Penelitian Gorontalo Mengungkap Rahasia Jalan Rusak: Smartphone Anda Kini Bisa 'Membaca' Aspal – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

13 Oktober 2025, 12.42

unsplash.com

Di tengah hamparan hijau Gorontalo, sebuah ruas jalan sepanjang tujuh kilometer membentang, lebih dari sekadar lapisan aspal. Jalan Barakati-Dungaliyo adalah urat nadi kehidupan, jalur vital yang menghubungkan tiga kecamatan—Batudaa, Tabongo, dan Dungaliyo. Setiap hari, jalan ini menjadi saksi bisu pergerakan ekonomi dan sosial, menopang dua pilar utama masyarakat: pertanian dan pendidikan.1 Truk-truk berisi hasil bumi melintas, membawa harapan para petani ke pasar. Para siswa dan guru melewatinya, menuju pusat-pusat ilmu pengetahuan.

Namun, urat nadi ini mulai menunjukkan gejala kelelahan. Di beberapa titik, permukaannya retak dan berlubang. Penyebabnya pun sudah teridentifikasi: beban berat dari kendaraan pengangkut hasil pertanian, yang seringkali melebihi tonase yang diizinkan, perlahan tapi pasti menggerogoti kekuatan jalan.1 Fenomena ini melahirkan sebuah dilema klasik yang dihadapi banyak daerah di Indonesia: jalan menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Semakin produktif sektor pertanian—sebuah tanda positif bagi ekonomi lokal—semakin cepat pula infrastruktur pendukungnya terdegradasi.

Di tengah persoalan ini, tim peneliti dari Program Studi Teknik Sipil, Universitas Negeri Gorontalo, turun tangan. Mereka tidak datang dengan alat berat untuk menambal, melainkan dengan metodologi ilmiah untuk mendiagnosis. Dipimpin oleh Frice L. Desei, Yuliyanti Kadir, dan Alifia Zahra Ende, tim ini memulai sebuah investigasi mendalam untuk "mendengarkan" apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Jalan Barakati-Dungaliyo. Misi mereka bukan sekadar memperbaiki jalan, tetapi mencari cara cerdas untuk menyeimbangkan antara laju pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur yang menopangnya.1

 

Dua 'Kacamata' Berbeda untuk Mendiagnosis Kesehatan Jalan

Untuk memahami kondisi jalan secara menyeluruh, para peneliti tidak bergantung pada satu metode tunggal. Mereka menggunakan dua pendekatan yang sangat berbeda, layaknya seorang dokter yang tidak hanya melihat kondisi fisik pasien tetapi juga mendengarkan keluhan yang dirasakannya. Pendekatan ini menggabungkan inspeksi visual yang teliti dengan teknologi modern yang ada di saku kita semua.

Metode pertama adalah Surface Distress Index (SDI), yang bisa diibaratkan sebagai "pemeriksaan fisik oleh dokter ahli". Tim peneliti secara harfiah berjalan kaki menyusuri setiap segmen 100 meter dari total tujuh kilometer jalan yang diteliti. Dengan ketelitian tinggi, mereka mencatat dan mengukur empat "gejala" utama kerusakan permukaan 1:

  • Luas Retak: Seberapa besar persentase permukaan aspal yang menunjukkan retakan.
  • Lebar Retak: Mengukur celah retakan untuk menentukan tingkat keparahannya.
  • Jumlah Lubang: Menghitung setiap lubang yang ada dalam interval 100 meter.
  • Kedalaman Alur Bekas Roda (Rutting): Mengukur cekungan memanjang di jalur roda, yang menandakan deformasi permanen pada lapisan aspal.

Pendekatan manual ini adalah pekerjaan detektif infrastruktur yang cermat, memberikan gambaran detail tentang kerusakan yang kasat mata. Ini adalah pandangan "mikro" terhadap kesehatan jalan, fokus pada cacat spesifik di permukaan.

Metode kedua, International Roughness Index (IRI), adalah pendekatan yang sama sekali berbeda. Ini bisa dianalogikan sebagai "mendengarkan pengalaman pasien dari dalam kendaraan". Metode ini tidak peduli dengan retakan rambut atau lubang kecil, tetapi fokus pada satu hal: seberapa nyaman atau bergelombang jalan tersebut saat dilalui. Di sinilah inovasi teknologi berperan. Para peneliti memanfaatkan aplikasi canggih di smartphone bernama Roadlab Pro.1 Aplikasi ini mengubah ponsel biasa menjadi alat ukur ilmiah dengan memanfaatkan sensor internalnya: giroskop, akselerometer, dan GPS.

Prosesnya sederhana namun efektif. Sebuah smartphone dipasang secara vertikal di dasbor mobil survei. Mobil kemudian dijalankan dengan kecepatan relatif konstan, antara 20 hingga 40 km/jam, di sepanjang ruas jalan. Saat mobil bergerak, aplikasi Roadlab Pro secara otomatis merekam setiap guncangan dan getaran, mengubahnya menjadi data kuantitatif yang disebut nilai IRI.1 Semakin tinggi nilai IRI, semakin tidak rata dan tidak nyaman jalan tersebut. Ini adalah pandangan "makro", yang merefleksikan pengalaman fungsional pengguna jalan sehari-hari. Perpaduan antara keahlian inspeksi visual tradisional (SDI) dan inovasi teknologi yang dapat diakses (IRI) inilah yang memungkinkan para peneliti mendapatkan diagnosis yang lebih holistik dan mendalam.

 

Temuan yang Mengejutkan: Mengapa Jalan yang Terlihat Baik Justru Terasa Bergelombang?

Ketika data dari kedua metode dianalisis, sebuah paradoks yang menarik muncul. Hasil dari dua "kacamata" yang berbeda ini menceritakan dua kisah yang tampaknya bertentangan, mengungkap sebuah misteri yang tersembunyi di bawah permukaan aspal.

Dari "pemeriksaan fisik" menggunakan metode SDI, kondisi Jalan Barakati-Dungaliyo tampak sangat positif. Analisis visual yang cermat menunjukkan bahwa sebagian besar jalan, yaitu 77% atau setara dengan 5,4 kilometer, berada dalam kondisi "Baik". Hanya sebagian kecil yang dikategorikan "Sedang" (14%), "Rusak Ringan" (7%), dan hanya satu segmen sepanjang 100 meter (sekitar 1%) yang masuk kategori "Rusak Berat".1 Jika hanya berpegang pada data ini, pemerintah daerah bisa dengan percaya diri menyatakan bahwa jalan tersebut dalam kondisi prima dan tidak memerlukan perhatian khusus.

Namun, cerita berubah drastis ketika "pengalaman pasien" melalui metode IRI dilaporkan. Sensor di dalam smartphone merasakan sesuatu yang tidak tertangkap oleh mata telanjang. Menurut data IRI, mayoritas jalan, yaitu 69% atau sekitar 4,8 kilometer, justru berada dalam kondisi "Sedang". Hanya 19% (1,3 kilometer) yang dinilai benar-benar "Baik" oleh sensor getaran.1 Bayangkan, saat para peneliti berjalan kaki, mereka melihat lebih dari lima kilometer aspal yang tampak kokoh. Namun, ketika mereka melewatinya dengan mobil, aplikasi di ponsel mereka terus-menerus melaporkan bahwa hampir lima kilometer dari jalan yang sama terasa bergelombang dan tidak nyaman.

Kontradiksi ini adalah inti dari temuan penelitian. Ini mengungkap adanya "penyakit tersembunyi" pada infrastruktur. Kerusakan yang terjadi mungkin belum sampai pada tahap memunculkan retakan lebar atau lubang yang dalam, sehingga nilai SDI-nya masih rendah. Namun, tekanan terus-menerus dari kendaraan berat kemungkinan telah menyebabkan deformasi halus pada lapisan fondasi di bawah aspal. Deformasi inilah yang tidak terlihat secara visual tetapi sangat terasa sebagai ketidakrataan permukaan, yang ditangkap dengan akurat oleh nilai IRI yang tinggi.

Dengan kata lain, metode IRI berfungsi sebagai sistem peringatan dini. Ia mampu mendeteksi masalah struktural yang lebih dalam sebelum masalah tersebut bermanifestasi menjadi kerusakan permukaan yang parah. Fenomena ini menjelaskan mengapa masyarakat sering mengeluhkan jalan yang terasa tidak nyaman, meskipun secara visual jalan tersebut tampak baik-baik saja. Penelitian ini memvalidasi persepsi pengguna jalan sebagai data ilmiah yang krusial, membuktikan bahwa apa yang kita rasakan saat berkendara sama pentingnya dengan apa yang kita lihat di permukaan aspal.

 

Solusi Tak Terduga: Perbaikan Besar Bukan Jawaban, Ini yang Dibutuhkan

Dengan adanya dua set data yang tampaknya kontradiktif, pertanyaan berikutnya adalah: tindakan apa yang harus diambil? Intuisi publik mungkin akan menuntut perbaikan besar-besaran di titik-titik yang terasa tidak nyaman. Namun, para peneliti mengambil langkah yang lebih bijaksana. Mereka tidak melihat data SDI dan IRI secara terpisah, melainkan mengintegrasikannya untuk mendapatkan rekomendasi yang paling efisien.

Kunci dari analisis ini adalah penggunaan sebuah "tabel matriks pemeliharaan jalan" yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.1 Matriks ini adalah alat pengambilan keputusan canggih yang mempertimbangkan kedua aspek kesehatan jalan secara bersamaan: kondisi visual (nilai SDI) dan kenyamanan fungsional (nilai IRI). Dengan memplotkan kedua nilai tersebut ke dalam matriks, peneliti dapat menentukan jenis penanganan yang paling tepat dan hemat biaya, mulai dari pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, hingga peningkatan atau rekonstruksi total.

Hasilnya adalah sebuah rekomendasi yang mungkin mengejutkan banyak pihak. Meskipun ada beberapa segmen yang masuk kategori rusak ringan hingga berat, dan sebagian besar jalan terasa bergelombang, analisis gabungan untuk seluruh ruas jalan sepanjang tujuh kilometer secara konsisten merekomendasikan satu jenis penanganan: "Pemeliharaan Rutin".1

Apa artinya ini dalam bahasa awam? Jalan Barakati-Dungaliyo tidak memerlukan proyek pembongkaran dan pelapisan ulang aspal yang menelan biaya miliaran rupiah. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah serangkaian tindakan perawatan yang lebih kecil, teratur, dan proaktif. Ini termasuk penambalan lubang-lubang yang baru muncul, penyegelan retakan agar tidak membesar, pembersihan saluran drainase untuk mencegah kerusakan akibat air, dan perataan minor di beberapa titik.

Rekomendasi ini merupakan sebuah kemenangan efisiensi. Ia menggarisbawahi pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur: dari pendekatan reaktif (menunggu jalan rusak parah baru diperbaiki) ke pendekatan proaktif (merawat jalan secara konsisten untuk mencegah kerusakan). Dengan diagnosis yang tepat menggunakan dua metode, pemerintah dapat menghindari pengeluaran besar yang tidak perlu. Ini membuktikan bahwa investasi pada perawatan kecil yang terjadwal jauh lebih cerdas secara fiskal daripada membiarkan masalah menumpuk hingga memerlukan solusi rekonstruksi yang masif, mahal, dan mengganggu aktivitas ekonomi.

 

Peta Digital di Ujung Jari: Transparansi Infrastruktur untuk Semua

Salah satu aspek paling visioner dari penelitian ini tidak berhenti pada pengumpulan dan analisis data, tetapi pada bagaimana data tersebut disajikan dan dibagikan kepada publik. Tim peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo membawa studi mereka ke tingkat selanjutnya dengan memanfaatkan Geographic Information System (GIS) melalui aplikasi ArcGis untuk menciptakan sebuah database jalan digital yang komprehensif.1

Ini bukan sekadar peta statis. Ini adalah sebuah sistem informasi yang hidup dan interaktif. Setiap titik di sepanjang Jalan Barakati-Dungaliyo kini memiliki identitas digital. Jika Anda mengklik sebuah segmen di peta, Anda akan menemukan serangkaian data terperinci yang terlampir: nama ruas, koordinat pasti, nilai SDI, nilai IRI, klasifikasi kondisi jalan (baik, sedang, rusak), dan bahkan foto dokumentasi aktual dari lokasi tersebut.1 Semua informasi yang dulunya tersembunyi dalam laporan teknis tebal di kantor dinas, kini divisualisasikan dalam format yang mudah dipahami.

Poin terpentingnya adalah aksesibilitas. Para peneliti memastikan bahwa mahakarya data ini tidak terkunci di laboratorium universitas. Peta digital ini telah diintegrasikan dan dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja, melalui platform yang sangat kita kenal: Google Maps, Google Earth, dan Avenza Maps.1 Dengan sebuah tautan sederhana, warga, jurnalis, aktivis, atau bahkan pembuat kebijakan dari instansi lain dapat melihat sendiri kondisi jalan secara detail dan terverifikasi.

Langkah ini merupakan lompatan kuantum menuju era "Pemerintahan Digital" dan "Infrastruktur Cerdas". Dengan mempublikasikan data kondisi jalan secara terbuka, pemerintah daerah tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga membuka pintu bagi akuntabilitas dan partisipasi publik. Warga tidak lagi hanya bisa mengeluh secara verbal tentang jalan rusak; mereka kini dapat merujuk pada data yang sama dengan yang dimiliki pemerintah dan bertanya, "Berdasarkan data SDI dan IRI di titik ini, apa rencana pemeliharaan yang akan dilakukan?" Ini secara fundamental mengubah hubungan antara warga dan pemerintah dari yang bersifat pasif-agresif menjadi kolaboratif dan berbasis bukti. Ini adalah demokratisasi data infrastruktur yang sesungguhnya.

 

Sebuah Catatan Kritis dan Arah Masa Depan

Sebagai sebuah karya ilmiah yang kredibel, penting untuk melihat penelitian ini dengan kacamata objektif, termasuk mengakui keterbatasan dan area yang dapat dikembangkan di masa depan. Pendekatan ini justru memperkuat nilai temuan, bukan melemahkannya.

Para peneliti sendiri secara jujur mencatat bahwa metode IRI yang berbasis aplikasi smartphone memiliki tantangan. Karena ketergantungannya pada sinyal GPS, pembacaan data terkadang "sedikit terlambat dari jarak sebenarnya", yang dapat mempengaruhi presisi penentuan lokasi titik ketidakrataan.1 Ini adalah konsekuensi yang wajar dari penggunaan teknologi konsumen untuk aplikasi ilmiah: ia menawarkan biaya yang sangat rendah dan kemudahan penggunaan yang luar biasa, tetapi datang dengan pertukaran dalam hal akurasi jika dibandingkan dengan peralatan survei khusus seharga ratusan juta rupiah.

Variabel lain yang perlu dipertimbangkan adalah pilihan kendaraan survei. Dalam penelitian ini, digunakan mobil dengan pengaturan "Car Soft Suspension" pada aplikasi Roadlab Pro.1 Pertanyaan yang valid muncul: apakah hasilnya akan berbeda jika survei dilakukan menggunakan mobil dengan suspensi yang lebih keras, atau bahkan menggunakan truk yang lebih berat? Standardisasi jenis kendaraan dan kalibrasi suspensi menjadi area penting untuk penelitian lebih lanjut guna memastikan hasil yang konsisten dan dapat dibandingkan di berbagai wilayah.

Terakhir, studi ini berfokus pada satu ruas jalan sepanjang tujuh kilometer. Meskipun memberikan wawasan yang sangat mendalam, cakupannya terbatas. Efektivitas kombinasi metode SDI dan IRI perlu diuji lebih lanjut pada berbagai jenis jalan, seperti jalan tol perkotaan dengan volume lalu lintas tinggi, jalan pedesaan yang belum beraspal, atau jalan di area dengan kontur geografis yang lebih ekstrem.

Namun, keterbatasan ini tidak mengurangi signifikansi penelitian. Sebaliknya, ini menyoroti bahwa inovasi seringkali dimulai dengan ketidaksempurnaan. Studi ini adalah bukti konsep (proof of concept) yang sangat berhasil, menunjukkan bahwa diagnosis infrastruktur yang canggih dan berbasis data dapat dilakukan dengan biaya yang terjangkau. Tantangan ke depan bukanlah untuk meninggalkan teknologi ini, tetapi untuk terus menyempurnakannya, mungkin melalui pengembangan algoritma kalibrasi yang lebih baik atau integrasi dengan sensor yang lebih canggih, sehingga dapat diadopsi sebagai standar nasional yang efisien.

 

Dampak Nyata di Balik Angka dan Peta

Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan di Jalan Barakati-Dungaliyo ini menawarkan lebih dari sekadar data kerusakan jalan. Ia menyajikan sebuah filosofi baru dalam manajemen aset publik: sebuah pendekatan yang berbasis data, didukung teknologi, transparan kepada masyarakat, dan berfokus pada efisiensi anggaran. Pesan utamanya jelas: dengan diagnosis yang lebih cerdas, intervensi dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.

Kombinasi antara "mata ahli" metode SDI dan "rasa pengguna" metode IRI memberikan gambaran kesehatan jalan yang jauh lebih lengkap, memungkinkan para pengambil keputusan untuk memprioritaskan tindakan yang benar di waktu yang tepat. Ini adalah resep untuk mengoptimalkan setiap rupiah dana publik yang terbatas.

Jika diterapkan secara nasional, pendekatan diagnosis ganda yang dipelopori di Gorontalo ini berpotensi merevolusi cara pemerintah daerah mengelola ribuan kilometer jalan di seluruh nusantara. Ini bisa mengalihkan dana dari proyek perbaikan reaktif yang mahal ke pemeliharaan proaktif yang efisien, dan pada akhirnya dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan tahunan secara signifikan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, memastikan setiap rupiah pajak bekerja lebih keras untuk masyarakat.

 

Sumber Artikel:

Desei, F. L., Kadir, Y., & Ende, A. Z. (2023). Evaluasi kerusakan jalan menggunakan metode Surface Distress Index dan International Roughness Index. Jurnal Konstruksia, 15(1), 67-77.