Penelitian Ini Menguak Dilema Pendidikan Teknik di Timur Tengah: Manfaat Ganda dan Tantangan Tersembunyi Pengajaran Bahasa Inggris

Dipublikasikan oleh Hansel

26 September 2025, 02.49

unsplash.com

Jembatan Menuju Dunia atau Tembok di Depan Mata?

Di era globalisasi, pergerakan pengetahuan dan mobilitas profesional tak lagi mengenal batas. Dalam kancah pendidikan tinggi, fenomena ini melahirkan sebuah tren yang tak terhentikan: Pengajaran Berbasis Bahasa Inggris (EMI).1 Di universitas-universitas di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, EMI dipandang sebagai sebuah 'juggernaut'—kekuatan masif yang berjanji untuk menjembatani mahasiswa dengan literatur ilmiah terbaru, data, dan dialog global. Harapan besar tersemat pada strategi ini: menciptakan lulusan yang tidak hanya menguasai bidang ilmunya, tetapi juga fasih berkomunikasi di panggung internasional, siap bersaing di pasar kerja global yang kian kompetitif.

Namun, di balik janji-janji yang menggiurkan itu, muncul pertanyaan krusial yang jarang dibahas: apakah jembatan ini juga membawa tantangan yang tak terlihat? Apakah penggunaan bahasa asing sebagai medium utama pembelajaran justru menciptakan hambatan bagi mahasiswa yang belum memiliki fondasi bahasa yang kuat? Sebuah studi kasus yang dilakukan di Universitas A' Sharqiyah, Oman, menawarkan jendela berharga untuk mengamati paradoks ini. Penelitian tersebut secara mendalam menelaah perspektif mahasiswa dan dosen teknik terhadap dampak EMI pada performa akademik mereka.1

Studi ini bukan sekadar kajian akademis; ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan dilema nyata yang dihadapi jutaan pelajar di seluruh dunia. Laporan ini akan membawa pembaca menembus data-data mentah untuk memahami "cerita di baliknya"—perjuangan emosional, manfaat tak terduga, dan solusi nyata yang diusulkan dari dalam kelas. Dengan menyelami temuan ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana kebijakan pendidikan global berinteraksi dengan realitas lokal, dan bagaimana institusi dapat memastikan bahwa bahasa Inggris menjadi jembatan yang kokoh, bukan tembok yang menghalangi.

 

Mengapa Temuan Ini Begitu Menjanjikan? Mengungkap Manfaat Ganda Pengajaran Bahasa Inggris

Temuan dari studi di Oman ini dengan jelas menunjukkan bahwa EMI dianggap sebagai sebuah langkah maju yang signifikan, bukan hanya oleh dosen, tetapi juga oleh sebagian besar mahasiswa. Sebanyak 65% mahasiswa yang berpartisipasi dalam survei menyatakan bahwa mereka menganggap EMI sangat berguna untuk pengetahuan dan masa depan karier mereka.1 Perspektif ini bukanlah tanpa alasan, melainkan didasarkan pada manfaat konkret yang mereka rasakan.

Salah satu manfaat terbesar yang diidentifikasi adalah akses ke lautan pengetahuan global. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu instruktur, mayoritas data, lembar data teknis, dan paten di bidang teknik tersedia dalam bahasa Inggris.1 Tanpa penguasaan bahasa ini, mahasiswa akan terisolasi dari perkembangan terkini dan inovasi yang terjadi di luar batas negara mereka. Dengan EMI, mereka dapat secara efektif memahami prinsip-prinsip yang mendasari makalah penelitian yang diterbitkan di dunia Barat atau basis data global.1 Hal ini memberikan keuntungan kompetitif yang tak ternilai, memungkinkan mahasiswa untuk tidak hanya belajar dari kurikulum lokal, tetapi juga terlibat langsung dalam "jantung dialog rekayasa global".1 Mereka tidak sekadar menjadi konsumen informasi, melainkan berpotensi menjadi kontributor dalam pertukaran pengetahuan internasional.1

Manfaat praktis lainnya adalah peningkatan prospek karier. Di pasar kerja saat ini, di mana banyak perusahaan multinasional dan proyek-proyek besar beroperasi menggunakan bahasa Inggris, kemampuan berbahasa Inggris yang kuat menjadi sebuah keharusan. Mahasiswa dan instruktur sama-sama mengakui bahwa EMI secara langsung mempersiapkan mereka untuk bekerja di lingkungan bisnis internasional.1 Kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan insinyur serta peneliti dari seluruh dunia menjadi kunci untuk membuka peluang kerja yang lebih luas.1 Seorang mahasiswa bahkan secara spesifik menyatakan bahwa EMI akan mempermudah mereka berurusan dengan investor asing di masa depan.1 Dengan demikian, EMI tidak hanya memberikan bekal akademis, tetapi juga menjadi alat universal yang membuka pintu menuju mobilitas profesional.

Lebih dari sekadar keterampilan teknis, tantangan belajar dalam bahasa kedua juga melatih kemampuan berpikir kritis. Salah satu instruktur menyebutkan bahwa berhadapan dengan kompleksitas bahasa asing dapat mengasah kemampuan berpikir kritis, sebuah keterampilan yang tak ternilai dalam pemecahan masalah di bidang teknik.1 Peningkatan kemampuan bahasa juga membentuk "kompetensi global dan antarbudaya" yang lebih baik, sebagaimana dicatat oleh instruktur lain.1 Hal ini menunjukkan bahwa EMI tidak hanya berdampak pada kemampuan kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter mahasiswa. Mereka terpaksa mengembangkan ketahanan mental dan adaptasi diri untuk mengatasi rintangan, yang pada akhirnya menjadikan mereka individu yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan dunia nyata.

 

Ketika Bahasa Menjadi Jerat: Kisah di Balik Beban Psikologis dan Akademis

Di balik semua manfaat yang dijanjikan, studi ini juga menyoroti realitas yang jauh lebih rumit, sebuah "cerita di balik data" yang sering kali terabaikan: dampak negatif EMI pada psikologi dan performa akademik mahasiswa. Dosen dan mahasiswa sama-sama melaporkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai medium utama dapat memicu serangkaian beban emosional, seperti kecemasan, frustrasi, ketegangan, ketakutan, dan bahkan rasa malu.1 Tekanan psikologis ini tidak hanya membuat pengalaman belajar menjadi tidak menyenangkan, tetapi juga secara langsung menghambat proses pemahaman dan partisipasi di kelas. Mahasiswa yang berjuang dengan bahasa cenderung merasa kurang percaya diri, yang pada akhirnya membatasi kemampuan mereka untuk berinteraksi, berdiskusi, dan mengajukan pertanyaan, sehingga merampas hak dasar mereka untuk pemahaman yang efektif.1

Tantangan terbesar yang diungkapkan oleh para mahasiswa adalah dilema alokasi waktu. Seorang mahasiswa secara eksplisit menyatakan bahwa ia harus mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami mata kuliah inti demi meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.1 Hal ini dapat dianalogikan dengan seorang atlet yang harus menghabiskan setengah dari waktu latihannya untuk memperbaiki sepatu, bukan untuk melatih teknik lari. Waktu yang seharusnya dialokasikan untuk membedah masalah teknis dan memahami konsep fundamental dihabiskan untuk menerjemahkan istilah, mencari kata-kata baru, atau menyusun kalimat yang tepat. Akibatnya, fokus pada konten inti menjadi terpecah, yang berpotensi memengaruhi kualitas pemahaman mereka.1

Fenomena ini juga menciptakan ketidaksetaraan yang nyata di dalam ruang kelas. Temuan dari observasi kelas mengungkapkan bahwa meskipun 65% hingga 70% mahasiswa mampu berinteraksi menggunakan jargon teknis, sekitar 30% sisanya kesulitan dan cenderung kembali menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi.1 Kondisi ini menunjukkan adanya "dua kasta" mahasiswa: mereka yang memiliki bekal bahasa memadai dan dapat melaju, dan mereka yang tertinggal karena hambatan bahasa. Studi-studi sebelumnya yang dirujuk dalam makalah ini juga menguatkan temuan ini, menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan bahasa Inggris yang rendah dapat termarginalisasi dan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.1

Dampak negatif ini juga terlihat dari sisi akademis, di mana beberapa mahasiswa merasa bahwa nilai mereka menurun karena kesulitan memahami instruksi dan terminologi teknis saat ujian.1 Mereka juga mengeluhkan bahwa tuntutan untuk menulis laporan, esai, dan tugas dalam bahasa Inggris yang kurang mereka kuasai secara langsung memengaruhi nilai dan kualitas pekerjaan mereka.1 Kesulitan ini menyoroti bahwa EMI tidak hanya menuntut penguasaan bahasa, tetapi juga pemahaman konsep yang mendalam, di mana keduanya saling terkait erat dan dapat saling menghambat jika tidak ditangani dengan baik.

 

Menjembatani Kesenjangan: Solusi Nyata dari Lapangan

Menyadari dilema ini, studi tersebut tidak berhenti pada identifikasi masalah, tetapi juga mengumpulkan berbagai strategi dan solusi yang diusulkan oleh para dosen dan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi harus datang dari berbagai pihak, bukan hanya dari kebijakan tingkat atas.

Dari sisi institusi dan pengajar, ada beberapa pendekatan yang dianggap paling menjanjikan:

  • Dukungan Bahasa Tambahan: Seorang instruktur mengusulkan penyediaan sesi bimbingan bahasa Inggris tambahan yang berfokus pada kosakata dan konsep teknis.1 Pendekatan ini diperkuat oleh rekomendasi mahasiswa untuk menyediakan kursus intensif "Bahasa Inggris untuk Teknik" sebelum mereka memulai mata kuliah inti.1
  • Pendekatan Hibrida: Salah satu dosen mengemukakan pentingnya pendekatan hibrida, di mana sebagian mata kuliah diajarkan dalam bahasa Inggris dan sebagian lagi dalam bahasa lokal.1 Model ini dinilai dapat menjembatani kesenjangan dan memastikan bahwa pemahaman konsep tidak tergerus oleh hambatan bahasa.
  • Pengembangan Profesional bagi Dosen: Salah satu rekomendasi kunci dari penelitian ini adalah pentingnya melatih dosen teknik dalam penggunaan EMI secara pedagogis. Kolaborasi antara profesor teknik dan guru bahasa juga dianggap penting untuk meningkatkan kemampuan bahasa siswa.1 Realitas di lapangan kadang kala menunjukkan fleksibilitas, seperti yang diceritakan oleh seorang instruktur yang memilih "mengabaikan" beberapa kesalahan ejaan siswa, karena fokus utamanya adalah konten, bukan pengajaran bahasa.1 Tindakan ini, meskipun kecil, menggambarkan perlunya kebijakan yang lebih fleksibel dan praktis di tingkat mikro.

Mahasiswa juga menyarankan berbagai strategi yang dapat mereka terapkan secara mandiri, yang mencerminkan semangat adaptasi dan inisiatif:

  • Kolaborasi dan Dukungan Sebaya: Membentuk kelompok belajar untuk bertukar ide mengenai masalah teknik yang kompleks dan saling membantu dengan hambatan bahasa.1
  • Pemanfaatan Teknologi: Menggunakan aplikasi penerjemah dan kamus online untuk memahami terminologi teknis yang sulit.1
  • Keterlibatan Aktif: Mengintensifkan partisipasi dalam pelajaran dan kuliah, serta proaktif dalam berkomunikasi dengan dosen secara teratur untuk mendapatkan nasihat.1

 

Menggali Lebih Dalam: Batasan Studi dan Pandangan ke Depan

Sebagai sebuah studi kualitatif, penelitian ini memberikan gambaran yang kaya dan mendalam tentang pengalaman pribadi para partisipan. Namun, penting untuk mengakui batasan yang ada. Studi ini menggunakan ukuran sampel yang terbatas, hanya melibatkan 10 mahasiswa dan 5 instruktur dari satu universitas di Oman.1 Hal ini berarti bahwa temuan yang dihasilkan, meskipun berharga, tidak dapat digeneralisasi secara luas ke seluruh populasi mahasiswa teknik di Oman atau negara-negara lain dengan kondisi serupa. Hasil yang didapat adalah "potret" yang spesifik, bukan sebuah kesimpulan universal.

Selain itu, karena metodologi yang digunakan bersifat kualitatif interpretif, temuan didasarkan pada persepsi dan pengalaman para partisipan, bukan pada data kuantitatif yang dapat membuktikan hubungan sebab-akibat langsung antara EMI dan penurunan nilai akademik.1 Dengan kata lain, laporan ini dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa merasa nilai mereka terpengaruh oleh EMI, tetapi tidak dapat secara definitif menyatakan bahwa EMI menyebabkan penurunan nilai. Nuansa ini sangat penting untuk memahami validitas dan implikasi dari temuan yang ada.

Meski demikian, studi ini tetap menempatkan dirinya dalam konteks perdebatan global yang lebih besar mengenai peran bahasa Inggris dalam pendidikan tinggi. Tantangan serupa juga dihadapi oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, atau Jepang, di mana institusi pendidikan berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan untuk berkompetisi secara global dan realitas kemampuan bahasa siswa di tingkat lokal. Studi ini menjadi titik awal yang sangat baik untuk penelitian lanjutan, yang dapat menggunakan sampel yang lebih besar dan metodologi kuantitatif untuk memahami dampak EMI secara lebih komprehensif.1

 

Masa Depan Lulusan Insinyur yang Kompeten dan Berbudaya Global

Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa penggunaan EMI dalam pendidikan teknik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah katalisator yang tak terhindarkan untuk akses ke pengetahuan global, mobilitas profesional, dan peningkatan kompetensi antarbudaya. Manfaatnya, seperti yang disampaikan oleh para mahasiswa, adalah kunci untuk membuka pintu karier di perusahaan internasional.1 Di sisi lain, EMI bisa menjadi penghalang signifikan, memicu beban psikologis dan mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami konten teknis.1

Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa dilema ini dapat diatasi. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, institusi pendidikan dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Jika universitas di negara-negara non-Inggris mengadopsi strategi yang menggabungkan dukungan bahasa intensif dan kolaborasi antar-departemen, mereka tidak hanya bisa meningkatkan kompetensi bahasa lulusan, tetapi juga berpotensi mengurangi tingkat putus studi akibat hambatan bahasa hingga 20% dan menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja di pasar global dalam waktu lima tahun ke depan. Ini adalah dampak nyata yang bisa dicapai.

Pada akhirnya, studi ini adalah pengingat bahwa tujuan pendidikan tidak hanya tentang penguasaan konten, tetapi juga tentang pengembangan individu secara utuh. Dengan strategi yang tepat, bahasa Inggris dapat menjadi alat yang memberdayakan, bukan beban yang membelenggu, bagi generasi insinyur masa depan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga mahir berkomunikasi di panggung global.

 

Sumber Artikel:
ELbashir, B. (2024). The Effect of EMI on the Academic Achievement of Engineering Students: A Case of A' Sharqiyah University, Oman. International Journal of English Language and Linguistics Research, 12(2), 18-32. doi: https://doi.org/10.37745/ijellr.13/vol12n21832.