapat mewajibkan implementasi BIM secara bertahap untuk semua proyek publik.

Indonesia sebenarnya telah memulai langkah konkret ini melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 22 Tahun 2018. Regulasi ini mewajibkan implementasi BIM pada bangunan gedung negara dengan luasan lebih dari 2.000 meter persegi dan jumlah lantai lebih dari dua.1 Kewajiban ini mencakup keluaran desain yang dihasilkan menggunakan BIM, termasuk gambar arsitektur, struktural, utilitas, lanskap, hingga bill of quantity dan estimasi biaya.1

Namun, lingkup regulasi ini perlu diperluas secara bertahap ke semua proyek konstruksi di Indonesia, didukung dengan turunan regulasi yang lebih detail dan komprehensif. Standar ini harus diadaptasi dari negara-negara maju yang telah matang dalam implementasi BIM, tetapi disesuaikan dengan konteks Indonesia, terutama dalam hal kesesuaian tingkat kematangan BIM dengan kompleksitas proyek.1 Misalnya, proyek dengan tingkat kompleksitas rendah mungkin hanya diwajibkan mencapai Level 1, sementara proyek infrastruktur masif harus diwajibkan mencapai Level 2 atau 3 untuk memaksimalkan integrasi data.

Selain dorongan regulasi, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif untuk mempercepat adopsi. Insentif ini sangat penting untuk membantu perusahaan skala kecil dalam mengatasi tingginya biaya awal perangkat lunak dan pelatihan, memungkinkan mereka untuk mulai belajar dan berinvestasi dalam BIM.1

 

Pernyataan Dampak Nyata: Mengubah Biaya Menjadi Keuntungan

Industri konstruksi Indonesia kini berada di titik persimpangan. Implementasi teknis (Level 1) telah dimulai, didorong oleh para praktisi muda dan proyek-proyek kompleks, namun pemahaman strategis dan dorongan kebijakan dari level tertinggi masih tertinggal. Kunci keberhasilan terletak pada transformasi peran pemerintah dari sekadar regulator menjadi 'klien cerdas' yang menuntut kualitas melalui teknologi.

BIM bukanlah sekadar biaya pengadaan perangkat lunak; ia adalah investasi mendasar yang terbukti meningkatkan produktivitas dan kolaborasi, serta mengurangi kerugian fragmentasi data yang selama ini menjadi momok industri.1 Jika pemerintah berhasil melaksanakan strategi familiarisasi yang ditargetkan kepada para Owner dan menetapkan standar wajib secara bertahap dalam lima tahun ke depan, hal itu akan menciptakan pasar yang sehat dan kompetitif.

Dengan mengatasi inefisiensi tersembunyi yang ditunjukkan oleh kesenjangan kebutuhan implementasi (58.9%), industri konstruksi nasional berpotensi meningkatkan efisiensi proyek secara keseluruhan sebesar 15 hingga 20% dalam waktu lima tahun. Peningkatan efisiensi ini akan secara signifikan mengurangi biaya pembangunan infrastruktur publik dan swasta, membebaskan sumber daya yang besar untuk investasi pembangunan lainnya, dan menjamin mutu konstruksi yang lebih baik bagi masa depan Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Van Roy, A. F., & Firdaus, A. (2020). Building Information Modelling in Indonesia: Knowledge, implementation and barriers. Journal of Construction in Developing Countries, 25(2), 199–217. https://doi.org/10.21315/jcdc2020.25.2.8