Penelitian di Banda Aceh Mengungkap Rahasia Jalanan Anti-Macet – Ini Teknologi yang Bisa Menghemat Waktu Anda 11 Menit Setiap Hari!

Dipublikasikan oleh Hansel

27 Oktober 2025, 02.10

AJNN.net

Suara klakson yang bersahutan, deru mesin yang tak kunjung henti, dan pandangan yang hanya tertuju pada lampu rem mobil di depan. Ini adalah ritual pagi dan sore yang akrab bagi jutaan penduduk kota di seluruh Indonesia. Kemacetan bukan lagi sekadar gangguan, ia telah menjadi mimpi buruk kolektif, sebuah penyakit kronis yang menggerogoti waktu, energi, dan bahkan laju perekonomian sebuah kota.1 Setiap menit yang dihabiskan dalam stagnasi lalu lintas adalah menit produktif yang hilang, bahan bakar yang terbuang sia-sia, dan tingkat stres yang terus menumpuk.

Selama bertahun-tahun, kita telah mencoba berbagai solusi: membangun jalan layang, melebarkan jalan, hingga menerapkan kebijakan ganjil-genap. Namun, masalah ini seolah tak kunjung usai. Pertumbuhan jumlah kendaraan selalu tampak selangkah lebih cepat daripada pembangunan infrastruktur.1 Namun, di sebuah laboratorium digital di Universitas Syiah Kuala, sekelompok peneliti mengajukan sebuah pertanyaan radikal: Bagaimana jika masalahnya bukan pada kurangnya jalan, tetapi pada kurangnya "kecerdasan" jalan itu sendiri? Bagaimana jika kendaraan kita bisa 'berbicara' dengan infrastruktur untuk mencari jalan keluar dari kekacauan ini secara kolektif?

Penelitian mereka, yang berlatar di jalanan virtual kota Banda Aceh, mengungkapkan sebuah solusi potensial yang begitu menjanjikan. Melalui sebuah simulasi rekayasa lalu lintas yang canggih, mereka menemukan sebuah teknologi yang mampu memangkas waktu perjalanan rata-rata hingga hampir 11 menit.1 Ini bukan sekadar fiksi ilmiah; ini adalah sebuah cetak biru teknologi yang tidak hanya menjanjikan perjalanan lebih cepat, tetapi juga sebuah sistem transportasi yang lebih cerdas, efisien, dan kooperatif.

 

Mengapa Jalanan Kita 'Sakit'? Diagnosis Masalah Transportasi Modern

Untuk memahami betapa revolusionernya temuan ini, kita perlu terlebih dahulu mendiagnosis penyakit yang melanda sistem transportasi modern. Menurut para peneliti, kemacetan adalah gejala dari masalah yang jauh lebih dalam dan kompleks. Akar masalahnya adalah ketidakseimbangan yang signifikan antara pertumbuhan kendaraan yang eksplosif dengan pertumbuhan infrastruktur jalan yang terbatas.1 Ditambah lagi dengan faktor-faktor pengganggu seperti kecelakaan, perbaikan jalan yang tak terduga, serta pengaturan rambu-rambu lalu lintas yang seringkali tidak efektif, maka terciptalah kondisi kemacetan yang kita kenal saat ini.1

Berbagai upaya konvensional telah dicoba. Kota-kota besar seperti Jakarta telah mengimplementasikan beragam kebijakan, mulai dari pembangunan infrastruktur masif seperti Flyover dan Underpass, hingga rekayasa lalu lintas seperti Busway dan kebijakan Three in One.1 Namun, seperti yang dicatat dalam penelitian ini, beragam model tersebut belum membuahkan hasil yang benar-benar ideal untuk sebuah sistem transportasi yang holistik.1 Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada kompleksitas sistem itu sendiri.

Sistem transportasi bukanlah mesin sederhana yang bisa diperbaiki dengan satu atau dua komponen baru. Ia adalah sebuah ekosistem yang rumit, di mana interaksi antara manusia, kendaraan, infrastruktur fisik, dan lingkungan terjadi secara dinamis, nonlinier, dan seringkali tidak dapat diprediksi.1 Menambah satu jalan layang di satu titik mungkin hanya akan memindahkan titik kemacetan ke lokasi lain. Ini menunjukkan bahwa kita telah mencapai batas dari apa yang bisa dicapai oleh solusi-solusi pasif dan statis.

Di sinilah letak pergeseran fundamental yang ditawarkan oleh penelitian ini. Alih-alih terus-menerus berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik yang mahal dan memakan waktu, pendekatan baru ini mengusulkan untuk menanamkan "kecerdasan" pada infrastruktur yang sudah ada. Ini adalah transisi dari paradigma infrastruktur pasif—yang terdiri dari aspal, beton, dan rambu statis—menuju infrastruktur aktif dan kooperatif, di mana jalanan dapat berkomunikasi, beradaptasi, dan mengelola aliran lalu lintas secara real-time. Penelitian ini bukan lagi tentang membangun lebih banyak jalan, tetapi tentang membuat jalan yang ada menjadi jauh lebih cerdas.

 

Memperkenalkan 'Sistem Saraf' Jalan Raya: Apa Itu V2I Cooperative Awareness?

Inti dari revolusi transportasi ini adalah sebuah konsep bernama Intelligent Transportation Systems (ITS) atau Sistem Transportasi Cerdas. Bayangkan ITS sebagai "otak" dari sistem transportasi sebuah kota. Tujuannya adalah mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi canggih untuk meningkatkan keselamatan berkendara, mobilitas, dan keberlanjutan lingkungan.1 Otak ini membutuhkan "sistem saraf" untuk dapat berfungsi, dan di sinilah teknologi Vehicular Ad-hoc Networks (VANETs) berperan. VANETs adalah jaringan nirkabel yang memungkinkan kendaraan untuk berkomunikasi satu sama lain (Vehicle-to-Vehicle atau V2V) dan dengan infrastruktur di sekitarnya (Vehicle-to-Infrastructure atau V2I).1

Penelitian yang dilakukan di Universitas Syiah Kuala ini berfokus secara spesifik pada aplikasi V2I yang disebut Cooperative Awareness (Kesadaran Kooperatif). Mekanismenya dapat dianalogikan sebagai berikut:

  • Bayangkan setiap mobil di jalan dilengkapi dengan sebuah perangkat pintar yang disebut Onboard Unit (OBU).
  • Kemudian, di setiap persimpangan, lampu lalu lintas, atau titik-titik strategis di sepanjang jalan, dipasang sebuah pemancar cerdas yang disebut Road Side Unit (RSU).
  • RSU ini bertindak seperti menara kontrol lalu lintas mini. Ia terus-menerus mengumpulkan data tentang kondisi jalan di sekitarnya—kepadatan, kecepatan rata-rata kendaraan, potensi antrean—dan kemudian menyiarkan informasi penting ini secara real-time ke semua mobil (OBU) dalam jangkauannya.1

Kata kunci di sini adalah "kooperatif". Dengan sistem ini, mobil Anda tidak lagi membuat keputusan navigasi secara terisolasi hanya berdasarkan peta statis di ponsel Anda. Sebaliknya, ia menjadi bagian dari sebuah ekosistem cerdas yang hidup. Ketika RSU mendeteksi adanya potensi kemacetan di depan, ia akan mengirimkan pesan peringatan dan bahkan menyarankan rute alternatif kepada kendaraan yang mendekat. Dengan demikian, kendaraan dapat secara proaktif menghindari kemacetan bahkan sebelum mereka melihatnya.1

Ini membawa kita pada perubahan fundamental dalam cara kita bernavigasi. Aplikasi peta saat ini, meskipun canggih, pada dasarnya mengoptimalkan rute untuk kepentingan individu. Jika ribuan pengguna aplikasi diarahkan ke "jalan tikus" yang sama untuk menghindari jalan utama yang macet, maka jalan tikus itulah yang kemudian akan menjadi pusat kemacetan baru. Ini adalah contoh optimalisasi lokal yang dapat menyebabkan kegagalan sistemik.

Teknologi V2I Cooperative Awareness mengubah tujuan navigasi dari "apa rute tercepat untuk SAYA?" menjadi "apa pola distribusi lalu lintas terbaik untuk KITA SEMUA agar seluruh sistem berjalan lancar?". Sistem ini tidak hanya memberi tahu Anda di mana letak kemacetan, tetapi secara aktif mengelola dan mendistribusikan arus kendaraan ke seluruh jaringan jalan untuk mencegah kemacetan terbentuk sejak awal. Ini adalah sebuah pendekatan proaktif yang mengutamakan kesehatan dan efisiensi kolektif di atas keuntungan individu sesaat, sebuah lompatan dari egoisme komuter menuju efisiensi sistemik.

 

Laboratorium Digital di Jantung Serambi Mekkah: Simulasi Masa Depan di Banda Aceh

Menerapkan teknologi secanggih ini secara langsung di jalanan kota yang sibuk tentu sangat berisiko dan mahal. Oleh karena itu, para peneliti memilih jalur yang lebih cerdas: simulasi. Simulasi memungkinkan mereka untuk menguji teori yang kompleks dalam lingkungan virtual yang terkendali, tanpa membahayakan satu pun pengguna jalan. Ini adalah cara yang paling efektif untuk mengkaji sebuah sistem yang melibatkan "tingkat kebebasan mobilitas lalu lintas kenderaan yang sangat dinamis dan cepat".1

Namun, ini bukanlah simulasi biasa. Untuk memastikan hasilnya serealistis mungkin, para peneliti membangun sebuah kembaran digital (digital twin) dari kota Banda Aceh. Prosesnya sangat teliti:

  • Pemetaan Digital yang Akurat: Mereka tidak menggunakan peta generik. Sebaliknya, mereka dengan cermat memetakan seluruh topologi jaringan jalan kota Banda Aceh, lengkap dengan detail seperti jumlah lajur di setiap ruas jalan dan batas kecepatan yang berlaku di dunia nyata.1
  • Penggunaan Simulator Ganda: Untuk menangkap kompleksitas sistem, mereka menggabungkan dua jenis simulator yang bekerja secara bersamaan. Simulator pertama, SUMO (Simulation of Urban Mobility), bertugas untuk membangkitkan lalu lintas yang realistis, mensimulasikan pergerakan ribuan kendaraan dengan pola perilaku yang mendekati pengemudi asli. Simulator kedua, NS-2 (Network Simulator), bertugas untuk mensimulasikan jaringan komunikasi nirkabel antara RSU dan OBU, memastikan pertukaran data berjalan sesuai standar teknis.1 Kombinasi ini ibarat memiliki dua ahli yang bekerja bersama: satu ahli perilaku lalu lintas dan satu lagi ahli komunikasi data, memastikan setiap aspek disimulasikan dengan presisi tinggi.
  • Parameter yang Kredibel: Simulasi dijalankan dengan parameter yang solid untuk menambah kepercayaan pada hasilnya. Sebagai contoh, simulasi berlangsung selama 5.000 detik (lebih dari 80 menit waktu virtual) untuk menangkap dinamika jam sibuk. Jangkauan komunikasi nirkabel antar perangkat diatur pada 300 meter, dan protokol komunikasi yang digunakan adalah IEEE 802.11p, yang merupakan standar global untuk komunikasi kendaraan.1

Pemilihan Banda Aceh sebagai studi kasus juga memiliki makna yang penting. Ini menunjukkan bahwa solusi teknologi canggih ini tidak hanya relevan untuk megapolis global seperti Tokyo atau New York, tetapi juga dapat diadaptasi dan diuji dalam konteks kota-kota di Indonesia. Dengan mendasarkan simulasi pada "pola mobilitas lalu lintas lokal," para peneliti memastikan bahwa temuan mereka memiliki relevansi yang kuat bagi para pembuat kebijakan di tanah air.1 Ini bukan lagi sekadar konsep teknologi asing, melainkan sebuah solusi potensial yang telah "diuji coba" dalam konteks lokal yang kita kenal.

 

Momen 'Eureka' - Memangkas Waktu Tempuh Secara Dramatis

Setelah laboratorium digital Banda Aceh siap, para peneliti menjalankan serangkaian skenario untuk membandingkan dua kondisi: lalu lintas normal tanpa teknologi V2I (disebut V2I-disable) dan lalu lintas di mana kendaraan dan infrastruktur saling terhubung (disebut V2I-enable). Hasilnya sangat mengejutkan dan memberikan bukti kuat akan potensi teknologi ini.

Mari kita lihat metrik pertama dan yang paling berdampak bagi setiap komuter: waktu tempuh.

Dalam skenario terpadat, yang mensimulasikan puncak jam sibuk dengan 10.000 kendaraan memadati jalanan virtual, sebuah perjalanan standar (tanpa V2I) tercatat memakan waktu 2.445 detik, atau sekitar 41 menit. Namun, bagi kendaraan yang "terhubung" dengan sistem cerdas V2I, perjalanan yang sama dapat diselesaikan hanya dalam 1.665 detik, atau sekitar 28 menit.1 Ini adalah penghematan waktu sebesar 13 menit penuh dalam satu kali perjalanan. Waktu yang cukup untuk menikmati sarapan dengan tenang atau tiba di kantor tanpa terburu-buru.

Bahkan ketika kondisi lalu lintas sedikit lebih lengang, dengan 7.000 kendaraan di jalan, teknologi ini tetap menunjukkan keunggulannya. Waktu tempuh untuk kendaraan konvensional adalah 2.050 detik (sekitar 34 menit), sementara kendaraan yang dilengkapi V2I hanya membutuhkan 1.550 detik (sekitar 26 menit), sebuah penghematan 8 menit yang sangat berharga.1

Setelah menganalisis semua skenario kepadatan lalu lintas, dari 7.000 hingga 10.000 kendaraan, sebuah pola yang konsisten muncul. Para peneliti menyimpulkan temuan utama mereka dalam satu angka yang luar biasa:

  • Penghematan Waktu Rata-Rata: Di semua skenario yang diuji, sistem V2I Cooperative Awareness mampu mereduksi waktu perjalanan dengan selisih rata-rata mencapai 646,25 detik.1 Itu setara dengan hampir 11 menit penghematan waktu untuk setiap perjalanan.

Lebih menarik lagi, data menunjukkan bahwa semakin padat lalu lintas, semakin besar pula manfaat yang diberikan oleh sistem ini. Ini membuktikan bahwa teknologi V2I paling efektif justru saat paling dibutuhkan, yaitu di tengah kondisi lalu lintas yang paling menantang.

Namun, dampak dari penghematan 11 menit ini jauh melampaui sekadar kenyamanan individu. Ini adalah aset ekonomi dan sosial yang nilainya akan berlipat ganda ketika diterapkan dalam skala besar. Jika seorang komuter melakukan dua perjalanan setiap hari (pulang-pergi), ia akan menghemat 22 menit per hari. Dalam seminggu kerja, itu berarti penghematan hampir 2 jam. Dalam sebulan, itu setara dengan satu hari kerja penuh (lebih dari 8 jam) yang dikembalikan kepada individu tersebut. Sekarang, kalikan angka itu dengan jutaan komuter di sebuah kota metropolitan. Nilai ekonomi dari waktu produktif yang diselamatkan, bahan bakar yang tidak terbuang, dan biaya kesehatan terkait stres yang berkurang bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Penghematan 11 menit ini, pada akhirnya, adalah katalisator untuk produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam skala makro.

 

Bukan Sekadar Cepat, Tapi Aliran yang Cerdas: Revolusi Kecepatan Rata-Rata

Manfaat teknologi V2I tidak berhenti pada pemangkasan waktu tempuh. Penelitian ini juga mengukur metrik penting lainnya: kecepatan rata-rata kendaraan. Metrik ini mengungkapkan bahwa sistem tidak hanya pintar mencari jalan pintas, tetapi juga berhasil menciptakan aliran lalu lintas yang lebih lancar dan stabil secara keseluruhan.

Untuk memahami dampaknya, mari kita gunakan perbandingan yang lebih mudah dibayangkan. Pada tingkat kepadatan 7.000 kendaraan, mobil-mobil tanpa teknologi V2I bergerak dengan kecepatan rata-rata hanya 7,32 meter/detik atau sekitar 25,92 km/jam—mirip dengan laju seorang pesepeda yang santai.1 Namun, dengan sistem V2I aktif, kecepatan rata-rata melonjak drastis menjadi 11,11 meter/detik atau hampir 40 km/jam.1 Perbedaannya terasa seperti beralih dari berkendara di jalanan kota yang padat menjadi melaju dengan lancar di jalan lingkar yang lengang.

Bahkan di tengah skenario kemacetan terparah (10.000 kendaraan), di mana lalu lintas konvensional hampir merayap dengan kecepatan rata-rata 6,11 meter/detik atau sekitar 22 km/jam, sistem V2I mampu menjaga aliran tetap bergerak dengan kecepatan 9,01 meter/detik atau lebih dari 32 km/jam.1 Ini adalah bukti nyata bahwa sistem ini secara aktif mencegah kondisi "berhenti-dan-jalan" (stop-and-go) yang paling boros bahan bakar dan paling membuat frustrasi bagi pengemudi.

Peningkatan kecepatan rata-rata ini memiliki implikasi penting yang tidak langsung terlihat. Perjalanan yang lebih lancar dengan kecepatan yang lebih stabil berarti lebih sedikit pengereman dan akselerasi mendadak. Dari sudut pandang teknik otomotif, kondisi ini sangat ideal untuk efisiensi bahan bakar. Meskipun penelitian ini tidak secara eksplisit mengukur konsumsi bahan bakar atau tingkat emisi, dapat disimpulkan secara logis bahwa aliran lalu lintas yang lebih mulus akan secara langsung mengurangi konsumsi bahan bakar dan menurunkan emisi gas buang. Ini adalah "manfaat tersembunyi" yang sangat signifikan, yang menunjukkan bahwa teknologi ini tidak hanya baik untuk dompet dan waktu kita, tetapi juga untuk lingkungan.

 

Cermin Realitas? Opini Kritis dan Jalan Menuju Implementas

Meskipun hasil simulasi ini sangat menjanjikan, penting untuk tetap berpijak pada realitas. Simulasi, bagaimanapun juga, adalah sebuah pertunjukan dalam "laboratorium digital" yang kondisinya nyaris sempurna. Model simulasi seperti Car-Following-Model yang digunakan dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa setiap "pengemudi" virtual akan berperilaku rasional dan selalu mengikuti perintah dari sistem.1

Dunia nyata, tentu saja, menghadirkan variabel yang jauh lebih kacau dan tidak terduga. Ada pengemudi yang mungkin mengabaikan saran rute, kondisi cuaca buruk yang tiba-tiba mengubah kondisi jalan, kecelakaan tak terduga yang tidak terdeteksi oleh sistem, atau bahkan tantangan teknis seperti gangguan sinyal nirkabel di antara gedung-gedung tinggi dan ancaman keamanan siber terhadap jaringan. Ini adalah rintangan-rintangan dunia nyata yang harus diatasi sebelum teknologi ini dapat diadopsi secara massal.

Oleh karena itu, penelitian ini harus dipandang sebagai sebuah langkah pertama yang krusial—sebuah bukti konsep yang sangat kuat yang membuktikan bahwa teorinya bekerja. Langkah selanjutnya yang logis adalah memindahkan teknologi ini dari dunia virtual ke dunia nyata melalui uji coba skala kecil di lingkungan yang terkendali. Misalnya, dengan mengimplementasikan sistem RSU di sepanjang satu koridor jalan utama atau di dalam sebuah kawasan bisnis terpadu. Uji coba ini akan memberikan data yang tak ternilai tentang bagaimana sistem ini berkinerja di tengah ketidakpastian dan kompleksitas lalu lintas yang sesungguhnya.

 

Kesimpulan - Visi Transportasi Cerdas untuk Indonesia

Penelitian dari Universitas Syiah Kuala ini lebih dari sekadar laporan akademis; ia adalah sebuah cetak biru yang menawarkan visi masa depan transportasi perkotaan di Indonesia. Ia secara meyakinkan menunjukkan bahwa jawaban atas masalah kemacetan yang kronis mungkin tidak lagi terletak pada pembangunan lebih banyak beton dan aspal, tetapi pada pemanfaatan data, konektivitas, dan kecerdasan buatan. Temuan ini membuktikan bahwa dengan membuat kendaraan dan infrastruktur saling bekerja sama, kita dapat meningkatkan efisiensi jaringan jalan yang ada secara dramatis.1

Jika diterapkan secara bertahap dan strategis di kota-kota besar Indonesia dalam dekade mendatang, teknologi V2I Cooperative Awareness memiliki potensi dampak yang luar biasa. Ia tidak hanya dapat mengembalikan jutaan jam produktif yang setiap tahun hilang di jalanan, tetapi juga secara signifikan mengurangi emisi karbon dari kendaraan yang terjebak macet, memangkas biaya logistik nasional yang membebani perekonomian, dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas hidup bagi puluhan juta penduduk perkotaan.

Pertanyaan yang tersisa bagi kita semua—para pembuat kebijakan, inovator teknologi, dan masyarakat luas—bukan lagi "apakah ini mungkin?", melainkan "seberapa cepat kita bisa mewujudkannya?".

 

Sumber Artikel:

Afdhal, A., & Elizar, E. (2022). Simulasi Rekayasa Lalu Lintas Berbasis V2I Cooperative Awareness. KITEKTRO: Jurnal Komputer, Informasi Teknologi, dan Elektro, 7(3), 159-166.