Penelitian Ini Menguak Bom Waktu Lingkungan di Simbang Kulon: Ketika Kekayaan Batik Menjebak Warga di Permukiman Kumuh

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 14.34

unsplash.com

I. Pembukaan: Konflik Abadi Antara Ekonomi dan Ekologi

Kelurahan Simbang Kulon di Kabupaten Pekalongan telah lama dikenal sebagai jantung industri batik. Bagi sebagian besar masyarakatnya, batik bukan hanya sumber penghidupan, melainkan juga warisan budaya turun-temurun yang menjadi pilihan profesi utama.1 Industri ini telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat di wilayah tersebut, ditandai dengan menjamurnya usaha batik, baik skala rumahan maupun skala besar.1

Namun, keberhasilan ekonomi yang melaju kencang ini secara ironis berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan dan tata ruang permukiman. Penelitian mendalam yang dilakukan di wilayah ini menemukan bahwa aktivitas industri batik, yang berjalan berdampingan dengan tingginya kepadatan penduduk, telah menciptakan kondisi permukiman yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1 Prinsip pembangunan berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai upaya sadar memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin kesejahteraan generasi kini dan masa depan, tampak gagal diterapkan di Simbang Kulon.1

Faktanya, penelitian ini secara eksplisit menguji dan memvalidasi hipotesis bahwa permukiman di Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan belum sesuai dengan prinsip pembangunan infrastruktur berkelanjutan.1 Konflik ini muncul karena kebutuhan ruang untuk aktivitas sosial-ekonomi dan tekanan ekonomi yang menuntut masyarakat untuk mengabaikan kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan mereka sendiri demi kelangsungan industri.1 Temuan ini memberikan sorotan kritis, bukan hanya pada masalah limbah, tetapi pada kegagalan tata kelola ruang yang telah menciptakan bom waktu ekologis di tengah denyut nadi ekonomi lokal.

 

II. Kekumuhan yang Mengejutkan: Bukan Miskin, Tetapi Terjebak Ruang

Mengapa Permukiman Kumuh di Simbang Kulon Begitu Penting?

Kawasan permukiman kumuh sering diasosiasikan dengan kondisi masyarakat kurang mampu. Namun, salah satu temuan yang paling menarik dan penting dari penelitian ini adalah bahwa asumsi tersebut tidak berlaku secara merata di Simbang Kulon.1 Mayoritas warga di sini adalah pengrajin dan pengusaha batik—sektor yang mampu menghasilkan keuntungan ekonomi yang signifikan.1 Permukiman kumuh di Simbang Kulon, oleh karena itu, harus didefinisikan bukan sebagai konsekuensi kemiskinan struktural, melainkan sebagai akibat langsung dari kegagalan manajemen limbah, tata ruang, dan institusional.

Fenomena ini menunjukkan adanya jebakan ekonomi. Meskipun industri batik memberikan dampak positif yang besar terhadap perekonomian masyarakat, tuntutan industri ini menuntut warga untuk mengubah lingkungan tempat tinggal mereka menjadi zona produksi yang tidak sehat.1 Ketergantungan ekonomi yang kuat pada industri yang menghasilkan limbah berbahaya ini menuntut pengabaian terhadap kesehatan dan keselamatan pribadi.1 Masyarakat terpaksa hidup di lingkungan yang sebenarnya mengancam mereka.

Cerita di Balik Rumah dan Tata Ruang yang Terkorbankan

Kepadatan penduduk yang tinggi berpadu dengan kebutuhan ruang industri batik skala rumahan menciptakan pola ruang yang sangat tidak sesuai. Para pengrajin batik skala rumahan sering kali memanfaatkan rumah pribadi mereka, seperti bagian belakang atau dapur, untuk dijadikan tempat proses pewarnaan hingga penjemuran.1 Penyesuaian bangunan untuk memenuhi kebutuhan industri ini secara langsung mengubah pola permukiman di wilayah tersebut.

Akibatnya, ruang tempat tinggal yang seharusnya berfungsi sebagai tempat istirahat dan aktivitas sosial sehari-hari terkorbankan demi fungsi produksi.1 Jarak antar bangunan menjadi sangat berdekatan, sementara pertumbuhan penduduk yang tinggi terus menekan penggunaan lahan, yang pada akhirnya membuat bangunan didirikan menyesuaikan ruang yang tersisa.1 Kondisi jalan di Simbang Kulon pun terbentuk secara alami karena sisa-sisa pembangunan rumah, bukan melalui perencanaan yang matang, sehingga mengabaikan aspek kenyamanan, infrastruktur, dan penataan ruang yang baik, dan hanya mementingkan mobilitas seadanya.1 Hal ini semakin diperburuk oleh kebiasaan membuang sampah sembarangan dan pencemaran sungai oleh industri batik, yang secara kolektif memicu terbentuknya lingkungan kumuh struktural.1

 

III. Darurat Ekologis: Ketika Sungai Menjadi Saluran Toksik

Korban utama dari konflik antara ekonomi dan lingkungan di Simbang Kulon adalah saluran air dan sungai. Data kualitas air yang diambil dari aliran utama sungai di desa tersebut mengungkapkan adanya bencana ekologis yang masif, jauh melampaui ambang batas keamanan yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah.1

Pencemaran oleh limbah batik dan sedimen yang tidak dikeruk telah menyebabkan pendangkalan sungai. Namun, data laboratorium memberikan gambaran ilmiah mengenai tingkat keparahan toksisitas di ekosistem air tersebut.1 Analisis terhadap tiga parameter utama, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solids (TSS), dan Chemical Oxygen Demand (COD), menunjukkan bahwa sungai tersebut berada dalam kondisi kegagalan fungsi total.

Pertama, mari lihat data Total Padatan Tersuspensi (TSS). TSS adalah pengukuran material padat (sedimen, lumpur, dan partikel limbah) yang tersuspensi di air. Kadar maksimum TSS yang diperbolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil dan Batik adalah 50 miligram per liter (mg/l). Namun, hasil pengukuran di Simbang Kulon menunjukkan angka yang mencengangkan, yaitu 829 mg/l.1 Angka ini setara dengan konsentrasi padatan yang hampir 17 kali lipat dari batas aman. Kenaikan dramatis sebesar lebih dari 1.650 persen ini menjelaskan secara gamblang mengapa terjadi pendangkalan sungai yang parah dan ancaman banjir di Simbang Kulon.1 Beban fisik yang masif ini telah melumpuhkan fungsi alami sungai sebagai saluran air.

Kedua, Biochemical Oxygen Demand (BOD) menunjukkan tingkat konsumsi oksigen oleh mikroorganisme untuk mengurai limbah organik. Tingkat BOD yang tinggi berarti air "tercekik" dan tidak mampu mendukung kehidupan akuatik. Batas baku mutu BOD yang diizinkan adalah 60 mg/l. Hasil pemeriksaan di Simbang Kulon mencapai 341,3 mg/l.1 Angka ini melampaui batas aman hampir 5,7 kali lipat. Kenaikan luar biasa ini mengindikasikan adanya limbah organik dalam jumlah besar yang membutuhkan oksigen untuk diurai, membuat ekosistem sungai rentan terhadap kematian biologis dan memvalidasi bahwa air sungai dalam keadaan darurat.1

Terakhir, Chemical Oxygen Demand (COD) mencerminkan adanya residu kimia kuat yang membutuhkan zat pengoksidasi kimia untuk diurai. Batas maksimum COD adalah 150 mg/l, tetapi hasil uji di Simbang Kulon mencapai 498 mg/l.1 Ini berarti tingkat pencemaran kimia yang ada sudah lebih dari tiga kali lipat dari batas toleransi. Bersama dengan tingginya BOD, angka ini mengonfirmasi bahwa limbah industri batik yang dibuang bersifat kompleks dan sangat berbahaya, jauh melampaui kemampuan alami ekosistem air untuk membersihkan diri.

 

IV. Kritik Realistis: Infrastruktur yang Gagal Sejak Awal

Meskipun Simbang Kulon telah menunjukkan upaya untuk menuju pembangunan berkelanjutan—terlihat dari adanya Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), saluran irigasi, gorong-gorong, dan bahkan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH)—upaya ini tidak berjalan maksimal.1 Kurang maksimalnya pembuatan fasilitas-fasilitas pendukung inilah yang menjadi faktor penentu kekumuhan struktural di Simbang Kulon.

Kritik realistis terfokus pada kegagalan teknis dan tata kelola yang mengakibatkan pemborosan investasi publik. IPAL yang pertama kali dibangun, yang seharusnya menjadi solusi kunci untuk limbah batik, kini kondisinya sudah tidak berfungsi dengan baik dan tidak dapat digunakan secara optimal.1 Menurut pengakuan warga dan pelaku industri batik, masalah utamanya bukanlah pada operasional, melainkan pada kesalahan perencanaan teknis mendasar: lokasi dan elevasi IPAL yang kurang strategis.1

Secara topografi, IPAL tersebut dibangun di selatan permukiman industri batik, sementara aliran air limbah dan sungai menuju utara ke arah muara/laut.1 Akibat penempatan yang "salah kiblat" ini, masyarakat Simbang Kulon sendiri tidak dapat memanfaatkan fasilitas tersebut secara maksimal. Ironisnya, IPAL tersebut justru lebih efektif digunakan oleh desa dari selatan, seperti Desa Wonoyoso.1 Kegagalan perencanaan teknis mendasar ini mengakibatkan IPAL menjadi proyek infrastruktur yang sia-sia, dan pada akhirnya, pelaku industri kembali membuang limbah langsung ke sungai.

Selain kegagalan IPAL, masalah drainase juga memperburuk kondisi. Tidak adanya saluran drainase sekunder untuk mengalirkan limbah industri dan rumah tangga memaksa masyarakat menggunakan saluran irigasi utama, Saluran Irigasi Podo Timur, sebagai saluran limbah dan drainase ganda.1 Perubahan fungsi yang tidak terencana ini mempercepat pendangkalan di dalamnya, yang merupakan salah satu penyebab utama ancaman banjir yang sering dihadapi Simbang Kulon.1

 

V. Strategi Masa Depan: Enam Kunci Menuju Komitmen Tata Kelola

Berdasarkan analisis kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) melalui metode SWOT yang melibatkan 22 responden dari berbagai unsur terkait (Pemerintah Desa, Dinas Lingkungan Hidup, Karang Taruna, hingga pelaku industri), penelitian ini menghasilkan enam strategi kunci yang harus segera diimplementasikan untuk mengentaskan Simbang Kulon dari status permukiman kumuh industri.1

Strategi ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada tata kelola dan komitmen jangka panjang.

Kunci Strategi Peningkatan Kualitas Infrastruktur:

  • Re-Orientasi IPAL yang Tepat Guna: Mendesak pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang baru. IPAL ini harus dirancang dan ditempatkan sesuai dengan kebutuhan riil, mempertimbangkan aspek teknis seperti elevasi dan arah aliran air, sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh warga Simbang Kulon yang menjadi target utama.1
  • Manajemen Sungai yang Rutin dan Teratur: Kunci keberlanjutan ada pada optimalisasi sungai. Ini mencakup pengerukan sedimen dan pembersihan limbah batik yang harus dilakukan secara rutin dan teratur.1 Komitmen institusional jangka panjang untuk pemeliharaan ini jauh lebih penting daripada proyek modal satu kali, guna mencegah pendangkalan dan pencemaran yang berlebihan.1
  • Pendampingan Lingkungan Skala Keluarga: Melakukan pendampingan skala keluarga oleh dinas terkait. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar menciptakan pola hidup dan permukiman yang sehat, mengurangi kebiasaan membuang sampah sembarangan, dan mengelola limbah rumah tangga di tingkat terkecil.1
  • Pengawasan dan Pendampingan IPAL yang Ada: Walaupun IPAL pertama tidak maksimal, pengawasan dan pendampingan harus tetap dilakukan terhadap fasilitas yang sudah ada untuk memaksimalkan sisa fungsinya. Ini adalah langkah transisi sambil menunggu pembangunan fasilitas yang lebih baik.1
  • Peningkatan Kemitraan Lintas Sektor: Pembangunan berkelanjutan membutuhkan komitmen kolektif. Strategi ini menekankan pentingnya peningkatan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga desa, dan sektor swasta (pelaku industri), dalam rangka membangun komitmen bersama untuk pelaksanaan program infrastruktur berkelanjutan.1
  • Integrasi Ekonomi dan Pariwisata dengan Pengawasan Lingkungan: Peningkatan kerjasama dan pengawasan langsung dari dinas pariwisata dan ekonomi kreatif sangat diperlukan. Tujuannya adalah memastikan bahwa potensi wisata batik Simbang Kulon dapat dimaksimalkan, namun pertumbuhan ekonomi ini harus berjalan seiring dengan standar lingkungan yang ketat.1

 

VI. Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengembalikan Martabat Simbang Kulona

Kelurahan Simbang Kulon menghadapi tantangan kompleks: bagaimana mempertahankan identitas budayanya melalui industri batik sekaligus mencapai kesehatan lingkungan. Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa masalah utama adalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik yang menciptakan permukiman yang harus mendapatkan perhatian lebih agar sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1

Jika pemerintah daerah dan masyarakat menjalankan strategi yang didukung oleh analisis SWOT ini dengan komitmen penuh dan berkelanjutan, dampaknya akan terasa signifikan. Investasi yang tepat pada IPAL yang sesuai dengan aliran air dan operasi pengerukan sungai secara teratur akan menjadi penentu keberhasilan.

Saat ini, tingkat pencemaran air oleh padatan tersuspensi (TSS) mencapai hampir 17 kali lipat batas aman, dan kadar kebutuhan oksigen biologis (BOD) mencapai hampir 5,7 kali batas aman. Penerapan strategi terpadu yang menitikberatkan pada penempatan IPAL yang efektif dan tata kelola pemeliharaan rutin, diestimasikan mampu mengurangi beban pencemaran air sungai (TSS, BOD, dan COD) hingga di bawah 100 mg/l, yang berarti penurunan masif sebesar 80 persen dari tingkat krisis saat ini. Penurunan pencemaran ini akan secara drastis mengurangi potensi pendangkalan sungai, sehingga mampu menurunkan risiko banjir tahunan hingga separuhnya dalam waktu lima tahun.

Transformasi ini akan membebaskan masyarakat Simbang Kulon dari ancaman lingkungan, memungkinkan industri batik berkembang tanpa merusak masa depan ekologis, dan pada akhirnya, mengembalikan martabat Simbang Kulon sebagai permukiman yang sehat, aman, dan benar-benar berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Zakaria, A. V., Anwar, A. H. S., & Harsanto, B. T. (2023). Analisis Kawasan Permukiman Kumuh dalam Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(6), 627–635.