Lalu lintas adalah "urat nadi kehidupan" sekaligus "cermin budaya bangsa".1 Namun, cermin itu seringkali buram oleh kemacetan, pelanggaran, dan yang lebih kronis: praktik penegakan hukum yang sarat masalah. Selama puluhan tahun, publik akrab dengan citra penindakan manual yang membuka ruang Pungutan Liar (Pungli), sebuah praktik yang menggerus profesionalitas dan kepercayaan.1
Di tengah tuntutan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) meluncurkan sebuah terobosan ambisius: Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).1
Ini bukan sekadar penggantian buku tilang dengan kamera. Penelitian ini menegaskan bahwa ETLE adalah salah satu penjabaran dan implementasi utama dari transformasi "Polri Presisi"—sebuah akronim yang mewakili visi Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan.1
Dengan kata lain, ETLE adalah pertaruhan besar. Ia adalah program flagship yang tidak hanya dirancang untuk mendisiplinkan pengguna jalan, tetapi juga untuk membersihkan institusi dari dalam dengan menutup celah Pungli.1 Sebuah penelitian komprehensif oleh Vita Mayastinasari dan Benyamin Lufpi (2022) dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian mencoba mengaudit efektivitas sistem ini.
Apa yang mereka temukan adalah sebuah ironi: di balik ambisi transparansi yang besar, ETLE ternyata masih terjerat dalam sembilan kendala sistemik yang fundamental, membuatnya belum efektif mewujudkan keadilan di jalan raya.
Di Balik Ambisi Presisi: Mengapa ETLE Menjadi Mandat Utama?
Untuk memahami mengapa ETLE begitu krusial, kita harus melihat masalah yang coba dipecahkannya. Penelitian ini membedah patologi penindakan manual di lapangan. Petugas lalu lintas dihadapkan pada dilema konstan.1
Saat melihat pelanggaran, mereka harus memilih antara "membiarkan atau memberhentikan".1 Jika mereka memberhentikan setiap pelanggaran, terutama di jam sibuk, tindakan itu justru berpotensi "menimbulkan kemacetan lalu lintas" baru.1
Dilema inilah yang menciptakan "ruang abu-abu". Ketika petugas akhirnya memberhentikan pelanggar, studi ini mengidentifikasi adanya variasi tindakan: "menindak pelanggar atau melakukan negosiasi dengan pelanggar sehingga terjadi pungutan liar".1
ETLE didesain secara spesifik untuk membunuh "ruang negosiasi" ini. Dengan mengganti interaksi manusia dengan teknologi, tujuan utamanya adalah meminimalisasi pemerasan dan meningkatkan kedisiplinan.1
Untuk menguji apakah ambisi ini sesuai dengan kenyataan, para peneliti menggunakan pendekatan mix method (metode campuran) yang menggabungkan data kuantitatif (kuesioner) dengan data kualitatif (wawancara mendalam).1
Penelitian ini tidak dilakukan di ruang hampa. Lokasinya dipilih secara strategis di tiga wilayah Polda krusial: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.1
Lebih penting lagi adalah siapa yang mereka wawancarai. Informan penelitian ini bukan hanya internal Polri (Direktorat Lalu Lintas dan Polres). Peneliti juga melibatkan seluruh ekosistem penegakan hukum: personel dari Kejaksaan, Dinas Perhubungan (Dishub), dan pihak Bank (BRI).1 Pemilihan informan ini adalah petunjuk awal bahwa masalah ETLE bukanlah sekadar soal "menangkap" gambar pelanggar, melainkan soal seluruh rantai proses, dari validasi data, putusan denda, hingga mekanisme pembayaran.
Tujuh Langkah Senyap 'Mata Elang' Menjerat Pelanggar (Secara Teori)
Secara teori, mekanisme kerja ETLE dirancang untuk menjadi sistem yang mulus, objektif, dan terotomatisasi. Penelitian ini memaparkan tujuh tahapan standar operasionalnya 1:
- Penangkapan Pelanggaran: Sensor kamera, yang dilengkapi perangkat lunak intelijen, secara otomatis menangkap gambar atau video pelanggaran lalu lintas.1
- Validasi Bukti (ANPR): Sistem melakukan validasi bukti awal. Ini melibatkan pencocokan foto nomor polisi dengan pembacaan perangkat lunak Authomated Number Plate Recognition (ANPR).1
- Validasi Data (Regident): Setelah plat nomor teridentifikasi, sistem mencocokkan fisik kendaraan (dari foto dan video) dengan database Registrasi dan Identifikasi (Regident) kendaraan bermotor milik kepolisian.1
- Pencetakan Surat Konfirmasi: Jika data cocok, sistem akan mencetak surat konfirmasi pelanggaran.1
- Pengiriman Surat: Surat konfirmasi ini kemudian dikirimkan melalui pos ke alamat pemilik kendaraan yang terdaftar dalam database Regident.1
- Konfirmasi Pemilik: Pemilik kendaraan yang menerima surat wajib melakukan konfirmasi (baik secara daring maupun luring) untuk memverifikasi apakah benar ia yang melakukan pelanggaran.1
- Penyelesaian: Pelanggar dapat menyelesaikan denda dengan menggunakan kode pembayaran yang telah diterima (melalui Bank) atau memilih untuk hadir di sidang (melibatkan Kejaksaan dan Pengadilan).1
Di atas kertas, alur ini terlihat sempurna: nirsentuh, transparan, dan akuntabel. Namun, keberhasilan tujuh langkah ini bergantung pada serangkaian asumsi yang rapuh. Sistem ini mengasumsikan database Regident 100% akurat dan up-to-date. Ia mengasumsikan alamat pemilik kendaraan valid. Ia mengasumsikan ada anggaran operasional untuk membayar biaya pos pengiriman surat tilang. Dan yang paling fatal, ia mengasumsikan ada koneksi data yang sempurna antara sistem Polri, sistem pembayaran Bank, dan sistem putusan Kejaksaan.
Penelitian ini, pada intinya, membuktikan bahwa hampir semua asumsi tersebut keliru di lapangan.
Ironi di Tiga Wilayah: Persepsi 'Memadai', Realitas Penuh Tambal Sulam
Saat peneliti menyebar kuesioner kepada personel internal Polri, hasil kuantitatif menunjukkan gambaran yang optimis.1
Di Polda Jawa Tengah, lebih dari 70 persen personel (gabungan 57,76% "memadai" dan 13,09% "sangat memadai") menilai operasionalisasi ETLE berjalan baik.1 Angka di Polda Jawa Timur bahkan lebih tinggi, di mana total 78,12 persen personel (52,05% "memadai" dan 26,07% "sangat memadai") menyatakan hal serupa.1
Yang paling mengejutkan adalah Polda Banten. Wilayah ini mencatatkan tingkat kepuasan tertinggi. Hampir 79 persen personel (gabungan 60,86% "memadai" dan 18,02% "sangat memadai") merasa sistem ini sudah memadai.1
Namun, di sinilah data kualitatif (wawancara) dari para peneliti membongkar sebuah ironi besar.
Di Banten, wilayah dengan persepsi kepuasan tertinggi, peneliti menemukan fakta lapangan yang mencengangkan: Polda Banten "baru terpasang pada dua (2) titik di wilayah kota Serang".1
Mengapa kepuasan tertinggi justru ada di wilayah dengan infrastruktur paling minim? Ini adalah anomali data yang mengungkap kebenaran. Kepuasan itu bukan cerminan efektivitas sistem. Justru sebaliknya. Karena implementasi ETLE di Banten sangat terbatas (hanya 2 kamera), para personel di sana tidak menghadapi kompleksitas sistem, error data, atau keluhan masyarakat dalam skala besar seperti yang terjadi di Jawa Timur atau Jawa Tengah.
Data persepsi yang "memadai" itu ternyata menyesatkan, karena ia tidak mengukur keberhasilan sistem, melainkan minimnya paparan terhadap kegagalan sistem.
Saat Daerah Lebih Cepat Berlari: Lahirnya 'KOPEK' dan 'INCAR'
Penelitian ini mengungkap bahwa sistem ETLE yang didistribusikan oleh Korlantas (pusat) ternyata memiliki keterbatasan signifikan, terutama dalam "kuantitas, dan kualitas kamera".1 Kamera stasioner yang mahal hanya terpasang di titik-titik tertentu, membiarkan sebagian besar wilayah tidak termonitor.1
Keterbatasan dari pusat ini memaksa polda-polda di daerah untuk berinovasi secara mandiri.
- Inovasi Polda Jateng: Untuk mengatasi keterbatasan kamera stasioner, Ditlantas Polda Jateng mengembangkan "KOPEK" (Kamera Portable Penindakan Pelanggaran Kendaraan Bermotor). Ini adalah perangkat elektronik mobile yang bisa dibawa petugas "berjalan" untuk mendeteksi pelanggaran secara otomatis.1
- Inovasi Polda Jatim: Jawa Timur melangkah lebih jauh dengan mengembangkan "ETLE-INCAR" (Integrated Node Capture Attitude Record). Ini adalah sistem kamera canggih yang dipasang di mobil patroli.1 ETLE-INCAR tidak hanya memindai nomor polisi, tetapi juga didukung Artificial Intelligence (AI) untuk "mendeteksi wajah pelaku pelanggaran lalu lintas".1 Seorang informan bahkan menyatakan INCAR "lebih efektif, dan biayanya lebih murah" daripada ETLE stasioner.1
- Inovasi Polda Banten: Dengan modal hanya dua kamera, Polda Banten terpaksa mencari solusi kreatif. Mereka "mensiasatinya adalah bekerjasama sama dengan Dishub untuk bisa mengakses kameranya" (CCTV milik Dishub).1
Inovasi ini, meski cemerlang, mengungkap masalah yang lebih besar: fragmentasi. Penelitian ini menemukan fakta bahwa tidak ada "satu ETLE" yang seragam di Indonesia. Yang ada adalah penerapan parsial, tambal sulam, tergantung kreativitas dan anggaran daerah.1
Masalah anggaran ini menjadi fatal. Di beberapa Polres di Jawa Timur (seperti Gresik dan Sidoarjo), kamera ETLE canggih sudah terpasang, namun "belum dapat dioperasionalkan".1 Penyebabnya? "Ketersediaan kamera belum dilengkapi ketersediaan tiang dan jaringan".1
Secara mengejutkan, pembangunan tiang dan jaringan ini ternyata "menunggu ketersediaan anggaran Pemkab (Pemerintah Kabupaten) setempat".1 Ini adalah kelemahan struktural yang luar biasa. Keberhasilan program "Presisi" nasional dari Polri, ternyata bergantung pada alokasi APBD sebuah kabupaten untuk membeli tiang kamera.
Kritik Publik Terbesar: ETLE Menilang Pemilik, Bukan Pelanggar
Inilah temuan krusial yang paling banyak dirasakan dan dikeluhkan oleh publik. Sistem ETLE, terutama yang stasioner, ternyata memiliki kelemahan fundamental dalam identifikasi pelaku.1
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa "kamera ETLE lebih terfokus pada plat nomor kendaraan".1 Akibatnya, yang ditindak dan dikirimi surat konfirmasi adalah "pemilik kendaraan" yang namanya tercantum di database Regident.
Masalahnya, "pelaku pelanggaran lalu lintas tidak selalu pemilik kendaraan".1
Temuan ini dikonfirmasi oleh wawancara. Keterbatasan ini "menyebabkan komplain dari beberapa orang yang menyatakan tidak melanggar, mobilnya dipinjam".1 Seorang informan eksternal (masyarakat) bahkan mengeluh, "Wah repot juga ya klo kendaraan dipinjam, lalu yang membawa kendaraan melanggar, dan pemilik kendaraan yag repot, harus bertanggungjawab".1
Mengapa ini terjadi? Bukankah ETLE-INCAR di Jawa Timur sudah memiliki teknologi face detection? Benar, namun para peneliti menemukan fakta pahit di lapangan: "belum terdapat integrasi" antara pemindai wajah pelaku dengan database kependudukan (e-KTP) maupun database kepemilikan SIM.1
Tanpa integrasi data itu, teknologi pengenalan wajah menjadi sia-sia. Sistem ini mungkin transparan (jelas siapa yang ditilang berdasarkan plat nomor), tapi ia gagal memenuhi pilar utama "Presisi", yaitu "Transparansi Berkeadilan". Sistem ini, dalam praktiknya, menagih denda kepada orang yang mungkin tidak bersalah (pemilik mobil) karena keterbatasan teknis.
Sembilan 'Dosa' Sistemik yang Menggerogoti Ambisi Presisi
Para peneliti pada akhirnya merangkum semua temuan lapangan ini ke dalam sembilan kendala fundamental yang menjadi "dosa sistemik" ETLE saat ini. Sembilan poin ini, yang tercantum dalam simpulan penelitian, adalah inti dari kegagalan efektivitas ETLE 1:
- Keterbatasan Kamera: Ketersediaan dan kapasitas kamera ETLE dari Korlantas sangat terbatas.1
- Disintegrasi Data Perekaman: Data rekaman dari kamera Korlantas (pusat), kamera Polda (seperti INCAR), dan kamera instansi lain (seperti Dishub di Banten) tidak saling terhubung.1 Mereka adalah "mata-mata" yang buta satu sama lain.
- Inkoneksitas Total (Akar Masalah): Ini adalah kendala paling fatal. Terjadi putus koneksi data (inkoneksitas) antara database inti kepolisian (ERI, RTMC, BPKB, SIM, STNK, e-Tilang, TAR) dengan database eksternal (Dinas Perhubungan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Bank).1
- Variasi Anggaran: Ketersediaan anggaran di tiap Polda berbeda-beda, dan banyak yang bergantung pada Pemda, menciptakan implementasi yang tidak seragam.1
- Tumpang Tindih Regulasi: Adanya "ketidaksinkronan ketetapan regulasi tentang tilang manual, dan tilang elektronik," baik dari segi mekanisme maupun besaran denda.1
- Pemahaman Parsial: Petugas di lapangan masih banyak yang salah paham dan menganggap e-Tilang (tilang manual yang di-input) adalah sistem yang berbeda dari ETLE (otomatis).1
- Pelanggaran yang Lolos: Karena fokus pada ETLE, penegakan hukum konvensional melemah. Padahal infrastruktur ETLE belum memadai, sehingga pelanggaran seperti "knalpot bising, kebut-kebutan, plat nomor palsu" justru sulit ditindak.1
- Penerapan Parsial: Adanya variasi penerapan ETLE antar Polda dan Polres, menunjukkan tidak adanya standar sistem nasional yang terintegrasi.1
- Fondasi Rapuh: Program dan pemahaman ETLE dibangun secara parsial, sehingga "integrasi data cenderung kurang digunakan sebagai dasar dalam operasionalisasi ETLE".1
Sederhananya, Polri membangun (menerapkan) "mata" (kamera) di jalanan sebelum membangun "otak" (database terpadu) di back office. Ini adalah kegagalan proyek IT yang klasik: fokus pada perangkat keras (hardware) yang terlihat canggih, namun mengabaikan fondasi data (software dan integrasi) yang krusial.
Konsekuensi Tak Terduga: Saat Knalpot Bising dan Balap Liar Justru Lolos
Salah satu temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah konsekuensi tak terduga dari penekanan berlebih pada ETLE. Karena pimpinan cenderung menitikberatkan ukuran sukses program "Presisi" pada implementasi ETLE, hal ini "secara implisit terdapat kesulitan dalam penegakan hukum konvensional".1
Tilang manual, yang identik dengan citra Pungli, seolah dihindari.
Masalahnya, seperti yang telah diidentifikasi, teknologi ETLE stasioner belum memadai. Ia dirancang untuk pelanggaran visual yang jelas seperti tidak memakai helm, melanggar marka, atau menerobos lampu merah. Ia tidak dirancang untuk pelanggaran audio atau pelanggaran yang membutuhkan pengejaran.1
Hasilnya? Sebuah paradoks fatal. Penelitian ini secara spesifik menyebutkan bahwa pelemahan tilang manual ini "menyebabkan beberapa pelanggaran sulit dilakukan penegakan hukum, misalnya: knalpot bising, kebut-kebutan, plat nomor palsu".1
Dalam upaya menghapus Pungli dengan mengurangi interaksi manual, Polri secara tidak sengaja menciptakan "ruang hampa penegakan hukum" (law enforcement vacuum). Justru pelanggaran-pelanggaran yang paling meresahkan masyarakat—knalpot bising dan balap liar—kini lolos dari jerat ETLE stasioner dan tidak lagi ditindak secara konvensional.
Lebih buruk lagi, efektivitas kamera stasioner itu sendiri dipertanyakan. Peneliti menemukan adanya "penurunan pelanggaran pada titik tersebut karena masyarakat telah paham lokasi pemasangan kamera ETLE, dan hanya patuh pada lokasi tersebut".1 Ini bukanlah perbaikan kesadaran berlalu lintas; ini hanyalah pemindahan pelanggaran ke jalan-jalan lain yang tidak terpantau kamera.
Peta Jalan Menuju ETLE Paripurna: Dari Data Tercecer Menuju 'Big Data' AI
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada kritik. Ia mendedikasikan bagian akhir untuk menawarkan peta jalan perbaikan yang komprehensif, mengubah ETLE dari sistem parsial menjadi sistem yang paripurna.1
Rekomendasi utamanya adalah pergeseran fokus: dari pengadaan kamera, menjadi integrasi data.
- Membangun 'Otak' Sistem: Rekomendasi pertama adalah "melakukan pengembangan ETLE dengan pendekatan kesisteman".1 Ini berarti Polri harus "membangun big data yang valid, dan komprehensif, serta berbasis artificial intelegence, dan internet of think".1
- Mengadopsi Teknologi Baru: Untuk mengatasi masalah "mobil dipinjam", sistem harus dikembangkan agar memiliki kapasitas Face Recognition (pengenalan wajah).1
- Menyatukan Ekosistem: Ini adalah kunci. Polri harus melakukan "integrasi ETLE, dinas perhubungan, kejaksaan, pengadilan, dan bank".1 Ini penting untuk menghilangkan "gap putusan denda tilang" dan menyetop masalah "kesulitan dalam pengembalian kelebihan pembayaran denda tilang" yang sering dikeluhkan publik.1 Integrasi data pemindai wajah juga harus disambungkan ke data kependudukan (e-KTP) dan data SIM.1
- Menyinkronkan Regulasi: Harus ada "sinkronisasi regulasi tentang tilang manual, dan tilang elektronik," serta membuat SOP terintegrasi agar tidak ada lagi kebingungan hukum di lapangan.1
Penelitian ini adalah sebuah cermin jujur. ETLE adalah terobosan visioner yang mutlak diperlukan untuk memberantas Pungli dan mendisiplinkan lalu lintas.1
Namun, implementasinya di lapangan masih parsial, tambal sulam, dan dibangun di atas fondasi data yang rapuh. Teknologi canggih seperti AI dan kamera mobile sudah ada (di Jawa Timur), tetapi tidak dapat berfungsi optimal karena "otak"-nya—database terintegrasi—belum terbangun.
Jika sembilan kendala sistemik ini, terutama "inkoneksitas data," tidak segera diselesaikan, ETLE hanya akan menjadi "macan ompong" digital yang pandai menghitung plat nomor tapi gagal mewujudkan keadilan substansial di jalan raya.
Namun, jika rekomendasi penelitian ini—terutama pembangunan big data dan integrasi penuh ekosistem hukum—diterapkan, ETLE berpotensi merevolusi penegakan hukum lalu lintas. Dalam lima tahun ke depan, ia tidak hanya akan menekan angka kecelakaan, tetapi yang lebih penting, memulihkan kepercayaan publik pada transparansi Polri secara fundamental.
Sumber Artikel:
Mayastinasari, V., & Lufpi, B. (2022). Efektivitas Electronic Traffic Law Enforcement. Jurnal Ilmu Kepolisian, 16(1), 62-70. 1
Keyword untuk Gambar: Integration, Camera