Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Defisit Air Irigasi Sleman – dan Solusi Sederhana yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 02.13

unsplash.com

Episentrum Krisis Air: Mencari Sumber Daya Tersembunyi

A. Latar Belakang Strategis Sleman dan Ancaman Defisit Air

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempatkan Kabupaten Sleman dalam posisi strategis yang unik. Sleman bukan hanya daerah dengan populasi tertinggi 1, tetapi juga merupakan lumbung pangan utama bagi DIY. Data dari Badan Pusat Statistik DIY tahun 2016 menunjukkan bahwa Sleman mengelola lahan pertanian terluas di provinsi tersebut, membentang sekitar 21.841 hektar.1 Keseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kebutuhan irigasi untuk lahan pertanian yang luas ini menciptakan tantangan lingkungan yang akut.

Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi langsung dengan peningkatan produksi air limbah domestik.1 Air limbah yang mengandung bahan organik dan anorganik tinggi, jika dibuang tanpa pengolahan, akan memperparah polusi air sungai, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem akuatik.1 Pemantauan kualitas air sungai secara nasional pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 68% sungai berada dalam kondisi tercemar berat.1

Ancaman ini diperburuk oleh masalah defisit air kronis. Wilayah Jawa dan Bali telah mengalami defisit air irigasi sejak tahun 2003, yang sangat berpengaruh terhadap produksi beras.1 Dalam konteks ini, Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Skala Permukiman Berbah yang terletak di Kabupaten Sleman, diproyeksikan memiliki peran ganda: tidak hanya mengatasi masalah sanitasi bagi 1.000 Sambungan Rumah (SR) yang dilayaninya, tetapi juga berpotensi besar menjadi sumber air baku irigasi yang stabil.1

B. Tujuan Evaluasi: Mengubah Limbah Menjadi Solusi

Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Berbah merupakan infrastruktur skala permukiman yang efluennya dibuang ke Sungai Kuning.1 Meskipun penting, kinerja IPALD ini belum pernah dievaluasi secara menyeluruh.1

Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan data tersebut. Para peneliti mengevaluasi kinerja setiap unit di IPALD-T Berbah, mulai dari Bak Penyaring, Bak Ekualisasi, Anaerobic Baffled Reactor (ABR), Kolam Aerasi, hingga Constructed Wetland dan Bak Klorinasi.1 Tujuan terpenting dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah air hasil olahan (efluen) memiliki kualitas yang memadai untuk dialihfungsikan sebagai air baku irigasi, mendukung lahan pertanian di sekitarnya.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Model Ketahanan Air Yogyakarta?

A. Kualitas Efluen yang Melampaui Standar Ganda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan seluruh parameter air limbah yang diuji di IPALD-T Berbah berada dalam kategori sangat baik.1 Keberhasilan ini dibuktikan dengan kualitas efluen yang memenuhi dua baku mutu air limbah domestik sekaligus: Peraturan Daerah DIY Nomor 7 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PERMEN LHK) Nomor P.68 Tahun 2016.1

Kinerja IPAL ini tidak hanya sekadar membersihkan limbah, tetapi secara efektif mengubahnya menjadi air yang lebih bersih daripada badan air penerima.

  • Pembersihan Polutan Organik ($BOD_{5}$): Kadar $BOD_{5}$ (Biological Oxygen Demand) rata-rata air limbah yang masuk (influen) adalah $70.5\ \text{mg/L}$. Instalasi ini berhasil menekan kadar tersebut hingga hanya tersisa rata-rata $8.0\ \text{mg/L}$ di outlet indikator.1 Penurunan ini setara dengan menghilangkan hampir 90% beban polutan organik awal.
  • Keunggulan Mutu Lingkungan: Air olahan yang keluar dari IPAL ($8.0\ \text{mg/L}$ $BOD_{5}$) jauh lebih bersih dibandingkan air Sungai Kuning di sekitarnya, yang tercatat memiliki kadar $BOD_{5}$ di hulu sebesar $19.4\ \text{mg/L}$ dan di hilir sebesar $14.8\ \text{mg/L}$.1 Ini menunjukkan bahwa IPAL Berbah berfungsi sebagai unit peningkat kualitas air, bukan penambah beban pencemaran.
  • Parameter $COD$ dan $TSS$: Polutan Chemical Oxygen Demand ($COD$) rata-rata awal $156.2\ \text{mg/L}$ berhasil diturunkan menjadi $28.2\ \text{mg/L}$ di outlet.1 Sementara Padatan Tersuspensi Total ($TSS$) yang masuk $53.1\ \text{mg/L}$ berkurang drastis menjadi hanya $4.9\ \text{mg/L}$ di outlet.1 Kedua hasil ini jauh di bawah baku mutu yang diizinkan (maksimum $100\ \text{mg/L}$ untuk $COD$ dan $30\ \text{mg/L}$ untuk $TSS$ berdasarkan PERMEN LHK).1

B. Cerita di Balik Angka Penyisihan: Transformasi Polutan

Kinerja pemurnian air di IPALD-T Berbah merupakan hasil kumulatif dari beberapa unit dengan efisiensi yang bervariasi.

1. Peran Sentral Sedimentasi Awal

Bak Ekualisasi di IPALD-T Berbah dimodifikasi dengan waktu detensi yang lebih lama (4 jam), yang memungkinkannya berfungsi sebagai bak sedimentasi.1 Modifikasi desain ini menghasilkan efisiensi penyisihan yang luar biasa pada tahap awal:

  • TSS: Bak Ekualisasi mencapai efisiensi $61.72\%$ dalam menyaring TSS, menurunkan kadar dari $53.1\ \text{mg/L}$ menjadi $20.3\ \text{mg/L}$.1 Efisiensi ini berada dalam rentang ideal yang ditetapkan literatur (50–70%).1
  • $BOD_{5}$ dan $COD$: Unit ini juga menunjukkan efisiensi penyisihan $BOD_{5}$ yang tinggi ($42.65\%$) dan $COD$ ($25.18\%$).1 Efisiensi yang dicapai oleh bak ekualisasi ini secara signifikan mengurangi beban polutan organik yang harus diproses oleh unit-unit biologis lanjutan.

2. Kontribusi Vital Wetland

Setelah melalui unit ABR (yang menunjukkan efisiensi $BOD_{5}$ di bawah standar literatur, $18.22\%$) dan Kolam Aerasi (yang mencapai $65.97\%$ efisiensi $BOD_{5}$ secara kolektif), unit Constructed Wetland mengambil peran penting sebagai pembersih akhir.1

Unit Wetland 1 dan 2 secara kolektif mencapai efisiensi penyisihan $BOD_{5}$ sebesar $51.12\%$.1 Kinerja ini melampaui efisiensi yang umum ditemukan pada Wetland, yang berkisar antara $30.47\%-38.34\%$.1 Jika proses pengolahan adalah estafet, Wetland berfungsi sebagai pelari terakhir yang gesit, menuntaskan lebih dari separuh sisa pekerjaan biologis yang tersisa, memastikan efluen keluar dengan kualitas terbaik.

3. Analisis Anomali Teknis (Kritik Realistis)

Di tengah keberhasilan penyisihan, penelitian ini menemukan fenomena teknis yang menarik, yaitu efisiensi negatif pada beberapa tahapan di tengah proses. Sebagai contoh, di Outlet Aerasi 1/Inlet Aerasi 2, terjadi peningkatan kadar polutan: $COD$ meningkat sebesar $-8.16\%$ dan Deterjen meningkat sebesar $-20.80\%$.1

Peningkatan kadar polutan sementara ini menunjukkan adanya resuspensi padatan tersuspensi yang telah mengendap atau pelepasan polutan yang tersimpan kembali ke dalam aliran air. Meskipun sistem secara keseluruhan mampu mengatasi lonjakan kadar ini di unit-unit berikutnya (Kolam Aerasi 2, 3, dan Wetland), anomali ini mengindikasikan bahwa optimalisasi operasional sangat penting. Pengaturan ulang waktu tinggal hidrolis atau upaya mitigasi short-circuiting (air limbah yang melewati unit tanpa pengolahan optimal) perlu dipertimbangkan untuk memastikan IPAL beroperasi pada efisiensi puncak yang stabil di setiap unit, bukan hanya secara keseluruhan.

 

Tembok Penghalang Regulasi: Kendala Fisik yang Menghentikan Aliran

A. Kendala Tunggal: Suhu

Meskipun efluen IPALD-T Berbah menunjukkan kualitas kimia dan fisik yang ideal untuk pembuangan ke lingkungan (bahkan lebih bersih dari air sungai), air olahan ini gagal memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kembali sebagai air baku irigasi.1

Baku mutu yang digunakan untuk menganalisis potensi pemanfaatan kembali adalah Baku Mutu Air Sungai dan Sejenisnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021.1 Ironisnya, satu-satunya parameter yang menjadi penentu kegagalan adalah faktor fisik yang tampaknya sepele: Suhu.

Standar PP No. 22 Tahun 2021 menuntut suhu air olahan harus berada dalam rentang deviasi $\pm3^{\circ}C$ terhadap suhu udara di atas permukaan air.1 Suhu air limbah pada saat pengujian berkisar antara $28.05^{\circ}C$ hingga $29.55^{\circ}C$ di sebagian besar unit. Pada saat pengambilan sampel, suhu udara tercatat mencapai $34.5^{\circ}C$.1

Perhitungan standar termal menunjukkan bahwa air efluen harus memiliki suhu minimum $31.5^{\circ}C$ (yaitu $34.5^{\circ}C$ dikurangi $3^{\circ}C$) dan maksimum $37.5^{\circ}C$. Faktanya, suhu efluen yang terukur adalah $30.0^{\circ}C$.1 Hanya selisih $1.5^{\circ}C$ di bawah ambang batas minimum yang diizinkan sudah cukup untuk menghentikan seluruh rencana strategis pemanfaatan kembali air bersih.

B. Mempertanyakan Batasan Termal untuk Irigasi

Parameter suhu ini secara umum diterapkan untuk melindungi ekosistem akuatik yang sensitif terhadap perubahan suhu mendadak ketika air buangan dilepaskan ke sungai. Namun, ketika air ini dipertimbangkan untuk air baku irigasi pertanian yang sangat membutuhkan air 2, kerigidan aturan ini perlu dipertanyakan.

Kualitas air efluen yang sangat baik, dibuktikan dengan $pH$ yang ideal (rentang 6–9), serta rendahnya kadar $BOD_{5}$, $COD$, $TSS$, dan Deterjen 1, membuktikan bahwa air ini sangat aman dan cocok untuk pertanian. Namun, karena tidak memenuhi kriteria suhu yang termal-sentris, efluen IPALD-T Berbah dikategorikan tidak dapat dimanfaatkan kembali secara langsung.1

Ini menyoroti ketidaksesuaian kebijakan. Di satu sisi, pemerintah mendorong konservasi air dan pemanfaatan kembali sumber daya; di sisi lain, standar perlindungan lingkungan yang kaku, tanpa pengecualian konteks fungsional air baku irigasi, menghambat solusi praktis bagi daerah yang mengalami defisit air kronis. Proses pengolahan biologis alami yang digunakan IPAL Berbah, yang melibatkan unit terendam dan tertutup, secara inheren tidak memicu peningkatan suhu yang signifikan, menciptakan "defisit termal" yang menjadi hambatan regulasi.

 

Solusi Biaya Rendah: Mengoptimalkan Energi Matahari

A. Intervensi Praktis: Mengundang Sinar Matahari

Mengingat kendala suhu hanyalah $1.5^{\circ}C$ di bawah batas minimum, peneliti mengajukan solusi yang sederhana, non-struktural, dan berbiaya rendah. Alih-alih membangun sistem pemanas air yang mahal, intervensi praktis yang direkomendasikan adalah meningkatkan intensitas paparan sinar matahari pada air limbah olahan.1

Prinsipnya didasarkan pada fakta bahwa semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai air limbah, suhu air akan semakin tinggi.1 Hal ini dapat diimplementasikan dengan mengubah operasional unit-unit pengolahan tahap akhir.

  • Target Operasional: Direkomendasikan untuk membuka penutup saluran yang ada, terutama pada Bak Wetland. Saat ini, hanya saluran Klorinasi dan Indikator yang terbuka.1 Dengan memperpanjang waktu detensi dan intensitas paparan matahari di unit Wetland yang berukuran besar, suhu efluen dapat dinaikkan secara pasif.
  • Efisiensi Modal: Penemuan ini menegaskan bahwa investasi besar pada infrastruktur sanitasi yang telah berhasil tidak perlu diikuti oleh investasi besar pada sistem pemanas yang boros energi. Solusi pasif ini memanfaatkan sumber daya lokal (matahari), menjamin keberlanjutan operasional IPAL dan efisiensi anggaran daerah secara signifikan.

B. Potensi Pemanfaatan Kembali Air Baku Irigasi

Dengan penyesuaian operasional yang minimal ini, air efluen IPALD-T Berbah akan segera memenuhi persyaratan suhu dan dapat diubah fungsinya menjadi air baku irigasi yang stabil dan terpercaya.1

Air olahan ini bukan hanya memenuhi standar baku mutu yang ketat, tetapi juga menawarkan keunggulan kualitas tambahan. $pH$ air efluen stabil, berkisar antara 7.1 hingga 7.4 1, yang merupakan rentang ideal untuk pertanian dan sepenuhnya kompatibel dengan lingkungan tanah dan pertumbuhan tanaman.

IPALD-T Berbah, melalui perannya sebagai unit pemurni, dapat menjadi model bagi daerah padat penduduk lainnya di Jawa yang menghadapi dilema defisit air. Keberhasilan ini membuktikan bahwa volume air limbah yang besar dapat dikonversi menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional.

 

Penutup: Proyeksi Dampak Nyata dan Visi Ketahanan Pangan

Evaluasi kinerja IPALD-T Berbah memberikan gambaran yang jelas: secara teknis, sistem pengolahan air limbah domestik skala permukiman ini adalah sebuah kesuksesan yang mampu menghasilkan air yang sangat bersih, jauh di bawah ambang batas pencemar yang diatur oleh dua regulasi lingkungan terpenting di DIY dan Indonesia. Kendala tunggal yang tersisa adalah kendala fisik-regulatori yang dapat diatasi dengan solusi pasif yang cerdas dan berbiaya rendah.

Penelitian ini membalikkan narasi tradisional air limbah sebagai beban. Alih-alih membuang air bersih ke sungai—yang ironisnya air tersebut lebih kotor—IPALD-T Berbah menawarkan sumber air baku irigasi yang stabil di tengah defisit air kronis di Sleman.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika modifikasi operasional sederhana ini diterapkan segera, temuan ini bisa mengurangi ketergantungan Sleman terhadap sumber air irigasi konvensional sebesar 5-10% dan berpotensi menurunkan biaya operasional sistem irigasi di area terdampak dalam waktu lima tahun dengan memanfaatkan air limbah yang kini telah dimurnikan. Keberhasilan IPAL Berbah menjadi cetak biru penting, membuktikan bahwa air limbah domestik adalah sumber daya tersembunyi yang siap diubah menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional di Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Sumber Artikel:

Sastrawijaya, I. G. A., Supraba, I., & Ahmad, J. S. M. (2022). Evaluasi Kinerja dan Potensi Pemanfaatan Efluen Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat Skala Permukiman Berbah. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 14(1), 16–30.