Setiap pagi dan sore, denyut nadi Bandar Lampung melambat hingga nyaris berhenti. Di koridor-koridor utama yang membentuk Central Business District (CBD), ribuan kendaraan merayap dalam sebuah ritual kemacetan yang seolah abadi. Klakson bersahutan, emisi membubung, dan waktu produktif menguap sia-sia. Bagi jutaan warganya, ini adalah realitas pahit yang harus dihadapi setiap hari. Namun, apa yang terjadi jika diagnosis paling akurat dan cetak biru solusi untuk kelumpuhan ini sebenarnya telah ada selama hampir dua dekade, tersimpan dalam sebuah dokumen akademis yang terlupakan?
Pada tahun 2006, sebuah tesis magister dari Universitas Diponegoro berjudul "Pola Kemacetan Lalu-lintas di Pusat Kota Bandar Lampung" oleh Dedi Firdausi melakukan sesuatu yang luar biasa.1 Jauh sebelum kemacetan menjadi krisis kronis seperti hari ini, penelitian tersebut membedah masalah ini dengan presisi seorang ahli patologi, bukan hanya menghitung jumlah kendaraan, tetapi memetakan "DNA" dari kekacauan itu sendiri. Temuannya sangat jelas: kemacetan di Bandar Lampung bukanlah serangkaian insiden acak. Ia adalah sebuah "pola yang sistemik," sebuah jejaring kegagalan di mana setiap titik macet saling terkait dan memicu satu sama lain dalam reaksi berantai yang dapat diprediksi.1
Laporan ini akan membawa Anda menelusuri kembali temuan-temuan fundamental dari penelitian tersebut. Bukan sebagai sebuah nostalgia akademis, tetapi sebagai alat diagnostik yang sangat relevan untuk memahami kondisi hari ini. Kita akan mengungkap bagaimana penelitian ini mengidentifikasi akar masalah yang sesungguhnya, melacak bagaimana kelumpuhan menyebar seperti virus melalui arteri kota, dan menerjemahkan data-data kuantitatif yang dingin menjadi gambaran nyata tentang sebuah infrastruktur yang telah lama menyerah.
Lebih penting lagi, kita akan melihat bagaimana tesis ini menawarkan sebuah jalan keluar yang komprehensif. Ini adalah sebuah kisah tentang sebuah diagnosis yang diabaikan dan sebuah resep yang belum pernah benar-benar dicoba. Pertanyaan sentral yang membingkai seluruh analisis ini bukanlah "apa yang salah dengan lalu lintas Bandar Lampung?", melainkan "mengapa kita gagal belajar dari apa yang sudah kita ketahui sejak lama?"
Bukan Sekadar Volume Kendaraan: Mengungkap "Dosa" Utama Bernama Hambatan Samping
Ketika terjebak dalam kemacetan, asumsi paling umum adalah "terlalu banyak mobil di jalan." Namun, penelitian Firdausi secara tegas membantah mitos ini. Akar masalah yang sebenarnya jauh lebih kompleks dan tersembunyi di depan mata. Penyebab utama kelumpuhan lalu lintas di Bandar Lampung bukanlah semata-mata volume kendaraan, melainkan penyusutan kapasitas jalan yang drastis akibat fenomena yang disebut "Hambatan Samping" (Side Friction).1
Hambatan samping adalah istilah teknis untuk segala aktivitas di sisi kiri dan kanan jalan yang mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Ini adalah drama sehari-hari di mana ruang publik yang seharusnya menjadi jalur pergerakan berubah menjadi arena perebutan kepentingan antara pengguna formal dan informal. Penelitian ini mengidentifikasi anatomi dari "pencuri kapasitas jalan" ini dengan sangat detail:
- Pedagang Kaki Lima (PKL): Mereka adalah tulang punggung ekonomi informal, tetapi kehadiran mereka yang menempati trotoar, lahan parkir, bahkan badan jalan, menciptakan rintangan fisik pertama. Pejalan kaki yang kehilangan haknya terpaksa berjalan di bahu jalan, memperlambat laju kendaraan dan menciptakan risiko keselamatan.1
- Parkir Kendaraan Liar: Sebagai konsekuensi langsung dari lahan parkir yang ditempati PKL atau memang tidak memadai, kendaraan roda dua dan empat tumpah ruah menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir. Setiap mobil yang parkir di tepi jalan secara efektif "mencuri" satu lajur, mengurangi lebar efektif jalan raya secara signifikan.1
- Kendaraan Tidak Bermotor: Becak dan gerobak, dengan kecepatan rendah dan pola pergerakan yang seringkali tidak terduga, bercampur baur dengan lalu lintas kendaraan bermotor. Perbedaan kecepatan yang ekstrem ini menciptakan turbulensi dalam arus lalu lintas, memaksa kendaraan lain untuk melambat atau bermanuver secara tiba-tiba.1
- Disiplin Pengguna Jalan yang Rendah: Faktor manusia memainkan peran krusial. Penelitian ini menyoroti perilaku pengemudi angkutan umum (angkot) yang berhenti di sembarang tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, menciptakan "sumbatan" mendadak yang memicu antrean panjang di belakangnya. Ditambah lagi dengan pejalan kaki yang menyeberang secara acak karena minimnya fasilitas seperti jembatan penyeberangan, kekacauan pun menjadi tak terhindarkan.1
Temuan paling krusial adalah bahwa kondisi ini bukanlah pengecualian, melainkan sebuah aturan. Analisis di seluruh ruas jalan utama di CBD—mulai dari Jl. Raden Intan, Jl. Kartini, hingga Jl. Imam Bonjol—secara konsisten menunjukkan tingkat hambatan samping yang "Sangat Tinggi".1 Ini adalah bukti empiris bahwa jalan-jalan di pusat kota Bandar Lampung secara sistematis kehilangan fungsi utamanya.
Pada dasarnya, kemacetan di kota ini adalah manifestasi fisik dari konflik perebutan ruang. Jalan raya tidak lagi hanya berfungsi sebagai koridor transportasi. Ia telah berubah menjadi pasar, lahan parkir, dan ruang sosial sekaligus, di mana setiap aktivitas ini saling bersaing dalam ruang yang sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa solusi yang hanya berfokus pada rekayasa lalu lintas—seperti mengubah durasi lampu merah atau membuat jalur satu arah—tidak akan pernah cukup. Masalahnya jauh lebih dalam, berakar pada tata kelola ruang kota dan ketidakmampuan untuk menyeimbangkan serta mengintegrasikan kebutuhan ekonomi formal dan informal. Solusi yang diusulkan, seperti "relokasi PKL," bukan sekadar upaya penggusuran, melainkan sebuah pengakuan bahwa ekonomi informal harus diberi ruang yang layak dalam perencanaan kota, bukan dibiarkan tumpah ke jalan dan melumpuhkan arteri vital kota.1
Anatomi Kelumpuhan: Menelusuri Jaringan Kemacetan dari Sub-Sistem A hingga G
Inti dari penelitian Firdausi adalah penemuannya bahwa kemacetan di Bandar Lampung bukanlah sekumpulan titik masalah yang terisolasi, melainkan sebuah organisme tunggal yang saling terhubung. Menggunakan pendekatan analisis sistem, penelitian ini memetakan bagaimana "penyakit" kemacetan menyebar dari satu titik ke titik lain, menciptakan sebuah jejaring kelumpuhan yang mencakup seluruh CBD. Kerangka analisis ini membagi kawasan macet menjadi tujuh "Sub-Sistem" (A hingga G), masing-masing dengan titik-titik pemicunya sendiri.1
Dengan menelusuri peta ini, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana efek domino kemacetan terjadi setiap hari:
Titik Awal Kekacauan: Sub-Sistem A
Kisah kelumpuhan seringkali dimulai di sini, di sekitar kawasan Tugu Joeang '45, Stasiun Kereta Api Tanjung Karang, dan Terminal Kota di Bandar Lampung Plaza.1 Titik paling kritis adalah pintu keluar terminal angkot (disebut Titik 3) dan persimpangan antara Jl. Raden Intan dan Jl. Pemuda (Titik 4). Penelitian ini mengklasifikasikan titik-titik ini sebagai "Titik Stimulir," artinya mereka adalah pemicu utama yang memulai reaksi berantai.1 Sebuah angkot yang keluar dari terminal dan kesulitan masuk ke arus utama di Jl. Raden Intan sudah cukup untuk menciptakan antrean yang dengan cepat merambat mundur, bahkan hingga melumpuhkan area di depan Gedung Joeang '45 (Titik 1).1
Efek Rantai ke Sub-Sistem B
Dari Titik 4 di persimpangan Jl. Raden Intan, masalah menjalar ke Sub-Sistem B, khususnya di depan Simpur Center. Kendaraan pribadi yang antre untuk masuk ke pusat perbelanjaan ini (Titik 5) menciptakan penyempitan jalur yang signifikan. Antrean ini tidak hanya menciptakan kemacetan lokal, tetapi juga memberikan tekanan balik ke persimpangan Jl. Pemuda (Titik 4), memperburuk situasi yang sudah kritis di sana.1 Ini adalah contoh sempurna dari bagaimana dua pusat aktivitas yang berbeda—terminal dan pusat perbelanjaan—secara fungsional terhubung oleh kegagalan lalu lintas. Kemacetan di satu lokasi secara langsung memicu dan memperparah kemacetan di lokasi lain.
Episentrum Krisis: Sub-Sistem F dan G
Jantung komersial kota, yang mencakup Kawasan Jaka Utama, Pertokoan Golden, dan Bambu Kuning Plaza, adalah episentrum dari krisis ini. Di sinilah berbagai arteri lalu lintas bertemu, dan tingkat aktivitas informal mencapai puncaknya. Sub-Sistem F dan G adalah zona pertempuran di mana volume kendaraan yang tinggi, PKL yang padat, parkir liar, dan pejalan kaki berebut setiap sentimeter ruang. Penelitian ini menunjukkan bagaimana sebuah kemacetan di persimpangan Jl. Kartini dan Jl. Imam Bonjol (Titik 15) secara pasti akan memicu kemacetan di titik-titik sekitarnya, seperti di depan Pertokoan Golden (Titik 16) dan persimpangan Jl. Batu Sangkar (Titik 14).1 Ini adalah sebuah sistem yang sangat rapuh, di mana satu gangguan kecil dapat dengan cepat melumpuhkan seluruh area.
Kantong-kantong Masalah Parsial: Sub-Sistem D dan E
Tidak semua kemacetan memiliki efek domino yang luas. Penelitian ini juga mengidentifikasi zona-zona kemacetan yang lebih bersifat "parsial" atau lokal, seperti di sekitar Plaza Millenium (Sub-Sistem D) dan Central Plaza (Sub-Sistem E). Meskipun masalah di sini—seperti antrean taksi atau angkot yang berhenti—dapat menyebabkan frustrasi yang signifikan, dampaknya cenderung terbatas pada area terdekat dan tidak secara langsung memicu kelumpuhan di sub-sistem lain yang lebih jauh.1
Apa yang diungkap oleh pemetaan sistemik ini adalah sebuah wawasan yang transformatif. Kekacauan di jalanan Bandar Lampung ternyata memiliki "kode sumber" yang logis dan dapat diprediksi. Klasifikasi titik macet menjadi "stimulir," "stimulir parsial," dan "tidak stimulir" bukan hanya sebuah latihan akademis; ini adalah sebuah peta jalan strategis untuk intervensi. Daripada menyebar sumber daya secara merata untuk mengatasi semua titik macet—sebuah pendekatan yang pasti gagal—pembuat kebijakan dapat memfokuskan upaya mereka pada "Titik Stimulir" utama. Dengan menetralisir pemicu-pemicu awal ini, seperti memperbaiki desain pintu keluar terminal atau mengatur ulang akses masuk ke Simpur Center, mereka dapat mencegah efek domino terjadi. Tesis ini, pada hakikatnya, bukan hanya mendeskripsikan masalah; ia menyediakan sebuah manual taktis untuk membongkar mesin kemacetan kota, bagian per bagian.
Ketika Jalan Raya Menyerah: Data Kuantitatif di Balik Krisis
Di balik narasi kekacauan visual, penelitian ini menyajikan data kuantitatif yang dingin dan brutal, yang mengonfirmasi bahwa sistem jalan raya di pusat kota Bandar Lampung tidak hanya sedang bermasalah, tetapi telah benar-benar runtuh. Metrik kunci yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan ini adalah "Derajat Kejenuhan" (Degree of Saturation, disingkat DS).
Secara sederhana, Derajat Kejenuhan adalah rasio antara volume lalu lintas aktual yang melewati sebuah jalan dengan kapasitas maksimum yang mampu ditampung oleh jalan tersebut. Angka $DS = 0.85$ sudah dianggap sebagai lampu kuning, menandakan arus lalu lintas yang tidak stabil dan mendekati kemacetan. Angka $DS = 1.0$ adalah titik kritis; jalan tersebut 100% penuh. Setiap angka di atas 1.0 menandakan sebuah kegagalan sistem total—permintaan telah jauh melampaui kapasitas, dan yang terjadi adalah antrean panjang atau kemacetan total (gridlock).
Temuan penelitian ini, jika diterjemahkan dari tabel-tabel data menjadi sebuah narasi, melukiskan gambaran sebuah bencana infrastruktur harian:
Di Jalan Raden Intan, salah satu arteri utama kota, tingkat kejenuhan mencapai angka yang mencengangkan, berkisar antara $1.79$ hingga $1.87$.1 Angka ini bukan lagi sekadar indikasi kepadatan. Ini adalah bukti matematis dari sebuah kelumpuhan. Bayangkan mencoba memaksa lalu lintas dari hampir dua jalan raya yang penuh sesak untuk masuk ke dalam satu jalur tunggal. Jalan tersebut tidak lagi hanya padat; ia secara fungsional telah gagal total dalam menjalankan fungsinya untuk mengalirkan lalu lintas pada jam-jam sibuk.
Kondisi yang lebih ekstrem ditemukan di Jalan Kartini, khususnya di segmen kedua, di mana tingkat kejenuhan meroket hingga $1.95$.1 Angka ini menggambarkan sebuah kondisi yang mendekati kemacetan absolut. Ini setara dengan sebuah gelas yang hanya mampu menampung satu liter air, tetapi kita terus-menerus mencoba menuangkan hampir dua liter ke dalamnya. Tumpahan yang tak terhindarkan adalah analogi sempurna untuk kendaraan yang tumpah ruah dan tidak bisa bergerak, sebuah kelumpuhan total yang terjadi setiap hari.
Bahkan di Jalan Imam Bonjol, yang berada pada titik kritis dengan tingkat kejenuhan tepat $1.00$, situasinya sudah sangat genting.1 Ini adalah kondisi di mana setiap ruang di jalan telah terisi penuh. Penambahan satu mobil lagi, satu angkot yang berhenti mendadak, atau satu gerobak yang melintas sudah cukup untuk menjadi pemicu yang mengubah arus yang merayap menjadi kemacetan total yang tidak bergerak.
Data-data ini memaksa kita untuk mengubah cara pandang terhadap masalah ini. Ini bukan lagi sekadar "lalu lintas yang padat" atau "ketidaknyamanan perjalanan." Angka-angka ini adalah bukti dari sebuah krisis permanen, sebuah kegagalan infrastruktur publik yang fundamental. Ketika jalan-jalan utama sebuah kota secara rutin beroperasi pada tingkat kejenuhan hampir 200% dari kapasitasnya, ini menandakan bahwa sistem tersebut telah rusak secara mendasar. Ini menggeser isu ini dari sekadar masalah kualitas hidup menjadi masalah kegagalan tata kelola perkotaan yang mendesak untuk ditangani secara sistemik, bukan dengan perbaikan-perbaikan kecil dan tambal sulam.
Wajah Manusia di Balik Angka: Siapa yang Paling Terdampak?
Data dan analisis sistemik memang penting, tetapi di balik setiap angka Derajat Kejenuhan dan setiap diagram alur kemacetan, terdapat kisah nyata manusia yang hidupnya terganggu setiap hari. Kemacetan kronis di Bandar Lampung bukanlah sekadar masalah teknis; ia adalah krisis sosial dan ekonomi yang merampas waktu, uang, dan kualitas hidup warganya. Penelitian ini, dengan mengidentifikasi titik-titik dan waktu-waktu kritis, memungkinkan kita untuk melihat siapa yang menanggung beban terberat dari kelumpuhan ini.
Para Pekerja dan Pelajar: Jam-jam puncak kemacetan yang diidentifikasi penelitian, yaitu pukul 07.00-08.00 pagi dan 17.00-18.00 sore, secara langsung bertepatan dengan waktu berangkat dan pulang kerja atau sekolah.1 Bagi ratusan ribu komuter, ini berarti jam-jam produktif yang hilang di jalan, biaya bahan bakar yang membengkak karena kendaraan lebih sering diam daripada bergerak, serta tingkat stres dan kelelahan yang tinggi bahkan sebelum hari kerja dimulai atau setelahnya berakhir.
Perekonomian Lokal: Central Business District (CBD) seharusnya menjadi jantung ekonomi kota, tempat perdagangan dan jasa berdenyut kencang. Namun, kemacetan ekstrem yang melanda kawasan pertokoan, mal, dan pasar tradisional justru mencekik aktivitas ekonomi.1 Ketika akses menuju pusat perbelanjaan menjadi sebuah perjuangan yang melelahkan, calon konsumen akan berpikir dua kali. Pengiriman barang menjadi terhambat, biaya logistik meningkat, dan daya saing bisnis lokal pun menurun. Kemacetan secara efektif membangun tembok tak terlihat di sekitar pusat ekonomi kota, menghalangi potensi pertumbuhannya.
Pejalan Kaki dan Pengguna Transportasi Umum: Dalam ekosistem jalan raya yang kacau ini, mereka yang paling rentan adalah yang paling menderita. Penelitian ini berulang kali menyoroti bagaimana trotoar, ruang aman bagi pejalan kaki, telah direbut oleh PKL dan parkir liar, memaksa orang untuk berjalan di badan jalan yang berbahaya, bersaing dengan mobil dan motor.1 Ini bukan hanya soal ketidaknyamanan, tetapi juga soal keselamatan jiwa. Sementara itu, pengguna angkot terjebak dalam ketidakpastian, tidak pernah tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan yang seharusnya singkat, membuat mereka sering terlambat dan tidak dapat diandalkan.
Lingkungan Hidup Kota: Meskipun bukan fokus utama, dampak lingkungan dari kemacetan ini tidak bisa diabaikan. Kendaraan yang merangkak atau berhenti dengan mesin menyala dalam kemacetan total menghasilkan emisi polutan yang jauh lebih tinggi per kilometernya dibandingkan dengan kendaraan yang bergerak lancar.1 Udara kota menjadi lebih kotor, berkontribusi pada masalah kesehatan pernapasan, sementara pemborosan bahan bakar menjadi kerugian ekonomi langsung bagi setiap pemilik kendaraan.
Pada akhirnya, krisis lalu lintas ini melanggengkan sebuah siklus ketidaksetaraan. Mereka yang memiliki fleksibilitas dan sumber daya terbatas—pekerja harian yang upahnya bergantung pada mobilitas, pelajar dari keluarga berpenghasilan rendah yang bergantung pada angkot, atau pedagang kecil yang harus mengangkut barang—adalah yang paling dirugikan oleh ketidakpastian dan penundaan. Pengambilalihan ruang publik seperti trotoar adalah contoh klasik bagaimana kepentingan individu atau kelompok kecil (parkir liar, berjualan) dibiarkan mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar, dengan biaya ditanggung oleh warga yang paling tidak berdaya. Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kemacetan bukan hanya soal efisiensi teknis; ini adalah sebuah perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan ruang di perkotaan.
Sebuah Kajian Profetik dengan Keterbatasan Realistis
Setiap analisis yang mendalam harus diiringi dengan kritik yang seimbang. Memuji tesis Firdausi sebagai sebuah karya profetik tidak berarti mengabaikan keterbatasannya. Dokumen ini adalah sebuah potret dari tahun 2006, dan kota Bandar Lampung tentu telah berubah sejak saat itu. Namun, justru dengan memahami keterbatasan inilah kita dapat melihat nilai abadinya yang sesungguhnya.
Keterbatasan utama dan paling jelas adalah faktor waktu. Data kuantitatif yang menjadi tulang punggung analisis—seperti Lintas Harian Rata-rata (LHR) dan Derajat Kejenuhan—dikumpulkan pada periode 2005-2006.1 Tidak diragukan lagi, jumlah kendaraan telah meningkat secara eksponensial dalam hampir dua dekade terakhir. Angka-angka spesifik seperti $DS = 1.95$ di Jl. Kartini, yang pada saat itu sudah menandakan kelumpuhan, kemungkinan besar telah menjadi lebih buruk hari ini.
Keterbatasan kedua adalah ruang lingkup spasial. Penelitian ini secara sadar membatasi wilayah kajiannya pada lima ruas jalan utama yang membentuk jantung CBD: Jl. Raden Intan, Jl. Kartini, Jl. Imam Bonjol, Jl. Pemuda, dan Jl. Pangkal Pinang.1 Studi ini tidak mencakup fenomena perluasan kota (urban sprawl) atau masalah lalu lintas di kawasan-kawasan pinggiran yang mungkin telah berkembang menjadi pusat-pusat kemacetan baru seiring dengan pertumbuhan kota.
Namun, di sinilah letak kekuatan argumennya: jika angka-angka spesifiknya sudah usang, pola-pola fundamental yang diidentifikasi justru semakin relevan. Tesis ini tidak hanya menjawab "seberapa parah" kemacetan itu, tetapi yang lebih penting, ia menjawab "mengapa" dan "bagaimana" kemacetan itu terjadi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bersifat struktural dan abadi:
- Konflik perebutan ruang publik antara pejalan kaki, PKL, parkir, dan kendaraan yang bergerak adalah masalah tata kelola perkotaan yang tidak lekang oleh waktu.
- Peran dominan hambatan samping dalam mengurangi kapasitas jalan adalah sebuah prinsip rekayasa lalu lintas yang fundamental.
- Sifat sistemik dan saling keterkaitan antara titik-titik macet adalah cerminan dari tata guna lahan dan struktur jaringan jalan kota yang tidak banyak berubah secara radikal.1
Dengan kata lain, tesis ini berhasil memetakan "DNA" atau "kode sumber" dari kemacetan Bandar Lampung. Meskipun "gejala" penyakitnya (jumlah kendaraan, tingkat kepadatan) telah menjadi lebih parah, "penyakit" dasarnya tetap sama. Dokumen ini berfungsi sebagai sebuah baseline diagnostik yang tak ternilai. Ia adalah bab pertama yang esensial dalam memahami kisah panjang kemacetan kota. Setiap studi modern yang ingin memperbarui data kuantitatifnya akan, sadar atau tidak, membangun di atas fondasi pemahaman sistemik yang telah diletakkan oleh penelitian ini.
Pada akhirnya, nilai terbesar dari tesis ini hari ini bukanlah sebagai laporan teknis semata, melainkan sebagai sebuah dakwaan historis terhadap pendekatan kebijakan yang reaktif dan tambal sulam. Fakta bahwa masalah yang sama, dengan akar penyebab yang sama, masih ada dan bahkan memburuk setelah hampir 20 tahun, adalah bukti paling kuat bahwa peringatan-peringatan yang terkandung di dalamnya tidak pernah benar-benar didengar atau ditindaklanjuti secara komprehensif. Ini mengubah tesis ini dari sekadar analisis menjadi sebuah studi kasus tentang apa yang terjadi ketika sebuah diagnosis yang jelas dan sistemik diabaikan demi solusi-solusi parsial jangka pendek.
Cetak Biru untuk Masa Depan: Jalan Keluar dari Kemacetan Sistemik
Setelah membedah masalah hingga ke akarnya, penelitian Firdausi tidak berhenti pada diagnosis. Bagian paling berharga dari dokumen ini adalah kesimpulan dan rekomendasinya, yang jika disatukan, membentuk sebuah "Cetak Biru" yang koheren dan komprehensif untuk membebaskan Bandar Lampung dari cengkeraman kemacetan. Prinsip utamanya sangat jelas dan menjadi benang merah seluruh analisis: masalah yang sistemik menuntut solusi yang sistemik. Upaya-upaya parsial yang hanya fokus pada satu titik macet tanpa melihat gambaran besarnya adalah kesia-siaan yang terprogram.
"Penanggulangan kemacetan lalulintas di titik-titik lokasi kemacetan tertentu hanya dapat menghilangkan gejala-gejala kemacetan untuk sementara waktu dan tidak menyelesaikan permasalahan kemacetan lalulintas yang sebenarnya," tulis Firdausi dalam kesimpulannya.1 Sebaliknya, ia mengusulkan sebuah pendekatan terpadu yang "sistemik dan menyeluruh mencakup satu kawasan CBD," yang dapat kita kelompokkan ke dalam empat pilar strategis:
1. Penataan Ulang Ruang dan Infrastruktur (Spatial Reorganization)
Ini adalah fondasinya. Solusi tidak dimulai dari jalan, tetapi dari tata guna lahan di sekitarnya. Rekomendasi ini mencakup intervensi fisik untuk memperbaiki "cacat desain" perkotaan yang memicu kemacetan. Ini termasuk menata ulang dan memperbaiki geometri persimpangan jalan agar lebih efisien, serta yang paling krusial, mengevaluasi dan menata ulang posisi pintu masuk dan keluar pusat-pusat aktivitas seperti mal dan pertokoan (misalnya, Simpur Center dan Chandra Super-store) agar tidak langsung menciptakan antrean yang mengganggu arteri jalan utama.1
2. Manajemen Agresif Hambatan Samping (Side Friction Management)
Ini adalah pilar paling kritis karena menargetkan penyebab utama penyusutan kapasitas jalan. Cetak biru ini menyerukan tindakan tegas dan terencana, bukan sekadar penertiban sporadis.
- Relokasi PKL: Memindahkan para pedagang dari trotoar dan badan jalan ke lokasi-lokasi yang lebih strategis dan difasilitasi dengan baik (seperti pasar atau sentra kuliner terpadu) adalah sebuah keharusan. Ini bukan penggusuran, melainkan integrasi ekonomi informal ke dalam tatanan kota yang lebih teratur.1
- Manajemen Parkir Profesional: Mengembalikan fungsi lahan parkir yang disalahgunakan dan mengubah sistem parkir di badan jalan dari tegak lurus (yang memakan banyak ruang) menjadi parkir serong ($45^{\circ}$). Jangka panjangnya, ini menuntut investasi dalam pembangunan gedung-gedung parkir vertikal di dekat pusat-pusat keramaian untuk memindahkan kendaraan dari jalan raya.1
3. Memprioritaskan Manusia, Bukan Hanya Kendaraan (Prioritizing People)
Sebuah kota yang hebat adalah kota yang nyaman untuk ditinggali, bukan hanya untuk dilewati. Pilar ini berfokus pada investasi infrastruktur yang berpusat pada manusia.
- Fasilitas Pejalan Kaki: Membangun lebih banyak jembatan penyeberangan yang aman, nyaman, dan mudah diakses. Bahkan diusulkan agar jembatan ini dapat menampung sebagian PKL, mengubahnya menjadi ruang ekonomi yang hidup sekaligus fungsional. Selain itu, diperlukan pemagaran trotoar di titik-titik rawan untuk mencegah orang menyeberang sembarangan dan mengembalikan fungsi trotoar sebagai jalur pejalan kaki yang aman.1
- Fasilitas Transportasi Umum: Memperbanyak dan menempatkan halte (shelter) bus dan angkot di lokasi-lokasi yang tepat, sehingga aktivitas menaikkan dan menurunkan penumpang menjadi teratur dan tidak mengganggu arus lalu lintas.1
4. Rekayasa dan Penegakan Aturan Lalu Lintas yang Cerdas (Smart Traffic Management)
Setelah fondasi ruang dan manusianya diperbaiki, barulah rekayasa lalu lintas dapat bekerja secara efektif. Ini mencakup penerapan sistem satu arah di koridor yang tepat, optimasi sinyal lalu lintas, dan yang terpenting, penegakan disiplin yang konsisten bagi semua pengguna jalan, terutama pengemudi angkutan umum yang sering menjadi pemicu kemacetan.1
Cetak biru yang ditawarkan hampir dua dekade lalu ini pada dasarnya adalah sebuah resep untuk transformasi perkotaan. Ia menyerukan sebuah pergeseran filosofi fundamental: dari sekadar mencoba "mengelola mobil" menjadi "mengelola ruang kota" secara holistik untuk kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Implementasinya tentu tidak mudah dan membutuhkan kemauan politik yang kuat untuk menantang status quo. Namun, tesis ini memberikan sebuah keyakinan: jalan keluar dari kemacetan Bandar Lampung bukanlah sebuah misteri yang belum terpecahkan. Jawabannya telah lama ada, menunggu untuk dieksekusi. Jika cetak biru ini diterapkan secara konsisten, dalam satu dekade, Bandar Lampung tidak hanya akan terbebas dari kemacetan, tetapi juga akan menjadi kota yang lebih hidup, adil, dan manusiawi bagi semua warganya.
Sumber Artikel:
Firdausi, D. (2006). Pola Kemacetan Lalu-lintas di Pusat Kota Bandar Lampung.