Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Lampu Merah Anda Terasa Tidak Adil – Dan Bagaimana Ponsel Anda Dapat Memperbaikinya

Dipublikasikan oleh Hansel

04 November 2025, 17.15

unsplash.com

Di persimpangan jalan mana pun di dunia, sebuah drama yang penuh frustrasi terjadi setiap hari. Puluhan pengemudi mobil, masing-masing sendirian, mendapatkan lampu hijau, sementara sebuah bus yang membawa 60 penumpang—guru, perawat, dan pekerja—terjebak di lampu merah. Sistem yang mengatur pergerakan kita ini pada dasarnya buta. Sistem ini tidak bisa membedakan antara satu unit logam yang membawa satu orang dan satu unit logam yang membawa enam puluh orang.

Bagi banyak dari kita, ini hanyalah keluhan harian. Namun bagi Roozbeh Mohammadi, seorang peneliti di Aalto University, Finlandia, ini adalah kegagalan sistemik yang mendesak untuk dipecahkan.

Latar belakang penelitian Mohammadi, yang diselesaikannya pada tahun 2022, memberikan konteks yang mencengangkan. Dalam kata pengantarnya, ia mencatat bahwa ia menulis disertasi ini saat dunia sedang melewati "pandemi dunia yang mengerikan," "perang di sisi timur Eropa," dan "harga bensin yang tumbuh cepat".1 Ini bukan sekadar catatan pribadi; ini adalah penetapan panggung sosio-ekonomi. Ketika harga bahan bakar melonjak, setiap detik mesin menyala di lampu merah bukan lagi sekadar pemborosan waktu, tetapi menjadi beban ekonomi yang nyata bagi warga.

Lebih mendalam lagi, Mohammadi mendedikasikan karyanya untuk 176 korban tak berdosa dari Ukraine International Airlines Flight 752.1 Terdapat hubungan tematik yang kuat antara tragedi kemanusiaan ini dan inti penelitiannya. Tragedi penerbangan itu adalah kegagalan sistem yang mengorbankan nyawa manusia. Sistem manajemen lalu lintas yang ada saat ini, dengan caranya sendiri, juga merupakan sistem yang gagal menghargai faktor manusia.

Disertasi Mohammadi bukanlah sekadar proposal akademis untuk membuat lalu lintas 10% lebih lancar. Ini adalah argumen fundamental untuk merombak total filosofi di balik lampu lalu lintas kita—mengalihkannya dari sistem 'dingin' yang menghitung aset (mobil) menjadi sistem 'hangat' yang menghargai nyawa (manusia).

 

Masalah Inti: Kebutaan Sistemik di Persimpangan Jalan

Selama puluhan tahun, sistem manajemen lalu lintas perkotaan telah "didominasi oleh kendaraan" (vehicle-dominated).1 Dalam praktiknya, ini berarti bahwa metrik kesuksesan sebuah persimpangan adalah 'vehicular throughput'—berapa banyak unit kendaraan yang berhasil melewatinya dalam satu jam. Sistem ini tidak pernah dirancang untuk mengukur 'user throughput'—berapa banyak orang yang berhasil melewatinya.1

Menurut penelitian tersebut, kondisi ini terjadi karena dua alasan utama. Pertama, adanya "kurangnya perhatian pada pengguna" dalam filosofi desain lalu lintas historis. Kedua, dan ini yang paling penting, keterbatasan teknis yang fundamental: "alat pengumpul data konvensional tidak berdaya (powerless) untuk mengumpulkan data kendaraan individu maupun data pengguna kendaraan".1

Kata 'powerless' adalah kuncinya. Ini bukanlah pilihan kebijakan; ini adalah keterbatasan fisik. Sensor tradisional yang ditanam di bawah aspal (inductive loops) pada dasarnya adalah detektor logam canggih. Mereka dapat dengan andal mendeteksi "satu unit logam besar" telah tiba di garis berhenti. Namun, mereka secara fisik "buta" terhadap apa yang ada di dalamnya. Sensor tersebut tidak memiliki cara untuk membedakan antara sedan yang dikemudikan seorang diri dan bus kota yang penuh sesak.

Akibatnya, sistem ini menciptakan ketidakadilan (inequity) yang sistematis dan terprogram. Sistem yang buta ini akan memperlakukan 50 orang di dalam bus memiliki urgensi yang sama dengan satu orang di dalam mobil. Disertasi ini berargumen bahwa paradigma yang telah berusia puluhan tahun ini salah secara fundamental dan mendesak untuk diubah.

 

Terobosan dari Finlandia: Menggunakan 'Connected Vehicle' sebagai Mata Baru untuk Kota

Solusi yang diajukan untuk mengatasi kebutaan sistemik ini adalah teknologi Connected Vehicles (CV). Dalam konteks ini, CV tidak hanya berarti mobil canggih dari pabrikan; CV bisa berupa bus umum yang dilengkapi pemancar, atau bahkan smartphone yang ada di dalam setiap kendaraan yang menjalankan aplikasi navigasi.1

Intinya adalah kendaraan-kendaraan ini dapat mengumpulkan dan mengirimkan "data kendaraan dan penggunanya secara real-time" ke infrastruktur lampu lalu lintas.1

Kemampuan baru inilah yang, menurut disertasi tersebut, "memfasilitasi pengembangan strategi manajemen lalu lintas berbasis pengguna (user-centred)".1 Untuk pertama kalinya, sistem lampu lalu lintas dapat melihat ke dalam kendaraan.

Namun, penelitian ini memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang mudah. Godaannya adalah menggunakan data yang kaya ini hanya untuk membuat sistem 'vehicle-dominated' yang lama menjadi sedikit lebih efisien. Mohammadi menantang asumsi dasar tersebut. Daripada hanya mengoptimalkan aliran kendaraan sedikit lebih baik, data baru ini memungkinkan kita untuk mengubah tujuan dari sistem itu sendiri.

Tujuan barunya: memaksimalkan aliran pengguna.1 Untuk mencapai ini, disertasi tersebut mengusulkan dua strategi utama yang revolusioner.

 

Kontribusi Pertama: Berhenti Menghitung Mobil, Mulai Menghitung Manusia

Kontribusi ilmiah pertama, yang dirinci dalam Publikasi I, disebut User-Based Signal Timing Optimisation (UBSTO) atau Optimasi Waktu Sinyal Berbasis Pengguna.1

Cara kerjanya paling baik dijelaskan melalui narasi kontras:

  • Sistem Lama (Vehicle-Dominated): Lampu lalu lintas mendeteksi 10 unit kendaraan di Jalur A (jalan arteri) dan 5 unit kendaraan di Jalur B (jalan pengumpan). Logikanya sederhana: "10 lebih banyak dari 5. Berikan lampu hijau ke Jalur A."
  • Sistem Baru (UBSTO): Sistem CV 'melihat' data pengguna. Jalur A memiliki 10 mobil, dengan total 12 pengguna (sebagian besar komuter solo). Jalur B memiliki 4 mobil dan 1 bus kota, dengan total 55 pengguna. Logika baru mengambil alih: "55 pengguna jauh lebih banyak dari 12 pengguna. Segera berikan lampu hijau ke Jalur B."

Tujuannya bergeser 180 derajat: dari "memaksimalkan vehicular throughput" (jumlah kendaraan) menjadi "memaksimalkan user throughput" (jumlah total orang).1

Ini lebih dari sekadar efisiensi teknis; ini adalah alat insentif perilaku. Jika sistem lalu lintas kota Anda secara konsisten dan dapat diprediksi memberi prioritas pada kendaraan yang lebih penuh—seperti bus dan carpool—maka pengguna jalan akan belajar. Perilaku ride-sharing dan penggunaan angkutan umum secara langsung dihargai dengan penghematan waktu nyata.1 Algoritma ini, yang tersembunyi di dalam kotak kontrol lalu lintas, secara efektif menjadi alat kebijakan publik yang aktif untuk mendorong mobilitas bersama (shared mobility).

Temuan dari penelitian ini mengkonfirmasi hipotesis tersebut. Strategi UBSTO terbukti "meningkatkan rata-rata total user throughput dan mengurangi rata-rata total user delay" secara signifikan dibandingkan dengan strategi tradisional yang hanya menghitung kendaraan.1

 

Kontribusi Kedua: Prioritas Cerdas untuk Bus (Tidak Semua Bus Diciptakan Sama)

Kontribusi besar kedua (Publikasi II) mengatasi masalah spesifik angkutan umum melalui User-based Transit Signal Priority (TSP) yang cerdas.1

Banyak kota sudah memiliki sistem TSP, tetapi sistem ini seringkali 'bodoh'. Sistem TSP tradisional memberikan prioritas pada setiap bus yang mendekat, tanpa pandang bulu. Ini berarti bus yang kosong atau bus yang datang lebih awal dari jadwal tetap akan memicu lampu hijau paksa. Tindakan ini seringkali memperburuk kemacetan secara tidak proporsional bagi ratusan mobil lain, menciptakan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai "eksternalitas negatif".1

Strategi baru yang diusulkan jauh lebih 'pintar'. Sistem ini hanya memberikan prioritas kepada bus yang memenuhi dua kriteria spesifik secara bersamaan:

  1. Bus tersebut "tertinggal dari jadwal (behind the schedule)".1
  2. Bus tersebut memiliki "jumlah penumpang yang lebih tinggi (higher number of passengers)".1

Di sinilah letak kecerdasan adaptif dari sistem ini. Sistem ini secara dinamis menimbang kebutuhan (bus terlambat) versus dampak sosial (bus penuh penumpang).

Hal ini juga memecahkan masalah klasik "permintaan prioritas yang saling bertentangan" (conflicting priority requests).1 Bayangkan dua bus tiba di persimpangan yang sama dari arah yang berlawanan (misalnya, satu ingin lurus, satu ingin belok kiri). Sistem lama mungkin macet atau memilih secara acak. Sistem baru ini dapat membuat keputusan yang adil dan berbasis data: "Bus A terlambat 10 menit dan membawa 40 penumpang. Bus B tepat waktu dan hanya membawa 5 penumpang. Prioritas jelas diberikan kepada Bus A."

Yang terpenting, strategi ini dirancang tidak hanya untuk menguntungkan bus. Sistem ini secara eksplisit "mempertimbangkan pengguna bus serta pengendara mobil lainnya".1 Dengan hanya memberikan prioritas saat benar-benar dibutuhkan, sistem ini berhasil mengurangi penundaan bagi semua orang, bukan hanya memindahkan kemacetan dari jalur bus ke jalur mobil.1

 

Di Balik Penghematan Waktu: Mengukur Pengurangan 'Biaya Sosial Total'

Manfaat dari sistem yang lebih cerdas ini melampaui penghematan waktu. Publikasi II juga mengevaluasi sesuatu yang disebut "total social cost" (biaya sosial total).1

Biaya sosial bukanlah konsep abstrak; ini adalah jumlah kerugian kolektif yang kita semua bayar akibat kemacetan. Penelitian ini mendefinisikannya sebagai gabungan dari beberapa faktor 1:

  • Waktu tunggu (penundaan perjalanan).
  • Konsumsi bahan bakar (bensin atau solar yang terbuang percuma saat idle).
  • Emisi (polusi udara dari knalpot yang menyala tanpa bergerak).

Hubungan antara penundaan dan biaya sosial sangat jelas: Penundaan yang lama sama dengan mesin yang terus menyala (idle). Mesin yang idle berarti bahan bakar terbuar sia-sia. Bahan bakar yang terbakar sia-sia berarti emisi yang dilepaskan tanpa tujuan. Semua ini meningkatkan biaya sosial total.

Dengan mengubah logika prioritas untuk menggerakkan jumlah orang terbanyak secepat mungkin (terutama di dalam bus besar yang efisien), sistem UBSTO dan TSP baru ini secara drastis mengurangi total waktu idle kumulatif di persimpangan. Ini secara langsung mengurangi pembakaran bahan bakar dan emisi polusi. Ini adalah jawaban langsung terhadap konteks awal penelitian: harga bensin yang mahal.1

Hasilnya? Strategi TSP baru yang diusulkan ini terbukti mampu mengurangi total biaya sosial lebih dari 10% dibandingkan dengan skenario baseline.1 Pengurangan 10% ini bukanlah angka dalam spreadsheet akademis; itu adalah dampak nyata di persimpangan dekat rumah Anda. Itu berarti lebih sedikit asap knalpot yang Anda hirup saat menunggu, dan bus Anda tidak lagi membakar bahan bakar secara percuma hanya untuk menunggu giliran.

 

Temuan Mengejutkan: Revolusi Ini Tidak Membutuhkan GPS Mahal (HP Anda Cukup)

Pada titik ini, banyak perencana kota mungkin akan skeptis. Sistem yang canggih seperti ini terdengar sangat mahal. Tentunya sistem ini membutuhkan GPS tingkat militer yang sangat presisi di setiap kendaraan?

Kontribusi ketiga (Publikasi III) menjawab pertanyaan praktis ini, dan jawabannya sangat mengejutkan. Penelitian ini menguji dampak akurasi data pada sistem.1

Temuan utamanya adalah bahwa "data CV, seperti yang dihasilkan oleh GPS seluler (ponsel), cukup akurat untuk digunakan".1

Ini adalah temuan yang sangat penting dan berlawanan dengan intuisi. Logika awam menyarankan bahwa sistem yang lebih canggih (yang melacak individu) pasti membutuhkan data yang lebih akurat. Namun, penelitian ini menemukan sebaliknya. Sistem baru yang melihat data dari setiap individu (disebut disaggregated input controller) ternyata "kurang sensitif terhadap kesalahan data" dibandingkan dengan sistem lama yang mencoba mengestimasi satu angka agregat (seperti total panjang antrian).1

Alasannya kemungkinan besar berkaitan dengan hukum bilangan besar (law of large numbers). Ketika sistem menerima data dari ratusan ponsel, beberapa data mungkin sedikit melenceng ke kiri, dan beberapa sedikit melenceng ke kanan. Kesalahan-kesalahan kecil dan acak ini cenderung saling meniadakan, menghasilkan gambaran rata-rata yang sangat akurat tentang di mana kerumunan itu berada.

Sebaliknya, sistem lama yang bergantung pada satu estimasi agregat (misalnya, sensor tanam yang memperkirakan ada 20 mobil dalam antrian) akan gagal total jika satu estimasi itu salah.

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini meruntuhkan hambatan biaya dan implementasi. Kota-kota tidak perlu menunggu puluhan tahun bagi produsen mobil untuk memasang sensor mahal di setiap kendaraan baru. Mereka dapat mulai menerapkan revolusi ini dengan memanfaatkan teknologi yang sudah ada di saku sebagian besar warga mereka saat ini.

 

Memecahkan Masalah 'Ayam-dan-Telur': Sistem Ini Bekerja Meski Hanya 15% Mobil yang Terhubun

Ada satu lagi hambatan praktis besar: masalah "ayam-dan-telur" dalam adopsi teknologi. Mengapa sebuah kota harus berinvestasi dalam sistem baru ini jika hanya sebagian kecil mobil yang 'terhubung'? Dan mengapa warga harus membeli teknologi 'terhubung' jika infrastruktur kota belum mendukungnya?

Kontribusi keempat (Publikasi IV) secara brilian mengatasi masalah "tingkat penetrasi rendah" (low penetration rate) ini.1

Solusinya adalah "metode estimasi kendaraan berbasis data" (data-driven vehicle estimation).1 Ini pada dasarnya adalah model machine learning (AI) yang dilatih khusus untuk satu tugas: 'menebak' jumlah kendaraan yang tidak terhubung (mobil 'bodoh') yang berada di antara dua kendaraan yang terhubung (mobil 'pintar').

Jika mobil 'pintar' A melaporkan posisinya di 100 meter sebelum lampu merah, dan mobil 'pintar' B melaporkan posisinya 30 meter di belakang A, AI dilatih untuk memperkirakan berapa banyak mobil 'bodoh' yang kemungkinan besar berada di celah 30 meter di antara mereka, berdasarkan kecepatan, waktu, dan kepadatan lalu lintas.

Temuan kuncinya sangat menjanjikan: metode AI ini terbukti "dapat memberikan estimasi jumlah kendaraan yang akurat, bahkan pada tingkat penetrasi CV yang rendah (serendah 15%)".1

Ini adalah jembatan yang menghubungkan teori akademis dengan praktik dunia nyata. Sebuah kota tidak perlu menunggu hingga tahun 2040 ketika 100% mobil di jalan adalah CV. Mereka dapat meluncurkan sistem ini sekarang. Dengan hanya 15% dari mobil yang mentransmisikan data—atau bahkan hanya data anonim dari aplikasi seperti Google Maps atau Waze yang sudah digunakan orang—model AI ini dapat 'mengisi kekosongan' data dan memperkirakan keseluruhan antrian dengan cukup akurat untuk menjalankan strategi UBSTO dan TSP yang baru.

 

Dampak Nyata: Bagaimana Lampu Merah Anda Bisa Mendorong Anda Berbagi Tumpangan

Bagian "Transferabilitas dan kepraktisan" dari disertasi ini merangkum apa arti semua ini bagi komuter harian.1 Ini adalah inti dari segalanya.

Sistem yang diusulkan ini berfungsi sebagai "insentif untuk mendorong shared mobility" (mobilitas bersama).1 Bagaimana caranya? Sederhana: karena "jumlah pengguna yang tinggi dalam satu kendaraan meningkatkan peluang kendaraan tersebut menerima prioritas" di lampu lalu lintas.1

Hasil akhirnya adalah "pengurangan keterlambatan (reduction in delay)" dan "penghematan waktu (time saving)" yang nyata dan terukur bagi siapa saja yang memilih untuk naik bus, carpool, atau layanan ride-sharing.1

Singkatnya, penelitian ini menguraikan sistem di mana:

  • Jika Anda memutuskan untuk beralih dari mengemudi sendiri ke naik bus, algoritma baru ini secara aktif bekerja untuk membuat perjalanan Anda lebih cepat.
  • Sistem ini menghargai efisiensi sosial (lebih banyak orang per kendaraan) dengan efisiensi pribadi (penghematan waktu Anda).
  • Seiring waktu, ini membuat mobilitas bersama menjadi pilihan yang lebih menarik secara rasional 1, yang berpotensi mengubah seluruh pola komuter perkotaan.

 

Kritik Realistis: Apa yang (Secara Krusial) Hilang dari Penelitian Ini?

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Disertasi ini jujur tentang batasannya, yang digariskan dalam "Rekomendasi untuk penelitian masa depan".1 Bagian ini juga berfungsi sebagai kritik realistis terhadap penerapan temuan ini di dunia nyata.

Kritik 1: Pengguna Jalan yang Paling Rentan Diabaikan

Batasan terbesar dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini belum memasukkan "pejalan kaki dan pengendara sepeda" ke dalam desain dan evaluasinya.1 Ini adalah kekurangan yang sangat besar untuk sebuah studi yang mengklaim berpusat pada "pengguna" (user-centred) dan "adil" (equitable). Pejalan kaki dan pengendara sepeda adalah pengguna jalan yang paling rentan.

Jika sistem ini diterapkan secara naif, sistem yang mengoptimalkan pergerakan pengguna di dalam kendaraan ini berpotensi memperburuk situasi bagi pejalan kaki. Bayangkan skenario di mana sistem UBSTO memutuskan untuk memberikan waktu hijau 30 detik ekstra untuk jalur yang penuh dengan bus. Waktu hijau ekstra itu harus diambil dari suatu tempat—dan kemungkinan besar dicuri dari waktu 'BERJALAN' bagi pejalan kaki di penyeberangan. Ini menciptakan eksternalitas negatif baru yang harus dipecahkan oleh penelitian selanjutnya.

Kritik 2: Efek Jaringan yang Belum Terbukti

Batasan kedua adalah skala. Penelitian ini, seperti banyak studi perintis lainnya, diuji pada "satu persimpangan atau jaringan yang lebih kecil".1 Lalu lintas kota adalah jaringan yang sangat kompleks dan saling terhubung. Mengoptimalkan satu persimpangan secara brilian dapat secara tidak sengaja menyebabkan kemacetan parah di persimpangan berikutnya (dikenal sebagai "efek limpahan" atau spillover effect 1).

Keefektifan sistem ini di seluruh jaringan kota yang kompleks—seperti Jakarta, London, atau Helsinki—masih perlu dibuktikan dalam implementasi skala besar.

 

Kesimpulan: Visi Lima Tahun untuk Kota Anda

Disertasi Roozbeh Mohammadi lebih dari sekadar penyesuaian algoritma; ini adalah cetak biru untuk mengubah infrastruktur lalu lintas kita dari sistem manajemen 'aset' (mobil) menjadi sistem manajemen 'manusia' (pengguna).

Penelitian ini secara elegan memecahkan hambatan terbesar yang selama ini menghalangi kemajuan:

  1. Hambatan Data: Membuktikan bahwa GPS ponsel yang ada saat ini sudah cukup akurat.1
  2. Hambatan Adopsi: Menunjukkan bahwa sistem dapat bekerja efektif hanya dengan 15% kendaraan yang terhubung.1
  3. Hambatan Kebijakan: Menyediakan mekanisme insentif berbasis pasar yang menghargai mobilitas bersama.1

Jika diterapkan secara bertahap, temuan ini dapat secara fundamental mengubah kalkulus komuter harian. Dalam lima tahun ke depan, kota-kota yang cukup berani untuk mengadopsi logika "berpusat pada pengguna" ini tidak hanya akan melihat pengurangan emisi dan penghematan bahan bakar yang nyata di persimpangan mereka.1 Mereka juga akan menyaksikan pergeseran perilaku yang nyata dari warganya.

Ketika bus dan carpool secara konsisten dan dapat diprediksi mengalahkan mobil berisi satu orang, warga akan merespons. Sistem lalu lintas akan berhenti menjadi sumber frustrasi kolektif dan mulai menjadi alat aktif yang mendorong kita semua menuju masa depan yang lebih efisien, lebih hemat bahan bakar, dan, yang terpenting, lebih adil.

 

Sumber Artikel:

http://urn.fi/URN:ISBN:978-952-64-0858-3